Ni

1445 Words
"Lo tadi diapain, Vi?" Via yang berjalan ke arah teman-temannya itu sudah hafal, pasti teman-temannya sangat kepo terhadap apa yang terjadi padanya tadi. Mendudukkan dirinya di kursi, Via kemudian menatap Sila, "ya dimarahi habis-habisan lah, emangnya apalagi!" Jawab Via dengan muka keruhnya. "Terus?" Angel nampak penasaran dengan kelanjutannya, Via menatap mereka bergantian sejenak lalu setelahnya tersenyum aneh. "Gue bales dong, Via gituloh HAHAHA!!" Dan Via langsung terpingkal-pingkal dengan ucapannya sendiri, rasanya sangat bahagia bisa membalas kelakuan Bos nya itu. "Woo bocah edan!" Angel yang memiliki aksen medok Jawa itu menampol kepala Via sekali. "Nggak takut dipecat sampeyan?" Tanyanya, bahkan bertatapan dengan Agam saja dia takut. Eh .... temannya ini malah nantangin. Kan gak waras! Via mengibas-ngibaskan tangannya masa bodoh, "salah siapa marahin orang nggak sopan gitu, ya gue bales lah!" Via tidak mau kalah, dirinya nampak menggebu-gebu saat membayangkan perlawanannya terhadap Agam tadi. Via itu sebenarnya tidak benci atau yang bagaimana kepada Agam. Tapi dia itu paling nggak suka kalau diremehin sampai direndahin kayak begitu dan kalau kalian belum tahu, Via ini bukan gadis klemar-klemer kayak lemper. Tidak beberapa lama kemudian terjadi kehebohan di sekitarnya, membuat mereka bertiga mau tidak mau jadi saling bertatapan dengan bingung. "Ada apaan, sih?" Via bertanya reflek yang langsung digelengi kedua temannya itu. Akhirnya karena tidak mendapat jawaban apapun, Via kemudian mencegat salah satu karyawan yang akan keluar ruangan dengan heboh itu, salah satu bagian dari pasukan tawon yang dari tadi berdengung-dengung itu. "Ada apaan sih, Man?" Firman atau yang kerap disapa dengan 'Man' ini berhenti, pria bertubuh tidak terlalu tinggi bahkan tingginya hanya setara dengan Via dan berkacamata tebal itu nampak terganggu dengan cekalan Via. "Ah lo ganggu aja deh, Vi! Emangnya lo nggak tahu, ada Bu Gita di luar." Via langsung melebarkan matanya, nampak tertarik dengan topik ini. "Seriusan nih? Ngapain Bu Gita ada di kantor ini, Man?" "Gue denger-denger dari gosip sih kayaknya Pak Saka bakal nyerahin jabatan ke dia." Via hanya manggut-manggut saja. "Oh oke, gue ikut ah..." lalu dengan santainya Via mendorong Firman yang tangannya masih dicekal tadi sampai terjengkang ke lantai dan berjalan melewatinya begitu saja. Dengan wajah tanpa dosa. Sila malah terbahak-bahak melihatnya dan mengikuti Via yang sudah lebih dulu di depannya. Mungkin yang waras disini hanya Angel, dia menolong Firman sambil mengucapkan ribuan kata maaf. Dua temannya itu benar-benar gak ada otaknya. Tapi meskipun begitu, Via dan Sila itu aslinya bukan gadis yang nakal atau jahat. Perlakuan seperti itu sudah dimaklumi oleh teman-temannya yang mayoritas kebanyakan adalah laki-laki di divisi nya itu. Menurut mereka Via itu sudah seperti Adiknya sendiri dan mereka malah terhibur olehnya, bahkan pernah suatu hari Via itu menjadi sosok yang pendiam dan tidak jahil sama sekali. Itu malah membuat teman-temannya khawatir bukan main, mereka melakukan berbagai usaha untuk mengembalikan Via nya yang hamble dan ceria. Karena prinsip mereka: 'Teman adalah keluarga'. Mereka semua berkumpul di satu tempat yang sama, baik dari divisi yang ada di lantai 1 sampai 6. Ini tidak lain dan tidak bukan karna kedatangan dari seorang wanita yang memakai setelan dress santainya itu. Terdengar decakan kagum dari mulut mereka yang lolos begitu saja. "Wah ... gila sih! Selain Pak Agam yang ganteng banget, Adiknya juga cantik banget, ya." Via menyetujui ucapan Sila barusan, dirinya menatap kagum kearah seorang gadis yang tengah berbincang dengan pak Hendra itu, kalau tidak salah dia adalah sekertaris Saka. Seseorang yang paling disegani disini. "Iya ih, keluarga mereka terbuat dari apa ya? Kok perfect banget gitu?" terdapat nada iri dalam ucapan Via barusan, menurutnya Gita itu benar-benar sosok  yang sangat diidam-idamkan perempuan lain. Memiliki wajah mulus tanpa lubang atau bekas jerawat sedikitpun, berbadan tinggi tanpa lemak yang menggelambir, dan rambut yang menggantung halus bak sutra. "Ah ... tapi untung gue juga cantik banget, jadinya gue nggak kalah sama Bu Gita deh," sambil mengibaskan rambut panjangnya bak iklan shampo, keluarlah sisi songong bin sombong dari Via. Membuat dua temannya mendengus geli. "Iya sih gue akuin lo itu cantik nya bisalah kalau disejajarkan sama Bu Gita, tapi kelakuan lo itu minus-pake-banget!" Angel mengangguk-ngangguk menyetujui ucapan Sila barusan. "-dan Bu Gita itu, lo lihatkan dia kalem, anggun, berwibawa lagi. Jelas lo nggak ada apa-apanya lah kalau dibanding dia!" Imbuh Angel. Mereka berdua seolah sedang berkolaborasi mengejeknya, Via hanya mendengus dan kembali menatap ke depan. Ya... yang diucapkan teman-temannya itu memang benar, dirinya tidak bisa menyangkal. Meskipun memiliki wajah cantik yang tidak kalah sama Bu Gita, tetapi dia itu tidak bisa seanggun Bu Gita. Bahkan mungkin Bu Gita tidak pernah menampol sahabatnya atau tertawa terbahak-bahak sepertinya, kenyataan pahit itu membuat muka Via masam seketika. Wajah cantiknya gak guna! ***** "Kamu terima saja Git, kenapa sih kamu kok ngeyel banget?!" Agam gemas sendiri, Adiknya ini kenapa sih keras kepala sekali. Gita nampak memutar bola mata malas, "udah Gita bilang kan Bang, kalau Gita itu nggak mau kerja disini. Pasti Bapak sama Abang juga tahu kan alasannya!" Gita masih bersikukuh dengan pendiriannya itu. Saat ini mereka tengah berada di ruang meeting. Jajaran manager, notaris, dan kolega bisnis ada di sana. Saka menyandarkan punggungnya, helaan nafas pelan meluncur dari mulutnya begitu saja. "Baik, Bapak bakal turutin permintaan kamu," "Pak!" Agam menoleh protes kearah Bapaknya. "Seriusan, Pak?!" Nada yang terlampau antusias itu membuat beberapa orang yang berada di sana mengernyit bingung, masalahnya Gita akan diberikan jabatan yang bagus di kantor cabang oleh Saka, dirinya akan diberikan tanggung jawab untuk mengelolanya. Tapi Gita malah ingin mandiri, memang keturunan dari Sakaningrat selalu berbeda. Mereka spesial! Dan pembicaraan pun terus berlanjut, Agam hanya mampu terdiam saat Adiknya itu menang darinya. Padahal dia tidak akan tega kalau membiarkan Adiknya itu sampai kesulitan di luar sana, dan Adiknya itu tidak pernah paham. Akhirnya semuanya keluar ruangan tak terkecuali Agam, saat hasil meeting telah ditentukan. Tentu saja Gita menang dengan pendapatnya. Agam berjalan dengan wajah datar seperti biasa dan membuat beberapa wanita menjerit, terkadang Agam berfikir apa yang mereka pikirkan sampai bisa menjerit-jerit. Padahal wajahnya gak mirip genderuwo atau setan lainnya deh. Lalu kenapa mereka sehisteris itu? Tuh kan, mereka itu sangat aneh!! "Kenapa kamu putusin aku?!" Agam berhenti tepat di depan pintu mobilnya, suasana basement yang sunyi membuatnya bisa mendengar dengan jelas suara itu. Agam melebarkan kupingnya saat suara itu terdengar lagi. "Aku ngerasa kamu terlalu baik buat aku." "Cih! Bullshit!!" Agam melangkah mendekati arah suara itu, matanya sedikit melebar saat melihat dua orang yang tengah bercakap itu. "Apakah kalian sebagai kaum pria tidak punya alasan lain? Selalu saja memutuskan wanita dengan alasan terlalu baik!" "Tapi memang benar, kamu terlalu baik buat aku, Vi!" Sang pria mencoba menggenggam tangan Via, namun Via langsung menepisnya cepat. "Sepertinya kamu benar, Roy." Via tersenyum culas. Meskipun tidak bisa dipungkiri matanya sudah berkaca-kaca. "Aku memang terlalu baik, buat kamu yang terlalu b*****t!" Dan selanjutnya Via langsung menampar pipi kanan Roy dan berjalan pergi dari sana. Agam hanya menatap mereka dengan datar, tapi ada keanehan dalam dirinya. Tiba-tiba dirinya berjalan mengikuti Via. Ada apa dengan tubuhnya? Kenapa tidak sinkron dengan otaknya. Bisa Agam lihat Via yang duduk di tangga belakang kantor sambil menyembunyikan wajahnya di lipatan lututnya, namun Agam jelas tahu bahwa wanita itu tengah menangis karena punggungnya bergetar hebat. Agam melangkahkan kakinya mendekati gadis itu, entah kenapa perasaan kasihan menyelimuti hatinya. Seolah sadar akan kedatangan seseorang, Via mengangkat wajahnya, matanya yang sembab itu agak melebar kaget lalu dirinya langsung berdiri menghapus jejak-jejak air mata yang ada di wajahnya dengan cepat. Hidungnya juga sudah memerah seperti tomat. "P-p..pak Agam," ucapnya tersendat-sendat. Agam menatapnya sejenak, keadaan gadis ini benar-benar kacau. Entah dorongan dari mana, tangannya yang tadi berada di saku celana kain nya itu terulur, memberikan sapu tangan kepada Via. Gadis itu jelas kaget mendapat perlakuan seperti ini, namun akhirnya Via menerima sapu tangan itu meski dengan takut-takut. "Kamu kalau mau nangis silakan." Agam masih berbicara dengan nada datarnya, Via menatap Agam sejenak lalu kemudian menggeleng cepat. "Saya nggak pa-pa kok, Pak." Nada suaranya begitu serak, seolah dirinya tengah menahan sesuatu yang sangat berat. Agam menghela nafas sejenak, "tadi saya lihat kamu berantem sama pacar kamu." Via langsung mendongak cepat, seolah tidak menyangka kata itu akan keluar dari mulut Agam, bahkan Agam pun juga heran. Kenapa dia harus repot-repot menjelaskan coba? "Kalau kamu nangis sekarang, saya gak keberatan." Via diam, Agam pun juga sama. Mereka hanya saling bertatapan dengan pikiran masing-masing. "Yasudah kalau kamu tidak mau," karna tidak mendapat balasan Agam berbalik, namun hanya sedetik karena setelahnya Via langsung menggapai tangan besar itu. Keberanian dari mana Via juga tidak tahu. "B-bapak ... hiks te-temenin sa-ya, ya?" matanya sudah mulai berkaca-kaca lagi, wajahnya yang sempat dibereskan tadi pasti akan berantakan lagi. Agam menatapnya tepat di manik mata hazel nya, lalu setelahnya pria itu mengangguk sekali. "Kamu menangis saja, karena hari ini saya akan menjadi sandaran kamu." ****** Tbc. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD