3

1062 Words
Kalau kau jauh, kabarkan aku  Kalau kau pergi, beritahu aku  Kalau kau menghilang, aku patah... ☂☂☂☂☂ Di sudut kota, Raira memandangi tanah perkuburan yang masih basah. Mulutnya tertutup namun matanya tak henti menitiskan airnya. Disebelahnya Ratih, sepupunya menepuk pundaknya halus,  "Sudah Ra, bapak sudah tenang. Sejak kemarin bapak menanyakan keadaan mu, tapi aku kesulitan menghubungi mu, untunglah kamu langsung datang."  "Kalau datangku hanya untuk membuat Pakde Ilham berpulang, rasanya aku gak mau datang mbak,"  "Istigfar Raira,  kalau bukan karna kamu, bapak pasti masih merasakan sakit. Aku justru berterimakasih padamu,"  Raira memeluk Ratih. Rasanya ia ingin ikut masuk saja ke liang kubur. Semua orang yang dicintainya pergi begitu saja. Lihat, seminggu setelah pernikahannya digelar, bapak dan ibunya pergi ke tanah suci untuk umroh seperti yang sudah mereka rencanakan jauh sebelumnya, dan qodarullah keduanya berpulang disana. Seperti mimpi rasa Raira kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Perasaannya hancur bukan main. Untung saat itu ada Arfan yang setia memeluk dan menemaninya. Membuatnya yang hilang arah kembali pulih.  Lalu sekarang, ia kehilangan satu-satunya orang yang dianggapnya sebagai orangtua setelah kehilangan orangtuanya, ya, Pakde Ilham, Abang dari Ibunya. Sungguh sakit dirasanya. Apalagi kini ia tengah pergi meninggalkan sang suami hanya dengan secarik kertas. Ia tak ingin menjadikan suaminya anak yang durhaka.   'Aku pergi... Maaf tidak meminta restumu langsung. Aku tidak punya kekuatan untuk melihatmu bersanding dengan wanita lain, mas. Surgaku ada padamu, tapi surgamu tetap ada padanya, dan aku tidak sanggup melihat salah satu dari kita terluka. Izinkan aku mengalah demi surgaku dan surgamu. Restui kepergianku, agar tidak bertambah dosa karena keegoisanku ini. Semoga kelak Allah pertemukan kita, jika jodoh masih ada. Peluk cium dariku, istrimu...' ☂☂☂☂☂ "Jadi, ada hal apa kamu tiba-tiba kesini tanpa Arfan, Ra?" Selidik Ratih ketika mereka sudah selesai menggelar yasinan hari pertama meninggalnya Pakde Ilham.  Raira terdiam. Jelas sekali Ratih dan suaminya memandang ke arahnya. Bahkan beberapa saudara jauh yang hadir juga ikut memperhatikan. "Mama lagi gak sehat, jadi Mas Aan gak bisa ikut. Tapi aku udah pamit kok," jawab Raira mencoba santai.  "Sakit apa mertua kamu? Jarang-jarang orang judes bisa sakit,"  Raira tertawa mendengar pertanyaan suami Ratih. Memang ibu mertuanya sedikit judes, namun itu terjadi semenjak Raira mengalami keguguran pada enam bulan pertama pernikahannya dengan Arfan. Ibu mertuanya marah karna Raira dianggap tak bisa menjaga kandungannya dengan baik. Sejak itu sang mertua selalu memaksa Arfan untuk menyuruhnya berhenti bekerja dan fokus saja dirumah, agar bisa segera hamil lagi. Tapi sampai tahun ketiga pernikahan mereka, ia tak kunjung hamil lagi. "Apa sih Mas," ujar Ratih sambil menyenggol lengan suaminya. "Tapi kamu benar sudah izin kan Ra?" Tanya Ratih menyakinkan yang hanya dijawab Raira dengan anggukan. Bahkan ponselnya sampai detik ini masih ia matikan.  Raira beranjak meninggalkan mereka. Seluruh pekerjaan sudah beres, tinggal dua malam lagi saja yasinan dan acara kirim doa seperti ini dilangsungkan. Tradisi orang-orang dikampung Pakde seperti itu setiap ada yang meninggal, yasinan dan kirim doa hingga malam ketiga saja. Lalu sudah, tidak ada lagi acara ke empat puluh hari, seratus hari dan berikutnya, karna khawatir membebani pihak yang berduka. Sudah kemalangan, masih lagi harus menyiapkan sesajian untuk orang-orang yang hadir. Untuk acara ini sampai dengan tiga hari para tetangga yang saling membantu untuk memasak dan berbelanja tanpa dibayar oleh pihak yang berduka. Rasa kekeluargaan disini begitu kental. Apalagi ini yang berpulang Pakde Ilham, guru yang begitu disanjung semua orang. Maka siapapun tak keberatan mengurusi beliau, mulai dari memandikan, mensholatkan, menguburkan, bahkan mengurusi acara yasinan dan doa bersama ini dan nanti. 'Lagi apa kamu, Mas' bisiknya lirih sambil menatap wajah sang suami tercinta di ponsel. Ponsel itu memang sudah di nyalakannya, tapi langsung diubah ke mode pesawat, agar tidak ada yang bisa menghubungi. Mungkin besok ia baru akan membeli kartu sim yang baru setelah hampir tiga bulan menonaktifkan semuanya. Setidaknya untuk menghubungi beberapa teman yang dianggapnya penting.  Raira terdiam kembali, jauh dilubuk hatinya dia masih merasakan pedih yang teramat dalam. Bagaimana tidak, ia mendapatkan hadiah terindah yang pasti akan dikenangnya seumur hidup tepat di hari ulang tahunnya beberapa bulan lalu, seorang gadis untuk suaminya. Hadiah terburuk dari mama mertuanya. “Mau sampai kapan kamu membiarkan Arfan hidup dalam harapan untuk memiliki anak, Ra?” “Maksud mama?” tanya Raira sambil menambah gula ke dalam air teh yang disedunya. “Namanya Mutia, dia gadis baik-baik. Mama kenal baik keluarganya. Mereka juga nggak keberatan jadi besan mama,” Kening Raira berkedut, matanya menatap sosok yang tengah berbincang dengan sang suami di ruang tamu mama mertuanya. “Dia dan Arfan juga sudah berteman lama. Dia itu anak temannya almarhum papa.” Raira diam, masih tidak tahu harus menjawab apa untuk semua kalimat dari wanita yang telah melahirkan suaminya itu. “Sudah lah, kamu fikirkan saja baik-baik omongan mama. Teh mu sudah selesai?” “Eh, oh, sudah ma…” jawab Raira tergagap. Kepalanya mendadak kosong. “Ya sudah, segera taruh ke depan.” Raira mengangguk, menatap nanar mertuanya yang berjalan menghampiri sepasang manusia yang masih asik berbincang di ruang tamu yang menambah perih hati Raira.  Ketukan pintu membuyarkan lamunan Raira. Pasti itu Ratih. Dia masih curiga mengapa Raira tidak datang bersama Arfan, karna ia tau Arfan dekat dengan Almarhum Pakde, pastilah mendapat kabar Pakde Ilham wafat dia akan segera menyusul.  Raira berjalan mendekati pintu, "Ada apa, mbak?" Tanyanya setelah membuka sedikit pintu kamar yang ditinggalinya untuk beberapa hari kedepan. "Aku boleh masuk?" Raira menganggukkan kepala, mau bilang tidak boleh pun tidak mungkin, ini rumahnya kan.  "Apa yang coba kau sembunyikan, Ra?" Tanyanya langsung begitu duduk dikursi depan meja rias.  "Maksudmu?" Jawab Raira balik bertanya.  "Kita tidak mengenal baru sehari-dua hari, Ra. Kau dan aku besar bersama, bahkan aku ikut menungguimu ketika bayi, jadi jangan kau fikir kau bisa mengelak dariku.  Katakan, ada masalah apa? Tidak mungkin Arfan meninggalkanmu untuk kesini sendiri. Apalagi membawa mobil dan menyetir sendiri, dia tidak setega itu. Perjalananmu bukan sejam dua jam, Ra, hampir empat jam." Cecarnya  Raira hanya bisa tersenyum, "Mbak, doakan saja yang terbaik buatku. Ini aib keluargaku. Bukankah orangtua kita mengajarkan untuk selalu menjadi baju untuk suami, menjadi pintu untuk aib keluarga? Jadi aku belum bisa cerita, mbak," jawabnya lirih.  "Kau, jangan bilang nenek sihir itu memberondongmu dengan pertanyaan kapan hamil!"  "Mbak, plis, jangan paksa aku. Nanti kalau sanggup akan aku ceritakan padamu. Sekarang izinkan aku tinggal beberapa hari disini. Aku rindu kampung halaman ibu, aku rindu ibu," jawab Raira yang langsung disambut pelukan Ratih. Tak dapat ditahannya tangis itu lagi. Rasa hatinya sesak sekali. ☂☂☂☂☂
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD