Dua

1624 Words
"Nih Shaaa, udah sampai makanannyaaa," Diara membawa beberapa kantong plastik makanan yang sebelumnya telah mereka pesan dari luar.  "Waaah, mantap niih!" Sasha menggosokkan kedua tangannya siap untuk menyantap makanan.  "Makan yang banyak," "Nggak nyangka ya Di, akhirnya keajaiban itu datang juga. Akhirnya lo bisa lepas dari hutang-hutang itu. Kita udah berharap dari lama," ujar Sasha sambil mengunyah makanan dengan lahapnya. "Iya Sha, gua bahkan coba mikir semalaman waktu itu untuk coba mikir ini benar apa nggak. Rasanya itu Sha, kayak memulai hidup baru, d**a gua rasanya lapang banget, selama ini gua hidup dengan d**a yang rasanya diiket kenceng. Bener bener deh, ga ada yang lebih lega dari ini." cerita Diara karena ia merasa di titik penghidupan yang baru. "Syukurlah, sepertinya teman ibu lo itu kaya raya banget ya Di?" "Hm.., kayaknya sih gitu. Karena hutang ayah itu beneran banyak banget dan dia dengan entengnya bayar itu semua. Beruntung ibu gua punya teman sebaik itu. Kayaknya jadi orang kaya itu emang menyenangkan ya, Sha?" Diara mengandai-andai melihat ke langit-langit rumah. Sasha mengangguk dan tertawa, "bener banget Di. Eh bukannya dulu lo juga kaya?" Diara tertawa, "dulu banget mungkin, gua bahkan udah lupa rasanya gimana. Andai aja ayah ga aneh-aneh, hm ah udahlah, percuma juga dibahas masa lalu yang ga penting." "Di, kalau mendadak ayah lo datang lagi, gimana?" Sasha bertanya ragu, tapi ia benar-benar penasaran. "Bahkan ngebayanginnya gua ga bisa Sha. Bagaimanapun dia ayah gua, selain memori buruk, gua juga punya ingatan yang indah dengan ayah seperti anak-anak lain. Untuk sekarang, gua harap ayah ga balik lagi. Tidak masalah jika ia memang ingin menghilang. Gua gak akan marah, Gua ikhlas dengan semua yang telah dia lakuin ke gua dan ibu. Jika dia kembali, itu hanya bikin gua dilema." Sasha paham dengan maksud Diara, dan ia tak ingin lanjut membahas itu semua karena hanya akan menjadi beban pikiran sahabatnya itu. "Eh ngomong-ngomong, lo bakal kerja apasih?" Sasha membuka topik pembicaraan lain. "Katanya sih bantu ngurusin anaknya gitu. Udah gua kasih tahu kan? Kan waktu itu sehabis Pak Adrian balik, gua langsung telfon lo dan ceritain semuanya, saking bahagianya gua terlepas dari tali neraka." "Iya sih Di, gua inget kok. Tapi setelah itu gua kepikiran aja. Lo ngasuh dan jagain anaknya?? Maksudnya?" "Ya anaknya, apalagi?" jawab Diara cuek juga ikut melahap makanannya. "Kan Pak Adrian itu teman ibu lo, kalaupun dia punya anak, harusnya itu segede kita dong ya? Masa sih anaknya masih kecil? Ibu lo juga tergolong menikah di usia yang nggak muda juga, kan?'' Diara yang makan langsung tercekat karena baru sadar dengan ucapan Sasha, "bener juga lo, Sha!? Lah kok gua ga kepikiran sampai sana?  Kok lo nya juga baru ngomong sekarang?" "Ya gua baru ngeh aja. Ga mungkin kan anaknya masih bocah? Atau lo salah denger? Ngurusin cucunya kali??" Diara diam sejenak coba mengingat lagi pembicaraannya dengan Pak Adrian hari itu, "enggak, gua ingat jelas kok kalau Pak Adrian suruh gua jagain anaknya." "Hm..., mungkin anak dari bini mudanya kali Di." Sasha kaget dengan pikirannya sendiri. "Sembarangan lo ngomong Sha!" Diara spontan memukul tangan Sasha. "Bisa jadi kan? Makanya lo disuruh jagain dan dibayar mahal. Bisa aja kan, anak selingkuhannya sama bini muda? Rahasia gitu deeh. Kan orang kaya biasa aja begitu. Kata orang kalau cowok udah kaya, dia bakal butuh banyak cewek, nah kalau cewek udah kaya, seolah nggak butuh cowok." Diara terdiam dengan berbagai kemungkinan di kepalanya, dia yang awalnya percaya diri mendadak gugup. "Sha, kalau beneran begitu, kok gua takut ya?"  "Ngapain lo takut? Kan lo dibayar untuk jagain anaknya doang. Kalau lo yang jadi bini simpanan, nah baru deh lo harusnya takut." Sasha berusaha merespon santai karena bagaimanapun dia yang awalnya berpikiran seperti ini. "Bener juga sih. Kayaknya itu bener deh Sha, soalnya gua sampai disuruh pindah. Berarti kerjaan gua ini bisa dibilang rahasia kan?" "Terserah sih Di, yang penting lo ga terlilit utang lagi dan kerjaan lo ngasilin uang. Toh kerjaan lo ga salah, lo cuma ngerawat anak kan?" Diara mengangguk-angguk, "bener sih. Gua jalanin aja, intinya gua harus mulai hidup baru dengan lebih baik." "Gua seneng liat lo bahagia, walaupun kita ga kerja bareng lagi." Sasha tersenyum kecut. Diara yang mengerti maksud tersirat Sasha langsung memeluk wanita itu dengan erat, "lo bakalan tetap jadi sahabat gua kok. Kita sering-sering ketemu aja." "Okey kalau emang begitu, awas aja lo lupain gua kalau ternyata kerjaan lo disana asik." *** "Oke Mbak, jadi ini apartemen yang dikasih Pak Adrian untuk Mbak Diara. Mbak bisa beres-beres dulu malam ini." seorang pria berusia sekitar lima puluhan mengantar Diara pada sebuah apartemen. Mulut Diara ternganga melihat hunian baru yang disediakan untuk dirinya jauh dari ekspektasi, ini sangat sangat bagus untuk ukuran seorang pengasuh anak.  "Pak Adrian bilang, mbak bisa mulai kerja besok pagi mulai dari persiapkan sarapan Mas Nick, dan beres-beres sedikit. Untuk daftar kerjaannya mungkin nanti mbak bisa bahas langsung sama Mas Nick nya, dan ini kunci apartemen Mas Nick, apartemennya yang tepat berada di depan pintu ini." bapak tersebut menyerahkan kunci dan hendak pamit.  "Eh Pak Satrio, saya boleh nanya nggak?" Diara menghentikan langkah Pak Satrio yang hendak pamit.  "Apa mbak?" "Anaknya Pak Adrian ini tinggal sama siapa ya? Sama ibunya kah??" Pak Satrio menggeleng sambil terkekeh kecil, "ah nggak mbak, Mas Nick tinggal sendiri makanya Pak Adrian nyari orang untuk ngurusin Mas Nick. Mama Mas NIck udah nggak ada mbak." "Sendirian? Nggak papa tinggal sendiran? Kenapa ga sama Pak Adrian?" "Saya nggak tahu juga mbak, tapi setahu saya emang Mas Nick nya suka sendiri. Kalau boleh saya kasih saran, nanti mbak kalau sama Mas Nick baik-baik aja, ikutin aja apa kata dia. Dia sebenarnya baik kok." "Sebenarnya baik?" Diara menggaruk tengkuknya sekilas karena belum begitu paham siapa sebenarnya yang akan ia urus.  "Pak, saya ini jadi pengasuh kan?" akhirnya Diara bertanya terang-terangan.  "Pengasuh? Mas Nick bukan bayi yang harus diasuh mbak, bukannya Pak Adrian cuma nyuruh untuk ngurus dan perhatiin ya?" Diara makin bingung, "jadi sebenarnya Nick ini umur ber..." pertanyaan Diara terhenti karena Pak Satrio harus menerima sebuah telfon yang sepertinya penting.  "Mbak, saya pamit dulu. Ada perintah dari Pak Adrian." Pak Satrio buru-buru undur diri bahkan tanpa membiarkan Diara menjawab ucapannya. Diara hanya bisa terdiam melihat itu semua.  "Daripada memikirkan pekerjaan yang belum jelas, lebih baik aku nikmatin fasilitas ini. Waaah, aku pikir aku akan berakhir di kamar kos-kosan sumpek, ternyata ini malah apartemen mewah yang nggak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku harus ajak Sasha kesini." Diara menutup dan mengunci pintu apartemennya yang tadi dibiarkan terbuka oleh Pak Satrio.  "Terima kasih tuhaaan, akhirnya hidupku yang sebenarnya dimulai! Huaaaaaahh!" Diara tersenyum lebar dan mulai menelusuri setiap sudut apartemen.  *** Diara menarik napas dalam sebelum membuka apartemen yang berada tepat didepannya. Ini adalah hari pertama dia harus mulai bekerja.  "Semangat Di, ini awal dari segalanya. Jangan buat kesalahan dan semoga ini lancar sampai akhir." Diara memejamkan mata dan bicara pada dirinya sendiri hingga akhirnya ia berhasil membuka pintu apartemen tersebut dengan kunci yang kemarin Pak Satrio berikan.  Mata Diara langsung membuka lebar dan mulut menganga besar.  "Bagaimana bisa apartemen yang masih dalam satu lantai bisa terasa sangat berbeda begini!?" Diara kaget bukan main mendapatkan pemandangan apartemen yang tampak sangat mewah ini. Jika dibandingkan dengan apartemennya, ini sangat jauh berbeda. Sangat salah jika kemarin ia berpikir tinggal di apartemen mewah jika dibandingkan dengan apartemen ini.  "Bahkan aku harus bingung kearah mana aku harus berjalan untuk menemukan dapur. Baiklah, lebih baik aku berputar sejenak untuk mengenal tempat yang akan menjadi tempat aku bekerja ini." Diara mulai berjalan dan memperhatikan setiap sudut dan detail apartemen ini.  "Jika dilihat-lihat, satu orang tinggal disini dengan desain tempat tinggal seperti ini. Sudah bisa dipastikan ini bukan anak kecil. Aku harus menjaganya, itu artinya dia sebesar apa ya?" Diara mulai bingung dan berpikir-pikir menuju dapur untuk memasak sarapan untuk orang yang bentukannya entah seperti apa.  Saat hendak membuka kulkas, perhatian Diara tertuju pada sebuag kertas yang tertempel di pintu kulkas.  'Mas Nick hanya butuh sarapan sederhana, dia tidak menyukai minyak berlebih.' Dahi Diara mengerut untuk berpikir, "apa ini sebuah teka-teki? Apa jika aku salah menyediakan makanan akan ada hukuman?" Diara tertawa sendiri karena kebingungannya, bahkan ia bekerja tanpa ada instruksi yang jelas. "Setelah dipikir-pikir, mungkin Mas Nick ini adalah seorang anak SMA. Di jaman sekarang tren hidup mandiri pada anak sekolah menengah sedang tren. Mungkin Pak Adrian membiarkannya namun ia tetap ingin anaknya hidup dengan baik dan teratur. Ya, tidak salah lagi ini pasti anak SMA." Diara yakin dan mulai bergerak memilih bahan makanan yang tersedia lengkap di dalam kulkas.  "Sesuatu yang sederhana, artinya kerjaanku tidak berat. Aku akan buatkan roti bakar dan segelas s**u saja." Diara mulai sibuk dengan menu sarapan sederhananya.  Tidak butuh waktu lama, Diara sudah selesai dengan roti bakar yang masih hangat. Dia meletakkannya di meja makan, dan lanjut hendak menuangkan s**u ke dalam gelas. Namun ia menghentikan pergerakannya saat matanya melihat jam dinding yang Diara yakin berharga mahal, "jika dia anak SMA, bukankah ini artinya dia bisa terlambat jika belum bangun? Ini tugasku juga untuk membangunkan bukan? Baiklaah." Dengan percaya diri Diara melepas apron yang tadi ia pakai dan bergerak menuju kamar yang ia yakin dimana Nick berada.  "Mas? Mas Nick? Mas udah bangun mas? Saatnya siap-siap ke sekolah." Diara mengetuk pintu dan memanggil dengan lembut seperti ibu yang membangunkan anaknya dengan penuh kasih sayang.  Karena tak kunjung ada jawaban, Diara memutuskan untuk mengetuk lebih keras, "Mas Nickolas!? Udah bangun mas???" Dan tepat saat Diara hendak mengetuk lagi, pintu terbuka yang membuat Diara kaget bukan main.  "Kamu siapa berani mengganggu saya hah?" Diara tergagap tidak bisa menjawab apapun karena melihat sosok 'Mas Nick' yang sebelumnya hanya menjadi perkiraan dan bayang bayang saja, kini hadir secara nyata di depan mata. "Saya bangun saat saya ingin bangun." pintu kembali ditutup tanpa ada jawaban apapun dari Diara.  Diara memegang dadanya yang ternyata masih berdegup dengan kencang. Bayangan pria tegap dengan d**a bidang tanpa mengenakan atasan masih tertinggal di otaknya. Diara menelan air ludahnya susah payah dan coba untuk rileks. "Anak SMA sekarang benar-benar luar biasa, bahkan dia memiliki badan yang sangat atletis seperti..." Diara terdiam dan bayangan pria barusan kembali hadir di kepalanya, yang membuatnya tersadar ingin berteriak. "Sial! Mana mungkin itu anak SMA!?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD