Jejak keenam belas

1561 Words
Beberapa tahun kemudian ... Carlos tengah menyesap secangkir kopi, saat ketukan pintu terdengar. Dia menyimpan cangkirnya, kemudian mempersilakan orang itu untuk masuk. “Bagaimana tugasmu? Apa dia sudah ditemukan?” tanya Carlos tanpa basa-basi. Jemmie, anak buah Carlos itu hanya diam sembari menundukkan wajahnya. Badannya gemetar saat Carlos berdiri menghampirinya dengan sebuah pisau belati di tangan. “JAWAB AKU, BODOH!” Sampai pisau itu menempel di pipinya yang dingin lantas beralih ke leher, Jemmie masih diam. Dia memejamkan mata saat Carlos menekan pisau sampai sedikit melukai lehernya. Luka baret mewarnai kulit putih itu. Hampir saja, Carlos menggores tepat di arteri sublavika. “Kwang Zu terlalu cerdik menyembunyikan anaknya. Kami kesulitan mencari jejak,” jawab Jemmie. Carlos melempar pisau ke sembarang arah, dia memukul perut Jemmie sangat keras sampai membuatnya mundur beberapa langkah dan suara batuk keluar begitu saja dari mulutnya “TIDAK BECUS! Mencari seorang anak saja kalian tidak bisa? Anak buah Kwang Zu itu masih hidup. Cari informasi pada mereka! Bagaimana pun caranya kamu harus segera menemukan dia!” Wajah Carlos memerah dengan tangan terkepal kuat, siap melayangkan pukulan lagi pada orang di hadapannya. Bugh! Perut Jemmie kembali menjadi sasaran. Kali ini dia sampai menyentuh lantai karena kerasnya pukulan Carlos. Jemmie bangkit, lantas tetap bersikap seperti sebelumnya. “Ini sudah satu bulan. Jangan sampai tugasmu gagal, Jemmie. Kamu tahu taruhannya adalah nyawamu dan keluarga. Satu kegagalan artinya satu nyawa melayang.” Jemmie tahu betul Carlos tak pernah menerima kegagalan. Namun, otaknya tak bisa menyaingi kepintaran Kwang Zu. Perlu waktu lama untuk menemukan apa yang ia cari jika berhadapan dengan Kwang Zu, apalagi orang yang dicarinya adalah anak semata wayang Kwang Zu. Jemmie masih tak mengeluarkan suara lagi. Sementara Carlos berbalik mengambil sebuah kertas dan memberikannya pada Jemmie. “Cari orang ini! Dia adalah tangan kanan Kwang Zu yang sebenarnya. Tak mungkin dia tidak tahu.” Diambilnya kertas itu lalu membungkuk hormat pada Carlos untuk segera pergi. Sepanjang jalan Jemmie terus memandangi satu lembar foto beserta nama dan beberapa alamat yang dia kira adalah tempat tinggalnya atau tempat yang pernah ditinggalinya. Setelah kepergian Jemmie, Carlos mendapatkan sebuah dari orang yang tak dikenalnya. Karena kesal ponselnya terus berbunyi, Carlos terpaksa mengangkat telepon itu. Jika tidak, maka ketenangannya akan terus terganggu akibat dering ponselnya sendiri. “Ada apa? Siapa ini?” tanyanya dengan nada ketus. “Bagaimana kabarmu, Carlos?” Seseorang di seberang telepon bertanya dengan diakhiri tawa kecil di ujung ucapannya. “Siapa ini? Jangan membuang waktu berhargaku terbuang begitu saja!” “Kamu lupa denganku, Carlos? Coba ingat suaraku ini.” “Cih, aku tidak ada waktu,” jawabnya. Carlos memutuskan sambungan telepon itu sepihak. Tak lama ponselnya kembali berbunyi, Carlos membuang nafas kasar sebelum menjawab telepon. “Katakan apa maumu?” Suara tawa terdengar lagi dari seberang telepon. “Ini yang kutunggu, Carlos. Simpel saja, aku ingin kamu memberiku senjata terbarumu itu. Sebagai imbalannya, akan kuberikan informasi mengenai orang yang sedang kamu cari. Bagaimana? Menguntungkan bukan?” Carlos terdiam sejenak memikirkan ucapan tadi. Memang tawaran menarik untuk saat ini. Sedikit informasi sangat berharga baginya sekarang. “Baiklah, jadwalkan pertemuan itu. Kirimkan saja alamat dan waktunya padaku!” Untuk yang ke sekian kalinya tawa itu keluar dari partner bicaranya. Carlos masih tak tahu siapa orang itu? Namun, dia tetap menerima tawarannya tanpa berpikir dua kali karena sudah muak dengan kerja lambat anak buahnya. Dengan bantuan informasi tersebut, Carlos berharap dapat membantu kinerja anak buahnya menjadi lebih cepat. Notifikasi pesan masuk muncul tak lama setelah sambungan telepon terputus. Sesegera mungkin Carlos membukanya. Carlos mengambil senjata yang diminta orang tersebut dari meja khusus tempat menyimpan senjata-senjata favoritnya. Dia lalu keluar menemui bodyguard yang selalu siaga di depan pintu. “Berikan ini pada Jemmie dan katakan padanya untuk menemui seseorang di alamat yang sudah kirim ke ponselnya.” “Baik.” Setelah senjata itu diterima, Jemmie segera melesat ke tempat tujuan bersama beberapa orang lain. Jemmie memarkirkan mobilnya di sebuah gedung tua di pinggir kota. Dia berjalan paling depan memimpin anak buah yang ditugaskan menemaninya. Diangkat satu tangannya, mengisyaratkan mereka untuk berhenti dan membiarkan Jemmie masuk sendirian. Dihampirinya meja bundar berwarna hitam yang di letakkan di tengah-tengah ruangan. Wajahnya celingukan mencari seseorang. Merasa tidak dapat menemukannya, Jemmie menekan sebuah nomor yang dikirim oleh Carlos. “Senjata yang kamu inginkan sudah aku bawa. Tunjukkan dirimu sekarang,” ucapnya dingin Lawan bicaranya terkekeh lalu berkata, “sabar, Bung. Lihat ke samping kananmu!” Jemmie menurut. Tampak seorang pria seperti seusianya tengah berdiri di depan pintu samping itu. Jemmie tak dapat mengenalinya karena kain penutup di wajahnya. Direbutnya senjata di tangan Jemmie secara paksa dan meneliti setiap inci senjata yang didapatkan, membiarkan Jemmie menggeram marah karena merasa terlalu membuang-buang waktu. “Hey, beritahu informasi yang kamu maksud.” “Santai, Bung. Aku perlu mengecek senjata ini dengan teliti.” Amarah Jemmie sudah di puncak. DIa menarik kerah jaket pria di hadapannya sekuat tenaga. “Katakan! Atau kamu kuhabisi.” “Baiklah, baiklah. Aku akan memberitahumu,” putusnya kemudian. Bukannya bicara, dia malah menelepon seseorang. “Barang sudah oke,” ucapnya lalu panggilan itu terputus. Tak lama suara notifikasi ponsel Jemmie berbunyi. “Nah, itu pasti informasinya. Silakan cek, terima kasih untuk senjatanya,” ujarnya kemudian pergi meninggalkan Jemmie yang fokus pada ponselnya. Terlihat seorang pria tengah menggendong anak kecil berusia kisaran dua tahun. Jemmie tak dapat melihat wajah pria dewasa di dalam foto tersebut karena terhalang oleh anak dalam gendongannya. Bahkan wajah sang anak sama sekali tak dapat terlihat sebab sedang membelakangi kamera. “Itu adalah anak Lee Kwang Zu bersama dengan ayah angkatnya. Satu informasi berharga bukan? Jangan sampai anak itu lebih dulu membunuh kalian yang sudah menghabisi ayahnya,” ucapnya. Jemmie menggeram, dia tahu ada sedikit ejekan di kalimat tersebut. Dia segera memalingkan muka tapi orang yang di hadapannya tadi sudah tak terlihat. Buru-buru Jemmie berlari ke luar gedung, tetapi tak ada siapa pun selain anak buahnya. Bodohnya Jemmie karena langsung berlari keluar saat orang tersebut masih berada di dalam gedung. Rasa marah sudah membuat Jemmie dengan mudahnya bisa dibodohi. Dia pergi meninggalkan tempat itu dalam keadaan marah. Ini adalah suatu penghinaan, seseorang sudah berusaha membohongi dan memanfaatkan Carlos, sampai satu senjata paling berharga hilang. Hanya demi sebuah informasi yang tidak begitu membantu, Carlos bahkan rela memberikan senjata miliknya. Mobil mulai keluar dari pekarangan gedung. Saat perjalanan pulang, Jemmie menyadari mobil lain keluar dari tempat yang sama. “Putar arah mobil dan ikuti mobil hitam itu,” teriak Jemmie mengagetkan sang sopir. Selagi mobil masih berputar arah, Jemmie memainkan ponselnya untuk menyuruh seseorang melaporkan informasi yang didapatnya pada sang Bos. “Aku sudah mengirimmu pesan. Laporkan itu pada Carlos, aku masih ada urusan lain.” Rupanya mobil dikejar Jemmie menyadari bahwa ada mobil lain mengikutinya. Jemmie menyuruh sopir lebih cepat lagi agar tidak kehilangan jejak. Mobil mulai memasuki jalanan ramai. Beruntung mata Jemmie sangat jeli, mobil itu masih terpantau olehnya. Tujuan Jemmie sekarang adalah ingin mengetahui b******n mana yang sudah mengambil kesempatan untuk mendapatkan senjata langka itu dengan memberikan informasi tidak lengkap. Sementara Jemmie masih mengejar mobil yang diduga adalah orang yang sama dengan saat di gedung tua, orang suruhan Jemmie tengah berdiri di depan pintu ruangan bosnya menunggu dipersilahkan masuk. Pria itu masuk segera setelah pintu terbuka. Diberikannya satu lembar foto kiriman Jemmie yang sekarang sudah dicetak. “Menurut Jemmie, anak Kwang Zu sudah dipastikan masih hidup, tetapi keberadaannya masih tidak diketahui, hanya foto itu yang kita dapat,” lapornya. Brak! Gebrakan meja membuat Pria berjas hitam itu sedikit tersentak. Seseorang yang membuat suasana ruangan menjadi tegang itu bangkit dari duduknya. Wajahnya memancarkan kilatan amarah yang sangat kentara. DIa berjalan penuh emosi ke arah anak buahnya, tangannya mengepal kuat siap melayangkan pukulan. “Sial, aku sudah ditipu.” Carlos berhenti di deretan senjata yang terpajang rapi di dinding sebelah kanan ruang pribadinya. Tangannya mengambil sebuah pisau lalu kembali menghampiri anak buahnya. “Cari siapa dia, kita sudah dapat foto meski tak terlihat wajah, ciri-ciri fisik orang difoto sangat jelas. Manfaatkan itu dengan baik atau pisau kesayanganku akan membuat kalian menyusul Kwang Zu.” Anak buahnya hanya diam mematung ketika Carlos menempelkan pisau itu di pipi. “Baik, B-bos. Aku akan mencari anak itu dan membawanya ke hadapanmu,” gugupnya. “Secepat mungkin! Aku ingin anak itu segera lenyap.” Ucapan penuh amarah Carlos membuat anak buahnya, sang Informan, hanya bisa mengangguk. Sang Informan ini adalah seseorang yang ditugaskan untuk mengamati setiap pergerakan musuh. Sekarang tugasnya dan Jemmie semakin rumit. Berbagai macam cara sebelumnya saja belum menunjukkan hasil, sekarang harus menemukan anak Kwang Zu dengan memanfaatkan satu buah foto. Sejak Carlos berambisi menghancurkan Kwang Zu sampai titik darah penghabisan. Ambisi itu muncul kembali saat tahu Kwang Zu masih memiliki anak yang sampai sekarang keberadaannya masih dipertanyakan. DIa merasa kecolongan ketika mengetahui informasi ini dari seseorang yang ternyata adalah musuhnya. Carlos sudah membayar mahal untuk informasi penting mengenai Kwang Zu, tetapi tetap harus menelan pil pahit saat musuhnya itu hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan sebuah senjata ilegal andalan Carlos yang baru dikirim beberapa hari sebelumnya. Musuhnya itu berhasil membawa pulang senjata, sementara Carlos marah ketika hanya mendapatkan informasi mengenai anak Kwang Zu masih hidup tanpa tahu keberadaan jelasnya. Sama saja menambah daftar pekerjaan Carlos, tetapi demi ambisinya Carlos rela menghabiskan sisa waktunya hanya untuk mencari dan menghabiskan keturunan Lee Kwang Zu. Terpenting baginya adalah nyawanya selamat dan bisa berkuasa di dunia mafia. Sejak dulu Carlos selalu mengincar posisi ketua dan tak heran jika seseorang memberikan tatapan permusuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD