Jejak ketujuh

1698 Words
15 tahun berlalu sudah semenjak kematian Kwang Zu. Tak ada bahaya yang datang, tetapi sebuah ketegangan terjadi berkali-kali. Itu semua dibuat oleh Lee Zin. Pemuda itu jadi liar "Ayah sudah berapa kali berbicara nggak boleh ikutan balapan! Belajar yang giat Zin, kau sudah remaja. Kau ingin menjadi seorang jagoan? Kau membuat dirimu dalam bahaya Zin, butuh berapa lama kau mengerti ucapan ayah!?" hardik Daichi Daichi menatap jengah Lee Zin yang terdiam santai seperti tidak memiliki masalah apa pun dengannya. Ia hanya memainkan kunci motor dengan memutar-mutarnya malas, tak ada raut wajah takut atau pun menyesal karena telah berbuat salah. Itu ia tunjukan pada Daichi. Membuat Daichi geram, dengan kesal ia merebut kunci motor yang ada di tangan Lee Zin hingga membuatnya baru kesal. "Apa yang ingin kau lakukan ayah!?" tanya Lee Zin geram. Daichi menghembuskan nafas gusar, "Baru kau berbicara? Setelah ayah berbicara panjang lebar baru kau menjawabnya? Ck, untuk sementara waktu kunci motor ini ayah sita, kau tidak bisa memakainya sampai kau meminta maaf dan berjanji tidak akan balapan lagi pada ayah," tuturnya. Bukannya merasa bersalah dan segera meminta maaf, Lee Zin malah membentak sang ayah dan menyebutkan jika Daichi mengambil kebahagiaannya. "Ayah jahat! Ayah sudah merebut kebahagiaan Zin, ayah merebutnya! Zin benci ayah." Setelah mengucapkan hal itu Zin bergegas pergi dari tempatnya. Saat di ambang pintu, Zin berkata sesuatu, "Terserah ayah bagaimana, Zin nggak akan pernah minta maaf untuk kesalahan yang Zin lakukan," ucapnya kemudian pergi keluar. Daichi terduduk lemas, kepalanya pusing kala Zin tumbuh menjadi anak nakal. Sejak kecil, Zin selalu membantah perkataannya, lagi dan lagi ia harus datang ke sekolah karena ulah yang dilakukan Zin membuat semua orang geram. Sudah dipindahkan dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Daichi sudah melakukan semuanya agar Zin bisa tumbuh dengan baik dan juga aman. Memang Zin aman dari segala bahaya sekarang, tetapi kelakuan Zin yang membuat Daichi khawatir. Anak itu seolah tidak pernah memikirkan masa depannya Zin sungguh sangat nakal, ia sering berkelahi memperebutkan hal yang tak penting. Bahkan pernah ia dibawa ke rumah sakit karena berkelahi dengan kakak kelasnya sendiri. Waktu itu tulang punggungnya patah sampai Zin harus dirawat inap di rumah sakit beberapa hari, tetapi itu tak menjadi Zin lemah dan menyadari kesalahannya. Zin tak menyesal dengan kondisi tulang punggungnya yang patah. Justru ia senang karena ini adalah bukti dari keberaniannya. Setelah kejadian itu, Zin menjadi lebih nekat dari sebelumnya. Bahkan ia tak segan-segan berniat membunuh seseorang yang membuatnya kesal di usianya yang baru menginjak 15 tahun. Hampir saja kala itu ia membunuh kakak kelasnya yang membuatnya harus dirawat inap di rumah sakit dengan sebilah kayu di gudang sekolahnya. Jika saja Daichi tidak curiga dengan sikap Zin yang tiba-tiba menjadi tenang mungkin sekarang Zin sudah berada di penjara anak. Selamanya tidak bisa terbebas dari bayang kelam Daichi datang ke sekolah Zin karena surat panggilan untuk orang tua. Saat itu, ketika Daichi melewati lorong kelas, ia mendengar sebuah suara benda yang dipukul-pukul. Awalnya ia mengira jika suara itu berasal dari anak-anak yang tengah bermain, tetapi kala mengingat Zin membuatnya menjadi khawatir. Daichi berpikir jika Zin yang disiksa, tetapi kenyataannya adalah kebalikan dari pikiran itu. Zin nampak dengan kejam memukul kakak kelasnya yang sudah terbaring lemas di lantai dan meringis meminta ampun. Ia segera menghentikan Zin lalu membawanya pergi. Tak lupa Daichi menelpon ambulance untuk membawa kakak kelasnya yang hampir sekarat karena ulah Zin. Hal yang mengejutkan adalah, saat Zin dinasehati oleh Daichi. Zin malah mengelak dengan mengatakan itu adalah hasil dari perbuatan kakak kelasnya sendiri yang telah membuatnya berada di rumah sakit untuk beberapa hari. Dan saatnya ia membelas perbuatannya Bukannya merasa bersalah lalu meminta maaf, Zin malah menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya sama sekali tidak bersalah. Daichi memijit pelipisnya pelan yang terasa pusing kala mengingat kenakalan Zin. Ia terdiam. Berpikir, sejak kapan Zin menjadi begitu kejam dan nakal. Ia tak memahami apa yang diinginkan anak itu, selama ini Daichi selalu menuruti keinginan Zin tak pernah sekali pun menolak atau menundanya lama. Tetapi entah apa yang datang dan hinggap di kepala Zin hingga membuatnya membelok dari jalur Daichi. Hatinya sedih saat mengingat semua itu, Daichi hanya meringis dan terdiam kembali. *** Zin berjalan keluar dengan penuh emosi, tangannya mengepal kuat menahan segala gemuruh api yang tengah berkobar semakin besar di hati dan kepalanya. Saat ia akan pergi, Zin melihat saudaranya sendiri tengah tersenyum mengejek. Eiji menampilkan senyuman yang sangat membuat Zin bertambah kesal. "Huuu siapa suruh nggak nurut sama ayah, haha! Rasain itu, Zin," ejek Eiji yang tidak paham akibatnya "Pergilah anak kecil! Jika tak ingin aku kurung di gudang lagi!" Zin menatap tajam wajah Eiji dengan kemurkaan Bukannya takut, Eiji malah menampilkan senyuman itu lagi sambil tertawa senang. Ia menjulurkan lidahnya ke arah Zin, seraya mengejeknya. Zin sudah kehabisan kesabaran, dia menampar Eiji cukup keras hingga membuatnya tersungkur ke lantai. Eiji menatap Zin, kemudian ia menangis sejadi-jadinya memanggil sang ayah. Daichi yang tengah berada di dalam ruang kerjanya segera keluar dan melihat Eiji yang terduduk di lantai dengan keadaan pipi yang bengkak dengan ingus yang keluar dari hidungnya dan tangisan pecah dikeluarkan Eiji. "Apa yang kau lakukan Zin? Kenapa saudaramu seperti ini?" tanya Daichi menatap Zin yang tampak puas dan santai melihat Eiji tersungkur menangis di lantai. "Huhuhu, ayah Zin sudah menamparku, ayah marahi dia," ucap Eiji mengadu pada Daichi. Daichi mendekati Eiji, setelah dekat ia membantu Eiji berdiri dan merangkulnya. Sesekali Daichi menepuk pelan bahu Eiji agar berhenti menangis, Zin yang melihatnya tersenyum smirk. Zin merasa seperti berada di tengah-tengah keharmonisan antara ayah dan anaknya. Sedang ia hanya penganggu. Padahalkan.., ia juga bagian dari keluarga itu Ia membenci hal itu, "Sepertinya aku menganggu kalian, aku akan segera pergi dari sini," ucap Zin kemudian berjalan pergi. Tetapi Daichi segera menghalanginya, dan menyuruh Zin untuk tetap diam di tempatnya saat ia akan mengantarkan Eiji ke kamarnya. Zin hanya bisa meringis, menahan segala emosi kesal yang kian bertambah besar ketika melihat sang ayah begitu memperhatikan Eiji seolah-olah perhatian hanya tertuju padanya Ketika selesai mengantarkan Eiji ke kamar, Daichi bergegas mendekati Zin yang tengah terdiam datar menatap lurus ke depan tanpa melirik ke samping ke arahnya. "Apa yang terjadi denganmu Zin? Kenapa kau menampar Eiji yang tidak bersalah? Kau merasa kesal karena tadi ayah memarahimu? Kalau begitu tampar ayah, tampar ayah bukan Eiji," ujar Daichi. Zin hanya menatap ke arah lain, malas menatap Daichi. Dan Daichi yang melihat itu menjadi kesal, ia langsung terduduk di lantai setengah berdiri kemudian meraih tangan Zin dan menampar-nampar tangan kecil itu ke wajahnya. Hal itu membuat Zin terkejut, ia menatap sang ayah yang dengan suka rela membiarkan wajahnya yang ditampar-tampar seperti itu. Segera ia mengambil tangannya, "Apa yang ayah lakukan? Apa ayah sudah gila?" tanya Zin tak percaya dengan perlakuan Daichi. "Bukankah kau ingin membalaskan dendam karena kesal pada ayah? Kalau begitu tampar lagi ayah," balas Daichi tak mau mengalah dan bergegas mengambil kembali tangan putranya itu. Tetapi, Zin segera membantah menolaknya keras. "Bukan ini yang aku mau," ucapnya kemudian berlari keluar meninggalkan Daichi yang terduduk pasrah. Zin berjalan pergi ke taman kompleks rumahnya, tempat itu yang selalu menjadi tempat curhatnya sendiri. Sejak kecil saat Zin merasa sedih dan sakit hati, ia akan berlari ke taman ini. Sesampainya di taman, Zin masuk ke dalam sebuah tempat bermain yang membentuk lubang besar di mana sering digunakan untuk bersembunyi. Ingin sekali Zin menangis, ia tak kuat jika harus begini terus menerus. Sikap ayahnya sangat membuatnya kesal dan sakit hati. Bagaimana tidak? Sejak kecil Daichi selalu bersikap tidak adil padanya. Ia kerap lebih memperhatikan Eiji daripada dirinya sendiri. Zin merasa jika Daichi tidak menyayanginya. Apa pun yang Eiji rasakan selalu membuat Daichi menjadi khawatir. Dan hal yang membuatnya makin kesal adalah, jika itu terjadi padanya sendiri Daichi malah menasehatinya untuk berhati-hati. Ia merasa sang ayah sangat tidak berlaku adil terhadap ia dan Eiji. Seperti ada tangga perbedaan di antara keduanya. Zin mengeluhkan jika ia juga anak dari Daichi, lalu kenapa Daichi tidak memperhatikannya lebih. Memang semua yang Zin inginkan dikabulkan oleh sang ayah, tetapi Zin masih belum merasa cukup. Ia tidak ingin semua fasilitas itu, ia hanya ingin kasih sayang dari ayahnya sendiri, tidak lebih. Semarah-marahnya ia pada Daichi, Zin masih tetap menyayanginya lebih dari siapa pun. Daichi dulu pernah memberitahu Zin jika Eiji itu istimewa, ia tak akan bisa seperti Zin. Dan benar saja, Eiji bahkan mendapatkan kasih sayang penuh dari ayahnya. Jujur saja, saat Daichi menampar wajahnya menggunakan tangan Zin, ia sangat terkejut. Tak tega melihat ayahnya sendiri seperti itu, tetapi kebenciannya terhadap rasa tidak adil itu yang membuat Zin seperti ini. Ia tak suka jika harus selalu mengalah untuk Eiji, bahkan saudaranya kerap sering sekali menghinanya. Tak tahu apa yang dipikirkan Daichi, ia selalu membela Eiji bagaimanapun posisinya, tidak peduli dia salah atau tidak. Zin meninju ke depan, geram kala mengingat masa suramnya tadi. Ia seperti seorang yang bercelak. sikap Eiji yang kekanak-kanakan selalu diampuni oleh sang ayah, tetapi itu tidak berlaku bagi dirinya. Apakah Zin harus mati terlebih dahulu agar bisa mendapat perhatian dari ayahnya sendiri? Hal itulah yang selalu dipikirkan Zin ketika membuat masalah dengan orang lain. Bahkan, saat dia dengan sadis memukul kakak kelasnya waktu itu karena kakak kelasnya sendiri yang menantangnya untuk bertanding. Zin awalnya tidak peduli, tetapi kakak kelasnya mendesak dan menghina dirinya dengan panggilan 'pengecut' itu yang membuat Zin menjadi emosional dan menghajar habis-habisan kakak kelasnya tadi. Tetapi saat menceritakan semuanya pada ayahnya, Zin malah dapat nasehat dan amarah Daichi. Bukankah ayahnya sendiri yang selalu bilang jangan biarkan siapa pun menindas kita? Lalu mengapa saat dia membela ayahnya malah memarahinya? Zin selalu bertanya apa yang salah pada dirinya? Mengapa ia selalu mendapatkan amukan dari ayahnya sedangkan Eiji selalu mendapatkan kasih sayang? Menurutnya Eiji sangatlah bodoh, di usia remajanya ini ia masih bersikap seperti seorang anak kecil. Sikapnya itu pasti sengaja dilakukan Eiji agar ia lebih mendapatkan perhatian dari ayahnya, itu yang selalu dipikirkan Zin. Zin menundukkan kepalanya, menarik napas panjang dengan berat. Hari-harinya seperti ini, mungkin ini sudah menjadi takdirnya. Mengeluh pun seperti tidak ada gunanya. Hanya membuang-buang waktu saja. Ia menatap ke luar dan melihat seorang pria paruh baya tengah mengobrol dengan anak seumuran dengannya. Mereka tampak bahagia, keduanya saling tertawa dan bercanda. Iri sekali Zin melihatnya, rasanya ia ingin bertukar posisi untuk sesaat agar bisa merasakan kasih sayang yang selalu Zin dambakan sejak kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD