Jejak Kedelapan

1595 Words
Terlihat dua orang anak kecil yang tengah berlari mendekati seorang pria paruh baya. Setelah dekat hanya satu yang digendong oleh pria paruh baya itu, dan satu lagi hanya dipeluk biasa lalu berlalu pergi meninggalkannya. "Ayah, aku tadi bermain menjadi super hero dengan Zin, aku bisa mengeluarkan kekuatan ayah," ujar anak kecil yang digendong oleh ayahnya. Sang ayah tersenyum mendengar penuturannya tadi, "Oh iya? Seperti apa kekuatannya?" tanyanya penasaran. Ia berjalan ke arah sofa, lantas duduk di sana setelah sampai. Ia melihat anaknya satu lagi tengah terdiam di depan pintu, "Zin, kemarilah. Ayah membelikan mainan untukmu," ucapnya membuat Zin meloncat kegirangan dengan giginya yang tertera saking senangnya Zin segera bergegas mendekati ayahnya lalu dibukanya sebuah kantung dengan tidak sabar. Setelah dibuka, ia melihat sebuah mainan mobil yang cukup besar. Ia melirik sang ayah yang tengah tersenyum menatapnya, "Ah terima kasih ayah, Zin sayang ayah!" pekiknya senang lalu memeluk ayahnya. "Ayah tidak membelikan untuk Eiji?" tanya anak kecil yang masih duduk manis di pangkuan ayahnya. "Tentu saja beli," balas ayahnya semangat lalu mengeluarkan satu kantung lagi dan menyimpannya di meja. Eiji segera turun untuk melihatnya, ia lalu membukanya dan alangkah senangnya ia ketika mendapatkan mainan mobil-mobilan juga. "Terima kasih ayah!" pekiknya senang juga. Eiji menatap mainan Zin, muncul rasa tidak puas di benaknya. "Ayah! Eiji juga ingin mobil-mobilan milik Zin, aku inginkan itu sekarang juga!" Eiji memang sering merengek hal-hal remeh temeh seperti ini. Tetapi ini meyakiti Zin Zin membulatkan matanya terkejut, "Tidak! Ini milik Zin, ayah memberinya pada Zin bukan Eiji!" bantahnya menolak. Eiji merengek tidak jelas, ia menghentak-hentakkan kakinya kesal dan sesekali menjerit meminta mobil-mobilan milik Zin. Zin hanya menutup telinganya tidak peduli, ia malah mengejek Eiji dengan menjulurkan lidah membuat Eiji semakin brutal. Ia makin menjadi-jadi menangis merengek pada ayahnya. "Ya sudah, Eiji ingin mobil-mobilan ini bukan? Kalau begitu ambillah. Sudah jangan menangis lagi ya?" Ayahnya memberi mainan mobil-mobilan Zin pada Eiji agar anaknya puas. Zin merenggut, "Ayah tapi,'kan itu mainan Zin, kenapa ayah beri pada Eiji? Lalu Zin akan memainkan apa?" tanyanya kecewa. "Kita akan membelinya nanti ya sayang, Zin mengalah dulu sama Eiji ya, ia kan adik Zin. Zin harus bisa berbagi dan menyayanginya," balas ayahnya sambil mengusap lembut kepala Zin. Zin hanya bisa terdiam dan menuruti apa yang ayahnya pinta. Walaupun ia ingin sekali bermain mainan itu. Sudah cukup lama ia harus menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah. Zin selalu menurut ketika ayahnya meminta untuk mengalah pada Eiji. "Baiklah, Eiji ini untukmu," ujar Zin memberikan mainannya pada Eiji. Ia tidak mau karena sebuah mainan hubungan persaudaraannya dengan Eiji hancur. Eiji segera merebut mainan itu, ia tampak senang dan puas. Eiji memeluk ayahnya sekilas lalu pergi keluar untuk mencoba mainan barunya. Sang ayah menatap senang putranya yang tengah bermain asyik memainkan mainan barunya. Sampai suara seseorang berhasil mengalihkan perhatiannya. "Ayah, kenapa Zin selalu mengalah pada Eiji? Bukankah Zin dengan Eiji sebaya? Tapi kenapa Zin yang harus mengalah?" tanya Zin parau dengan menundukan kepalanya tanda ia tengah bersedih sekarang. "Zin kemarilah," panggil ayahnya lalu Zin menurut. Ia mendekati sang ayah yang langsung membelai lembut punggungnya. "Zin, dengarkan ayah, anak ayah harus belajar dewasa dari sekarang, Eiji berbeda dengan Zin. Kelak saat kalian dewasa Zin harus bisa menjaga Eiji, jangan tinggalkan dia. Zin mengerti?" Zin terdiam sesaat sebelum mengangguk paham, ia menghela napas. Selalu saja seperti ini, setiap Eiji merebut semua mainan Zin ia harus bersabar. Dan saat itu pula sang ayah malah menyuruhnya untuk menuruti keinginan Eiji. Apapun itu tanpa membantah sedikit pun. Ia merasa tidak adil, mengapa harus Zin saja yang dianggap dewasa? Memangnya ada dengan Eiji? Kenapa ia berbeda dengan Eiji? Apa yang membedakannya? Terlalu banyak pertanyaan yang hinggap di kepala kecil Zin. "Baiklah ayah, Zin akan mengikuti perkataan ayah," balas Zin menurut lalu pamit pergi untuk bermain dengan Eiji. Ia sama sekali tak membantah, menurutnya jika Eiji bahagia Zin juga akan bahagia. Sama halnya dengan sang ayah yang berkorban demi kebahagiaan Zin dan Eiji, pikir Zin. Zin mendekati Eiji, ia lebih memilih untuk memakai mainan lama dan menonton Eiji yang teriak-teriak senang menirukan sebuah mobil balapan berlarian di taman mengikuti mobil mainannya. Ia mengambil sebuah pistol air, Zin memikirkan sesuatu. Dia akan menjadi polisi yang akan menilang Eiji sang pembalap. "Eiji!" pekik Zin membuat sang pemilik nama menoleh. "Kenapa Zin?" tanya Eiji bingung mendekati Zin yang tersenyum senang. "Bagaimana kalau kita bermain kejar pembalap? Kau yang jadi pembalap mobil, aku menjadi polisi yang mengejarmu. Kau setuju?" tanya Zin balik bernegoisasi. Eiji terdiam sesaat sebelum mengangguk setuju. Keduanya lantas bermain kejar-kejaran dengan mainannya masing-masing. Zin memegang pistol air, sesekali ia menembakkan air pada Eiji. Berbeda dengan Eiji yang tertawa sambil menghindar tembakan air dari Zin. Terlihat seorang pria paruh baya menatap senang kedua anaknya. Harapan yang selalu ia lambungkan adalah dirinya yang tak berat sebelah dalam mengurus dan mendidik kedua anaknya. Ia adalah Daichi, anak buah dari Kwang Zu. Daichi tersenyum, "Tuan, aku senang anakmu Zin tumbuh menjadi anak baik. Ia sangat pengertian seperti tuan, Zin juga sangat baik terhadap Eiji dan yang lain seperti nyonya." Ia menghela napas ketika mengingat pengalaman buruk itu, di mana Kwang Zu harus meregang nyawa karena penolakannya. "Andai tuan masih ada, sepertinya tuan akan senang melihat perkembangan Zin. Aku akan melakukan apa yang tuan inginkan, aku akan merawat Zin sampai dia tak akan pernah merasa kehilangan sosok seorang ayah, aku janji," tutur Daichi sendiri yang tak mungkin ada yang mendengarnya. Daichi sudah bertekad untuk itu, ketika tengah melamun telepon rumah berdering dan berhasil mengagetkan Daichi, segera ia mendekat lalu mengobrol dengan seseorang di sebrang telepon. Ketika tengah asyik menelpon, Daichi mendengar suara pekikan dari kedua anaknya di taman luar. Jantungnya berdegup dengan kencang, rasa khawatir melanda hati san pikiran Daichi. Ia meminta izin untuk menutup teleponnya, setelah selesai Daichi bergegas keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Sesampainya di taman, Daichi melihat kedua anaknya yang tengah terduduk di tanah sambil menangis. Kaki besarnya berlari mendekat, "Apa yang terjadi?" tanya Daichi menatap Eiji dan Zin bergantian. "Ayah, Zin sudah memperingati Eiji untuk berhenti, tetapi ia tak mau menurut. Malah sekarang Eiji terjatuh bersamaku ke tanah," jelas Zin yang meringis sakit memegang kakinya. Daichi menarik napas lega, ia pikir apa tadi. Takutnya seseorang dari masa lalu Kwang Zu datang dan menghancurkan semuanya. Setakut itu ia pada dendam yang disimpan oleh bos mafia Kwang Zu. "Eiji kau baik-baik saja?" tanya Daichi lembut menatap Eiji yang menangis kesakitan memegang lutunya yang berdarah karena gesekan tanah tadi. "Ayah sakit ayah, hiks sakit," rengek Eiji membuka tangannya meminta digendong oleh sang ayah. Daichi segera menangkap tubuh Eiji lalu menggendongnya di pangkuannya sendiri. Kedua matanya melirik ke arah Zin yang sedari terdiam menundukan kepala. "Zin kemarilah," panggil Daichi. Zin terdiam tak menjawab, hatinya meringis melihat ayahnya lebih mengkhawatirkan Eiji daripada dirinya. Padahal sebelumnya saat Eiji akan jatuh, Zin menariknya dan maju ke depan membuat ia yang lebih dulu jatuh. "Zin, kemarilah," panggil Daichi kembali membuat Zin tersadar dari lamunannya. Ia menatap Daichi, tampak kedua matanya yang berkaca-kaca menahan isak tangis yang hampir keluar. Zin menggeleng, "Aku tidak apa-apa ayah, ayah urus saja Eiji. Zin tidak apa," balasnya parau. Sang ayah mengangguk, ia mengusap lembut kepala Zin. "Anak ayah kuat, kalau begitu ayah pergi ke dalam ya. Eiji sepertinya harus diobati luka di lutut kirinya, Zin bisa membantu ayah? Membereskan mainan ini?" tanya Daichi lembut. Dengan berat hati Zin mengangguk, dan membiarkan Daichi pergi dengan Eiji tanpa dirinya. Zin perlahan berjalan dengan menyeret kakinya. Sesekali bibir kecilnya meringis karena dirasa kaki kanan yang sedikit kram. Perlahan namun pasti Zin membereskan mainannya, hampir sepuluh menit ia menghabiskan waktu untuk membereskan mainan. Zin berjalan dengan menyeret kaki kanannya ke dalam rumah. Saat melewati ruang tamu, ia melihat sang ayah tengah sibuk mengobati luka di lutut Eiji. "Ayah pelan-pelan!" sungut Eiji ketika merasakan perih di lututnya karena terkena betadine yang ditetesi Daichi. "Iya nak, sabar ya. Ayah pelan-pelan nih, Eiji harus kuat. Ayah obati, agar luka Eiji sembuh," tutur Daichi. Eiji memukul pundak Daichi, sesekali ia mencubit karena merasakan sakit di lututnya. Daichi menjadi khawatir, ia meniup lutut Eiji agar rasa sakit itu berkurang. Zin tersenyum smirk, hatinya sakit sekali melihat pemandangan itu. Ia menatap kakinya terdapat goresan di betis dan luka lebam di pergelangan kakinya akibat terlalu dipaksakan untuk berjalan. Terdengar helaan napas dari Zin, ia memilih berjalan ke kamar dan pergi dari tempatnya ini. Dengan hati-hati menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sesampainya di atas, Zin masuk ke dalam kamarnya. Tak lupa ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Beruntung, Zin dan Eiji berbeda kamar, jadi ia tak perlu takut jika sekarang ketika dirinya menangis ketahuan oleh orang lain. Zin bergegas menaiki kasurnya yang bertemakan karakter tokoh kartun Ironman. Menenggelamkan wajahnya ke dalam kasur, isakan kecil mulai terdengar. Ia menangis dalam gelapnya kamar karena gorden yang tertutup dan lampu yang dimatikan. Sakit hati ini seperti dihujam oleh ribuan pisau. Zin terbangun dari tidurnya, ia meringkuk tubuhnya. Perlahan tangan mungilnya menyentuh pergelangan kaki yang tampak lebam. "Aw!" pekiknya. Lebam biru itu semakin terlihat karena warna kulitnya yang putih. Ditambah goresan luka di betis Zin semakin kentara memerah dan setitik darah keluar. "Kenapa? Zin tak pernah mendapatkan perhatian dari ayah, kaki Zin juga terluka. Mengapa Eiji yang diperhatikan?" tanyanya pada diri sendiri yang mungkin tak ada jawabannya. Air mata jatuh dari pelupuk matanya, seiring berjalannya waktu semakin banyak yang keluar. Zin menangis sendirian, tak ada yang menemaninya. Kakinya terluka, begitu juga dengan hatinya. Zin tak bisa bergerak banyak lagi, karena kaki kanannya yang semakin parah tak kunjung diobati. Perlahan Zin memundurkan tubuhnya ke belakang agar bisa bersandar di kasurnya. Kedua kakinya ia lentangkan untuk mengurangi rasa sakit walaupun sebenarnya tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD