Jejak kesebelas

1591 Words
Zin datang dengan santai masuk ke dalam rumah. Senyum penuh kemenangan tercetak jelas di wajahnya. Ia berhasil memenangkan perkelahian keroyok tadi. Bangga pada dirinya sendiri yang berhasil membuat lawan tak berkutit. Ketika melewati ruang tamu, kakinya terhenti saat menjumpai sosok pria dewasa tengah duduk bersandar pada sofa. Jantung Zin berdegup dengan kencang, kedua tangannya gemetar ketakutan. Zin memelotot tajam saat mengetahui pria itu adalah ayahnya sendiri. Mengapa dia pulang? batin Zin bertanya. Daichi memijit pelipisnya yang teramat pusing, ketika ia membuka mata betapa terkejutnya ia melihat anaknya yang berantakan. Zin tampak kacau, baju seragam yang kusut dan keluar dari celana juga rambut yang acak-acakan serta dengan luka lebam menyebar di wajah dan kedua tangannya. Jangan lupakan luka tinju di dekat mata dan bibir kecilnya. "A-ayah pulang?" Zin menatap Daichi terkejut. Daichi terperanjat dari duduknya dan segera menghampiri Zin. "Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melakukan ini pada anak ayah?" tanyanya khawatir. Zin tersenyum senang, ia ingin mengatakannya tetapi dirinya sedikit ragu. Namun, saat sudah mantap akan menjawah, Daichi mengatakan sesuatu yang membuat Zin terdiam membatu. "Jangan katakan jika kau berkelahi Zin? Katakan pada ayah jika itu tidak benar?" tanyanya menginterogasi. Zin membisu, "Me-mmangnya apa yang salah dengan perkelahian ayah?" tanyanya tidak mengerti. Daichi memelotot tak suka mendengar pertanyaan Zin, "Ada! Perkelahian itu sangat salah nak, itu bisa membuatmu dalam masalah besar dan menyakiti dirimu sendiri," balasnya. Zin terdiam kemudian mengangguk mengerti, "Ayah, Zin tadi berkelahi kare ...." "Siapa yang mengajarkanmu!? Siapa yang mengajarkanmu berkelahi?" potong Daichi geram membuat Zin terheran-heran. "Ap-apa maksudnya yah? Mengajari?" tanya Zin tak mengerti. Daichi menarik napas jengah, ia memelotot tajam pada Zin hingga membuat anak itu terperanjat kaget. "Zin, kau mungkin tak akan seperti ini jika tak ada yang mengajarimu. Katakan pada ayah siapa yang mengajarimu berkelahi!? Apakah gurumu di sekolah? Apakah temanmu di kelas? Katakan siapa pada ayah!" bentak Daichi kesal. Zin mengernyit, "Tidak, tidak ada yang mengajariku ayah. A-aku hanya ...." "Bohong! Zin ayah sekolahkan kamu agar kau tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar, lalu kenapa kau berkelahi? Apa yang membuatmu seperti ini?" potong Daichi. Tak terasa air mata jatuh dari pelupuk matanya, Zin kecewa dengan ayahnya yang malah memarahinya tanpa mendengarkan apa penjelasannya. "A-ayah, Zin hanya ingin membela orang yang dibully. Apakah itu salah?" tanya Zin dengan isak tangis yang tertahan. Daichi menahan emosinya yang kian meluap, "Membela? Kau ingin menjadi seorang pahlawan? Lalu gunanya pemerintahan dengan aturannya apa Zin? Apa kau harus perlu turun tangan untuk mengatasinya?" tanyanya kesal. "Kau malah membahayakan dirimu sendiri. Lihatlah dirimu Zin, kau tampak kacau, banyak luka di wajah dan tanganmu," imbuh Daichi sambil menunjukan luka-luka lebam di tubuh Zin. Zin menatap tak percaya, seluruh ekspetasinya hancur. Dinding rasa hormat itu seketika hilang, "Apa yang ayah katakan!? Apakah aku harus berpura-pura buta saat orang lain membully yang lainnya di hadapanku? Apakah aku harus menjadi tuli saat mendengar permintaan tolong!?" Zin menggelengkan kepala, ia hampir menangis. Tapi segera ditahannya, Zin tak mau terlihat lemah di hadapan ayahnya. "Ayah tak memikirkan posisi Zin. Aku tidak meminta banyak ayah, apa ayah tak bangga melihat putranya melakukan hal baik pada yang lain? Apakah ayah tidak suka jika aku berbuat baik?" tanya Zin parau. Daichi tersenyum sinis, "Apa yang harus dibanggakan Zin? Apa yang kau dapatkan dari berkelahi? Apakah kau mendapatkan penghargaan dari negara? Kau hanya mendapat luka Zin," balasnya emosi. "Jika kau menemukan seperti itu, segera telepon polisi. Biarkan hukum yang melakukan hal itu, kau cukup fokus belajar dan kejar impianmu Zin." Daichi menatap lekat Zin, berusaha menyadarkan anaknya. Zin menatap ke arah lain, ia ingin sekali menangis saat ini. Jujur jika Zin sangat terluka dengan ucapan ayahnya. Ia tak habis pikir mengapa Daichi harus berpikiran seperti itu? Zin hanya ingin berguna bagi orang lain, atau ia hanya ingin membela hak orang lain. Lalu mengapa ayahnya malah memarahi Zin dan mengatakan hal lain? "Ayah tak mengerti apa yang Zin mau. Zin melakukan semua ini karena ingin berbuat baik, lalu bagaimana kabarnya dengan Eiji? Ia melukai dirinya sendiri hanya karena permainan? Mengapa ayah tak memarahinya?" tanya Zin membuat Daichi menatap heran. "Eiji? Ayah kan sudah bilang, Eiji itu berbeda Zin. Ia tak sama sepertimu, kau harus mengerti keadaannya bagaimana," balas Daichi. Zin tersenyum sinis, "Begitu? Apakah aku harus seperti Eiji agar bisa dihargai oleh ayah? Apakah aku harus ca ...." "ZIN!" Daichi berteriak memotong ucapan Zin. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Zin. "Di mana sopan santunmu!? Kau menyeret adikmu karena kesalahanmu sendiri? Sudah ayah tegaskan sejak awal jika Eiji berbeda denganmu. Ia tak akan bisa sepertimu Zin!? Apa yang kau pikirkan hah?" Zin terdiam, kedua tangannya bergemetar takut. Seumur hidupnya ia tak pernah mendengar ayahnya berteriak padanya. Daichi selalu bersikap lembut penuh kasih sayang. Tetapi ketika ia menghina Eiji, Zin malah mendapat bentakan. Zin akui jika ia sudah sangat tak sopan. Menghina kekurangan adiknya, tetapi itu bukan keinginannya. Kata-kata itu tiba-tiba terlontar tanpa ia saring terlebih dahulu. "Bukankah kau bilang kalau kau ingin membela orang yang dibully? Lalu mengapa kau menghina kekurangan adikmu sendiri Zin?" tanya Daichi kecewa. "Apakah didikanku salah? Apakah selama ini didikan ayah tak membentuk karakter dirimu?" Zin yang sedari terdiam menghela napas panjang, ia menatap sang ayah yang tengah terdiam. Jujur Zin ingin mengucapkan kata maaf tapi ketika mendengar perkataan ayahnya ia menjadi mengurungkan niat. Hatinya berdenyut sakit ketika sang ayah lebih memilih membela pandangannya daripada anaknya sendiri. "Tidak, didikan ayah tidaklah salah. Yang salah adalah harapan yang Zin berikan untuk ayah terlalu tinggi," ucap Zin membuat Daichi menatapnya. Setelah mengatakan hal itu Zin pergi, dan membiarkan panggilan dari Daichi untuknya. Zin pergi ke kamarnya, setelah sampai ia mengunci pintunya dari dalam. Zin berbalik, punggungnya ia sandarkan di pintu, tubuhnya beringsut turun ke lantai. Tangisan yang ia tahan sedari tadi seketika pecah, Zin sungguh sangat kecewa dengan ayahnya. Untuk pertama kalinya Zin bertengkar dengan ayahnya. Selama ini Zin selalu menuruti apa yang ayahnya katakan, tapi untuk satu ini ia tak dapat lagi mengikuti ucapan ayahnya. Kadang Zin selalu bertanya mengapa Daichi selalu melarangnya ini itu. Seluruh harapannya hancur, dinding rasa hormatnya roboh karena Daichi yang tak kunjung mengerti Zin. Apakah perkelahiannya ini benar-benar salah? Zin berpikir jika Daichi akan bangga dengan perbuatannya. Ia tidak mempedulikan rasa sakit tubuhnya yang habis karena dikeroyok sebelumnya. Zin hanya ingin Daichi menghargai setiap usahanya. Itu sudah lebih cukup membuatnya senang. Tetapi apa? Yang didapatkannya malah bentakan dari amarah dari Daichi. Jika dikatakan Zin sangat takut, belum pernah melihat Daichi semarah tadi. Namun, mengingat ego Zin, membuat Zin tak takut dengan Daichi. Zin menjadi lebih berani dan tak terkendali, sikap itu tiba-tiba saja muncul di benaknya dan keluar begitu saja. Ia sangat bingung, apa yan harus dilakukannya untuk saat ini? Zin menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki. Ia memeluk erat kakinya, mencari kehangatan. Sungguh, hatinya sanga sakit karena pertengkaran ini. Di lain tempat, terlihat Daichi yang terduduk di lantai. Sesekali ia mengacak rambutnya, frustasi karena pertengkaran yang dibuat oleh anaknya. Inilah hal yang selalu ditakutkan oleh Daichi. Sikap kejam Kwang Zu menurun pada anaknya. Daichi berusaha mendidik Zin agar tidak terjatuh dalam sebuah pertengkaran atau perkelahian. Sejak Zin masih kecil, Daichi sudah melihat potensi Zin yang kuat dan siap untuk memberontak jika keinginannya tak tercapai. Makanya dengan penuh kasih sayang dan lemah lembut mendidik Zin untuk tidak mengikuti jejak ayahnya. Ia tak mau jika Zin menjadi curiga lalu mencari tahu asal usulnya. "Tuan, anakmu sangat persis denganmu," ucap Daichi menarik napas jengah. Di usia remajanya Zin, sama persis dengan remaja Kwang Zu. Bagaimana tidak? Daichi sangat tahu Kwang Zu, ia adalah sahabat sekaligus rekan kerjanya. Sejak kecil Kwang Zu sudah menunjukan jika ia sangat kuat dan tak ada siapa pun yang bisa menyaingi kekuatannya. Itu terbukti dari Kwang Zu yang selalu memenangkan duel atau pun perkelahian. Daichi bingung bagaimana ia harus menjaga Zin. Hal yang ditakutinya sekarang mulai bermunculan, sikap Zin sekarang sudah menjalur dari didikannya. "Apa yang harus kulakukan Tuan? Zin sangat persis denganmu, aku tak dapat mengubah sifat penurunan darimu untuk Zin. Bagaimana lagi aku harus melindungi Zin?" tanyanya pada diri sendiri yang tak mungkin ada jawaban. Daichi tersenyum simpul ketika mengingat saat Zin lahir dulu. Kwang Zu berteriak kegirangan. Ia bahkan mengatakan jika anaknya akan mirip sekali dengannya, dan hal itu terjadi. Karakter Zin sangat persis seperti ayahnya Kwang Zu. Bahkan sekilas Daichi merasa seperti melihat Kwang Zu saat menatap Zin. "Ah andai saja kau masih hidup tuan, mungkin kau akan sangat senang melihat anakmu yang tumbuh besar," ujar Daichi berbicara sendiri. Untuk sesaat ia ingin flashback mengingat masa lalunya. Zin selalu saja mengingatkannya pada Kwang Zu. Terlebih lagi wajah marahnya itu sangat persis dengan Kwang Zu. "Aku senang bisa mengurus Zin, tuan doakan aku agar bisa mendidik Zin dengan baik. Aku ingin menunaikan janjiku padamu, setidaknya sampai Zin menikah nanti." Daichi tersenyum mengingat jika ia sudah merawat Zin selama 15 tahun ini. Hal yang sangat mustahil untuk pria sepertinya mengurus 2 anak dalam jangka waktu yang bersamaan. Selama itu Daichi berusaha untuk membuat Zin tidak tumbuh seperti ayahnya. Tetapi takdir berkata lain, Daichi harus merelakan Zin yang sudah ditakdirkan seperti Kwang Zu. "Zin, aku harap kau bisa mengerti ayah." Daichi memejamkan matanya, memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia tak boleh melupakan jika sekarang Zin dan Eiji berada di umur yang sangat labil. Jika tidak dipantau olehnya mungkin akan terjadi hal buruk. Daichi sudah memutuskan, ia akan membiarkan anaknya Zin untuk sementara waktu. Daichi ingin jika Zin merasa bersalah dan menyesal lalu tidak melakukan hal seperti tadi. Memang terdengar jahat, tapi ini akan ia lakukan agar masa depan Zin menjadi cerah. Pengorbanan Kwang Zu tak boleh disia-siakannya. Daichi tak mau jika Zin harus berkorban lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD