2 : Ignore or Chat

1667 Words
Pukul 08.00 malam dan Aurora baru saja tiba di rumahnya. Dengan seragam sekolah yang masih dipakainya, tubuh terasa lengket karena belum mandi, Aurora benar-benar merasa lelah. Hari ini benar-benar hari yang panjang untuknya. Menghabiskan waktu setengah hari di sekolah dengan pelajaran-pelajaran yang membuatnya muak, belum lagi kegiatan OSIS yang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan kepengurusan yang baru, lalu dilanjutkan berbagai macam kursus yang harus Aurora hadapi demi persiapan kelulusannya nanti. Tahun terakhirnya di SMA benar-benar melelahkan. And also, full of shitty dramas. Aurora meregangkan tubuh sesaat setelah tubuhnya mendarat diatas sofa di ruang keluarga. Akhirnya dia bisa berbaring, dan rasanya sangatlah nyaman. Gadis itu pun tidak dapat menahan matanya untuk tidak terpejam, terlalu lelah dan mengantuk. Namun saat Aurora hampir saja tertidur, seseorang mendarat di sofa dan bagian tubuh orang itu menindih kakinya. "Aw!" Aurora langsung terlonjak dan bangun dari posisi tidurnya. "Aduh kaki gue ditindih p****t kudanil," omelnya sambil menarik bebas kakinya dari tindihan seseorang yang kini sedang tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. "Ya abisnya lo sih, masih pake seragam gitu udah mau tidur aja." "Tapi kaki gue jangan didudukin juga kali, Bang." dengus Aurora kesal. Leo, satu-satunya kakak lelaki dan saudara kandung yang Aurora miliki pun hanya terkekeh pelan melihat ekspresi adik kesayangannya itu. Sang kakak menggeser posisi duduknya lebih merapat dengan sang adik. Sesi wawancara pun dimulai. "Dari mana aja baru pulang jam segini?" Leo memulai wawancara rutinnya. "Sekolah, kumpul OSIS, les buat persiapan UN, les Bahasa Inggris," jawab Aurora seadanya. "Pulang sama siapa?" "Regan lah, siapa lagi?" "Terus Regan nya mana?" "Udah pulang." "Kenapa nggak disuruh mampir dulu?" Aurora menatap Leo datar. "Bang, rumahnya Regan itu cuma beberapa langkah dari rumah kita. Ngapain dia mau mampir?" Leo kembali terkekeh geli lalu mengacak rambut Aurora yang sudah terlebih dahulu digeraikan oleh sang pemiliknya. "Kan sebagai formalitas gitu." "Elah sok formalitas, kalo Regan mau kesini juga biasanya dia tinggal masuk aja." Tentu saja Leo sudah tahu itu, sudah sejak kecil mereka bertetangga dan berteman baik. Leo sudah mengenal Regan luar dan dalam, bahkan dia sudah menganggap Regan sebagai adik laki-laki yang tidak pernah dimilikinya. Dan Regan juga merupakan satu-satunya yang dipercaya Leo untuk menjaga Aurora. Tidak ada lelaki lain yang Leo percaya untuk menggantikan posisi itu, bahkan kekasih Aurora sekali pun. Contohnya si Arkan. Lelaki itu tidak bisa menjaga Aurora dengan baik. Yang ada, dia menyakiti hati Aurora dan itu pula lah yang membuat Leo semakin tidak memercayakan Aurora kepada orang lain, kecuali Regan. Walaupun sering mengganggu dan membuat Aurora kesal, sebenarnya Leo sangatlah menyayangi Aurora. "Tadi Papa telepon ke nomor gue, nyariin lo," ujar Leo. "Katanya udah berapa kali dia telepon ke nomor lo tapi nggak diangkat." Aurora hanya diam dan tidak menanggapi apa yang baru saja Leo sampaikan. Dia tidak peduli. Tidak peduli. Tidak peduli. Tidak peduli. Melihat reaksi adiknya itu, Leo menghela nafas. Dia tahu, pasti Aurora tidak suka dan merasa tidak nyaman dengan topik yang dia bahas. Tetapi, mau tidak mau Leo harus membahasnya. Aurora tidak bisa terus menerus menghindar dari Papa mereka, sebesar apapun masalah yang terjadi. "Mau sampe kapan sih, Dek, gini terus?" Tanya Leo lembut. "Papa tuh kangen sama lo, udah tiga bulan lo nggak mau ngomong sama dia." "Terus, harus gue peduli?" Balas Aurora dingin. "Udahlah Bang, Papa tuh udah bahagia di sana. Dan tanpa dia, gue juga bahagia di sini." Orangtua Leo dan Aurora sudah bercerai sejak dua tahun yang lalu, dan kejadian itu merupakan salah satu kejadian terburuk yang pernah mereka alami. Untuk Aurora, perceraian kedua orangtua nya benar-benar memukulnya telak karena Aurora baru saja masuk SMA pada saat itu.  Dulu, Aurora sangatlah frustasi akan perceraian kedua orangtua nya. Bahkan tanpa sepengetahuan keluarganya, termasuk Leo, dia hampir bunuh diri. Jika saja waktu itu Regan tidak datang dan menggagalkan tindakannya, mungkin sekarang Aurora sudah mati. "Jangan ngomong gitu, Dek. Mau gimana pun keadaannya, itu tetap Papa kita." Nggak peduli. "Seharusnya Papa tau, ever since he's out from this house, that time, dia sudah secara tidak langsung mengundurkan diri dari hidup kita." Ya, sebelum sidang perceraian berlangsung, Papa mereka memutuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan keluarga mereka. Meninggalkan semua kenangan yang pernah mereka buat di rumah itu. Semua orang merasa sakit hati. Leo, Aurora, dan Mama mereka sendiri. Namun, bagaimanapun caranya, realita tetap harus dihadapi. Pada awalnya, hubungan Leo dan Aurora dengan sang Papa berjalan dengan baik. Mereka masih secara rutin berhubungan dan sering main ke apartemen milik Papa. Namun, itu semua hanya bertahan selama satu tahun. Karena pada tahun berikutnya, Papa mereka memutuskan untuk pindah. Pindah ke negara lain, tempat yang akan sangat susah untuk mereka jangkau, Jerman. Alasan kepindahan Papa adalah pekerjaan, Leo dan Aurora menerima alasan itu. Tetapi, tiga bulan yang lalu, alasan Papa yang sebenarnya terbongkar. Papa menikah lagi di sana, dengan janda beranak satu asal Jerman. Leo masih bisa menerima kenyataan itu, tapi tidak dengan Aurora. Sang anak bungsu benar-benar merasa marah dan merasa dibohongi oleh sang Papa. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa Papanya memiliki satu anak tiri yang sebaya dengannya. Aurora merasa sepert tergantikan dan tersingkirkan. Sejak saat itu lah, Aurora memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan orang yang dulu merupakan pahlawannya. "Kasih sayang orangtua itu nggak akan pernah habis, Aurora." Leo mengelus puncak kepala adiknya itu dengan sayang. "Papa sayang sama kita. Papa sayang sama lo." Dengan cepat, Aurora langsung bangkit berdiri dan dia pun mengambil tas sekolahnya yang tergeletak di sofa. "Udah ah, males bahas masalah ginian, gue capek." Tanpa memandang Leo lagi, Aurora langsung pergi menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Leo hanya bisa menatap punggung adiknya yang menjauh itu dalam kebisuan. *** "Udah jangan bete lagi, kaga enak banget liat muka lo gitu." Regan menatap gadis yang sedang cemberut di seberangnya, tak lain dan tak bukan, Aurora. Aurora duduk diatas bangku kecil yang memang terdapat di balkon kamarnya, dia mengangkat kedua kaki dan memeluknya. Sedangkan matanya menatap Regan dengan tatapan puppy eyes andalannya yang akan muncul jika dirinya sedang ingin minta perhatian. "Aduh jangan liatin gue gitu dong." Sementara itu, Regan juga sedang berada di balkon kamarnya. Dia berdiri sangat dekat dengan pagar pembatas, badannya sedikit condong ke depan sehingga dapat berbicara jelas dengan Aurora yang berada sekitar dua meter darinya. Ini merupakan rutinitas mereka setiap malam, bertemu di balkon kamar masing-masing untuk membicarakan apa saja dan curhat tentang apa saja. Balkon kamar mereka memang berhadapan dan hanya berjarak beberapa meter saja. "Au ah Re, gue bete banget jadinya kalo Abang bahas Papa gitu," ucap Aurora pelan. Regan menatap sahabatnya itu dengan pandangan yang tidak dapat terbaca. Baru saja Aurora menceritakan tentang obrolannya dengan Leo tentang Papa mereka dan betapa Aurora sangatlah tidak nyaman dengan itu semua. Regan hanya bisa mendengarkan, dia memiliki pendapat yang sama dengan Leo, dan kalau dia mengutarakannya, pasti Aurora akan merajuk. Jadi, mendengarkan curahan gadis itu tanpa memberikan saran adalah opsi yang lebih baik. "Lo tuh juga pengaruh capek, jadi mending istirahat sana. Udah jam sepuluh, besok juga mau sekolah," saran Regan. "Yaudah deh." Aurora yang biasanya batu, kini menurut dengan Regan, dia pun bangkit berdiri. Regan tersenyum geli melihat penampilan Aurora sekarang. Piyama bergambar kartun Baymax yang dipakainya kebesaran sehingga membuat tubuhnya sedikit tenggelam, rambut panjangnya diikat asal-asalan dan ekspresi Aurora saat itu benar-benar seperti anak kecil. Jika saja Regan sedang memegang kamera sekarang, pasti momen itu sudah diabadikannya. "Selamat bobo, Aurora." "Too, Re" Kemudian, Aurora pun masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat. Dia tahu, Regan pasti akan mengawasinya sampai dia masuk ke dalam kamar dan mematikan lampu. Maka dari itu, Aurora segera mematikan lampunya dan hanya menyalakan lampu tidur. Pasti sekarang Regan sudah masuk kamar. Aurora menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, mencari posisi ternyaman dan tak lupa memeluk guling kesayangannya, sebelum dia memeriksa ponselnya yang memang sedari tadi sudah ada diatas tempat tidur. Hanya ada satu notifikasi LINE, dan itupun dari Regan. Huh nasib jomblo. Regan : tidur sekarang. Aurora mendengus membacanya. Aurora : iye Tapi tentu saja Aurora tidak langsung tidur. Walaupun tubuhnya sudah kelelahan, tetapi, matanya sama sekali tidak mengantuk. Ada terlalu banyak hal yang dipikirkannya dan itu membuatnya susah tidur akhir-akhir ini. Aurora pun membuka semua sosial media yang dimilikinya, namun baru sebentar, dia sudah merasa bosan. Pada akhirnya, Aurora hanya menggeser-geser menu yang ada di ponselnya. Hingga secara tidak sengaja, matanya menangkap satu aplikasi yang sudah beberapa bulan tidak dibukanya. Kik. Secara refleks, jempol Aurora pun menyentuh aplikasi itu dan saat aplikasi itu terbuka, tidak ada notifikasi apapun. Hanya ada beberapa chat lama yang sudah tidak dibalas lagi. Aurora membaca nama-nama yang ada di chat room nya satu persatu. Brody. Itu brondong yang pernah mengucapkan kata I Love You kepada Aurora secara tiba-tiba. Mengingatnya, membuat Aurora merasa geli. Nick. Seingat Aurora, lelaki itu merupakan salah satu lelaki p*****t yang pernah ditemuinya dan percakapan mereka pun tidak bertahan lama. Hunter. Entah itu siapa, Aurora tidak ingat lagi. Alec. She had a great chat with him. Dan pandangan Aurora pun berhenti saat membaca nama Cute Boy. Oke, mungkin itu nama ter-alay yang ada di chat room nya itu, namun Cute Boy itu merupakan teman omegle Aurora yang paling berkesan. Nama aslinya Muhammad Saif. Iya, Saif beragama Islam dan itu membuat Aurora sangatlah senang saat mengetahui tentang itu. Ditambah lagi, wajahnya cukup tampan. Saif merupakan blasteran India-Canada dan dia tinggal di Canada. Usia Saif juga sama dengan usia Aurora. Dulu, mereka berdua mengobrol di Kik setiap hari, walaupun tidak setiap saat karena perbedaan timezone yang cukup lama, dua belas jam. Well, he was a good friend. Tapi, itu dulu, sebelum mereka lost contact. Saif lah yang tidak membalas pesan Aurora terakhir kalinya, dan menjadi gadis yang memiliki gengsi tinggi dalam urusan chat duluan, Aurora pun membiarkannya saja. Lagipula, mereka juga tidak akan bertemu. Saat baru saja Aurora hendak keluar dari aplikasi Kik miliknya, satu obrolan baru muncul. Dari seseorang yang tidak Aurora miliki kontaknya. Dengan cepat, Aurora langsung membuka obrolan dari seseorang bernama Ar itu. Ini siapa? Jangan bilang ini Arkan... Ar wants to chat with you Hai princess A-lay Ignore or Chat Dengan jantungnya yang tiba tiba berdetak kencang, Aurora pun menyentuh tombol Chat pada layar ponselnya. [].
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD