1

1298 Words
Kalau aku harus pergi, ingin ku bersamamu  Tapi kalau tak dapat, Maka tetaplah membersamaiku dalam doa  Sungguh aku ingin menari bersamamu  Dibawah rinai hujan kesukaan kita  Sambil bersenandung lagu cinta  Tapi kekasih, kini kemarau tengah datang  Dan aku sendiri... ☂☂☂☂☂ Langit sore itu tampak sangat bersahabat, angin yang berhembus sepoi-sepoi menambah nikmatnya sore di lapangan hijau rumah sakit yang menenangkan itu. Tampak dari kejauhan penjual es kelapa sibuk memilih kelapa untuk dibelah. Di sampingnya penjual buah segar masih asik memotong-motong buah menjadi bentuk kecil yang dapat langsung masuk ke dalam mulut. “Arfan, jadi kau masih belum tau dimana Raira?” Lelaki yang dipanggil Arfan itu menggelengkan kepalanya. Matanya terlihat menerawang jauh, ekspresi wajahnya menyimpan ribuan duka. “Sekalipun dia belum pernah menghubungimu?” tanya teman si lelaki lagi. Kembali pertanyaan itu dijawab dengan gelengan kepala. “Raira wanita baik, aku yakin benar itu, Fan. Tapi aku masih tidak habis fikir, bagaimana bisa dia meninggalkanmu begitu saja. Seberat apapun masalah rumah tangga yang kalian hadapi, tidak seharusnya dia pergi meninggalkanmu.” Arfan menarik nafas panjang, “Ini semua salahku, Ki. Kalau saja aku benar-benar menjaga perasaannya, tidak mungkin dia pergi meninggalkanku.” Gantian Riski menggelengkan kepalanya, “Sudah hampir tiga bulan Fan, dan dia tidak pernah menghubungimu. Ini bukan seperti Raira yang ku kenal. Ada apa sebenarnya Fan?” tanyanya lagi. Arfan kembali melemparkan tatapannya jauh, menatap tanpa fokus pada para perawat yang menemani pasien mereka untuk menghirup udara segar di lapangan itu. Ingatannya tentang sang istri menerobos pandanganya. “Mutia cantik ya Mas…” Arfan mengangguk, tidak mengalihkan pandangannya dari buku yang sedari tadi dibacanya. “Kalian akrab banget Mas, udah kenal lama ya?” Arfan kembali menganggukkan kepalanya. "Dia anak teman almarhum papa," sambungnya. "Oh… kenapa dulu nggak menikah dengan dia, Mas?” Arfan menutup bukunya, memandang Raira heran, “Kenapa kamu nanya gitu, Ra?” “Ra heran aja, di depan mata ada perempuan cantik, baik, pinter, jelas bibit, bebet dan bobotnya dan berani jamin mama suka, Mas malah pergi jauh buat nyari Ra. Kenapa nggak nikahin dia aja coba, pasti sekarang kamu udah nimang-nimang anak.” “Kamu sebenarnya lagi ngomong apa sih Ra?” “Mas tahu nggak, Ra pernah denger ada yang ngomong gini, kalau dalam rumah tangga sudah susah mencari ketenangan batin, ada baiknya si suami mencari wanita lain, biar kondiri rumah tangga lebih baik.” “Terus maksudmu?” “Mas nikah lagi sana…” Arfan meletakkan buku yang masih dipegangnya di meja sebelahnya, “Apa-apaan sih kamu Ra? Mau ngajak bertengkar nih ceritanya?” “Siapa yang ngajak bertengkar sih Mas? Raira cuma kasih saran, kali-kali aja Mas minat buat nerima saran Ra.” “Kamu mulai nggak waras deh Ra. Ntar balik ke rumah sana buat lamaran kerja. Ini pasti efek kamu resign trus kebanyakan nonton sinetron yang nggak mutu.” Raira tertawa getir, “Ra serius loh Mas. Kita kan udah sering banget tuh berantem, mana tau Mas mau cari suasana baru. Mumpung Ra yang ngusulin ini loh Mas…” “Ya karena ini usul dari kamu makanya aku bilang kamu nggak waras. Dibelahan bumi manapun, nggak ada tuh istri yang rela dimadu.” “Yang bilang Ra mau dimadu siapa?” “Lah jadi maksud kamu ngusulin gitu?” “Ya Mas silahkan nikah lagi, tapi pulangin Ra. Berhubung ibu sama bapak udah nggak ada, ya paling nggak balikin ke keluarga ibu juga jadi deh.” Arfan mendelik, semakin bingung dengan arah pembicaraan istrinya itu. “Kamu beneran nggak waras ini, Ra. Sudah, sana pergi tidur. Aku mau ambil minum dulu.” Raira menurut, membaringkan badannya, menarik selimut sampai hampir menutup seluruh tubuhnya. “Ra nggak pernah rela, Mas. Nggak akan pernah rela. Tapi kalau itu kemauan mama, Ra harus apa…” bisiknya lirih. Arfan berbalik, ia masih akan membuka pintu kamar ketika mendengar Raira membisikkan hal yang membuatnya seakan tersengat listrik. “Kamu bilang apa, Ra?” tanyanya sambil mempercepat langkahnya menuju tubuh yang sudah berbaring membelakanginya itu. “Ra, jawab aku. Kamu tadi bilang apa?” paksanya. Belum lagi menjawab, air mata sudah membasahi pipi Raira. “Mama mau kamu menikah dengan Mutia, Mas…” “Apa???” tanya Arfan tak percaya. “Tiga tahun kita menikah Mas, dan sampai saat ini Ra belum bisa kasih anak buat Mas, mama marah, Ra nggak sanggup Mas menghadapi semua kemarahan mama. Mungkin Ra salah, tapi Ra tahu kalau kemarin mama marah karena Ra masih kerja. Mama maunya Ra dirumah, urus soal rumah. Mama bilang mungkin karena Ra terlalu sibuk, makanya kita belum dika.…” “Astagfirullah Ra…” Arfan memotong ucapan Raira, meraup wajahnya, kesal. “Kenapa kamu nggak bilang ke aku sih? Kenapa juga kamu dengerin banget omongan mama. Jadi karena itu kamu resign?” Raira tertunduk, “Maaf Mas, Ra bingung. Mungkin itu yang terbaik untuk Ra, jadi Ra…”  “Ya Allah Ra… Kenapa sih kamu mesti dengar omongan mama. Biasanya kamu tahu, kamu pinter, kamu bijak, omongan yang aneh-aneh nggak pernah kamu dengerin, kok ini tumben sih Ra? Aku nggak mempermasalahkan soal kamu yang resign, karena toh aku masih mampu menghidupi keluarga kita, walau aku tahu kerjaan itu untuk mengusir rasa bosanmu dirumah tanpa anak.” Terdengar isakan tangis. “Kapan mama ngomong gini ke kamu?” Raira terdiam, rasanya enggan menjawab pertanyaan suaminya, takut dianggap mengadu domba. “Jawab Ra,” paksa Arfan. “Kemarin, waktu mama datang ke rumah, dan hari ini, ketika Mutia datang.” “Jadi dari kemarin kamu ngomongin soal Mutia karena ini? Harusnya kamu nggak usah ambil pusing Ra…” Arfan menggelengkan kepalanya, tiga tahun menikah Raira hampir tak pernah menangis ketika mereka bertengkar. Terakhir kali menangis adalah ketika ia mendapat kabar bahwa kedua orangtuanya meninggal. Mungkin kali ini hatinya benar-benar tersakiti. “Ra harus apa Mas? Ra harus apa kalau setiap kali Ra pamit kerja mama selalu ngedumel. Ra usahakan untuk pulang cepat, tapi Ra selalu salah dimata mama. Perempuan mana yang sanggup terus-terusan disalahkan untuk kesalahan yang dia sendiri nggak tahu, Mas?” Raira mengusap kasar airmatanya, “Selalu anak yang jadi alasan mama menyalahkan Ra, menyalahkan pekerjaan Ra. Apa keinginan Ra kita belum dikasih anak? Apa Ra yang minta? Apa mama fikir Ra nggak merindukan sosok itu? Ra juga rindu, Mas, rindu…” “Ra, soal itu kamu kan udah tahu jawabannya. Kita berdua baik-baik aja. Tinggal menunggu waktu Allah kasih lagi aja, Ra…” ujar Arfan serba salah. “Kita bisa berfikiran seperti itu Mas, tapi bagaimana dengan mama? Apa mama mau ngerti soal itu? Apa Mas pernah menerangkan dengan jelas soal itu? Kalau boleh jujur, Ra lah yang paling tersiksa Mas. Wanita mana yang tahan selalu dikatakan mandul sementara kenyataannya enggak??” tanya Raira tajam, pipinya sudah merah padam. “Ya Allah Ra, aku udah bilang mama tentang itu. Aku udah jelasin ke mama. Kamu harus paham dong Ra, aku anak pertama dan mama pasti…”  “Tapi kenapa mama masih aja menawarkan wanita-wanita lain ke kamu, Mas??” teriak Raira memotong segala kalimat pembelaan Arfan dengan rasa frustrasi. “Dan bahkan kali ini mama benar-benar membawanya kehadapan Ra, Mas. Apa mama fikir Ra ini mayat hidup yang nggak punya perasaan?” bisiknya lirih. Arfan terkesiap, “Ra…” “Percuma Mas. Apapun yang Mas bilang sekarang, itu nggak akan mampu mengobati perih yang Ra rasakan. Ra nggak paham, apa dosa Ra ke mama sampai mama sebegitu menyesalnya menjadikan Ra menantunya. Sakit sekali rasanya Mas setiap mendengar kata-kata sinis mama.” Arfan bangkit, mencoba memeluk istrinya itu. “Sudahlah Mas. Kalau memang kali ini niat mama sudah sangat bulat, pulangkan Ra, Mas. Nikahi wanita yang diinginkan mama…” putusnya. Raira kembali membaringkan tubuhnya, membelakangi Arfan yang terduduk lesu disisi tempat tidur. Hatinya hancur lebur. ☂☂☂☂☂ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD