Hari Baru di Sangkar Napi

1906 Words
"Bangun.. bangun..!" pekik seorang petugas dari luar sel. Siku jari tengahnya mengetuk jeruji besi beberapakali, timbulkan derit suara yang bangkitkan para tahanan dari tidurnya. Kedua mata Yogas tersibak paksa. Padahal ia baru mendapat lahan dan bisa terlelap dalam beberapa menit saja. Dengan malasnya ia beranjak keluar sel, mengikuti rombongan tahanan yang beringsut menuju keluar blok. "Hendak kemana kita pergi di pagi buta seperti ini?" pikir Yogas belum mengerti. Yogas terus melangkah, keluar area sel-sel tahanan. Seringkali tangannya menyapu kedua matanya, mengusir kantuk yang kian membius. Perjalanan mereka berakhir di depan masjid yang berpijak di tengah denah rutan. Ternyata, dia dan penghuni lapas lainnnya akan melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Hati Yogas gemetar. Kakinya melangkah dengan berat, merasa malu memasuki bangunan masjid. Teringat, selama ini dia jarang menjamah rumah Allah. Jiwanya berdegup lagi. Dia masuk perlahan, berusaha mengemis ampunan pada-Nya. *** Ketika mentari menggapai hari, semua tahanan dan narapidana di Rutan Kali Duren menyembul dari tiap-tiap ruang selnya. Mereka berhamburan dari bloknya, berjalan menuju gym di bagian barat lapas. Setiap pagi, mereka diwajibkan untuk merenggangkan persendian, berolahraga untuk membugarkan jasmani. Yogas terus mengayunkan kaki, terhisap arus para penghuni sel yang masuk ke gym di Gedung E. Gedung itu terletak paling selatan di denah Lapas Kali Duren. Sinar mata Yogas terus mencari, melacak satu demi satu wajah napi dan tahanan di setiap lapang permainan. Akan kemanakah langkah Yogas berlabuh? Ke lapangan futsal, badminton, tenis meja, atau ke ruang fitnes yang disekat paling ujung? Namun, sejak tadi ia tidak berniat untuk berolahraga. Hasratnya hanya tertarik pada satu pemilik wajah yang ia ingat. Wajah yang besar, seringai yang lebar, dan di tengah kepalanya tidak tumbuh satu rambut pun. Namun, siapakah orang itu? Suara sahutan Anto menepis pikiran Yogas sekejap, "Gas, ayo kita bertanding..!" Yogas pun bertandang ke lapangan paling kiri, tempat Anto memanggilnya untuk bermain tenis meja. Seringkali Yogas kalah beradu main. Banyak smash-nya yang selalu meleset. Otaknya benar-benar dikuasai ambisi untuk menemukan orang itu. Setelah lelah bermain, Yogas dan Anto duduk di bangku semen panjang yang menempel di tepian tembok. "Apa kau kenal Kuncoro?" tanya Yogas agak risau terhadap Anto. Anto mengernyitkan rautnya. Mata kirinya meruncing, ia mencari nama itu di semua lembar kamus otaknya. "Kuncoro?" Mukanya menenggak ke langit-langit, memikirkan siapa orang yang ditanyakan temannya. Kepala Anto menggeleng, nama Kuncoro tidak tersimpan di rekam ingatannya. Parasnya berpaling ke orang yang duduk di sebelahnya, "Kau pasti kenal Kuncoro! Kau kan mendekam disini sudah lama. Kalau aku baru dua bulan." sambarnya pada orang yang dijuluki 'Ucok', seorang narapidana senior. Bagi para tahanan dan napi, Ucok adalah mata dan telinganya penjara ini. Dia adalah seorang informer yang paling mengenali seluk beluk Lapas Kali Duren. Betapa tidak, sebenarnya dulu dia adalah petugas disini. Bahkan dia bekerja ketika awal lapas ini dibangun. Namun keadaan berganti arah, ketika ia ketahuan membocorkan rahasia ke narapidana. Seketika itu juga ia menjadi penghuni sel penjara. Walau begitu para sipir disini adalah temannya juga, sehingga semilir informasi akan berkeliaran ke dalam otaknya. "Aku tidak tahu..!" balas Ucok tidak membuka tirai mulutnya. Dengan mimik kesal, Anto menempelkan sebatang rokok di jemari kasar Ucok. Diam-diam, tanpa sepengetahuan sipir, Anto menyembunyikan barang-barang kesukaannya di kantung celana kusamnya. Ucok melirik ke bawah, ke arah rokok yang ditaruh di bangku. Lalu, ia masukkan rokok itu ke dalam bajunya. "Oh, koruptor itu? Mainannya bukan disini, tapi di gym Gedung B. Para koruptor benar-benar menikmati fasilitas berbeda." beber Ucok setelah termakan sogokan, "Seperti yang kita tahu, penjahat kelas teri dan kakap seperti dia akan dipisah." Dalam sekali terka, Yogas sudah tahu ada sistem kasta disini. Meski sama-sama hidup di bawah atap 'penjara terpadu', namun perbedaan status sosial masih tetap berlaku. Orang berduit yang berlatar belakang pejabat dan pengusaha, tinggal di lantai berkilau yang mengunci rapat segunung kemewahan di sudut kamarnya. Namun untuk mereka yang berdarah melarat, pencuri sendal, preman jalanan, hidup bersempit-sempitan berebut lahan tidur di kamar selnya. Yogas berpikir lagi. Untuk apa para napi disatukan dari beragam latar belakang, tetapi status sosialnya masih disekat-sekat? Dipisah, menerima hak yang sangat kontras. Bukankah hukum itu tidak adil? Mengapa orang miskin saja yang menderita terkungkung di ujung jeruji nestapa? Bukankah mereka juga pendosa? Perampas kekayaan negara. Lintah yang menguras darah dan keringat rakyat. Pikir Yogas dengan keras, seraya memendam bara kemarahan atas ketidakadilan ini. Kini Yogas tidak merasa hidup di 'penjara terpadu', ini sama layaknya seperti tinggal di penjara biasa. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Ia menduga 'penjara terpadu' ini hanya kedok belaka. Sebagai topeng muslihat para penguasa, untuk menutupi wajah buruk di dalam penjara. Yogas meninggikan suaranya. Ia hampir menumpahkan semua kekesalannya kepada Ucok. Namun, ia redam lagi amarahnya itu untuk menangkal perselisihan. "Kapan dan dimana aku bisa bertemu orang itu?" lontarnya bersuara geram, sambil meremas tangannya karena muak. Lagi-lagi Ucok bungkam karena tidak diberikan imbalan. Meski sudah memberikan tatapan tajam, tapi Yogas tidak memperoleh jawaban apapun darinya. Informasi yang mencuat dari bibir Ucok tidak bisa dibayar dengan ucapan terimakasih. Ia hanya akan menyibak pintu mulutnya jika diberi upah. Dengan sigapnya, untuk meredam Yogas yang tampak geram, Anto menaruh lagi benda di depan tangan Ucok. Kali ini bukan rokok, melainkan uang sepuluh ribu. Ucok masukkan uang itu ke kantung celananya, pertanda menyetujui. Ucok mulai angkat bicara, "Kejuaraan bulu tangkis antar penghuni lapas. Dia hebat dalam permainan itu. Kalau ingin menemuinya, minimal kau harus mengalahkan bulu tangkis dari teman-teman satu selmu... atau kau juga bisa.." Ucok sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Ia ingin diberi imbalan lebih. "Apa? Bagaimana caranya?" Yogas terpancing informasi yang lebih banyak. Tetapi kemudian ia diam. Dia sadar Ucok bukanlah orang yang bisa diajak berunding tanpa imbalan. Dahi Yogas mengerut, selama ini olahraga yang ia geluti adalah fulsal, bukan bulu tangkis. Dia palingkan wajahnya ke sudut kanan, ke orang-orang yang bermain fulsal. Teringat jelas ketika ia sering merebut bola lawan di lapangan hijau, ia adalah seorang bek yang handal. Bahkan karenanya, dia dijuluki 'sang perebut' oleh teman-temannya di satuan kepolisian. Pandangan Yogas bergerak jauh ke depan, menjangkau lapangan bulu tangkis. Ucok memasang raut curiga. Dia membaca algoritma otak Yogas yang terlalu berhasrat menjumpai Kuncoro. Namun pria berbrewok lebat itu, Ucok, belum memahami mengapa Yogas terobsesi terhadap si koruptor pajak. "Kenapa kau ingin bertemu koruptor itu?" tanya Ucok melepas rasa keingintahuannya. Sebagai seorang narapidana yang dijuluki 'informer', dia tidak ingin melewatkan satu informasi sekecil apapun. Ujung penglihatan Yogas meruncing, menyerang Ucok dengan tatapan. "Kau penasaran? Itu artinya kau harus menjawab pertanyaanku yang tadi dulu." timpal Yogas memancing sang informer. Karena saking penasarannya, Ucok pun memaparkan berita yang dikunci di memori otaknya. "Hmm... kau harus meminta pihak lapas memindahkanmu ke blok yang sama dengannya. Hubungi Rian, sipir blok B. Dia bisa bernegosiasi denganmu asal kau punya uang." *** Empat orang tahanan angkat kaki. Mereka keluar dari sel ketika seorang sipir datang menjemput. Rupanya mereka sudah ditetapkan menjadi terdakwa. Dipindahkan ke Gedung C, bloknya para narapidana. Yogas yang semula berdiri, sekarang mengambil lahan duduk. Kepergian keempat orang itu melengangkan sel bernomor 11. Sekarang semua tahanan bernafas lebih lega, bisa melonjorkan kaki ke depan. Begitu pula dengan Anto, ia dengan Supri berebut area di pojok ruang sel. Tempat di ujung kanan itu adalah posisi ternyaman. Dengan duduk disana, mata bisa bertatapan langsung dengan televisi yang tergantung di ruang petugas jaga. Keseruan Anto dan Supri menyaksikan acara televisi berakhir, saat seorang sipir menyembul dari tempat persembunyiannya. Dia muncul dari pos jaga di depan rentetan sel, tetapi masih di ruang blok yang sama. Anto dan Supri cepat-cepat mengatupkan mata, berpura-pura tidur tak menyaksikan apapun. Entah apa jadinya jika ketahuan menonton televisi. Mungkin para sipir yang jahil akan mengusili mereka berdua. "Bangun.. kalian harus membersihkan area penjara.." usik sipir membangkitkan para tahanan yang terlelap. Semua tahanan lekas beranjak keluar dari kerangkeng, tetapi Supri tidak. Dia masih terbelai oleh kantuknya. *** Yogas duduk berdekapan kaki. Duduk bersandar tembok dan tampak memilukan di sudut sel penjara. Sorot matanya menggapai lubang fentilasi di bagian atas tembok di depannya. Uh, ternyata senja sebentar lagi tiba. Pikirnya, sambil membayangkan seluruh wajah keluarganya. Sudah lima hari ini ia mendekam menjadi tahanan. Namun tidak seorang pun dari keluarganya yang datang menjenguk. Salima, Ratu, dan Ratih, kemanakah mereka dikala Yogas terpojok? Sakit yang dirasa, namun itulah yang kini ia terima. Bunyi jeritan gembok sel yang dibuka membangunkan beberapa tahanan yang tertidur. Seorang sipir muda datang, arah langkahnya menuju ke sel bernomor 11. Supri, Nanang, dan Anto lekas duduk tegap, menatap si sipir penuh antusias. Berharap satu nama dari mereka disebut, segera dikeluarkan dari ruang menyesakkan ini. "Kau.. keluarlah.." mata sipir menunjuk wajah Yogas, "Ada orang yang ingin bertemu denganmu.." Mereka bertiga – Supri, Nanang, dan Anto, kembali terduduk lemas. Sembari membuang antusias yang sempat tumbuh dalam hati, mereka memandang Yogas iri. Cemburu, karena tidak ada yang memedulikan mereka. Bahkan sudah sebulan lebih tidak ada yang datang mencari Anto. Dia hanya termangu, merasa tidak dihiraukan keluarganya. Namun kalau dipikir-pikir lagi keluarganya tidak perlu menjenguk. Biaya besuk pastinya akan sangat menguras dompet, Anto tidak ingin menyusahkan mereka. Apalagi penjara ini agak sedikit berbeda, pembesuk harus melewati banyak pintu tahapan. Dan di setiap tahapan harus mengucuri uang untuk petugas, bila mereka ingin menjumpai tahanan atau napi yang mau dijenguk. Yogas beringsar dari blok tahanan. Langkahnya berakhir di jajaran ruang besuk di Gedung A, pada bagian depan wajah lapas. Agak berbeda dengan penjara besar lainnya, Lapas Kali Duren memiliki hamparan ruang besuk yang berderet panjang. Saat jam besuk tiba, suasana rangkaian ruang besuk diriuhi banyak pembesuk. Ruang besuk tampak menawan, seperti bertandang ke rumah sendiri. Banyak dari pembesuk berpikir, bahwa ruang tahanan dan napi tidak jauh berbeda dengan ruangan ini. Benak mereka dikelabui, sel-sel penjara tidak seanggun wajah depannya. Bola mata Yogas berkeliaran, mencari pemilik wajah yang tengah membesuknya. Seorang wanita berteriak karena tidak diacuhkan, "Yogas... ini aku..!" Yogas berpaling ke kiri. Sekejap, matanya menangkap wanita muda cantik berpakaian rapi. Penglihatannya bergulir ke bawah, memandang kalung yang menjulur menunjuk bumi. Yogas datang, seraya terpaku beberapa detik terhadap kalung yang tidak asing baginya. Kalung di leher wanita itu ikut tersenyum saat Yogas tiba. Kalung yang dulu dihadiahkannya kepada wanita itu. Mereka duduk berhadapan di ruang besuk. Tepat di tengah-tengah, sebuah meja panjang menjadi perantara mereka berdua. "Amira.. Apa yang membawamu kemari?" Yogas terkejut melihat mantan kekasihnya. Wanita itu adalah pacarnya semasa duduk di bangku SMA. Amira menaruh sebuah kotak makanan di permukaan meja. Dia sibak pula tutup plastiknya, lalu menyodorkan makanan hangat ke Yogas, "Kau terlihat kurus.. kau harus cukup makan dan tidak boleh sakit." Amira terpapar kecemasan karena kondisi Yogas tampak mengkhawatirkan. Warna wajahnya sedikit pucat, tidak segar dan nampak layu. Sebelum makan, suara Yogas berhembus pelan, berbisik ke telinga Amira, "Kumohon. Orang-orang disini jangan tahu bahwa aku seorang polisi." Amira membalas dengan anggukan manis, "Ya, takkan kuberitahu!" Dengan ganasnya, gerigi tajam Yogas mengoyak tubuh lunak para udang. Ia sangat lapar, tidak sanggup menahan rasa yang kian menyiksa. Udang bumbu pedas adalah makanan kesukaannya sejak lama. Aroma bumbu pekat menggerayangi hidungnya, membuat dia menyeruput makanan tanpa melewatkan satu sendok makan pun. Amira tersenyum lepas, memperhatikan Yogas yang makan dengan lahapnya. Akhirnya, ia bisa meluapkan kerinduan kepada Yogas. Hampir lima tahun ini mereka tidak saling jumpa. Yogas sengaja mengatur jarak dengannya, karena sadar dia sudah beristri dan dianugerahi dua anak perempuan yang cantik. Ketika Yogas habis menyesap satu kotak makanan penuh, Amira berbicara dengan bibir cemberut basah. "Keluargamu, teman-temanmu.. Bagaimana bisa mereka tidak datang menjengukmu?" sambar Amira membenci situasi ini. "Tidak, Salima dan anak-anakku datang kemarin." timpal Yogas berbohong. Garis mimik Amira melengkung, terlukis kemarahan, "Aku telah mendengar kabar dari sipir. Kau tidak bisa membohongiku.." Amira gigit ujung bibirnya, menepis ucapan dusta dari mulut Yogas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD