Menyelamatkan Diri di Dunia

1251 Words
Apa yang kau pikirkan bila mendengarkan kata “bahagia”? Bahagia adalah sesuatu yang sederhana. Seperti ketika menatap seseorang yang sangat kau cintai tersenyum manis di hadapanmu. Ketika orang yang kau cintai berada di sisimu selamanya. Atau seperti ketika calon orangtua menantikan bayi di tengah-tengah pernikahan mereka.  Tidak pernah sekalipun ditemukan jawaban yang sempurna. Sekuat apapun mencarinya, Erin tetap kebingungan. Satu kali dalam hidup, kita pernah ragu kemanakah kebahagiaan itu pergi. Kemana mereka berada, kemanakah arah tujuan mereka, seperti apa rasanya. Bila kau sendiri yang mencari tanpa merasakan, sama saja kau membuang-buang waktumu untuk hal yang sia-sia. Untuk mencapai kebahagiaan, kau harus bertarung dengan banyak rintangan; benci, dendam, ragu, sedih, marah. Semua itu di alami manusia, sayangnya kita bisa terjerumus dan bersemayam di dalam salah satunya.  Sudut bibirnya berkedut, gumam tawanya tak dapat disembunyikan. Tawanya berubah menjadi raungan keras yang terdengar sumbang. Tawa yang dibuat-buat. Selama ini dia jauh lebih bodoh dibandingkan siapapun. Dia meratapi tangannya sendiri. Mengapa setiap pertanyaan atas hidupnya tidak ada jawaban yang benar? Apakah semua jawaban telah berubah menjadi debu dan tertiup angin? Telapak tangannya kian besar serta jemari panjang dan lentiknya mulai dingin dan kaku. Untuk apa selama ini menunggu jawaban yang tidak ada jawabannya? Langkah kakinya sempat kuat demi menebus dosa dan lari. Pada akhirnya, kakinya mulai melemah. Semakin lemah dan akhirnya diam. Hanya menunggu kapan kedua kakinya terjerumus sampai ke dasar tanah. Dia hanya merasakan hampa.  Ruangan ini sunyi, hanya terdengar napasnya sendiri.  Tubuhnya mulai kaku. Sedangkan, satu demi satu pertanyaan terus menyerbunya. Sudah hampir tiga bulan dia disini. Dia hampir angkat tangan, pasrah dengan masa depan. Di sisi lain, hatinya menentangnya keras. Dia tidak boleh terperangkap di masa lalu. Masa lalu untuk dipelajari agar kedepannya dia tidak melakukan kesalahan yang sama, bukan dijadikan kenangan yang hanya menyakiti diri sendiri. Sesakit apapun. Erin membaringkan tubuh lemasnya di atas tempat tidur kapuk. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Keadaan ruangan ini sama seperti jalan pikirannya sekarang.  Dalam kegelapan, dia menghela napas panjang. Awal kedatangannya ke Jakarta bagaikan hipnotis. Saraf-sarafnya tak dapat terkendali. Seakan ketika kau bangun dari mimpi, kau sudah berada di tempat yang tidak kau kenal. Dengan uang seminim mungkin, dia berusaha mengatur hidupnya agar sanggup bertahan sampai dia diusir dari sini. Dia tahu, waktu tidak akan menunggu siapapun. Tubuhnya sudah terlalu lelah. Matanya terasa berat. Dia memejamkan matanya sejenak, meredakan rasa lelah dan lemas yang terus menumpuk. Aku harus bertahan hidup. Harus. *** “Nice, Hans!” Martin Anggabaya, konduktor sekaligus pendiri orkestra, memberikan tepuk tangan setelah dia mengatakan istirahat pada kru-kru orkestranya. “Aku takjub padamu.” Masterpiece Symphony Orchestra, biasanya dipanggil MSO, adalah salah satu orkestra terkenal di Indonesia. Namanya sudah tidak asing di telinga pencinta musik klasik, jazz, dan instrumental. Berkali-kali tampil di luar negeri sebagai bintang tamu dan menyabet piala kejuaraan orkestra. Tidak hanya memiliki anggota tetap yang berbakat, MSO memiliki cara mereka tersendiri dalam penyajian musik mereka. MSO selalu mempersiapkan kejutan yang berbeda-beda di setiap pertunjukan dan tak heran banyak yang ingin menjadi anggota.  MSO beberapa kali membuka workshop dan kelas untuk saling mengenal dan belajar musik di kantor mereka di kawasan pusat Jakarta. Hal ini dimanfaatkan Martin untuk memantau bibit unggul pemuda yang berbakat dalam musik. MSO akan mengadakan pertunjukan keempat mereka sebulan lagi. Mengambil tema berjudul “The New Generation of Youth”. Ini bukanlah orkestra yang seperti sebelumnya. Pertunjukan kali ini adalah full orchestra. Tidak hanya mengundang tamu-tamu penting di bangku kelas gold dan platinum, orkestra kali ini diadakan di gedung berkapasitas 1400 orang. MSO memperkenalkan anggota baru mereka yang dipilih khusus dengan seleksi ketat. Tentu saja, bagi penggemar MSO dan media, hal ini akan diamati baik-baik sebagai batu loncatan dan eksistensi MSO. Bagi Martin, menemukan Hans adalah suatu keberuntungan yang tak terduga. Sekitar pertengahan tahun lalu, Martin benar-benar kebingungan memilih pianis. Semua orang yang direkomendasikan rekan-rekannya sama sekali tidak memenuhi kualifikasi. Selalu saja ada yang kurang sempurna, entah emosi yang ditampilkan atau teknik yang masih kurang. Di saat genting, tiba-tiba Ivan teringat Hans, teman baiknya di kursus musik saat masih bocah. Makanya, Ivan mencoba berhubungan lagi dengan Hans kembali setelah sekian lama tidak berjumpa. Martin dibuat tercengang ketika Hans bermain lagu Mozart, Piano Sonata no. 8 in A minor. Bukan hanya sekadar memenuhi nilai teknik, lagu itu membawa Martin ke dalam alam lain. Emosi Martin dibawa naik turun layaknya roller coaster. Mengingat lagu ini diciptakan setelah kematian ibu Mozart dan hatinya sangat hancur. Martin dapat merasakan emosi itu pada permainan Hans.   Hans melebihi ekspektasi yang diharapkan Martin sebelumnya. Pianis mengagumkan yang pernah kukenal, batin Martin merasa menang.    Bagaimana bisa seorang pemain piano hebat seperti Hans bekerja paruh waktu menghibur pengunjung di sebuah kafe kawasan Selatan? Sungguh disayangkan bila dia tidak memperlihatkan sehebat apa permainan yang dapat mengaduk emosi dengan sempurna. Setidaknya itu yang dipercayai Martin.  Tentunya, Martin tidak mau pakai acara berpikir lagi. Martin langsung menghubungi dan menawarkan Hans untuk menjadi pianis untuk piano concerto. Beruntung, Hans tidak butuh waktu lama untuk berpikir dan menerima tawaran Martin. Maka dari itu, solo pianist Rachmaninoff Piano Concerto no. 2, jatuh ke tangan Hans. Tidak hanya jadwal latihan para pemain mulai memadat akhir-akhir ini, para kru-kru dan sponsor semakin gencar mempromosikan tiket yang tinggal sedikit di sosial media dan media cetak.  “Dia menyiksaku waktu latihan terakhir kali. Setelah semua orang sudah pulang dari sini,” gerutu Ivan merenggangkan otot-otot leher dan jari yang sempat tegang. Meski hanya latihan seminggu sekali, rasa pegal-pegal di tubuhnya seolah tidak bisa hilang meski sudah pergi ke refleksi kemarin-marin.   Martin mendengus, tidak bisa menahan tawa. “Sebentar lagi penyiksaan akan berakhir.” Hans hanya menonton Ivan dalam diam. Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan sibuk sendiri dengan pikirannya.  *** Hans menyandarkan diri di tepi balkon. Matanya terpejam, merasakan angin menyapu wajahnya perlahan. Sudah sangat lama dia tidak merasakan kenyamanan seperti ini. Walau Hans tidak menemukan gadis itu, biarlah otaknya beristirahat sejenak. Akhir-akhir ini dia terlalu lelah. Pekerjaan ganda terlalu berat dan bisa berantakan kalau saja dia tidak membuat jadwal di otaknya. Ini sudah menjadi resiko yang dia ambil. Tinggal beberapa bulan lagi, gumamnya tanpa sadar. Lama-lama, Hans mulai merasa ngantuk.   “Kalau begitu terus, lehermu bisa sakit.” Hans terperanjat. Lagi-lagi dia, pikir Hans. Bukan karena dia dikagetkan tiba-tiba ada suara, melainkan karena Erin datang dan berdiri menatapnya kebingungan. “Sejak kapan kau disini?”  “Sejak kau berkata ‘beberapa bulan lagi’,” kata Erin sembari menyesap segelas teh hangat dari gelasnya. Gadis itu sudah ada disini. Tiba-tiba, Hans benar-benar bingung harus bagaimana. Hening.  “Kau suka datang kemari?” tanya Hans, langsung berbicara apapun yang muncul di otaknya. Setidaknya, dia berusaha terlihat santai. “Hampir setiap malam,” jawab Erin datar. “Makanya kau selalu muncul pukul sepuluh malam keatas?” “Hmm...begitu, kah?” “Be-begitulah.” Merasa perbincangan mendekati jalan buntu serta merasa tidak kuat dengan situasi canggung, mau tidak mau harus memutar otaknya keras. “Mmm...omong-omong, aku dengar kau dari luar kota.” Erin mendeham sebagai jawaban. “Kuliah?” Erin mengernyit sekilas lalu mendengus. Laki-laki ini ternyata suka asal bicara tanpa bukti. “Pengangguran.” Erin menatap gelasnya yang sudah kosong. Sebelum dia pergi, dia menatap langit sekilas lalu bergumam, “besok mungkin langitnya cerah.”  Ketika Erin akan pergi, Hans menyerangnya dengan satu pertanyaan yang sedari tadi ingin ditanyakan. “Omong-omong, bagaimana dengan jasku?” Hening.  “Sedang dicuci. Tenang saja. Aku akan menepati kata-kataku sendiri,” jawab Erin terbata-bata. Hans mengendikkan bahu, meski tidak yakin apakah gadis itu yang akan menepati janjinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD