Tak ada yang terjadi pada mereka malam itu.
Walaupun keduanya berada dalam satu kamar dan telah berbagi ranjang, tetapi tubuh keduanya terpaku di tempat dengan kedua pasang mata itu menatap satu fokus yang sama, yaitu langit-langit kamar.
Entah sudah berapa keheningan menjadi peran utama sebelum akhirnya pria itu berdehem pelan.
“Apa aku sebaiknya tidur di sofa? Atau mungkin pindah ke kamar yang lain?”
Mendengar itu, Luna sontak menoleh dan menatapnya dengan keheranan.
“Kenapa?”
“Sepertinya ... kamu tak begitu nyaman.”
Luna mengerjapkan matanya sesaat. Matanya tak lepas dari wajah pria itu yang tampak menegang.
“Apa kamu merasa tak nyaman?” Luna bertanya balik.
Pria itu tak menjawab. Yang sayangnya membuat Luna mengambil kesimpulan sendiri.
“Kalau begitu, baiknya aku yang tidur di sofa.”
Saat Luna hendak bangkit dari tidurnya, tangan pria itu menahannya. Tubuhnya sontak menegang. Pasalnya pria itu baru menyentuhnya setelah akad pernikahan mereka yang berlangsung sederhana tadi pagi.
“Kamu bercanda.”
Luna menggeleng lemah. “Ini rumahmu, Mas. Aku hanya menumpang. Jadi harusnya aku lah yang pindah.”
“Yang benar saja, Luna. Aku nggak mungkin melakukan itu pada seorang wanita, apalagi yang sudah menjadi ... istriku.” Suaranya terdengar tercekat di akhir kalimat.
Luna meringis pelan. “Lalu ... kenapa kamu menawarkan diri untuk tidur di sofa?”
“Karena aku merasa sepertinya kamu tak nyaman tidur di atas ranjang yang sama denganku,” sahutnya pelan.
“Aku hanya butuh beradaptasi pada lingkungan baru. Sudah menjadi kebiasaanku juga kalau aku kesulitan tidur jika bukan di ranjangku.”
Yudha mengerjap mata beberapa saat. “Aku pikir kamu tak bisa tidur karena aku.”
“Well, mungkin itu juga mungkin sebagian kecil alasannya. Aku juga cukup terkejut dengan semua ini.”
“Yah, kamu benar. Siapa yang menyangka kalau para ibu kita sudah menyiapkan pernikahan sudah jauh-jauh hari.”
Baik Luna maupun Yudha sama-sama meringis tipis.
“Mas, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Boleh.”
“Apa yang membuatmu menerima perjodohan ini? Atau sebenarnya kamu awalnya terpaksa?”
Mendengar itu, Yudha mengerjap mata. Meski ia harusnya sudah memprediksi bahwa Luna akan menanyakan hal ini tapi sepertinya ia tidak pernah siap memberikan jawaban yang sebenarnya.
“Aku sudah cukup berumur dan Mama sudah merongrong untuk menikah. Saat aku bertemu denganmu, intuisiku mengatakan bahwa kamu memang orangnya. Maka aku tak kesulitan mengambil keputusan,” jelas Yudha setengah berharap bahwa perkataannya membuat wanita itu percaya.
“Bukan karena terpaksa?” balasnya Luna sambil menatap suaminya dengan penuh kehati-hatian.
Yudha menelengkan kepalanya, membalas tatapan istrinya.
“Tentu bukan,” sahutnya pelan. Memberi jeda dan menggelengkan kepalanya singkat. “Untungnya bukan. Karena aku tidak mau menikah jika bukan kehendakku.”
“Tapi kamu terlihat seperti tidak menyukaiku.”
Yudha kembali mengerjap. “Begitukah pendapatmu?”
Luna mengangguk pelan.
Pria itu kemudian tersenyum tipis. “Mama bilang kalau aku ini orangnya tak suka basa-basi tapi juga tak ekspresif. Terlebih, karena persiapan pernikahan kita relatif singkat, aku hanya perlu sedikit beradaptasi dengan status kita sekarang.”
Luna terus menatap pria itu sepanjang ia berbicara.
“Ada sesuatu di wajahku?”
“Tidak. Bukan.” Luna memalingkan wajahnya. Semburat kemerahan mulai muncul di kedua pipinya.
“Aku juga yakin kamu perlu adaptasi juga kan?” tanya Yudha lagi.
“Benar. Aku berpikir terlalu jauh.”
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?”
“Aku sempat berpikir ... kalau kamu mungkin akan menyodorkan kontrak perjanjian pernikahan dengan kurun waktu tertentu dan pada akhirnya kita harus berpisah.”
Di sebelahnya, Yudha sukses melongo mendengar penurutan Luna.
“Kamu terlalu banyak menonton film.”
Luna melebarkan senyumannya dan kemudian terkekeh pelan. “Sejak resign kerjaanku sehari-hari adalah menonton drama atau film apapun hanya untuk mengalihkan pikiranku.”
Meski senyuman masih merekah di wajahnya tapi Yudha bisa merasakan adanya nada kegetiran dari ucapan Luna.
Pria itu sedikit tahu soal Luna yang sempat bekerja di salah satu perusahaan bonafit di Jakarta dan terpaksa harus merelakan karirnya yang sedang berada di puncak, tanpa tahu apa alasannya. Hal itu lah yang menjadi alasan utama Luna dijodohkan dengannya.
“Bagiku, pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tidak untuk dibuat main-main. Jadi maaf aku harus menepis pikiranmu yang memang sudah berkelana jauh.”
Luna menunduk. Menyembunyikan senyuman tipis dan helaan napas lega.
Sementara Yudha kembali mengatupkan rahangnya. Selama sepersekian detik, keheningan kembali hadir bersamaan dengan rasa kantuk yang akhirnya datang.
Entah siapa yang lebih dulu terlelap malam itu. Namun, pada keesokan harinya Luna mendapati bahwa Yudha sudah tak berada di sampingnya saat ia membuka mata.
Sebuah kertas berwarna kuning ditinggalkan di atas nakas berisi pesan bertuliskan tangan:
Ada yang mesti aku kerjakan di kantor. –Yudha
Melihat isi pesan itu agaknya membuat Luna kembali menyunggingkan senyum getir.
Kenapa malah suaminya pergi ke kantor pada hari pertama mereka berstatus suami istri?
***
Di lain tempat, tampak seorang pria tengah duduk membelakangi sebuah jendela besar. Matanya terlalu fokus pada tumpukkan map hitam dan sesekali pada layar laptop yang menyala.
Tanpa ia sadari bahwa hari semakin berlalu cukup lama. Sampai pada akhirnya suara ketukan pintu membuat fokusnya terpecahkan.
Sesosok wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang dibukakan oleh sekretarisnya. Wanita yang berparas cantik di usianya yang sudah tak begitu muda lagi itu tampak melemparkan pandangan jengkel kepadanya.
“Hei, Ma. Tumben datang kesini?” Yudha menyapa ibunya.
“Harusnya Mama yang nanya kenapa kamu disini?” Wanita yang dipanggil Mama oleh Yudha itu melangkah maju.
Yudha memberikan kode kepada sekretarisnya untuk meninggalkan ruangan.
“Kenapa aku disini? Aku kan bekerja, Ma.”
“Sehari setelah pernikahanmu. Kamu langsung bekerja? Lalu istrimu ditinggalkan begitu saja?”
“Aku sudah meninggalkan pesan untuknya.”
Wanita itu mengerutkan keningnya dalam. “Meninggalkan? Kamu bahkan nggak berpamitan langsung sama dia.”
“Dia kesulitan tidur tadi malam, jadi pagi ini agak terlambat bangun.”
Itu bukan sebuah kebohongan. Pagi tadi ketika ia membuka mata dan melihat Luna yang tampak baru tertidur nyenyak pada dini hari. Hal itu yang menjadikannya alasan tak tega untuk membangunkannya.
“Mama tahu. Tapi pertanyaannya adalah kenapa kamu harus sampai masuk kerja setelah hari pernikahanmu?” cecar ibunya lagi.
“Ya kan kita sepakat untuk menunda bulan madu, dan kebetulan ada yang harus aku kerjakan.”
“Menunda bulan madu bukan berarti kamu langsung ninggalin dia begitu saja. Kamu kan bisa gunakan waktu liburmu sebentar untuk saling mengenal?”
“Soal itu, masih ada banyak waktu. Yang penting kan keinginan Mama tercapai.”
“Tercapai katamu?”
“Menikahkanku, kan?”
Sang Ibunda menarik napas panjang. Masih sambil menatap putranya itu dengan pandangan sendu.
“Mama kan cuma ingin kamu punya kehidupan yang bahagia, terlepas dari beban masa lalu. Apa itu sesuatu yang salah?”
Yudha mengalihkan pandanganya dan menutup mulutnya rapat. Sesuatu di dalam hatinya sedang berusaha meronta-ronta.
“Kehadiran Luna seperti sebuah pertanda, Yudha. Mama yakin kamu pasti mengerti maksud Mama.”
***