You

1123 Words
Via mendengus kasar, disaat semua teman-temannya dengan mudah dapat keluar untuk menggarap Project nya. Dirinya hanya bisa berjalan terpincang-pincang dengan terseok-seok, aslinya ini salah dia juga sih. Tadinya teman-temannya menawarinya untuk membantu dirinya, namun dengan sombongnya dia menolak dengan gamblang. "Kalian kira gue siapa? VIANITA ROSALINDA!!! Si wonder woman!!" Saat itu teman-temannya hanya berekspresi hendak muntah dan mencibirnya terang-terangan, lalu meninggalkan Via sendirian. Tetapi ... anehnya Vernon si bule katrok itu tumbenan mau menawarinya, tuh bocah kesambet kali, biasanya juga kaya badut comberan. Sekarang malah jadi sok ganteng. "Auw.. !! Aduh .. duh!!" Via berpegangan pada tembok yang berada disebelahnya, tepat sebelum sempat terjungkal jatuh. Dirinya menatap miris kaki kanannya, bengkak sudah! Via meringis ngilu saat mencoba menggerakkan kaki itu dengan paksa, sungguh ini sangat menyakitkan untuk nya. "Nggak bisa gue kalo gini terus," Via meringis-ringis sakit. "Kenapa juga ... tadi gue sok-sokan nolak bantuan, repot sendiri kan jadinya!!" Ucapnya masih ngelantur ngalor-ngidul. "Makanya jadi orang gak usah gengsian." Via memekik kaget, dia sepertinya hafal suara itu, benar bukan di sana sudah berdiri Agam. Agam berjalan dengan wajah flat seperti biasa ke arah Via, sebenarnya sejak tadi dirinya telah mengamati pergerakan gadis ini. Namun lucu saja baginya melihat gadis ini kerepotan, seolah sebagian raganya yang dulu pernah dibuat kesal olehnya itu sedikit terobati. Yah ... ceritanya balas dendam, sih. "Bapak kok masih disini?" Via reflek berdiri tegap meski agak kesusahan. Agam menurunkan kacamatanya untuk dia sasangkan di antara celah bajunya. "Memangnya saya harus kemana?" Agam balik bertanya. "Bapak kan harusnya sedang observasi bersama karyawan lain." Jawab Via yakin. Agam mengangguk sekali. "Tadinya sih mau begitu, tapi kayaknya ada salah satu karyawan saya yang sedang terpincang-pincang disini," Agam sedikit menyindir Via. "Dan sepertinya dia butuh  bantuan." Imbuhnya sambil melipat tangan di dadanya. Via hanya mampu mengumpat dalam hati, sudah jelas sekali kalau Bosnya ini sedang menyindirnya. "Saya bisa sendiri kok, Bapak jangan remehin saya, ya!" Via menunjuk muka Agam dengan wajah sangar nya. Agam membulatkan bibirnya santai. "Oh iya kah? Ya sudah kalau begitu saya mau pergi dulu." Via melongo. "Eh Pak ... Pak!!" Via mencegah Agam membuat pria itu menatap Via heran. "Bapak kok jahat banget sih, saya tadi kan cuma mau jual mahal. Harusnya Bapak itu bujuk saya kek, ini malah mau ninggalin saya gitu aja. Enggak gentle banget deh, Pak!!!" Sembur Via bertubi-tubi. Agam berbalik ke arah Via lalu menatap tajam gadis itu, "kamu pikir saya nggak ada kerjaan gitu sampai harus repot-repot ngurusin kamu. Dan kalau kamu berharap saya akan menjadi pria-pria seperti bayangan di otak kamu, lebih baik kamu hilangkan saja pemikiran itu." Ucapnya dengan dingin. Via langsung mundur selangkah. Iya, benar juga seharusnya dirinya tidak bisa melupakan kenyataan itu, kalau Agam memang berbeda dari pria manapun. Dia sangat keras dan benar-benar tidak tersentuh. Via pikir dengan terlibat urusan beberapa hari dengan pria ini dapat membuatnya sedikit menghangat, namun sepertinya dia harus menghilangkan pemikirannya itu. Agam ya tetap Agam, si Mr triplek! Selanjutnya tanpa berkata sepatah kata pun lagi Agam langsung membantu Via berjalan pergi dari tempat itu. Keduanya hanya sama-sama terdiam. **** "Nih!!" Sekaleng minuman bersoda jatuh tepat di pangkuannya. Via mendongak. Vernon, si bule katrok itu sudah berdiri tepat di depannya. "Apaan nih?" Via mengangkat minuman berkaleng itu. "Racun sianida buat bunuh lo!" Ceplos Vernon yang mampu membuat Via melempari wajahnya dengan pasir pantai yang ada di sekitarnya. "Ya lagian udah tahu minuman masih aja tanya. Jangan g****k-g****k dong jadi orang!" Vernon mencibir dengan sadis, Via sudah tidak peduli dirinya lebih memilih membuka tutup kaleng itu dan meminum cairan berbusa di dalamnya. Vernon ikut duduk disebelah Via, dia menyelonjorkan kaki jenjangnya itu dengan nyaman. "Ngapain lo disini sendirian, yang lain udah pada balik ke Villa tuh." Vernon menunjuk sekitarnya yang sudah mulai sepi. Bahkan pengunjung pantai yang lain pun sudah mulai pulang karena hari sudah menjelang petang. "Lagi kesel deh gue," Via mengamati kaki bengkak nya itu, berkat ramuan racikan Angel tadi kakinya sekarang jadi lebih mendingan. "Ya lo pikir aja deh, kaki gue itu sakit dan gue harus muter-muter pantai buat survei pengunjungnya satu-persatu, bisa bayangin nggak sih lo jadi gue?!!" "Enggak." Dengan muka polosnya Venon menjawab santai. "Gue nggak mau bayangin jadi lo, ntar gue g****k lagi-" "GAK NGACA LO?!!" Via menyahut dengan sangat tidak santai, Vernon yang melihatnya pun malah terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. Selain g****k, receh, dan pe'a, Vernon itu nggak ada plusnya. Yah ... kecuali wajahnya doang sih, lagian punya wajah ganteng tapi gak ngotak. Nggak guna banget, deh! Ting! Vernon meredakan tawanya lalu menyeka sedikit air mata yang berada di pucuk matanya, dia merogoh HP yang berada di celana kainnya itu saat mendengar notifikasi yang masuk. Via mengernyit saat mendapati perubahan wajah Vernon yang drastis, jarang sekali pemuda ini berekspresi serius. "Kenapa?" Via angkat suara. Vernon memasukkan kembali HP nya lalu menatap Via santai, "biasalah." Ucapnya dengan enteng. Via mengerucutkan alisnya tidak mengerti namun setelah melihat ekspresi Vernon tersebut dirinya sepertinya mulai paham. "Soal Sindi?" Via sedikit ragu saat mengatakannya, Vernon mengangguk sekali lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. "Dia bener-bener nggak mau dengerin gue, udah nggak tahu lagi harus gimana gue sama dia." Vernon menggeleng kan kepalanya sendiri. "Lagian lo juga enggak punya hak buat ngelarang dia kejar mimpinya. Biarin dia sekolah di luar negeri, ntar kalau lulus juga kalian kan bisa ketemu, kalau nggak pas liburan kan lo bisa jengukin dia." Ucap Via. "Gak bakal semudah itu!" Vernon menatap Via dengan serius. "Gue memang nggak punya hak buat ngelarang dia kejar impiannya, gue juga nggak ngelarang dia kok, Vi. gue cuma suruh dia buat sabar sedikit ... aja, biarin gue nikahin dia dulu, setelah itu kan dia bisa kejar impiannya lagi." Vernon menjelaskan pelan. "Emangnya kenapa sih kalau dia ke luar negeri sekarang?" Via sebenarnya tidak ingin ikut campur, tetapi bagaimanapun juga Vernon adalah teman sedivisinya. "Lo tahu kan gue cuma pacaran. Emang sih gue udah pacaran lumayan lama, tapi kalau dia sampai sekolah ke luar negeri gue nggak bakal jamin hubungan gue sama dia bakal terus lanjut, karena gue yakin entah di gue atau dia pasti bakal ngalamin masa jenuh." Terang Vernon. "LDR-an nggak seburuk itu kok menurut gue." "Emangnya lo pernah?" Via langsung di skakmat oleh Vernon. "Lo enggak tahu ribet nya urusan percintaan Vi, jadi gue saranin lo mendingan langsung kawin aja." Via langsung menabok lengan kanan Vernon dengan keras, "kawin-kawin pala lo!!! Nikah dulu lah!" Semburnya. Vernon terkekeh pelan. "Iya-iya serah lo dah! Udah ya nggak usah bahas gue sama Sindi lagi, mendingan kita balik aja ke Villa." Mereka berdua lalu mulai bangkit. "Eh... Itu Pak Agam bukan, sih?" Via refleks berhenti berjalan lalu menoleh ke arah yang ditunjuk Vernon. Tidak salah lagi itu adalah Bosnya, tetapi yang menjadi perhatian utamanya adalah seseorang yang berada di sebelahnya. Gadis itu .... siapanya Pak Agam? ***** TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD