4 : Her Other Half

2350 Words
"Tau kaga? Di kelas 12 IPA 1 ada anak baru, bule." Hafizh, salah satu trouble maker dari kelas 12 IPS 1 dengan hebohnya memberitahu teman-teman lelakinya yang sedang bergerombol di kantin, mengisi perut mereka yang sudah keroncongan sejak tadi. Regan ada di antara gerombolan itu, menikmati sepiring batagor kesukaannya dengan santai, tanpa memedulikan Hafizh, teman satu kelasnya yang juga merangkap sebagai teman sebangkunya. "Pasti lo barusan ke koridor IPA dah, ngegosip sama cabe-cabean," Rio menimpali. "Elah segede apaan sih sekolah kita? Kaga usah gue cari juga kabarnya dateng sendiri ke gue." Memang benar bukan? Dalam satu sekolah, rumor tersebar dengan sangat cepat. Yang awalnya hanya diketahui oleh anak IPA, kini diketahui oleh anak IPS, dan mungkin satu sekolah juga sudah tahu. Kedatangan siswa baru itu sudah menjadi trending topic di sekolah hanya dalam kurun waktu beberapa jam saja. "Kaga penting banget sih, lo udah kayak cewek ngomogin begituan," Regan memberikan komentarnya bersamaan dengan kandasnya batagor yang tadi dinikmatinya. Hafizh menatap teman sebangkunya itu sambil bertopang dagu. "Yakin nggak penting?" Tanyanya pada Regan sambil menaik-turunkan alisnya. Ada maksud terselubung, pasti. "Yakin," jawab Regan acuh. "Nama anak baru itu Saif, pindahan dari Canada, and you know whattt?" Hafizh mengeluarkan smirk andalannya. "Dia satu bangku sama Aurora sekarang." Oh. "Halah mau ngerjain Regan pasti lo, Aurora kan sebangku sama mantan gue, Syakilla," Adit pun ikut dalam percakapan mereka. "Kaga tau cerita sih lo, mereka dipindahin sama Ma'am Rita soalnya Aurora disuruh jadi penerjemah buat si Saif itu," jelas Hafizh. "Oh gitu," respon Regan singkat. "Cemburu pasti lo ngaku ajeee," Hafizh menepuk bahu Regan pelan, diikuti oleh tawa teman-teman mereka yang lain. Ekspresi wajah Regan hanya datar saja, tidak menunjukkan sama sekali apa yang sedang dirasakannya. Lalu, kenapa teman-temannya itu menyimpulkan bahwa dia cemburu? Dia tidak cemburu, tentu saja. Lagipula, untuk apa dia cemburu? "Ngapain juga gue cemburu sama Aurora, ngarang lo." Ketiga temannya itu menatap Regan dengan pandangan menggoda dan senyuman geli menghiasi wajah mereka. Rasanya risih sekali ditatap seperti itu. Regan juga tahu apa yang ada di pikiran mereka sekarang. Sudah terlalu sering mereka berpikir seperti itu. "Ngaku aja cuy, lo suka kan sama Aurora?" "Iya," jawab Regan mantap. "Gue suka sama dia, gue sayang sama dia, sebagai adek." "Alibi," Rio terkekeh. "Cuma mau kasih tau nih ye, the way you look at her tuh beda banget. Nggak pernah lo ngeliatin cewek lain kayak lo ngeliatin Aurora. It seems like whenever she's around you, nothing else mattered deh buat lo, seluruh perhatian lo pasti terpusat ke dia. Sadar nggak sih?" Regan hanya bisa meggelengkan kepala mendengar semua yang diucapkan oleh Rio. Cheesy banget. Dan Regan tidak merasa seperti apa yang tadi didekskripsikan oleh Rio, temannya itu terlalu berlebihan dalam hal menggodanya. "Lo juga selama tujuh belas tahun hidup di dunia ini, belum pernah pacaran kan? Setau gue, belum pernah lo deket sama cewek selain Aurora," Hafizh menambahkan dengan semangat. "Kalian semua tuh ngaco," Regan mendengus, "gue sama Aurora emang deket, sahabatan dari bayi elah harus berapa kali sih gue bilangin kalian? Kaga ngerti mulu." "Masa sih selama sahabatan sama cewek secantik Aurora, lo nggak ngerasa apa-apa?" Selidik Adit. "Gue biasa aja kok sama dia, masih dalam batas normal." "Serius? Berarti boleh dong ya kalo gue deketin dia?" "Apa lo bilang?" Secara refleks, Regan langsung mendelik ke arah Hafizh yang baru saja mengatakan hal itu untuk menggoda Regan. Reaksi yang didapat dari lelaki itu pun sesuai dengan yang Hafizh inginkan. "Udah lama gue mau deketin Aurora tapi kaga dibolehin mulu sama lo, yakin lo nggak baper sama dia? Buktinya kan posesif gitu." Posesif apanya? Regan menggerutu dalam hati. Dia sangatlah malas jika teman-temannya itu mulai mengungkit masalah perasaannya terhadap Aurora. Walaupun, sudah sangat sering Regan memberitahu mereka bahwa Aurora sudah seperti adiknya sendiri, teman-temannya itu tidak pernah percaya dan tetap menuntut Regan untuk mengakui ekspetasi mereka itu. Menyebalkan. "Lo itu otak modus, Fizh. Kaga bakal gue biarin lo deketin Aurora kalo ujungnya cuma nyakitin dia." "Aww that's sweet." Regan memutar bola matanya malas, jika mereka sudah mulai seperti ini, sulit untuk menghentikannya. Jadi lebih baik diam. "Liat arah jam dua, ada Aurora sama si anak baru!!!" Seruan dari Rio sukses membuat Regan menolehkan kepalanya kearah yang tadi disebutkan, dan benar saja ada Aurora bersama dengan lelaki yang bertubuh tinggi. Mereka baru saja memasuki kantin, sambil mengobrol dan tertawa senang. Tidak tahu kenapa, melihatnya, Regan merasakan sesuatu yang aneh. Entah apa itu, hanya ada yang aneh saja sehingga membuat matanya tidak bisa lepas memandang ke arah mereka berdua. Melihat ekspresi Regan yang langsung berubah, ketiga temannya berpandangan penuh arti. "Eh Regan, cepetan sadar deh sama perasaan sendiri, sebelum lo keduluan lagi kayak diduluin Arkan kemaren." Tanpa memedulikan perkataan temannya, Regan bangkit berdiri. "Capek gue ngomong sama kalian, ngaco semua." Tanpa ragu, Regan berjalan mendekati kedua orang yang baru saja memasuki kantin dan kini sedang memesan makanan. Tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadapnya, Regan langsung merangkul gadis itu, Aurora. Yang dirangkul pun awalnya terkejut, namun ketika tahu siapa orang yang merangkulnya, Aurora diam saja. "Hoy," Regan menepuk kepala Aurora pelan. "Siapa nih?" Pura-pura tidak tahu, Regan menunjuk lelaki yang berada disamping Aurora dan kini sedang memandangnya, atau tepatnya memandang tangan Regan yang melingkar di leher Aurora. "Anak baru," jawab Aurora, menatap Regan semangat. "Tau nggak? Dia itu Saif yang pernah gue ceritain dulu!! Temen Omegle gue, percaya nggak?!" Bahkan Aurora lupa kalau tadi pagi dirinya sempat merajuk pada Regan. "Hah?" "Dirumah gue ceritain deh," sahut Aurora akhirnya. "Anyway, what do you want to eat, Saif?" Saif menatap Aurora kemudian Regan secara bergantian, merasa bingung dengan kedua orang yang sangat dekat itu. "I will have whatever your order is, Aurora." "Okay then," Aurora tersenyum. "Bakso dua sama es jeruk dua ya, Om!" Pesan Aurora. Melihat Aurora seperti itu, Saif tidak bisa menahan senyumannya. She is so cute. Regan juga memiliki pikiran yang sama dengan Saif, dan Regan juga tahu bahwa Saif mempunyai pikiran yang sama dengannya, terlihat dari senyum Saif yang tiba-tiba mengembang. Melihatnya, membuat Regan sadar bahwa lelaki dari negara lain ini tertarik pada sahabatnya. Dan rasanya Regan tidak terlalu menyukai fakta itu. "Eh gue hari ini rapat OSIS, lo pulang duluan aja nanti." "Kenapa pulang duluan? Gue tungguin lah lo nya." "Rapatnya lama pasti, lo duluan aja. Gue udah minta jemput Bang Leo kok, tenang aja." "Serius?" Aurora mengangguk semangat lalu mencubit hidung Regan. "Serius elah." "I don't understand what the two of you are talking about." "It's better that you don't, dude," Regan menjawab Saif dengan senyum miring menghiasi wajahnya. "See you at home, babe. Gue kebelet pipis sekarang," Regan mencubit kedua pipi Aurora sebelum dia melangkah menjauh. Samar-samar Regan masih bisa mendengar suara Saif yang bertanya pada Aurora. "Is he your boyfriend?" Suara tawa Aurora pun masih terdengar oleh Regan yang mulai berjalan menjauh dari mereka. "No, he's not my boyfriend." Tiba-tiba saja hati Regan mencelos, before it's getting warm saat Aurora melanjutkan ucapannya. "He's my other half." *** Di dunia ini tidak ada yang suka menunggu, karena menunggu merupakan hal yang paling membosankan untuk dilakukan, dan terkadang menyakitkan. Sudah setengah jam Aurora duduk di halte depan sekolahnya, menunggu Leo yang sudah berjanji untuk menjemputnya setelah rapat OSIS nya selesai. Tetapi, yang ditunggu tidak datang-datang sedari tadi. Menghela nafas kesal, Aurora menggerutu dalam hati. Tau gini mending gue nunggu di dalem aja. Eh, tapi mending di luar deh. Di dalem kan masih ada Arkan. Setelah rapat OSIS selesai, Aurora cepat-cepat keluar dan meninggalkan ruangan, tidak ingin terlalu lama berada di ruangan yang sama dengan mantan kekasihnya itu. Dan sebisa mungkin, Aurora menghindari komunikasi dalam bentuk apapun dengan Arkan. Dia sudah tidak ingin lagi berhubungan dengannya, Aurora membenci Arkan. Aurora mencoba untuk membencinya. Karena mungkin dengan cara itu hatinya bisa sembuh. Ya, luka yang ditorehkan Arkan belum sembuh. Sama sekali. "Aurora?" Mendengar namanya dipanggil oleh suara yag tidak asing, Aurora terlonjak kaget dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Deg. Jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat, melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini. Arkan. Orang yang sangat tidak ingin ditemuinya. "Ternyata bener ini kamu," Arkan tersenyum. "Ngapain di sini?" Mata Aurora melirik motor merah yang terparkir di samping halte. Sejak kapan Arkan sampai? Kenapa dia tidak sadar? "Nunggu jemputan," jawab Aurora dingin, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. "Daripada nunggunya lama, aku anterin pulang ya?" Brengsek. "Nggak perlu sok baik sama gue." Senyum Arkan langsung hilang setelah dia mendengar respon Aurora, sesuai tebakannya, Aurora tidak akan mau. Namun, lelaki itu belum mau pergi, melainkan mengambil tempat duduk di samping Aurora. Aurora mengumpat dalam hati. Dia tidak suka kondisinya ini, rasanya dia ingin lari saja dari tempat itu dan menjauh dari Arkan, tapi tidak mungkin dia melakukannya. Akan terlihat sangat payah jika seperti itu. Dia sudah kalah dan tak ingin kalah lagi. "Kalo gitu aku tungguin sampe kamu dijemput," ucap Arkan pelan. Mendengar nada suara Arkan seperti itu membuat jantung Aurora berdetak kencang. Pikirannya tiba-tiba saja mengingat masa-masa saat mereka masih bersama dulu, menyebabkan rasa sesak di dadanya kembali hadir. "Aku mau minta maaf sama kamu Ra, untuk semuanya." Aurora tertawa renyah mendengarnya. Tidak bisa dia memaafkan Arkan begitu saja, Aurora tidak sebaik itu dan dia tidak ingin menjadi naif. Berkata memaafkan ketika hatinya belum memaafkan sama sekali merupakan tindakan yang tidak akan dilakukannya. "Semudah itu ya Ar, minta maaf?" Sindirnya. Arkan menghela nafas, memandang gadis yang sama sekali tidak memandang ke arahnya. "Ra, aku tau kalo aku salah, tapi aku bisa jelasin alesan aku." "Apa lagi sih yang mau dijelasin? Semuanya kan udah jelas, lo balikan sama mantan lo disaat masih punya status sama gue, di saat hubungan kita baik-baik aja," rasanya pahit sekali bagi Aurora mengatakan itu. "Bener, kan?" Untuk sesaat Arkan hanya diam, memandang ke arah sepatunya sebelum memberikan jawaban yang tak ingin didengar oleh Aurora. "Iya, bener." Aurora memang bodoh. Semua yang terjadi diantara dirinya dan Arkan sudah terlalu jelas, mereka tidak akan bisa bersatu lagi. Tapi, tadi untuk sesaat, Aurora menyimpan sebuah harapan kecil. Berharap saat dia menanyakan kejelasan akan apa yang telah dilakukan Arkan, lelaki itu akan menjawab bahwa semuanya hanyalah salah paham. Bahwa Arkan akan mengatakan bahwa dia masih mencintai Aurora dan mereka bisa memulai dari awal lagi. Bodoh sekali dia berpikir seperti itu, berharap seperti itu. Arkan sudah memperjelasnya secara langsung, tidak ada harapan lagi untuk Aurora, untuk mereka. Rasanya sakit. Berkali-kali lipat lebih sakit mendengarnya langsung dari Arkan. "Nggak nyangka gue," Aurora tersenyum. "Gue pikir lo tuh beda, nggak akan nyakitin gue. Tapi nyatanya wow." "Tapi aku punya alesan kenapa aku gitu, Ra." "Alesannya, karena emang dari awal lo nggak pernah punya perasaan lebih ke gue kan? You were just curious," kali ini Aurora mendongak untuk menatap Arkan. "Sama kayak kebanyakan cowok, penasaran sama cewek terus kalo udah dapet ya dibuang." "Bukan itu," Arkan menyangkal. "Aku sayang sama kamu, tapi aku ngerasa kamu nggak bisa bales perasaan aku itu." Apa? "Sebelum kamu potong, biarin aku jelasin semuanya," lanjut Arkan. "You love someone else, Aurora. Aku bisa ngomong gitu karena aku liat secara langsung, setiap hari." "Lo ngomong apa sih? Ngaco tau nggak?" "Dengerin dulu, Ara." Shit. Jangan panggil gue gitu. "Sadar nggak sih kalo kamu tuh punya feelings sama Regan? Sadar nggak sih kalo cara kamu natap Regan tuh beda sama cara kamu natap yang lain? Bahkan kamu nggak pernah natap aku kayak gitu," ucap Arkan yang membuat Aurora bingung "Selama kita pacaran, kamu selalu ngomongin Regan, tiap kita mau jalan pasti kamu izin Regan terus. Apa-apa pasti Regan, ini itu pasti Regan. Dan itu yang buat perasaan aku perlahan hilang ke kamu, Ra. "Kamu pacaran sama aku tapi perasaan kamu ke orang lain." Tentu saja Aurora marah mendengarnya, semua yang dikatakan Arkan itu seolah-olah mengatakan bahwa selama ini Aurora menyakitinya. Padahal sudah jelas siapa yang tersakiti dalam masalah ini. "Jadi lo seligkuh dari gue karena pikiran lo itu?" Tanya Aurora ketus. “Nggak ngerti gue sama lo, bawa-bawa Regan, nuduh gue ini itu. Maksud lo apa sih?" "Kamu tuh cuma belum sadar aja, Ra. Coba deh kamu pikirin apa yang tadi aku bilang biar kamu ngerti." "Gue sama Regan tuh udah sahabatan dari bayi, dia tuh kayak kakak gue sendiri, Ar! Pikiran lo tuh jauh banget." "Ra, cewek sama cowok tuh nggak akan pernah bisa sahabatan. Pasti, salah satu dari mereka ada yang jatuh," jelas Arkan. "Entah ini kamu yang nggak mau ngaku atau emang kamu nya belum sadar." Saat itu juga perasaan Aurora campur aduk. Dia tidak habis pikir Arkan bisa berpikir seperti itu. Jadi, selama ini Arkan menganggap bahwa Aurora tidak punya perasaan apa-apa padanya karena Regan? Bodoh sekali. Aurora semakin sakit hati. Dia tulus menyayangi Arkan selama ini, tapi ternyata lelaki itu tidak menghargai perasaannya. "Jangan bodoh, Ar. Pikiran lo tuh nggak masuk akal," desis Aurora "lo tuh cuma nyari alesan biar seolah-olah gue yang salah di sini karena lo nggak mau keliatan salah kan? Lo tuh selalu maunya bener di mata orang walaupun lo salah. "Lo tuh munafik, muka dua, sadar nggak sih? Nyesel gue pernah kenal sama lo, pernah sayang sama lo tapi ujungnya lo mikir gue yang macem-macem, nyakitin gue." Arkan terdiam ditempatnya melihat Aurora yang sudah tidak bisa lagi menahan amarah yang sudah lama ditahannya. "Apalagi lo bawa-bawa Regan," tangan Aurora terkepal erat. "Dan satu lagi, stop nilai orang lain, mikir macem-macem tentang orang lain kalo lo belom bisa nilai lo sendiri udah bagus atau belom." Aurora bangkit berdiri saat melihat mobil kakaknya yang baru saja sampai. "Makasih udah nunjukin gue kalo lo tuh jahat." Kemudian Aurora melangkah pergi meniggalkan Arkan dengan amarahnya yang masih memuncak. Samar-samar Aurora mendengar perkataan Arkan untuk yang terakhir kalinya. "Liat aja, Ra. Cepat atau lambat kamu pasti sadar tentang perasaan kamu ke Regan." Omong kosong. Bullshit. Airmata yang sudah sejak tadi ditahan Aurora pun jatuh sesaat setelah dia masuk ke dalam mobil kakaknya. Melihat adiknya yang menangis, Leo hanya bisa diam, matanya menangkap seorang lelaki yang masih terduduk di halte tempat Aurora menunggu tadi. Mengetahui apa yang terjadi, Leo memilih tidak bertanya dan mulai menjalankan mobilnya. Membiarkan sang adik menangis dalam diam selama perjalan. Ever knowing him in my life was my biggest regret. Hanya sepenggal kalimat itu yang terlintas di pikiran Aurora, bersamaan dengan airmata yang terus turun. [].
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD