Jejak kedua belas

1663 Words
Keesokan harinya, Zin melakukan ritual pagi seperti biasanya. Pertengkaran semalam membuat Zin tidak keluar kamar. Walaupun Daichi mengetuk pintu dan menyuruhnya makan, Zin tetap tidak keluar. Ia memilih untuk diam di kamar, dirinya begitu malu dan kesal juga canggung. Pertengkaran hebat kemarin benar-benar merubah pandangannya terhadap Daichi ayahnya. Zin bertekad untuk tidak mendekati ayahnya beberapa hari. Walaupun nantinya Daichi menghiburnya Zin tidak akan terpengaruh. Ia ingin ayahnya mengerti akan perasaannya kemarin, Zin lebih baik merasakan sakit di seluruh tubuh daripada harus merasakan sakit hati seperti ini. Namun, kenyataannya sangat berbanding terbalik dengan ekspetasi Zin. Untuk sekali lagi harapan Zin harus hancur. Daichi tidak bersikap lemah lembut penuh kasih sayang atau manis padanya. Justru sekarang Daichi sangat dingin, seperti membuat dinding melebarkan jarak antara keduanya. Lagi dan lagi Zin merasakan sakit hati yang teramat dalam. Zin mengutuk dirinya sendiri yang selalu berharap jika sang ayah akan memaafkan dan semua akan baik-baik saja. Mengutuk dirinya yang sangat menyayangkan momen seperti ini. Seharusnya ia memanfaatkan waktu tidak ada Eiji untuk bermanja dengan ayahnya. Zin membenci semua harapannya, ingin sekali melenyapkan harapan itu. Tetapi semakin Zin mencoba menghilangkannya, ia malah semakin terjatuh lebih dalam pada harapan tadi. Batinnya menjerit sakit, ingin sekali ia mempercepat waktu agar tidak menikmati setiap momen menyakitkan seperti ini. Tetapi dirinya tidak bisa. Zin tak bisa melakukan hal itu, untuk saat ini. Zin segera pergi dari rumah, terlalu lama di sana membuatnya sesak dan ingin menangis saja. Saat ia pergi pun Daichi tidak memanggilnya untuk sarapan atau sekedar berpamitan. Karena itu Zin sudah bertekad untuk tidak menaruh harapan kembali. Hatinya sudah hancur terkoyak oleh harapan dan angannya sendiri. Biarlah ia menjadi pembangkang daripada harus merasakan sakit hati. Daichi meringis, ia tak sanggup jika harus membiarkan Zin terlalu lama. Cukup diakui jika Daichi sangatlah lemah akan hal ini. Sekesal apapun ia pada Zin, tetap saja hatinya lemah untuk bersikap tegas pada Zin. "Aku harus kuat, ini adalah sebuah teguran untuk Zin. Ia harus bisa berubah, tidak boleh menjadi pribadi seperti kemarin," tekad Daichi. Mau tidak mau Daichi harus berakting untuk tidak peduli pada Zin. Walaupun hatinya meringis pedih ia akan tetap melakukan hal itu. Pemikiran berbeda antara Zin dengan Daichi berpengaruh pada hubungan masa depan mereka. Karena sifat tidak saling terbuka membuatnya menjadi salah paham satu sama lain hingga masalah baru kian berdatangan. Daichi berpikir jika metode seperti ini akan mendidik anaknya Zin untuk bersikap lebih dewasa lagi dalam menyikapi sebuah masalah. Namun, berbeda dengan tanggapan Zin. Ia merasa jika ayahnya ini sudah tak menyayanginya lagi, itu terbukti dengan sikap Daichi yang tak selembut sebelumnya. Seminggu lebih Daichi bersikap seperti itu pada Zin, bahkan saat Eiji pulang dari rumah sakit dengan sengaja Daichi lebih bersikap manis dan penuh kasih sayang pada Eiji daripada Zin. Daichi melakukannya semata-mata agar membuat anaknya jera. Dan tidak ingin melakukan kesalahan fatal itu. Namun, ternyata tidak. Zin malah makin menjadi, bukannya merasa bersalah ia justru melakukan kesalahan itu tanpa ragu. Atas sikap Daichi, Zin tumbuh menjadi anak muda yang sering memberontak. Lebih baik bertanding daripada harus menurunkan harga diri untuk meminta maaf atau meminta tolong pada orang lain. Zin tidak peduli lagi, menurutnya ini bukan salahnya. Ini adalah salah ayahnya yang tak memperhatikan dirinya kembali. Zin tumbuh menjadi sosok pria dingin yang jahat. Bahkan, ia lebih kejam dari ayahnya Kwang Zu. Sifatnya menjadi tak tersentuh, tatapan hangat yang selalu Zin keluarkan berubah menjadi mata menyipit tajam seperti seekor elang yang tak akan melepaskan mangsanya dengan mudah. Sama seperti saat ini, untuk pertama kalinya Daichi dipanggil oleh pihak sekolah karena ulah yang dilakukan oleh Zin. Sontak hal itu membuat Daichi terkejut ketika mendapati sebuah telepon undangan dari wali kelas Zin langsung. Dengan gemetar dan penasaran Daichi segera datang ke sekolah Zin lalu menemui guru yang menelponnya tadi. "Selamat siang pak, apa benar orang tua Zin?" tanya seorang guru wanita pada Daichi yang membalasnya dengan mengangguk serius. Sang guru mengangguk, "Sebelumnya perkenalkan saya bu Lin, wali kelas dari Zin sendiri. Saya meminta bapak datang kemari untuk membicarakan permasalahan Zin pak," tuturnya ramah. Dahi Daichi berkerut, "Masalah? Masalah apa memangnya yang terjadi?" tanya Daichi bingung. "BeginiPak, sudah seminggu ini Zin kerap mencederai fasilitas sekolah. Ia juga sering mengajak berkelahi dengan teman-temannya. Mungkin jika perkelahian biasa tidak apa-apa pak, tapi ini Zin hampir menghabisi teman-temannya dengan brutal sendirian. Saya sebagai wali kelasnya tentu sangat khawatir dengan perubahan sikap Zin yang turun sangat drastis, biasanya ia akan bersikap baik dan menurut. Namun, sekarang malah sebaiknya." "Maaf Pak, apakah di rumah sedang ada masalah keluarga? Ah saya hanya takut jika Zin terpengaruh dengan permasalahan keluarganya," lanjut bu Lin menyelidik. Tentu saja pernyataan bu Lin sangat ditolak oleh Daichi. "Keluarga kami baik-baik saja bu, memangnya sejak kapan Zin bersikap seperti tadi?" tanyanya balik. "Sekitar seminggu yang lalu pak, saya khawatir dengan Zin. Ia anak yang sangat baik dulunya, tetapi sekarang ia seperti seorang preman sekolah," balas bu Lin bingung. Bu Lin sedari tadi menyaksikan raut wajah Daichi. Ia tengah meneliti apakah ada yang tengah disembunyikan oleh ayahnya Zin ini. Tetapi setelah diselidik hasilnya nihil, bahkan Daichi berterus terang jika keluarganya baik-baik saja. Daichi termenung, ia tampak terkejut mendengar penuturan bu Lin. Untuk pertama kalinya ia datang ke sekolah karena sudat peringatan untuk Zin dari sekolah. Tak pernah terbayangkan Zin akan tumbuh menjadi anak nakal, lagi pula memang sejak kecil Zin selalu menurut. Tetapi mengapa sekarang tidak? Daichi tak mengerti apa jalan pikiran Zin? Seharusnya Zin berubah menjadi lebih baik. Bukan menjadi lebih buruk. Apakah sikapnya kemarin belum membuat Zin kapok? Ataukah Zin yang tidak memahami sifatnya? Semakin diperkirakan membuatnya semakin pusing. Tak habis pikir dengan Zin yang sampai sekarang tak mengerti sikap Daichi ayahnya. "Zin anak yang baik, tetapi seminggu yang lalu ia bertingkah menjadi nakal. Anak-anak yang tak menurut dengannya ia ajak kelahi, membolos dari banyak pelajaran di kelas. Bahkan fasilitas sekolah pernah ia rusak. Zin selalu dipanggil kemari, tetapi ia tak menjawab apapun. Hanya diam seribu bahasa, akhirnya terpaksa kami memanggil bapak orang tua Zin ke sekolah untuk membahas masalah ini bersama," ujar bu Lin menerangkan. Daichi tampak malu, ia sangat menyesal dengan sikap Zin sekarang. Tangannya terkepal kuat, berencana pulang sekolah ia akan menghukum anak itu agar membuatnya jera dan kapok. "Keluarga kami baik-baik saja, tidak ada hal besar yang terjadi. Tentu saya sangat menyayangkan sikap anak saya yang seperti itu, karena di rumah dia tidak pernah banyak bertingkah. Mungkin ini dikarenakan faktor luar," bela Daichi menyalahkan jika Zinlah yang salah pergaulan bukan karena permasalahan keluarga. Bu Lin mengangguk, "Kalau begitu saya harap bapak selaku orang tua Zin mampu mendidik anak bapak kembali. Kami pihak sekolah menyerahkannya pada bapak, semoga Zin menjadi Zin yang dulu lagi jika bapak yang memberi nasehat pada Zin," balasnya. "Kalau begitu saya pamit, terima kasih bu Lin," ujar Daichi yang segera bangkit diikuti oleh bu Lin. Daichi segera pergi dari kantor sekolah Zin, rencananya hari ini adalah pulang ke rumah dan menginterogasi Zin. Sungguh, ia sangat murka dan malu atas sikap Zin akhir-akhir ini. Ia berjalan menuju parkiran sekolah, lalu masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakannya. Mobil Daichi keluar dari lingkungan sekolah, saat ia tengah melewati sebuah gang firasat buruk mulai datang padanya. Tiba-tiba saja hatinya berkata untuk berhenti dan masuk ke dalam gang ini. Awalnya Daichi enggan, tetapi hatinya tidak tenang. Jadi mau tak mau Daichi keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gang sempit tadi. Terdengar suara yang sangat tak asing di telinganya tengah meringis kesakitan disusul dengan suara pukulan yang terus menerus tak berhenti. Daichi sudah sampai di ujung gang, kedua matanya memelotot tajam ketika melihat anak yang sudah membuatnya khawatir tengah dikeroyok oleh teman-temannya. "HENTIKAN!" Bentakan itu refleks membuat semua anak menoleh pada Daichi. Wajah mereka pucat pasi, takut karena ketahuan tengah mengeroyok seorang anak dengan brutal. Anak yang dikeroyok itu adalah Zin, ia tampak kacau sekarang seperti sudah kehabisan tenaga. Daichi segera menghampirinya dan sontak membuat anak-anak yang lain langsung pergi meninggalkan Zin dan Daichi. "A-ayah," lirih Zin membuat Daichi mengangguk. "Ini ayah nak, kita akan pergi ke rumah sakit sekarang," balas Daichi khawatir yang langsung membopong Zin membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan gemetar Daichi menyalakan mobil, lalu bergegas pergi ke rumah sakit. Sesekali ia melihat Zin yang terbaring lemah di belakang, Zin tak mengeluh namun Daichi bisa tahu dengan jelas jika sekarang Zin tengah kesakitan. Sesampainya di rumah sakit, Daichi segera membawa Zin ke UGD agar segera ditangani oleh dokter. Daichi menunggu hasil pemeriksaan dokter, sebelum itu ia menelpon tetangga rumahnya untuk datang ke rumah miliknya menjaga dan mengurusi Eiji. Ia sepertinya akan menginap di sini karena Zin yang tampak kritis menurutnya. Setelah memastikan Eiji aman, Daichi kembali khawatir. Apa yang terjadi pada Zin? Mengapa ia harus dikeroyok seperti tadi? Terlalu banyak pertanyaan yang mendesak untuk dijawab membuatnya lelah. Setelah menunggu hampir 1 jam baru dokter keluar dari ruangan Zin membuat Daichi segera mendekat. "Anak bapak cukup kritis, tulang punggungnya patah. Lalu luka lebam yang menyebar dari seluruh tubuhnya terlalu banyak. Kaki kanannya terkilir, tetapi sekarang sudah tidak apa-apa. Mungkin anak bapak harus dirawat di sini untuk seminggu ke depan," tutur dokter membuat Daichi menarik napas lega. Untuk kedua kalinya ia datang ke rumah sakit, saat itu ia datang ke rumah sakitkarena eiji yang bermain dengan alat cukur rambut miliknya. Sekarang Zin datang ke rumah sakit akibat perkelahiannya yang tak jelas karena apa. "Baiklah dok, terima kasih," balas Daichi membuat sang dokter mengangguk mengerti kemudian pamit pergi. Daichi segera masuk ke dalam ruangan Zin, ia tampak melihat Zin yang tengah tertidur lelap dengan posisi menghadap ke kanan. Di wajah Zin banyak sekali luka lebam. Bahkan luka lebam waktu itu masih ada belum menghilang seutuhnya. Apakah Zin tidak mengobatinya? batin Daichi bertanya. Daichi baru menyadari jika rencananya kemarin sangat gagal. Zin malah bersikap lebih parah dari sebelumnya. Bahkan sekarang Zin harus rela tinggal di rumah sakit karena ulahnya. "Apa yang kau lakukan Zin? Mengapa kau harus mengalami seperti ini, kau tak pernah bercerita pada ayah apa yang kau rasakan. Mengapa?" tanya Daichi. "Karena aku membencimu." Daichi terkejut ketika mendengar balasan dari sang putra yang ternyata tidak tertidur. "Z-zin?" tanya Daichi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD