Tiga

1116 Words
Diara berlari kembali menuju dapur dengan napas yang terasa sudak tak beraturan. Sosok nyata? 'Mas Nick' tadi membuat Diara kaget bukan main. "Gila, gila bener-bener gila!" Diara duduk di kursi meja makan sambil memijat kedua pelipis miliknya. "Ini aku mimpi apa gimana!? Bentar bentaarr, bangun dulu Diara!" Diara bergerak memukul pipinya sendiri. "Aw sakit!" ia mengaduh mengusap pipinya sambil melihat lagi kearah pintu kamar yang tertutup dengan rapat. "Jadi aku mesti urus lelaki dewasa yang..." Diara tak bisa melanjutkan ucapannya karena pikirannya dipenuhi oleh bayangan pria yang hanya memakai celana pendek, tanpa atasan yang membuat dirinya bisa melihat bentuk tubuh yang sangat atletis dengan kulit cerah terangnya. Diara menahan napasnya saat coba mengingat wajah si 'Mas Nick' tersebut, namun sayang sekali ia tidak bisa mengingat apapun karena dia tidak berani menatap pria itu karena dirinya yang sangat shock. "Ini nggak bener, aku harus hubungi Pak Adrian. Mungkin dia salah memberi kunci apartemen. Atau ada orang lain hari ini yang sedang menginap disini." Wanita yang menggunakan kaos hitam longgar itu merogoh kantongnya untuk mengambil ponsel dan mencari nama Pak Adrian untuk ditelfon. "Selamat pagi, Pak. Ini saya Diara, maaf mengganggu waktunya pagi pagi." Diara bicara sopan dan berhati-hati karena takut jika ia mengganggu waktu Pak Adrian. "Ya Diara, pagi. Ada apa?" "Eum.., itu pak.., saya mau pastiin sesuatu." Diara tampak kebingungan sambil menggigit bibir bawahnya. "Ya? Apa itu?" "Bapak suruh saya untuk ngurus anak bapak, kan?" "Ya, saya minta kamu untuk bantu urus dan perhatikan kebutuhan Nick, anak saya." Pak Adrian menjawab dengan lancar. "Apa yang bapak maksud anak bapak itu, Mas Nick yang udah dewasa?" Bukannya menjawab, Diara malah mendengar tawa dari arah seberang. "Memangnya kamu pikir ada Nick yang lain?" Diara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, namun karena bingung, "jadi, bapak suruh saya urus orang dewasa?" "Iya Diara, Nick itu anak saya satu-satunya, walaupun umurnya sudah dewasa, tapi saya tetap khawatir karena dia hidup sendiri dan begitu cuek. Saya minta kamu awasi dan bantu dia  di apartemen ya. Tidak banyak, hanya sediakan makanan, bersih-bersih dan pastikan kalau keadaannya baik-baik saja. Dia tidak mempekerjakan siapapun untuk dirinya sendiri, jadi saya memutuskan agar ada seseorang yang bekerja untuknya." Diara kini sudah menggigit kuku ibu jarinya karena gugup, "saya pikir bapak nyuruh saya jagain anak kecil." "Bukankah lebih mudah mengurus orang dewasa?" "Maaf, tapi rasanya canggung sekali, Pak. Kalau saya boleh tahu, apa Mas Nick tahu kalau hari ini saya akan mulai bekerja?" "Sudah tahu kok, kamu tenang saja. Walaupun tampaknya dia tidak begitu hangat dan ramah, nyatanya dia baik kok. Jangan khawatir, kamu tidak akan direpotkan olehnya karena dasarnya dia sangat mandiri." Diara mengusap tengkuknya lagi, "baiklah pak kalau begitu." "Karena kamu bekerja untuk Nick, jadi kamu diskusinya dengan Nick saja ya Diara. Saya tidak bisa beri tahu secara detail apa yang Nick butuhkan." Diara mengangguk walau tahu Pak Adrian tidak akan melihatnya, "baik pak. Terima kasih dan maaf sudah mengganggu waktunya." "Ya Diara. Semangat ya." "Iya pak, sekali lagi terima kasih." Diara berusaha tersenyum sampai panggilan tersebut benar-benar dimatikan. Wanita itu menunjukkan wajah kesal sekaligus bingung, "ya tuhan, aku ga pernah bayangin dapat kerjaan seperti ini. Bekerja untuk orang dewasa jauh lebih berat dari pada bekerja untuk anak kecil." "Lagian tidak keliatannya saja, sepertinya aslinya dia juga sangat tidak ramah. Ya ampun, dia belum mengenalku, tapi aku sudah dimarahi. Ini bukan awal yang baik." Diara lanjut bicara dengan dirinya sendiri karena kecemasan yang ia rasakan. * Mata Diara menatap jam dinding dengan jantung berdebar-debar, ia sudah membersihkan apartemen ini sebisanya karena nyatanya apartemen ini tidak kotor dan terlihat sangat bersih sampai Diara bingung harus melakukan apa. Sudah setengah jam Diara dalam posisi seperti ini menunggu kehadiran Nick keluar dari kamar. Ini termasuk momen paling mendebarkan dalam hidupnya. "Ya ampun, ni orang keluarnya jam berapa? Mataku udah ngantuk parah ini." Diara mengusap matanya karena baru saja ia nyaris tertidur saking bosannya menunggu. "Bertahan Di, bertahaaan!" Diara menyemangati dirinya sendiri sambil memukul pelan pipinya. Dan disaat itu kantuk Diara langsung hilang entah kemana karena suara pintu kamar yang terbuka. Jantung Diara rasanya akan lepas karena berdetak terlalu cepat, badannya kaku menatap pria yang memakai baju kemeja rapi berjalan kearahnya. Satu kata yang kini ada di kepala Diara adalah 'TAMPAN!!" Pria itu berdiri didepan Diara yang masih duduk menatap dirinya dengan wajah melongo, "kamu orang suruhan papa?" "Ouh," Diara akhirnya sadar dan berdiri dengan kepala agak tertunduk karena tidak berani menatap Nick, "perkenalkan mas, nama saya Diara." Nick menghela napas panjang sambil memegang daun telinga kanannya sekilas, "merepotkan saja." "Hah?" Diara tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengan dari Nick. "Rasanya hari ini saya merasa sangat tidak segar karena gangguan orang asing." Nick bicara sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil s**u dan bergerak mengambil gelas. "Maaf mas, saya pikir tadi..." Diara tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena bingung. "Saya sudah siapkan sarapan mas, saya hangatkan sebentar." Diara beralih bergerak untuk menghangatkan lagi roti bakar yang sudah sejak tadi selesai ia buat. "Tidak perlu, saya tidak ingin makan apapun." Nick melarang dan fokus pada ponsel hitamnya sambil meminum s**u. Diara hanya diam, sangat bingung dan rasanya sangat canggung. Ia hanya berdiri dengan perasaan yang campur aduk. "Ehm, mas.., saya kan baru mulai bekerja hari ini dan baru ketemu sama Mas Nick. Jadi bisa mas jelaskan apa saja yang harus saya lakukan?" "Tidak ada." jawab Nick singkat dan padat, bahkan melirik Diara saja tidak. Diara memiringkan kepalanya dengan dahi berkerut, "mm, maksudnya gimana ya, Mas?" Nick meletakkan ponselnya dan menatap Diara dengan tajam, "saya bisa lakukan semua sendiri. Tidak ada yang perlu kamu lakukan untuk saya." Diara diam, tidak menjawab apapun. Ini bukan karena dia bingung harus merespon apa, melainkan saat ini dia mematung karena baru saja bertatapan dan melihat jelas wajah Nick. "Ya tuhan, ada ya manusia cakep dan bening kayak begini? Mana suaranya cakep pula, astaga..." Diara sibuk bicara dan bertanya pada dirinya sendiri. "Hei? Kamu dengar atau tidak?" Nick mengerutkan dahinya karena melihat Diara yang terus diam dengan tatapan yang aneh. "Astaga..," Diara kaget sendiri menyadari dirinya terlalu larut dengan perbincangan dengan dirinya sendiri, sampai tidak bisa mendengarkan apa yang Nick katakan. "Jadi apa yang harus saya lakukan, mas??" Nick menghela napas panjang sambil geleng kepala, dia berjalan tepat kehadapan Diara sambil tegak pinggang yang membuat Diara tanpa sadar menahan napas. "Pertama, jika ingin bekerja, pastikan kamu sadarkan diri dan tidak banyak melamun." Diara langsung malu bukan main dan menunduk, selain karena ucapan Nick, berada di depan pria setampan Nick sungguh membuat pipi Diara memerah. "Saya ga tahu kenapa papa mendadak menyuruh seseorang datang kesini, setidaknya nanti malam tolong buatkan makan malam sebelum saya memikirkan cara agar papa menarik kamu lagi dari sini." Nick berlalu meninggalkan Diara begitu saja. "Hah?!" Diara kaget dan berbalik ingin bicara pada Nick, namun pria itu sudah menghilang begitu saja. "Dia tidak ingin aku bekerja untuknya? Tidak! Ini nggak bisa dibiarkan, aku nggak boleh balik lagi ke kehidupanku dulu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD