Jejak keempat belas

1843 Words
"Ap-apa!?" Daichi kehilangan kata-kata lagi. Ia berdecak kesal, ternyata ini yang merubah anaknya. "Zin, ayah sering mengatakan hal ini padamu, mengapa kamu terus saja mengungkitnya lagi? Tak seharusnya kau iri pada Eiji, Zin. Apa kau pernah berpikir berada di posisi Eiji? Zin sepatutnya kau bersyukur, kau bisa hidup seperti manusia normal. Lihatlah Eiji, ia tak sama sepertimu dan tak akan bisa sepertimu," tutur Daichi tak habis fikir Daichi sangat kecewa mendengar Zin meributkan hal ini lagi. Mengapa Zin sangat susah untuk diatur? Apakah didikannya selama ini hanya berakhir sia-sia? Zin hanya terdiam, air mata jatuh tanpa ia minta. Kini linangan itu membasahi pipi kanannya. Segera ia mengusapnya, satu hal yang menjadi pegangannya selama ini. Zin tak mau terlihat lemah tak berdaya di hadapan ayahnya. "Baiklah, ini memang semua salah Zin. Zin yang salah, semua sudah terjadi. Aku harap ayah tak menyesal dengan perkataan ayah, begitu juga dengan sikapku. Mungkin ayah harus membiasakannya dari sekarang," balas Zin. Setelah mengatakan hal itu Zin segera pergi. Ia sudah tak mau berurusan dengan Daichi lagi. Hatinya sudah sangat sakit hati, berkali-kali ia menangis karena sikap ayahnya. Daichi tak menghalangnya, ia juga kecewa dengan sikap Zin. Ia tahu jika Zin cemburu dengan sikapnya pada Eiji. Tapi tak seharusnya Zin cemburu, karena Eiji sangat berbeda. Karena penyakit yang ia derita sejak bayi lah yang jadi penyebabnya. Down Syndrome trisomi 21. Bahkan Zin pun tahu itu. Karena ia sempat beberapa kali menemani Eiji pemeriksaan lebih lanjut. Selain terlihat dari gelagat luar, penyakit yang Eiji derita juga menyerang bagian dalam. Ia mempunyai kelainan jantung bawaan. Dan itu di dianogsa sejak usianya masih kecil Inilah hal yang tak disukai Zin. Ia tak menginginkan keadaan seperti ini. Lebih baik ia hidup sendiri daripada harus menyaksikan ayahnya sendiri lebih mementingkan Eiji daripada dirinya. Zin bergegas masuk ke dalam kamar, ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lalu menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut. Malam ini, seluruh hatinya hancur. Keesokan harinya keadaan rumah menjadi lebih buruk. Tak ada yang mau bicara antara Daichi dan Zin. Keduanya keras kepala satu sama lain. Hingga sampai Zin berangkat sekolah pun Daichi bersikap biasa saja seperti tak peduli dengan anaknya. Zin sendiri ia tak berpamitan pada Daichi, dirinya begitu marah dan kecewa. Zin segera membereskan tas sekolahnya kemudian berjalan pergi keluar. Eiji menatap bingung, ia menggapai lengan baju Daichi. "Ayah, mengapa Zin tidak mencium tangan Ayah sebelum pergi sekolah?" tanya Eiji polos. Daichi menatap ke arah luar, melihat Zin yang menyalakan motornya lalu berangkat pergi meninggalkan pekarangan rumah. "Eiji, Zin sekarang tengah sibuk dengan sekolahnya. Mungkin ia terburu-buru sayang. Eiji sudah makan?" tanya Daichi mengalihkan pembicaraan. Eiji menggelengkan kepala pelan, "Belum Ayah, tapi Zin juga belum sarapan," balasnya. Daichi mengangguk mengerti, Eiji pasti khawatir dengan Zin. Semalam ia tidak ikut makan bersama, lalu sekarang tidak memakan sarapannya. Daichi juga khawatir tetapi ia harus bagaimana? Jika Zin sendiri saja tidak mempedulikannya lagi, ia harus apa? "Kakakmu akan sarapan di sekolah, tidak perlu mengkhawatirkannya Eiji. Ayo makanlah rotimu," ujar Daichi mengalihkan perhatian agar Eiji tak membahas Zin lagi. Eiji mengangguk lalu menghabiskan sarapannya. Ia makan dengan lahap layaknya anak kecil. Karena penyakitnya membuat ia bertingkah seperti masih kecil. Padahal usianya sudah remaja sama seperti Zin, inilah yang membuat Daichi lebih khawatir. Ia harus menjaga Eiji lebih, karena kelainannya ini membuat Daichi harus dua puluh empat jam mengawasi Eiji. Sudah banyak kejadian tak terduga jika dirinya membiarkan Eiji bermain sendirian. Sampai sewaktu itu Eiji harus dilarikan ke rumah sakit karena bermain dengan alat cukur rambutnya sendiri. Dari sanalah Daichi semakin was-was dalam menjaga Eiji. Ia tak mau hal yang sama terulang kembali. Daichi sangat menyayangkan sikap Zin yang cemburu dengan perlakuannya pada Eiji. Padahal Zin juga tahu penyakit yang menyerang Eiji sejak kecil, tetapi mengapa Zin harus menaruh rasa cemburu? Seharusnya ia melakukan hal yang sama seperti Daichi. Menjaga Eiji agar tidak melakukan hal yang tidak-tidak. Tetapi sekarang? Zin malah malah berbuat semaunya. Menjadi anak nakal yang meresahkan orang tua dan kehidupan sekolahnya. Benar-benar membuat sakit kepala Daichi dibuatnya saat harus mengurus kenakalan Zin. Seperti sekarang, baru saja ia selesai makan. Gurunya Zin sudah menelfon dan memanggilnya ke sekolah lagi. Daichi hanya bisa menarik napas pasrah, segera bergegas pergi ke sekolah setelah memastikan Eiji ada pengasuhnya. Di jalan, Zin membawa motornya dengan cepat. Ia terus saja menarik gas tanpa rasa takut. Tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Pikirannya terbang memikirkan pertengkarannya semalam dengan sang ayah. Zin awalnya tidak berniat datang ke sekolah, ia ingin datang ke basecamp tempat teman-teman nakalnya berkumpul. Tetapi mengingat sebuah dendam harus ia tuntaskan membuatnya pergi ke sekolah. Di sekolah, Zin tampak tenang dan santai. Banyak sekali gadis yang terpikat dengannya. Di usianya yang hampir 16 tahun ini sudah berhasil memikat banyak wanita. Bahkan dia disebut sebagai badboy nya sekolah ini. Wajahnya yang tampan dengan bahu yang lebar dan badan yang tegap membuat semua gadis menyukainya. Tubuh atletis dan tinggi badannya benar-benar memikat hati para kaum hawa. Zin melewati koridor kelasnya, ia tak masuk ke dalam hanya melewatinya. Tujuannya adalah gudang sekolah, dengan langkah santai menuju ke gudang sekolah. Di gudang sekolah sudah ada beberapa pria bertubuh tinggi yang sedari tadi menunggu kehadiran Zin. Saat Zin datang segerombolan pria itu langsung berdiri dan mendekat. "Ah kau datang lagi. Aku terkejut karena kau tak melaporkan perbuatan kami kemarin, padahal ayahmu melihatnya langsung. Kau takut pada kami bukan? Makanya jangan berbuat masalah dengan kami," ucap salah seorang pria yang merupakan pemimpin dari geng itu. Benar yang dikatakannya, Zin meminta ayahnya Daichi tidak melaporkan masalah ini pada sekolah. Bukan, bukan karena ia takut melainkan Zin sudah merancang rencana balas dendam pada mereka yang sudah membuat Zin masuk ke dalam rumah sakit. Makanya agar seimbang Zin tak melaporkan kejadian ini ke sekolah. Ia tak mau membuat keributan semakin besar. Sudah cukup seperti ini. Jangan ditambahkan lagi. Setelah Zin sembuh, ia mengajak kakak kelasnya untuk bertemu di gudang sekolah. Zin sudah memikirkan rencananya dengan matang. Tak boleh ada yang menganggu atau menghalangi acara balas dendamnya ini. Lalu sampailah Zin di sini, menemui kakak kelas beserta teman-temannya di gudang sekolah sendirian tanpa ada seorang pun yang menemaninya. "Ck, kau tak perlu mengeluarkan tenagamu lagi untuk mengajak kita berkelahi. Turuti saja apa yang Xiaolin inginkan, jadilah pacarnya. Atau tidak kami akan membuatmu dikenang selamanya," ancam yang lain. Zin tersenyum, ia tak habis pikir jika persoalan cinta pun harus dipaksakan seperti ini. Memangnya ia siapa? Berani sekali memerintah Zin. Sesaat Zin teringat dengan perkataan ayahnya tempo hari. " ... lalu gunanya pemerintahan dengan aturannya apa Zin? Apa kau harus perlu turun tangan untuk mengatasinya?" Bibirnya tertarik untuk tersenyum. Yang diucapkan ayahnya ada benarnya juga. "Apa gunanya aku jika hidupku diatur olehmu?" bisik Zin membuat semua orang terdiam. "Kau berbicara apa? Apakah kau tengah merapalkan doa? Tenang saja kami hanya akan mengantarkanmu ke rumah sakit saja, atau kau ingin menjadi sebuah kenangan?" tanya seorang pria diakhiri dengan tawanya yang menggelegar. Zin yang mendengarnya tersenyum, ia membuka penutup kepalanya dan menatap datar sekelompok pria di depannya. Kedua matanya menyipit tajam, keluar aura gelap dari tubuh Zin hingga membuat segerombol pria di depannya menjadi salah tingkah. Mereka tiba-tiba menjadi takut, entah mengapa. "Hei, apakah ocehanmu sudah selesai? Waktuku tidak banyak. Aku tidak bisa mendengarkan ocehan kalian lebih lama, bagaimana jika kita bertarung? Dan siapa pun yang kalah tak boleh melapor," ajak Zin. Sang kapten tersenyum merendahkan, "Hei anak kecil. Mentalmu kuat juga ya, aku takut kau hanya akan terluka lagi. Aku bisa saja membuatmu mati, tapi adikku terus saja merengek meminta kau menjadi pacarnya. Daripada menghabiskan waktu, lebih baik kau menurutiku. Lagi pula sudah tertebak bukan siapa yang akan menang?" Mereka tertawa menertawakan kemalangan Zin. Dan sang korban hanya terdiam lalu tersenyum smirk. "Ah kau takut? Sayang sekali!" ejek Zin membuat sang kapten geram melihatnya. "Hei Zin! Jangan salahkan kami jika kami membunuhmu sekarang, kau sudah menganggap remeh kami, lihatlah aku akan menghajarmu sampai kau mati. Aku sudah tak peduli dengan adikku, kau tak pantas dijadikan pacar oleh adikku," sungutnya emosi. Zin hanya tersenyum, "Oh iya? Begitu juga denganku. Kau seharusnya bersyukur menjadi korban pertamaku yang terbunuh dalam pertempuran," ucapnya. Sang kapten tampak emosi, ia segera menantang Zin berkelahi. Dan perkelahian pun tak bisa dihindari. Zin sangat tangguh sekarang, tenaganya bertambah ketika mengingat kalau ayahnya yang sangat ia hormati tidak berlaku adil padanya. Di lain tempat Daichi sudah sampai di sekolah. Semenjak di parkiran sekolah, hatinya sedari tadi tak tenang, entah mengapa. Daichi menghela napas panjang, hatinya terus bertanya-tanya apa yang akan terjadi ke depannya. Daichi berjalan ke arah kantor. Ia memutar jalan melalui kelas Zin dan gudang sekolah. Ntah mengapa Daichi ingin lewat ke sana, mungkin ia ingin melihat Zin yang belajar di sekolah. Saat melewati kelas Zin, Daichi tak menemukan sosok yang ia cari di seluruh sudut kelas. Padahal sekarang sudah masuk jam pelajaran sekolah, mengapa Zin tak kunjung ditemukan? Apakah mesin motornya rusak hingga membuat anak itu terlambat ke sekolah? Daichi terus saja berpikir positif tentang Zin. Sampai ia melewati lorong sempit menuju gudang sekolah membuatnya berhenti berjalan. Daichi melirik sekilas ke lorong sempit tadi, ia mendengar suara benda-benda yang dipukulkan pada sesuatu. Kedua tangannya bergemetar ketakutan, rasa khawatir mulai menjalar di hati dan pikiran Daichi. Bayang-bayang kejadian waktu itu saat Zin dikeroyok oleh kakak kelasnya membuatnya menjadi ketakutan sendiri. Perlahan tapi pasti Daichi mendekat, ia berjalan dengan hati-hati menuju gudang sekolah melewati lorong sempit tadi. Saat sampai di gudang sekolah alangkah betapa terkejutnya Daichi ketika melihat seorang anak yang tengah menyiksa habis-habisan temannya. Pemandangan ini terasa sangat déjavu bagi Daichi. Namun, kenyataan yang membuatnya semakin menatap tak percaya adalah anak yang tengah menyiksa temannya itu adalah Zin, anaknya sendiri. Teman dari pria yang tengah dihajar habis-habisan oleh Zin mencoba menghalangi Zin agar ia berhenti dengan aksinya. Namun, Zin tampak kuat, ia bisa melempar teman-teman dari kakak kelasnya untuk tidak menganggu ia yang tengah asyik memberi pelajaran padanya. "Sesuai perjanjian kita, jangan salahkan aku jika aku melenyapkanmu," ucap Zin terengah-engah. Ia mengambil balok kayu di sampingnya lalu mengarahkannya pada kepala pria di bawahnya ini. Zin berniat menyerang kepalanya sekarang. "ZIN HENTIKAN!" Seorang pria berteriak di ambang pintu membuat semua mata tertuju padanya. Tak terkecuali Zin yang langsung menghentikkan tangannya dan menatap ke arah pintu. Kedua mata Zin membulat sempurna, mengapa selalu di adegan seperti ini ia bertemu dengan ayahnya. "A-ayah Zin bisa jelaskan," ujar Zin terbata-bata. Ia segera menghampiri ayahnya, sebelum itu Zin membuah balok kayu tadi ke sembarang arah. Ia tak mau ayahnya berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya ini. Zin hanya membalaskan apa yang dilakukan oleh para kakak kelasnya itu tidak lebih. Daichi mengepalkan tangannya kuat, lagi dan lagi ia harus menyaksikan anaknya tengah terlibat dalam perkelahian. Entah itu menjadi korban atau pelaku tetap sama saja membuatnya kecewa. "Pergi dari sini, tunggu ayah di dalam mobil!" perintah Daichi tegas. Zin ingin membantah, tetapi melihat tatapan Daichi yang sangat murka membuatnya mengurungkan niat. Zin mengambil tasnya lalu berjalan pergi, sebelum itu ia melirik sekilas ke belakang. Menatap satu persatu kakak kelasnya yang tumbang ketika berkelahi dengannya. Senyuman tertarik di bibirnya, membuat orang yang melihatnya bergidik ngeri. Zin tampak seperti psychopath tadi. Daichi menarik napasnya panjang. Untuk ke sekian kalinya ia harus mengurusi sikap Zin yang semakin memberontak setiap harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD