2

1263 Words
Rindu ini milikmu Jangan kau anggap tak bertuan Pulanglah... ☂☂☂☂☂   “Fan… Fan…” teguran Riski menyadarkan Arfan dari lamunannya. “Ah, maaf Ki…” Riski mengangguk, “Kau masih tetap mencintainya kan, Fan?” tanya Riski. “Apapun yang terjadi Ki, dia tetap satu-satunya istri dalam kehidupanku. Tak masalah kalau kami sampai akhir tak diberi keturunan, toh masih banyak cara lain. Tapi mungkin Raira sudah terlalu terluka dengan sikap keluargaku, Ki…” “Maafkan dia ketika dia kembali, Fan…” “Itu pasti Ki. Raira tidak melakukan kesalahan apapun. Ini semua salahku…” Riski tersenyum, “Kau masih lebih beruntung daripada aku, Fan. Raira meninggalkanmu, tapi jasadnya jelas masih ada. Aku, kapanpun Allah mau, Dia bisa mengambil Naima begitu saja…” “Ki…” “Dokter sudah hampir putus asa, Fan. Minggu lalu dia masih bisa bernafas normal, tapi kemarin dokter bilang sudah gagal nafas. Sudah dipasangi ventilator, Fan. Rasanya kalau dia harus pergi sekarang, aku sudah ikhlas. Nggak tahan harus menyaksikannya seperti itu.” Arfan menepuk pundak Riski. “Insyaallah semua akan ada jalannya, Ki. Kita tawakkal bersama ya…” hiburnya. Riski mengangguk. Mengamini ucapan sahabatnya itu. ☂☂☂☂☂ Arfan berhenti, enggan memasukkan mobilnya melewati pagar rumahnya. Rumah yang beberapa bulan lalu bak istana dirasa, kini sudah gersang seperti neraka. Rumah yang penuh kenangan indah akan bidadarinya. “Ra… aku rindu. Kau dimana? Tidakkah kau merindukanku?” bisiknya lirih. Arfan melirik ponselnya, menatap nanar wajah indah penuh senyum milik sang istri, wanita yang sudah meninggalkannya tiga bulan lamanya. “Dimana kau sekarang Ra…” pandangannya mulai kabur, tertutup air mata yang hampir setiap hari mengalir menemani hening sujud malamnya. Menghempaskannya pada kenangan indah bersama sang istri… “Mas lihat deh, makin banyak yah artis-artis yang cerai,” ujar Raira sambil menunjukkan majalah yang dibacanya. “Kamu baca yang begituan?” “Nggak sengaja. Tadi beli buat lihat resepnya doang, tapi ya bukan majalah namanya kalau nggak ada gosip artisnya. Mereka kok bisa gampang banget ya Mas cerai-cerai begitu, apa nggak mikirin perasaan anaknya?” Arfan mencopot kaca mata yang sedari tadi bertengger di hidungnya. “Dari pada si anak ngelihat orangtuanya bertengkar terus, kan lebih nggak baik untuk psikologinya.” “Maksud Mas?” “Emmm, gini… si anak selama ini kan selalu berfikir bahwa dia merupakan buah cinta kasih kedua orangtuanya, kemudian dia melihat ternyata orangtuanya bertengkar terus-menerus pasti bertanya-tanya dong dimana cinta dan kasih yang selama ini diagung-agungkan itu.” Raira mengangguk paham. “Iya juga ya Mas, dari pada si anak ngelihat orangtuanya yang terus-terusan bertengkar, lebih baik mereka pisah ya kan. Tapi kalau begitu anaknya harus dikasih pemahaman yang tepat juga dong Mas, jangan sampai jadi seperti kebanyakan anak yang broken home itu.” “Itu tergantung orangtuanya. Biasanya kalau mereka berpisah karena kesepakatan bersama, pasti hubungan setelahnya baik-baik aja. Tapi kalau udah pisahnya ribut-ribut, itu yang susah. Si anak mau nggak mau jadi harus milih, ikut si ibu atau ikut si ayah.” Raira kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Eh iya Mas, apa sih yang jadi alasan Mas sampai berubah fikiran dan nyoba buat nyari Ra dulu?” “Kenapa nanyain soal itu?” Raira menggeleng, “Tiba-tiba keinget aja. Siapa tahu suatu saat kita bertengkar hebat, nah kan ada kenangan-kenangan yang bisa dijadiin bahan pertimbangan untuk nggak berpisah.” Kening Arfan berkerut, “Memang kamu ada niat mau pisah dari aku?” “Ih amit-amit. Ya nggak gitu loh maksudnya Mas. Ceritain dong…” pinta Raira manja. Duduk bersila di sofa dengan tubuh tepat menghadap Arfan. Arfan menjawil hidungnya lembut. “Aku sempat ketemu pakde di pestanya Fadli. Ya seperti biasa, dia tanya udah nikah atau belum. Aku jawab belum, terus aku tanyain soal kamu, kamu udah nikah atau belum, sekarang kerjanya apa, tinggalnya dimana, gitu-gitu deh. Eh aku malah diledekin sama beliau.” “Diledekin gimana?” “Aku lupa beliau bilang apa, tapi yang jelas beliau bilang makanya jangan suka pasang target tinggi, gitu lah…” “Oh iya, Mas bilang kan ada tuh informasi dari beliau yang berbeda dengan informasi yang Mas dapat dari f******k. Itu informasi yang mana?” “Kamu ini, dulu sebelum nikah kok nggak ditanyain?” Raira merengut, “Mana Ra ingat-ingat lagi. Kan kita kemarin paket ekspres. Mas datang, dua minggu kemudian lamaran, sebulan dihabisin untuk persiapan, belanja-belanja, fitting baju dan lain-lain, abis itu bulan depannya akad. Persiapan buat kesana aja udah nguras tenaga dan fikiran, mana sempat mau nanya-nanya.” “Iya deh... Kamu yang asli beda sama yang di f******k, makanya aku coba buat tanyain lagi ke pakde. Mau nanyain langsung ke kamu takut, takut ditolak…” “Bedanya?” “Beliau sempat bilang ke aku kalau kamu jilbaber, jilbabnya panjang, terus solehah, pendiam, kalem, lembut, yang begituan lah, tapi pas aku lihat di facebookmu, ternyata kamu masih rada urakan, jilbab panjang sih walau nggak sepanjang yang sekarang, pendiam dari sudut mana juga aku nggak tahu, kamu hobi banget cuap-cuap di sana mana kelihatan centil pula, kalau solehahnya aku nggak bisa nilai…” “Huuu, pantesan…” “Pantesan apa?” “Pantesan bapak sama ibu berat banget buat percaya ke Mas. Abis suka-sukanya aja ngenilai anak semata wayangnya…” “Yee, itukan dulu, sebelum aku ketemu kamu.” Raira mendelikkan matanya, “Emang sebelumnya kita pernah ketemu? Bukannya pertemuan pertama itu waktu Mas datang ke rumah?” “Loh, kamu nggak ingat?” tanya Arfan kaget yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Raira. “Kita sempat ketemu, itu juga yang buat aku tanya kamu ke pakde.” “Ketemu dimana?” “Tumben banget kamu nggak ingat yang begituan,” celetuk Arfan heran. “Mungkin Mas nggak spesial dimata Ra waktu itu,” ledek Raira. “Dasar… tapi ya udah lah ya, yang penting sekarang aku makhluk paling spesial dimatamu,” ledek Arfan kembali yang membuat Raira sedikit salah tingkah. “Gombal…” Arfan tertawa mendengar komentar Raira lalu mengecup kilat bibir wanitanya yang sedang manyun itu. “Eh, jadi kita ketemu dimana waktu itu?” tanyanya penasaran. “Di toko buku, kamu nggak ingat?” tanya Arfan balik. Raira kembali menggelengkan kepalanya. Jilbabnya ikut berayun. “Waktu itu aku lagi fokus ke bukuku, seperti biasa. Nggak lagi ngeliat ke mana-mana, nggak perduli sekitar juga, trus tiba-tiba kamu kibas-kibasin dompet di depan mukaku. Jujur emosi ku langsung naik, tapi gitu ngeliat siapa yang ngibasin dompetnya, yang ada aku malah bengong.” Raira tertawa, “Kok bisa ya yang begituan Ra nggak ingat. Trus Ra nggak ngomong apa-apa Mas?” “Jangan ketawa dulu. Yang ini lebih buat aku tengsin. Mukaku udah bengong banget tuh kan, trus kamu malah bilang, Pak dompetnya jatuh. Abis itu dompetnya kamu letakin di rak buk, udah pergi aja gitu kamu tanpa perduli sama aku yang masih bengong.” Raira terbahak geli, “Mas aku katain bapak? Waahhh, andai adegan itu direkam ya Mas, pasti lucu banget. Ayo ke toko buku itu sekarang.” “Buat apa?” “Buat minta CCTV zaman itu,” ledek Raira yang disambut tawa Arfan. “Kamu tahu, aku kalau ingat kejadian itu rasanya pengen meluk kamu sampai pingsan, kok bisa segitunya banget jadi perempuan.” “Kalau begitu kemarilah sayang, aku ikhlas dipeluk kamu sampai pingsan,” Goda Raira sambil membentangkan kedua tangannya lebar-lebar yang disambut geli oleh Arfan. Mendekapnya erat, mendaratkan kecupan hangat di puncak kepala wanita yang walau usianya sudah menginjak dua puluh delapan tetapi masih saja lucu dan kekanakan. Sifatnya yang membuat Arfan tak mampu berpaling walau banyak godaan menderanya. ☂☂☂☂☂ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD