Zin menangis, rasa sakit di kakinya tak kunjung hilang. Ia ingin memanggil sang ayah, tetapi Zin kesal pada ayahnya sendiri karena tidak mendapat perhatian seperti yang didapatkan Eiji sebelumnya.
"Zin. Kau harus kuat, tak perlu menangisinya, ok? Ini hanya luka kecil, bukan apa-apa," ujarnya sendiri mencoba memunculkan semangat
Ia terdiam cukup lama, Zin menikmati setiap kesakitan yang ia rasakan di kakinya. Sebelumnya saat Zin tengah mengejar Eiji, ia sudah memberitahu sejak awal jika jalanan di depan cukup licin.
Tetapi Eiji tidak mempedulikannya, ia tetap berlari walau sudah Zin peringati sekali pun. Dan akhirnya Eiji terjatuh, namun Zin berhasil mencegahnya. Tetapi, nasib buruk malah menimpa Zin. Ia yang harus jatuh dan kakinya tak sengaja terkilir karena tegang kemudian menggores beberapa batu pada betisnya.
Rasa kantuk di wajahnya tercetak jelas, Zin sedari tadi menguap. Rasa sakit yang ia rasakan sudah tak dipedulikannya. Entah mengapa ia merasa hawa kantuk menguasaimya, ingin sekali tertidur.
Kedua matanya mengerjap beberapa kali, berusaha untuk tetap bangun. Tetapi sia-sia, Zin malah semakin merasa mengantuk. "Apa yang terjadi padaku?" tanyanya bingung.
Perlahan kedua mata Zin tertutup, tubuhnya terjatuh ke samping dan ia pun tertidur dalam sunyinya kamar gelap itu.
***
Zin meringis ketika merasakan sensasi dingin menyeruak ke dalam tubuh bagian kakinya. Rasa itu muncul dengan rasa perih seperti kulit yang dipecut, itu membuatnya hampir gila
Ia segera membuka matanya, Zin menatap tak percaya ayahnya yang tengah dengan giat mengobati luka di betis miliknya.
"Ap-apa yang ayah lakukan di sini?" tanya Zin tak percaya, karena Zin merasa sebelumnya dia mengunci pintu kamar dari dalam. Tetapi mengapa ayahnya bisa masuk ke kamarnya?
Daichi menghela napas pasrah, ia sangat kecewa melihat Zin yang tidak mengatakan kejujuran padanya. Mungkin jika bukan Eiji yang ingin bermain mainannya kembali, Daichi tidak akan pernah tahu jika Zin juga terluka karena menopang berat tubuh Eiji demi menyelamatkannya.
Flashback On
Daichi membereskan kotak obat hasil dari perbuatannya yang membasuh serta mengobati luka Eiji. Ia menatap Eiji yang tampak berbinar melihat sebuah plester bermotif karakter kesukaannya Spongebob Squerpants.
"Eiji, di mana kakakmu?" tanya Daichi di sela-sela kegiatannya.
Eiji mengedikkan bahu tak tahu juga tak peduli, "Aku tidak tahu ayah, mungkin Zin sedang di kamar," balasnya tak acuh.
Daichi menggelengkan kepala, ia harus cukup bersabar menghadapi Eiji anaknya yang satu ini. Jangan sampai penyakit yang ia idap menjadi lebih parah.
"Eiji sudah tidak apa-apa?" tanya Daichi menatap sang anak yang tengah asyik bermain pesawat terbang sambil duduk.
Eiji mengangguk, "Aku tidak apa-apa ayah, tadi saat jatuh Zin menjadikan tubuhnya menjadi bantal agar aku tidak jatuh ke tanah, hanya saja lututku tergores batu jadilah seperti ini," balasnya.
Dahi Daichi berkerut, dia teringat akan kata-kata Zin saat menjumpainya terjatuh ke tanah.
'Ayah, Zin sudah memperingati Eiji untuk berhenti, tetapi ia tak mau menurut. Malah sekarang Eiji terjatuh bersamaku ke tanah.'
Jantung Daichi berdetak dengan cepat, ia khawatir dengan kondisi Zin. Mengapa anak itu selalu berpura-pura kuat di depannya?
"Eiji main di sini baik-baik ya, ayah akan memeriksa keadaan Zin sebentar," ujar Daichi diangguki oleh sang anak.
Daichi segera naik ke atas, tak lupa ia memanggil-manggil nama Zin untuk sekedar mencari tahu apakah anak itu baik-baik saja atau tidak. Namun, sang pemilik nama ta kunjung menyahutnya.
Itu membuat Daichi semakin khawatir, saat sampai di depan kamar Zin. Ia akan membuka pintunya, tetapi tidak bisa. "Zin? Ini ayah sayang, kau baik-baik saja?"
Tetap tak bergeming, Zin tak kunjung membalas apa yang dikatakan Eiji. Sudah cukup, Daichi harus masuk ke dalam. Ia tak mau hal yang tak diinginkan terjadi pada anaknya. Terlebih Zin adalah anak kesayangan dari tuannya.
Daichi bergegas ke kamarnya dan mengambil kunci cadangan di lemari dekat ranjang. Sebelumnya ia meminta semua kunci di rumah ini memiliki cadangannya, Daichi tak menyangka jika cadangan kunci kamar Zin berguna untuk saat ini.
Setelah mengambilnya Daichi segera membuka kamarnya Zin lalu masuk ke dalam. Di sana sangat gelap, hanya sedikit cahaya yang masuk. Daichi menyalakan saklar lampu, ketika menyala ia melihat Zin tengah tertidur pulas di ranjang miliknya.
Ia tersenyum lembut, ternyata anaknya baik-baik saja. Zin hanya tengah tertidur saja. Daichi menarik selimut, ia akan menyelimuti Zin. Namun, saat melihat kaki Zin Daichi memelotot tak percaya.
Banyak goresan di betisnya dan perlahan mengeluarkan darah, juga luka lebam biru tercetak jelas di pergelangan kaki. Daichi meringis melihatnya, ia dengan sigap mengambil kotak p3k lalu perlahan mengobati luka Zin.
Flashback Off
"Zin, jika kau terluka bilang pada ayah, jangan Zin pendam sendiri. Zin anak ayah bukan?" tanya Daichi lembut.
Zin terdiam, hatinya terenyuh, segala kekesalannya tadi seketika hilang dengan penuturan ayahnya sendiri. Air mata jatuh di pelupuk mata kirinya, segera ia menghapusnya.
Zin tersenyum, "Iya ayah, Zin anak ayah," balasnya senang.
Melihat sang anak yang senang, hati Daichi menghangat. Ia mendekati Zin lalu membelai kepalanya lembut, "Kalau begitu, apapun yang Zin rasakan beritahu ayah, mengerti? Zin juga anak ayah, jadi ayah khawatir akan keadaan Zin," tutur Daichi.
Zin mengangguk, segera ia memeluk ayahnya erat. Daichi tersenyum, ia membalas pelukan anaknya dengan hangat.
"Sudah merasa baikan?" tanya Daichi setelah melepas pelukannya.
"Iya ayah, kakiku sudah baik sekarang. Hanya sedikit sakit, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi ayah," balas Zin semangat.
Daichi mengangguk, ia berjalan pergi ke lemari pakaian untuk menyimpan kotak p3knya. Sudah menjadi kebiasaannya menyimpan kotak p3k kecil di setiap ruangan, mungkin itu sudah menjadi koleksinya.
Ia takut jika terjadi sesuatu yang tak terduga di masa depan. Bisa saja masa lalu Kwang Zu datang kembali dan mengusik kehidupan keluarga kecilnya. Zin dan Eiji masih begitu kecil, Daichi harus siap sedia untuk mereka berdua. Terlebih lagi janji yang hingga kini ia pegang. Tak akan pernah Daichi akan melanggarnya.
Daichi terkejut saat tangan kecil memeluknya dari belakang, "Ayah aku ingin memelukmu," lirih Zin malu-malu.
Zin tak pernah manja pada ayahnya, tetapi hari ini ia ingin dimanja oleh sang ayah. Daichi tersenyum, dia berbalik lalu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi Zin lalu membalas pelukannya.
Zin merasa hangat, kegelisahan di hati dan pikirannya menjadi hilang seiring dengan eratnya pelukan dari Daichi. Zin merasa mendapatkan ayah seutuhnya, perasaan yang selalu menganggap jika ia bukan anak Daichi menghilang dengan kelembutan sikap Daichi padanya.
"Hei! Kalian tidak mengajakku," sungut Eiji di ambang pintu membuat Zin dan Daichi terkejut.
"Eiji? Kakimu sudah membaik?" tanya Daichi menghampiri Eiji yang berjalan juga dengan kaki tertatih-tatih.
Bukannya menjawab, Eiji malah memeluk Daichi rakus. Tak senang karena sedari tadi ia duduk di bawah tanpa ada siapa pun di sana. Semua orang ternyata tengah berkumpul di kamar Zin.
Daichi tertawa melihat sikap Eiji, hatinya senang memiliki dua buah hati yang sangat disayangi juga baik padanya. Ia merangkul Eiji dan mengajak Zin untuk bergabung dalam acara pelukan ini.
Tentu saja Zin dengan senang hati mendekat dan memeluk Daichi yang memeluk ia dengan Eiji. Mereka tampak bahagia, seperti tak ada kegelisahan tentang dunia.
Daichi berharap jika keluarganya akan senantiasa seperti ini. Tak ada yang perlu ia khawatirkan setiap saat, satu harapannya. Ia ingin hidup bahagia bersama kedua anaknya tanpa ada ancaman apa pun dan dari siapa pun.
Namun, tak ada yang menyangka masa depan. Semuanya tampak abu-abu dan tak jelas. Hanya dengan usaha bisa membuahkan hasil yang terbaik. Begitu juga dengan yang dilakukan Daichi sekarang.
Sejak kematian Kwang Zu, Daichi mengubah semua statusnya. Ia membawa Zin dan Eiji ke tempat yang jauh dari kekerasan. Disini dengan orang baik-baik. Tidak menjadikannya seorang miliader walau dengan kekayaan yang diturunkan padanya itu sangat banyak.
Benar, seluruh kekayaan Kwang Zu jatuh pada Daichi ayah angkat Zin. Tetapi itu tidak membuatnya gelap mata dan akhirnya berlaku seenaknya. Daichi tahu dengan janjinya, untuk selalu mengingat jasa dan janjinya pada Kwang Zu ia bahkan membuat surat pernyataan.
Tentu dengan cap jari Kwang Zu di atas materai. Daichi menyimpan semua itu sejak lama, tak mau mengungkit siapa Zin sebenarnya pada siapa pun sebelum waktunya tiba. Di mana ia harus meregang nyawa.
Daichi sudah menduga jika Carlos sang bos dari Kwang Zu sendiri pasti akan mencari keberadaan anaknya Kwang Zu. Carlos mungkin tak akan datang sendiri, ia pasti membawa pasukannya hanya untuk melenyapkan keturunan Kwang Zu.
Sedendam itu Carlos pada Kwang Zu karena lebih memilih keluar dari pekerjaannya. Ia tak akan membiarkan mangsanya lolos sedetik pun. Mungkin sampai ujung dunia Carlos akan mengejarnya.
Karena itu Daichi memilih membesarkan Zin seperti orang biasa. Tidak terlalu megah dan menonjol di antara yang lainnya, asal kebutuhan Zin tercukupi itu sudah membuat Daichi puas.
Lagi pula ia harus mengurus anaknya Eiji. Eiji berbeda sekali dengan Zin, ia mengidap sebuah penyakit yang membuat dirinya merasa seperti seorang anak berusia 7 tahun walaupun nanti umurnya tidaklah muda.
Itu membuat Daichi frustasi, ia tak dapat hidup dengan tenang mengingat kedua anaknya yang harus selalu ia jaga dengan ketat. Di satu sisi ia tak mau Eiji merasa sakit hati dengan perlakuan orang lain yang mengejek kekurangannya. Di sisi lain Daichi tak mau Zin dalam bahaya karena ancaman dari Carlos yang selalu mengintai.
Daichi hanya bisa bersabar dan berusaha dengan giat agar mimpi buruk itu tidak datang padanya. Biarlah itu sekedar mimpi, jangan sampai di bawa dalam kehidupan nyata. Ia tak menginginkan hal itu, hari di mana keluarganya akan hancur.
Sebaik mungkin Daichi berusaha, tetapi takdir yang akan menentukan bukan dirinya.
"Ayah tengah melamunkan apa?" tanya Zin bingung menatap Daichi yang tampak menekukkan wajahnya ketika memeluk kedua anaknya.
Daichi tersentak dan tersadar dari lamunannya. Ia menatap Zin yang tengah menatapnya serius tanpa berkedip sedikit pun, seperti tengah menginterogasi dari sudut matanya.
Daichi menggelengkan kepala, "Ayah tidak apa-apa. Apakah kalian lapar?" tanyanya mengalihkan perhatian agar tak menaruh curiga pada kedua anaknya.
Zin dan Eiji mengangguk antusias membuat Daichi tersenyum lalu mengajak mereka berdua ke ruang makan di bawah untuk makan siang. Mereka akan makan bersama.