Jejak ketiga belas

1654 Words
"Z-zin?" sekali lagi ia menanggil anaknya. Daichi menatap nanar sang anak yang tengah menatapnya datar. Tak ada senyum cerah atau hangat yang dipancarkan oleh Zin. Yang ada hanya sorot wajah kecewa dan lelah dari Zin. Tatapan itu, tak pernah ia lihat dari Zin. Melihatnya sekarang membuatnya berpikir dan bertanya apakah ini Zin nya? Apakah ia putranya? Anak yang selalu menampilkan wajah berseri ketika di dekatnya? Apakah ia orang yang sama? Zin tersenyum smirk, sebelumnya, ketika ia ingin kembali ke sekolah dirinya melihat mobil Daichi terparkir di parkiran sekolah. Hatinya sungguh takut, makanya ia memilih untuk tidak ke sekolah dan pergi ke suatu tempat. Namun, di jalan ia dihadang oleh kakak kelasnya sendiri. Sang kakak kelas tak terima jika pernyataan cinta dari adiknya tak diterima oleh Zin. Ia akan memberi pelajaran yang berharga pada Zin, dan benar saja. Kakak kelasnya membawa teman-teman gengnya untuk mengeroyok dirinya. Bahkan di saat terakhir pun Zin tak menyerah dan meminta maaf, ia justru berusaha menyerang balik walau akhirnya sia-sia. Tenaganya hilang ketika mengingat sang ayah yang ada di sekolah dirinya. Membuat Zin khawatir dan tidak fokus dalam perkelahian keroyokan seperti tadi. Dalam hati, Zin juga gundah, ia sangat takut ayahnya akan memarahinya, makanya pikirannya kacau dan membuat ia tak fokus dalam berkelahi. Di saat terakhir sebelum Zin pingsan ia sayup-sayup mendengar suara ayahnya. Masih teringat dengan jelas Daichi yang membopongnya masuk ke dalam mobil lalu melarikannya ke rumah sakit. Dan di sinilah Zin, ia terbaring lemah di atas kasur ditemani oleh ayahnya Daichi. "Zin, kau baik-baik saja?" tanya Daichi khawatir. Zin terdiam sesaat, sebelum mengatakan hal yang tak terduga. "Silahkan jika ayah ingin memarahi Zin, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hidup Zin sudah dirancang seperti ini oleh takdir, jadi tidak boleh menyesali apapun sekarang." Daichi melolot tak suka, anaknya ini senang sekali mengajaknya bertengkar akhir-akhir ini. Bahkan di kondisi terlemahnya saja Zin sangat keras kepala. "Zin, ayah tak ingin membahas ini. Kau harus sembuh baru ayah akan membicarakan ini denganmu," balasnya sama keras kepala. Zin tertawa, "Jika bisa sekarang mengapa harus nanti ayah? Apakah sekarang Zin terlihat sangat menyedihkan sehingga ayah tak bisa memarahi Zin? Ataukah ... Eiji di rumah membutuhkan ayah? Hingga ayah tak ada waktu untuk berbicara dengan Zin?" Daichi mengepalkan tangannya geram, Zin mengatakan semuanya seperti dendam padanya. Ia ingin membentak dan memberi ketegasan pada Zin, tetapi dirinya tidak tega. Banyak sekali yang dipikirkan dan menjadi pertimbangan Daichi. Ia tak mau salah langkah lagi. "Terserah apa yang kau katakan, ayah akan pergi membeli makanan ke luar," pamit Daichi dan langsung keluar tidak peduli Zin yang memanggil-manggil dirinya untuk berhenti. Zin meninju sisi ranjangnya geram, di saat ia mengumpulkan banyak keberanian untuk berkata demikian pada sang ayah, Daichi malah memilih pergi. Sungguh, Zin lelah jika harus bermain seperti ini, saling menyembunyikan ego dan masalah masing-masing. Zin tak ingin jika hubungan dengan ayahnya seperti ini. Jujur ia sangat merindukan masa-masa itu, di mana ayahnya bersikap lembut padanya. Zin sengaja melakukan semua ini hanya demi mendapat perhatian sang ayah, ia sangat ingin diperhatikan seperti dulu lagi. Tetapi ketika melihat raut wajah Daichi, membuat Zin merenggut dan hancur kembali. Daichi menunjukan jika ia sangat tak suka atas sikap Zin selama ini. Itu membuatnya frustasi. Zin mengacak rambutnya dan menghentak-hentakkan kakinya. Tidak peduli rasa sakit di tubuhnya, ia sangat sakit hati sekarang. *** Seminggu lamanya Zin dirawat di rumah sakit, sekarang ia tengah dicek oleh dokter karena Zin memaksa ingin pulang ke rumah. Selama itu tak ada percakapan panjang antara Daichi dan Zin. Saat Daichi berusaha mengobrol dengan anaknya, Zin pasti mengelak dengan mengatakan ia ingin istirahat. Sangat jelas sekali jika Zin tak menginginkan ayahnya mengobrol dengannya. Zin mengelak dengan obrolan dengannya sampai tiba saatnya ia pulang ke rumah. Daichi membereskan barang-barangnya dan pakaian Zin. Sesekali matanya melirik ke arah Zin yang tampak santai duduk di atas kasur sambil memainkan handphonenya. Ia menghela napas pasrah dengan kelakukan sang anak yang sangat tak peduli dengannya. Setelah selesai, Daichi mengajak Zin untuk pulang. Di perjalanan pulang pun Zin tak pernah membuka mulutnya untuk mengobrol santai dengan Daichi. Ia masih saja sibuk dengan handphonenya. Sampai di rumah pun, Zin segera masuk ke dalam kamar. Melewati Eiji yang menyapanya dan mengajaknya berbicara. Saat Eiji akan masuk ke dalam kamar Zin segera melarangnya. Ia mendorong tubuh Eiji untuk keluar lalu menutup pintu dengan kencang dan menguncinya. "Ayah, apa yang terjadi dengan Zin?" tanya Eiji penasaran dengan sikap acuh Zin barusan. Daichi hanya tersenyum, "Eiji, Zin sangat lelah karena pulang dari rumah sakit. Makanya ia langsung masuk ke dalam kamar untuk istirahat," balasnya lembut. Eiji memajukan bibirnya kesal, "Yah padahal Eiji ingin mengajaknya bermain," ujarnya sedih. "Bagaimana kalau bermain dengan ayah?" tanya Daichi membuat Eiji mengangguk antusias. Eiji segera menarik tangan ayahnya untuk keluar rumah dan bermain pesawat terbang bersamanya. Daichi tampak kewalahan karena Eiji yang sangat bersemangat. Di dalam kamar Zin mendengar percakapan mereka. Hati Zin berdenyut sakit, mengapa Daichi selalu berkata lembut pada Eiji sedangkan padanya tidak? Ia merasakan diskriminasi sekarang. Daripada ia sakit hati akan lebih baik jika Zin merancang rencana pembalasan dendamnya sekarang pada sang kakak kelas yang telah membuat Zin seperti ini. Hingga malam tiba Zin tak kunjung keluar dari kamar, dirinya tengah sibuk dengan rencana jahatnya sendiri. Sampai tepat tengah malah, Zin merasakan lapar. Perutnya sudah berbunyi meminta untuk diisi. Dengan malas Zin keluar dari kamar, ia berjalan perlahan turun ke bawah berniat pergi ke dapur. Saat ia sampai di dapur Zin membuka lemari es untuk memeriksa apakah ada makanan yang bisa dimakan olehnya saat ini. Ia menemukan sepiring salad, lantas Zin mengambilnya dan membawanya ke meja makan. Dimakannya salad itu, sebelumnya dia menyalakan saklar lampu dapur. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukan jam satu malam. Ia masih belum tidur, tetapi tidak mengapa. Lagi pula sudah menjadi kebiasaannya Zin tertidur dini hari. Namun saat jam 6 ia pasti terbangun dan melakukan ritual pagi seperti biasanya. Ketika tengah asyik menikmati makanannya, Zin terkejut dengan kedatangan Daichi yang menatapnya datar. Zin hampir dibuat tersedak dengan kemunculan Daichi yang tiba-tiba. Daichi mendekat, ia berjalan menghampiri meja makan. Diambilnya gelas dan teko lalu dituangkannya air dan segera ia meneguknya habis. Zin mencoba tak peduli dengan apa yang dilakukannya ayahnya. Ia berniat untuk segera menghabiskan seluruh makanannya dan bergegas kembali ke kamar. "Apakah salad bisa membuat kenyang?" tanya Daichi. Zin terdiam, "Tidak, tetapi ini bisa mengurangi rasa laparku," balasnya singkat dan acuh. Daichi tersenyum, "Mau ayah buatkan makan malam?" tanyanya lagi. Ia sangat senang karena ternyata anaknya membalas pertanyaannya tadi tidak seperti sebelumnya yang hanya terdiam tak menjawab. "Tidak perlu, aku sudah kenyang." Zin menolaknya. Ia tak mau terlibat obrolan banyak dengan Daichi. Ia sangat menghindari hal itu. Setelah saladnya habis, Zin bergegas ke tempat cuci piring lalu menyimpan piring kotor itu. Ia berjalan ke arah meja makan untuk mengambil minum, tetapi lagi lagi Daichi membuka suara. "Zin, ayah ingin berbicara denganmu," ucap Daichi tak berbasa basi lagi. Ia sendiri jenuh jika harus seperti ini dengan anaknya. Zin pasrah, sekeras apapun ia menghindar tetap saja takdir seperti ini tak dapat dihindarinya terus menerus. Makanya ia hanya berdehem kecil lalu duduk dan memainkan jari-jarinya menunggu ayahnya berbicara. Perasaan Daichi menghangat, Zin akhirnya menurut padanya lagi. "Zin, ayah ingin menanyakan sesuatu padamu. Apakah kejadian kemarin membuatmu menyesal? Apakah kau menyesal sudah melukai tubuhmu sendiri?" tanyanya. Zin mengernyit heran. Ia tak mengerti apa yang ayahnya katakan. Seolah tahu, Daichi melanjutkan perkataannya. "Zin, ayah ingin kamu menyesali perbuatanmu kemarin. Ayah ingin kamu seperti dulu lagi. Mengerti dan menurut dengan semua perkataan ayah," ucap Daichi. Zin tersenyum smirk, ia menatap ayahnya datar. "Ayah bertanya aku menyesal? Tentu, aku sangat menyesal. Aku menyesal karena saat itu aku malah lemah, aku bisa saja melenyapkan mereka semu ...." "Zin! Hentikan semua ini, apakah kamu tahu apa yang tengah kau lakukan sekarang? Apa perkataan ayah tak membuatmu takut? Berapa kali lagi ayah harus mengatakan jika semua perbuatanmu ini salah. Tak ada yang benar dengan perkelahian," bantah Daichi memotong ucapan Zin. "Apakah dengan perkelahian membuatmu menjadi lebih berani? Apakah dengan menyiksa orang bisa membuatmu senang?" tanya Daichi kembali. Zin hanya terdiam jengah mendengar bantahan Daichi. Ayahnya sangat teguh pendirian menentang semua yang dilakukan Zin itu salah, maka jangan salahkan Zin juga seperti itu. Zin juga akan keras kepala dengan mengatakan semua yang dilakukannya ini bukan kesalahan. "Ayah tak pernah mendengar alasan Zin melakukan semua ini. Yang ayah lakukan hanya menentang setiap langkah Zin. Tanya pada diri ayah sendiri, mengapa Zin bisa seperti ini," balas sang anak emosional. Daichi terdiam, inilah yang ia inginkan sejak lama. Zin berkata sejujurnya padanya. Tapi tunggu apa? Zin menyalahkan sikap Daichi atas perbuatannya? Apa yang salah dengannya? "Jadi ayah yang salah? Apa yang mmbuat ayah salah?" tanya Daichi balik. Zin tak berbicara lagi. Ia memilih diam, ia terkejut karena mengutarakan seluruh isi hatinya tanpa ia saring. Zin tak ingin membuat ayahnya berpikir yang tidak tidak tentangnya. Sudah cukup ia bersabar dengan sikap tidak adil ayahnya dalam mengurus Zin dan Eiji. Ia tak sanggup jika harus selalu seperti ini, apa yang salah? Ingin sekali mengeluhkan semuanya sekarang. Namun, pasti akan sia-sia karena pada akhirnya Daichi akan sama keras kepalanya dengan Zin. Daichi mengambil tangan Zin, "Nak apa yang kau katakan? Apa yang salah dengan sikap ayah? Mengapa kau tidak melanjutkan perkataanmu? Katakan apa yang ingin kau katakan, tak perlu menyembunyikannya lagi sekarang. Jujur pada ayah Zin," pinta Daichi. Tetapi sang anak malah terdiam membisu tak menjawabnya. Ia hanya menundukkan kepala, tak berniat untuk menatap wajah Daichi. Itu membuat Daichi jengah. "Jujur pada ayah Zin, ayah hanya memintamu jujur. Apa yang salah dengan ayah!?" geram Daichi hampir berteriak. Jika tidak mengingat sekarang dini hari mungkin Daichi sudah hilang kendali dan membentak Zin lagi. Zin tersenyum sinis, "Ayah menanyakan hal itu pada Zin? Mengapa ayah tidak menanyakannya pada diri ayah sendiri?" tanyanya balik membuat Daichi terdiam tak mengerti. "Ayah lebih mementingkan Eiji daripada aku, aku juga anak ayah. Apakah aku harus seperti Eiji agar bisa mendapat perhatian ayah?" tanya Zin kembali membuat Daichi membulatkan mata tak percaya. Bibirnya keluh dengan mata menatap Zin kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD