Jejak Kesepuluh

1625 Words
Kehidupan keluarga kecil Daich berjalan dengan damai. Tak ada kesialan yang datang menghampiri, tetapi Zin dan Eiji kerap sekali bertengkar untuk hal-hal kecil. Seperti saat ini, Zin dan Eiji bertengkar perihal sepeda yang akan dibeli Daichi. Eiji selalu mengikuti warna yang dipilih Zin itu membuat Zin menjadi risih. Ia tak mau couple-an terus dengan Eiji. Lagi pula Zin dan Eiji bukan anak kembar, jadi tak perlu menyamakan barang miliknya dengan Eiji. Berbeda dengan Eiji yang merengek meminta agar sepeda yang dibeli oleh Daichi haruslah sama dengan milik Zin. Daichi pasrah, ia menyuruh Zin untuk menuruti apa yang adiknya minta tanpa membantah. Dengan penuh pengertian ia meminta Zin untuk mengerti sifat adiknya Eiji. Jika Daichi sudah turun tangan Zin tak dapat membantahnya lagi. Walaupun di awal ia membantah tetap saja akhirnya harus menuruti apa yang Eiji inginkan. Hidupnya seolah seperti sudah diatur hanya untuk menuruti segala permintaan adiknya. Dengan kesal Zin menuruti semua apa yang Eiji inginkan. Sesekali saat ia memberontak menolak dengan keras keinginan Eiji, Daichi selalu saja berkata jika Eiji itu berbeda dan Zin harus bisa menyayangi Eiji. Zin jengah akan ucapan itu, hingga saat Zin dan Eiji berusia 15 tahun Zin akhirnya paham. Mengapa Eiji berbeda dengannya. Saat itu ketika Zin tengah pulang sekolah. Sampai di rumah ia melihat semua berantakan, mainan berserakan di mana-mana. Rasa khawatir muncul di benaknya. "Eiji?" Zin memanggil Eiji, namun sang pemilik nama tak kunjung menyahut. Zin mencari ke seluruh rumah, saat sampai di kamar milik Eiji. Zin segera membukanya, alangkah terkejutnya ia ketika melihat Eiji yang terbaring berlumuran darah di kepala. Ia meringis memanggil-manggil ayah. Zin segera mendekat, "Apa yang terjadi padamu Eiji?" Eiji hanya terdiam tak menjawab. Kedua matanya perlahan membuka dan menutup merasakan sakit di kepalanya. Zin menatap sekitar, ia melihat di samping Eiji terdapat alat pencukur rambut milik ayahnya. Kedua matanya memelotot, "Kau gila apa? Memainkan barang ayah sendirian? Darimana kau mengambilnya!?" bentak Zin. Bukannya menjawab Eiji hanya meringis kemudian menangis memanggil sang ayah. Zin frustasi dibuatnya, ia mengacak-acak rambut lalu mencoba membopong tubuh Eiji untuk pergi ke rumah sakit dengannya. Dengan hati-hati Zin mentatih tubuh Eiji. Baru saja sampai di depan pintu, Daichi pulang dari kantornya. Mereka berpapasan di pintu depan rumah. "Apa yang terjadi?" tanya Daichi histeris ketika melihat Eiji yang terbujur lemah tertatih di samping Zin. "Eiji bermain dengan alat cukur rambut ayah, lebih baik kita membawanya ke rumah sakit, Ayah," balas Zin membuat Daichi mengangguk mengerti. Daichi segera membuka pintu keluar dan menyiapkan mobil untuk pergi. Setelah itu mereka bergegas pergi ke rumah sakit untuk mengobati Eiji. Sesampainya di rumah sakit, Eiji segera ditangani dokter. Sedangkan Daichi dan Zin diharuskan menunggu di luar. Sedari tadi Daichi mondar mandir tak jelas, ia sangat khawatir dengan Eiji. Ada saja hal yang dilakukan Eiji yang membuatnya menjadi tegang dan gelisah seperti ini. Zin datang dengan sebuah botol di tangannya, "Ayah minumlah dulu, Eiji tidak apa-apa," ucapnya berusaha membuat Daichi tak khawatir. "Kita duduk dulu yah, tenangkan diri, Ayah." Zin mengajak Daichi ke tempat duduk di sebelah ruangan periksa Eiji. Dengan pasrah Daichi menuruti Zin, ia terduduk gelisah terus menatap ke arah dalam ruangan dan mengamati pintu. "Ayah khawatir Zin, Eiji selalu saja penasaran dengan benda yang pertama kali ia lihat. Padahal Ayah sudah menyembunyikannya, tetapi Eiji malah menemukannya," tutur Daichi membuka obrolan. Zin mengangguk, ia tahu keresahan yang tengah dirasakan oleh Daichi. Karena ia juga merasakannya, walau Zin selalu bertengkar dengan Eiji itu tak memungkiri jika dirinya sangat sayang pada Eiji. Tak mau adik kecilnya sakit atau tersakiti oleh orang lain. "Eiji begitu berbeda dari anak lain, bahkan ia juga berbeda denganmu, Zin. Hal yang selalu ayah khawatirkan setiap saat adalah, Eiji. Ia sudah menjadi bayangan ayah, kemana saja ayah pergi ayah selalu teringat padanya, ayah takut ia terluka hanya karena keisengannya," panjang segala keresahan ia utarakan. Jujur jika ayahnya berkata seperti ini, Zin tampak senang karena Daichi begitu menyayangi Eiji. Namun, ia sedih dan kecewa mengapa ayahnya selalu memikirkan Eiji? Tidak dengan dirinya? Zin hanya bisa menghela napas, mulutnya terasa keluh hanya untuk berdehem saja. Seolah sudah mati dan tak mau bicara karena menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh hatinya. Mau dikata bagaimana juga Zin selalu merasa tidak adil. Sejak kecil ia selalu mendapatkan perlakuan seperti ini. Mungkin ini sudah menjadi bagian dari takdirnya. Karena tak ada yang mau berbicara, suasana menjadi hening kembali. Terlarut dalam pikiran masing-masing dan memilih menikmati suara detak jam juga langkah kaki yang berlalu lalang. Krett Suara pintu yang dibuka membuat Zin dan Daichi terperanjat dan menatap bersamaan ke arah sumber suara. Terlihat seorang dokter yang keluar dari ruangan Eiji. Dokter itu menghampiri Daichi dan Zin yang tengah menatapnya penuh tanda tanya. "Dok, apa anak saya baik-baik saja?" tanya Daichi langsung. Dokter mengangguk, "Anak bapak baik-baik saja, hanya mungkin ia harus dirawat beberapa hari di sini," balasnya ramah. Daichi menarik napas lega, Eiji sudah baik-baik saja. Ia takut jika Eiji harus dioperasi karena penyakitnya itu. Ia segera menoleh pada Zin yang sama menarik napas lega sepertinya itu membuat Daichi tersenyum senang. Kedua anaknya ini saling menyayangi, walau sering bertengkar juga tidak apa. "Zin, kau tunggulah di sini. Ayah akan pulang untuk membawa pakaian ayah, untuk beberapa hari ini ayah akan tidur di rumah sakit menjaga adikmu, kau tidak apa-apa tinggal di rumah sendiri?" tanya Daichi ragu. Zin terdiam sesaat sebelum dirinya mengangguk setuju dengan perintah ayahnya. "Baik Ayah, hati-hatilah di sini. Zin akan menjaga rumah, mungkin sehabis pulang sekolah Zin akan datang ke sini," balasnya. Daichi mengangguk senang, ia menepuk bahu Zin pelan lalu berjalan pergi keluar untuk ke rumahnya mengambil beberapa pakaian. Zin yang masih terdiam di tempat mengepalkan tangannya kuat. Hatinya menjerit tak terima dengan apa yang ayahnya putuskan. Mengapa harus ia yang selalu mengalah dan menetap? Akh semakin dipikirkan membuatnya sakit hati. Ia memilih untuk pergi keluar sekedar menghirup udara segar. Zin tak ingin menemui Eiji sementara waktu, takut ia khilaf dan malah memperburuk keadaan Eiji. Zin pergi ke taman dan terduduk melamun di kursi panjang yang ada di taman. Karena terlalu banyak terdiam membuatnya mengantuk lalu tertidur. *** Zin membuka paksa kedua matanya, ia segera bangkit dari tidurnya lalu menatap sekitar. Langit hampir berganti menjadi kelabu hitam gelap. Menandakan jika hari sudah malam. Ia mengucek kedua matanya, Zin tak sadar jika dirinya tertidur di keadaan seperti tadi. Di liriknya jam tangan, lalu ia berdiri dan berjalan pergi untuk pulang. Sebelum pulang Zin menghampiri ruangan Eiji, baru saja ia akan membuka pintu terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya. "Ayah, aku ingin memakan pizza, ayah harus belikan aku itu!" titah Eiji di sela kegiatannya mengunyah sesuap nasi yang diberikan dari ayahnya. Daichi mengangguk sambil tersenyum, "Eiji harus makan yang banyak, nanti ayah belikan pizza untukmu," balasnya membuat Eiji semakin bersemangat untuk memakan habis makanannya. Zin tersenyum smirk, selalu saja ia datang di waktu yang salah. Mengapa hatinya harus sakit melihat adegan di depannya? Sudahlah dari pada terus berdiri di sana menyaksikan keharmonisan antara ayah dan anak Zin memilih untuk pergi. Zin bergegas pergi, ia tak perlu pamit pergi dari ayahnya. Lagi pula mungkin Daichi tak memikirkan keadaan dirinya? Karena tengah sibuk mengurusi Eiji yang sakit. Saat sampai di rumah, Zin segera mengganti bajunya. Sebelum itu ia mengguyurkan air pada tubuhnya yang terasa lelah dan penat. Hari ini ia memutuskan tidur lebih cepat dari biasanya. Agar besok pagi ia tidak terlambat bangun, karena ayahnya sedang berada di rumah sakit bersama dengan Eiji. Keesokan paginya, seperti biasa Zin melakukan ritual paginya yakni bersiap-siap untuk sekolah. Bersenandung senang dan sesekali bersiul tak jelas. Hatinya kini tengah baik saat ini, ia tak mau membuat moodnya menjadi jelek karena memikirkan hal-hal lain. Setelah siap, Zin berjalan keluar. Tak lupa ia mengunci pintu rumahnya. Di tengah perjalanan menuju sekolah, Zin mendengar suara bisik-bisik dari gang sebelahnya. Membuat kakinya berhenti melangkah dan menajamkan pendengarannya. "Hei, aku dengar uang jajanmu bertambah karena kepintaranmu, bisakah kau membaginya pada kami?" tanya seseorang pada pria yang terkepung oleh mereka dengan menundukkan wajahnya takut. Zin awalnya tak mempedulikannya, itu bukan urusannya. Jadi Zin tak perlu repot-repot mengurusi asumsi publik seperti tadi. Asal tak mengacaukan hidupnya, maka ia tak akan menganggu hidup orang lain. Namun, kata-kata yang dilontarkan berikutnya membuatnya kesal dan mengepalkan tangan kuat. Zin mendengar jika segerombolan anak tadi menghina si anak yang tengah dibully mereka. Zin paling kesal jika seseorang menghina kekurangan orang lain. Itu membuatnya marah, dengan penuh emosi menghampirinya. "Pergilah dari sini," titah Zin membuat segerombolan anak tadi tersenyum meremehkan kedatangannya yang seolah seperti pahlawan. "Kalau kami tak mau, kau ingin apa?" tanya salah seorang anak padanya. Zin tersenyum smirk, kedua matanya menyipit tajam. Aura menyeramkan keluar dari Zin seiring dengan sipit matanya yang menajam. "Apa kalian ingin bermain denganku?" "Ka-kami tidak memiliki urusan denganmu," ujar seorang anak berusaha menahan ketakutan yang tengah melanda dirinya. Baru ditatap seperti itu oleh Zin membuat semuanya takut, terlebih aura penuh penekanan dikeluarkan oleh Zin semakin membuat keadaan semakin mencekam. "Hei kemarilah," ucap Zin pada seorang anak yang tengah tertunduk diam. Anak itu mengangkat kepalanya dan menatap Zin yang mengangguk kecil seolah mengerti apa yang tengah dipikirkannya. Segera saja anak kecil itu mendekat. Lebih baik ia mempercayai Zin sekarang, mungkin ia akan menjadi pahlawan baginya. "Hoo kau akan pergi? Bukankah kau temanku?" Zin mendelik tak suka. "Ayo kita pulang," ajaknya diangguki oleh anak kecil di samping. Baru satu langkah Zin berjalan, sebuah tangan berhasil mencegahnya dengan menyekal tangannya. Zin sudah memperkirakan hal ini, ia memegang lengan atas sang pria yang memegang bahunya lalu dengan sekuat tenaga ia putarkan ke belakang membuat pria itu meringis kesakitan. Setelah puas Zin mendorong pria itu ke hingga jatuh terungkur ke tanah. "Hei! Kau sudah melawan orang yang salah!?" Zin tersenyum smirk, "Owh iya? Kalau begitu kita lihat akhirnya bagaimana," balasnya singkat. Perkelahian sengit pun tak bisa dihindari. Hari itu di mana karakter baru yang tumbuh dari Zin terbentuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD