Berhadapan Muka

2234 Words
Hari ini bertepatan dengan pesta pernikahan kerabat ibunya di salah satu hotel bintang lima di jalan Asia Afrika. Dekorasi persepsi pernikahan mengangkat konsep vintage. Ruangan didekor hampir serba putih. Kue besar dibentuk menyerupai istana megah berdiri dengan anggunnya di depan pelaminan. Properti yang digunakan, pastinya mereka memakai jasa wedding organizer dan photography mahal dan terkenal. Baru berdiri beberapa detik saja, Hans sudah merasa tidak nyaman. Sanak saudaranya mulai berdatangan dan terus memenuhi meja di daerah VIP. Bahkan beberapa pejabat satu per satu berdatangan. Meski begitu, Hans tidak begitu mengenal mereka semua. Sudah begitu, dia diharuskan memperkenalkan diri pada rekan bisnis orangtuanya, memperlihatkan senyuman palsu yang hanya membuat otot wajahnya pegal-pegal.  Suara riuh MC sama sekali konstan di telinganya. Dia sibuk meneguk segelas air putih demi merenggangkan otot pipi.  Sembari menyapu pandangan, Hans menghela napas panjang. Dia hanya bisa merasakan kebebasannya sebentar. Saat kuliah, dia merasa segala sesuatu terlihat lebih hidup. Dia menemukan banyak hal yang tidak pernah dia duga. Satu setengah tahun terasa begitu singkat. Setelah pulang dan membawa gelar dari Amerika, dia terpaksa meninggalkan teman-temannya disana.  Disinilah yang mulai disesalkannya. Tekanan yang luar biasa dari luar untuk memulai karir di dunia kerja, sebagai salah satu penerus perusahaan besar di Indonesia. Dan itu artinya, dia harus menanggalkan segala hal yang begitu disukainya. Kemungkinan terburuk: tidak akan ada kesempatan untuk menikmati semua itu lagi. Tiba-tiba, Hans terperanjat begitu ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Dia membalikkan tubuh, menatap seorang ibu-ibu berusia setengah abad. “Hans, bukan?” Senyum ibu itu merekah ketika Hans mengangguk dan berdiri sembari mengulurkan tangannya. Sambutan itu dibalas hangat oleh ibu-ibu yang merupakan tantenya. “Aduh, sudah sepuluh tahun. Tante hampir tidak mengenalmu. Sudah terlihat dewasa, ya. Tampan lagi.” Hans hanya mengangguk begitu tante menepuk pundaknya. Senyumnya semakin terlihat kaku. “Kalau dipikir, kamu begitu mirip dengan Papamu,” sahut tante itu. Papa? Sudah lama sekali, batin Hans merasa jantungnya tertekan. Tetapi, dia tetap berusaha tersenyum. Hampir satu setengah jam dia berada di dalam pesta yang membosankan Meski dirinya bukan seorang pemimpin perusahaan, Hans terus berusaha rileks dan santai sampai pesta berakhir. Padahal tubuhnya lelah, otot wajahnya apa lagi. Pesta hampir berakhir, para tamu undangan VIP sedikit demi sedikit berkurang. Hans mengeluarkan ponsel dan menghubungi sebuah nomor di kontak. Tak beberapa lama kemudian, sekretaris keluarga Atmawinata, Bernard, menjawab panggilan.  Sebelum Bernard sempat berkata, Hans menyela. “Bernard, tolong siapkan mobil dan Pak Sirhan sekarang.” Beberapa menit kemudian, sang sekretaris menghubungi tuannya bahwa mobil sudah tersedia. Mendengar berita itu, Hans menghela napas lega dan dia pamit pulang dengan Leonie. Begitu memasuki mobil, Hans bersandar dan menghela napas panjang. Dia melonggarkan dasi yang mencekik lehernya dan membuka kancing pertama kemeja begitu duduk di atas jok mobilnya. Matanya menatap nanar keluar jendela. Hujan turun dengan lebatnya di luar sana, seolah tidak menampakan tanda-tanda akan berhenti. Pipinya hampir mati rasa demi memperkenalkan diri pada puluhan, bahkan ratusan kenalan ibunya bahwa dialah calon penerus perusahaan yang sedang belajar untuk membangun perusahaan...blablabla. Sedari awal Hans tahu, sebagai anak pertama putra pertama dia akan meneruskan Atmawinata Group, salah satu perusahaan yang bekerja dalam bidang ekspor-impor yang terbilang sukses di Indonesia. Tidak hanya ekspor-impor dalam skala besar, Atmawinata Group kini mulai terjun di bidang perhotelan, kuliner, real-estate dan event. Bisa dibilang, keluarga Atmawinata terkenal sebagai salah satu konglomerat di Indonesia. Niat itu sudah tandas sejak awal; menjadi orang nomor satu dan selalu disegani. Apa yang perlu dibanggakan dengan titel yang harus menanggung nasib dan hidup ribuan karyawan? Richard Atmawinata—ayahnya—merupakan sosok pemimpin yang sangat dibangga-banggakan semua orang. Tidak ada yang bisa meragukan kemampuan bekerja beliau, karena beliaulah yang membesarkan perusahaan dalam waktu yang relatif singkat. Sayangnya, ayah tercintanya harus meninggal dunia karena serangan jantung. Andaikan Papa tidak meninggal, apa yang akan terjadi di masa depan? Apa Papa yang sangat mencintai keluarganya akan memaksaku untuk meneruskan perusahaan? Apa justru melepaskanku begitu saja?  Semua pertanyaan itu telah menjadi satu kesatuan di pikiran Hans. Bertahun-tahun dia mencari jawaban, tidak ada satupun yang memuaskan dirinya. Justru semua itu hanya menambah pertanyaan dan memperkeruh keadaan. Dia merasa tersesat di dalam hidup ini. Hanya dirinya yang mencari jati diri di saat semua orang sudah tengah menjalankan kehidupan karir mereka. “Pak, berhenti disini saja,” kata Hans pada supir. Sebenarnya, Pak Sirhan diperintahkan untuk mengantarnya ke rumah namun Hans enggan dan meminta supir mengantarkannya ke kost. “Hujan, lho, Tuan. Perlu payung?” tanya Pak Sirhan khawatir.  “Tidak usah. Terima kasih, Pak.” Hans langsung membuka pintu mobil dan berlari menerjang hujan deras sampai di teras kost-annya. Dia menginjak keset berkali-kali agar lantai tidak kotor dan menyingkirkan air di bahu jasnya yang sedikit basah. Suasana kost terasa sedikit mati. Orang-orang sedang keluar bermalam minggu. Setidaknya, pasti ada satu atau dua orang yang mengurung diri di dalam kamar kost karena tugas-tugas kuliah atau kerjaan mereka. Sebelumnya, dia mengambil air mineral kemasan botol yang diberikan secara gratis dan beberapa bungkus coklat yang dititipkannya agar senantiasa dingin saat dikonsumsi. Hari ini mungkin dia akan mengurung diri atau paling-paling menonton film yang sempat dia tunda. Ketika hendak meninggalkan dapur, sayup suara pintu belakang terdengar mendecit pelan di antara rinai hujan. Ternyata ada juga orang yang pulang hujan-hujan...  Mata laki-laki itu terpaku melihat seorang gadis berjalan terseok-seok. Tubuhnya membungkuk, ujung-ujung rambutnya meneteskan air hujan, tubuhnya basah kuyup, dan bajunya kotor karena bercak lumpur.  Oh, dia! Gadis itu adalah gadis yang memakai celana kotak-kotak merah. Gadis itu juga yang dimaki-maki Ibu Kost beberapa hari yang lalu. Hans terdiam sejenak dan asyik mengamati gadis itu. Gerakan tubuh gadis itu aneh, tubuhnya seperti orang mabuk yang masih bisa melangkah maju. Bukan itu saja yang aneh, gadis itu berjalan mendekati Hans dan mengenggam keras jas hitamnya sebelum Hans sempat kabur.  Napas gadis itu terengah-engah dan terdengar lemah. Sentuhan dingin jemari gadis itu menembus jas dan terasa di dadanya.   “To...tolong...aku,” ucap gadis itu pelan, nyaris tak terdengar. Tiba-tiba saja kaki gadis itu melemah.  Lengan Hans refleks menahan tubuh gadis itu agar tidak ambruk di atas lantai.   Sebelum Hans sadar dengan apa yang terjadi dengan dirinya, gadis itu tidak menyahut ketika Hans panggil... ...dan tak lagi bergerak. Apa-apaan ini?  *** Di deretan ruko-ruko kafe Selatan ibu kota, terdapat satu kedai kopi terkenal yang menurut Hans adalah rumah keduanya. Kedai itu bernama Saudade Café, buka mulai jam tujuh pagi dan tutup jam dua belas malam saat weekday dan jam dua malam setiap weekend. Sang pemilik kafe—yang tak lain dan tak bukan sahabat Hans sejak zaman SMA—Arman dan Alex, menjadikan kafe mereka sebagai tempat kumpul-kumpul yang diadakan dua kali setiap bulan sesuai kesepakatan bersama.  Saudara kembar itu memiliki pemikiran yang sama untuk kedainya. Tidak mentah-mentah langsung mengambil tema hitam putih atau vintage, mereka memikirkan kenyamanan ketika orang-orang tersebut bertemu setelah terpaut oleh jarak; yaitu tempat yang nyaman untuk berbagi cerita.  Demi kenyamanan, ruangan dibagi dua bagian: smoking room dan non-smoking room. Di dalam non-smoking room, sofa dan meja bundar berwarna hitam dan putih dan dikelompokkan sesuai jumlah pengunjung. Dindingnya dilapisi batu alam yang berbeda warna setiap sisi antara putih dan hitam. Lantainya dilapisi parquet coklat muda. Berbagai tanaman palsu dan foto hitam putih digantung untuk menciptakan suasana santai.  Untuk smoking room, pintu dan jendela besar ditempel ukiran yang membingkainya. Meski hanya ada beberapa kursi aluminium beratap kanopi, sebuah pohon besar yang sengaja tidak ditebang bertransformasi menjadi “kipas alam”. Di masing-masing ruangan itu, mereka memiliki tempat khusus. Di smoking room, mereka selalu duduk di dekat jendela, namun yang spesialnya mereka dapat melihat seluruh sudut kafe dengan leluasa. Di non-smoking, mereka duduk di pojok ruangan, di dekat pohon agar mereka tidak kepanasan.  “Hari Minggu malah hujan,” keluh Arman—si adik kembar—sembari mengeluarkan sekotak nikotin, menyelipkannya di antara jemari tengah dan telunjuk lalu membakar ujungnya. Asapnya dibiarkan keluar dari mulutnya dengan halus. Kemudian, Arman menyodorkan kotak rokok berwarna putih kepada Hans dan ditolaknya halus. “Masih bertahan saja,” ejek Alex yang sudah membakar nikotin sedari tadi. “Aku kira kau sudah angkat tangan.” Hans tidak memedulikan perkataan Alex. Baginya, meladeni Alex tidak akan ada berhentinya, pasti ada saja yang dibicarakan.  “Memang bukan perokok, tapi coffee addicted. Apa bedanya?” dengus Arman meremehkan Hans. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Alex–kakak kembarnya, Arman jauh lebih dewasa. Dia mampu berpikir secara luas dan penampilannya selalu rapi. Tidak heran bila Arman menjadi “anak emas” dimanapun.    Mau bagaimana lagi, bisa dikatakan dia tidak begitu akrab dengan seluruh penghuni bumi selain mereka—teman-teman SMA-nya.  “Tapi, kopi disini tidak kalah sama kedai kopi yang lain,” kata Darian, sedikit melenceng.  “Siapa dulu yang buat,” bangga Alex menepuk dadanya. Selain pintar berbicara, Alex pintar meracik kopi. Saking sensitifnya, Hans yang sudah hafal racikan kopi Alex pun tidak diizinkan kerja part-time sebagai barista karena Alex sensitif soal itu. Hans hanya diizinkan memainkan piano yang di sudut ruangan. Arman menjatuhkan abu rokoknya ke asbak, lalu menatap Hans penuh tanya. “Hans, muka kau begitu serius dari tadi. Kenapa?”  “Tidak. Tidak ada apa-apa,” dusta Hans. Dia masih tidak habis pikir kejadian kemarin. Baiklah, selama hidupnya, baru pertama kali ada orang tak dikenal yang meraih jasnya lalu terjatuh begitu saja. Sepertinya gadis itu mabuk, tapi apa gadis itu terlihat tak berdaya untuk ukuran orang mabuk. Tangannya begitu dingin seperti es, bahkan Hans dapat merasakan seluruh tubuh gadis itu gemetar karena kedinginan. Gadis itu sepertinya demam. Kemarin, dengan terpaksa, Hans menggendong gadis yang tak dikenalnya itu ke lantai dua dan menggeletakkannya di dekat tangga, kemudian membuka jasnya lalu menaruhnya di dekat gadis itu dan pergi ke kamarnya.  Dia benar-benar tidak mengerti apakah harus iba atau kebingungan dengan hal itu.  Alex meletakkan kopinya, tubuhnya menegak seolah mengingat sesuatu yang dia lupakan. “Oh iya, konser...atau orkestra? Bagaimana dengan jatah tiket untuk kita?” “Tenang, sudah kuurus.” Hans menyesap kopinya sejenak. “Aku sudah minta ke panitia ticketing; kursi kelas silver yang strategis untuk tiga orang.” “Bukan kursi kelas gold atau platinum. Kelas silver,” celetuk Arman menekankan kata ‘silver’. “Kira-kira, kapan tiketnya bisa diberikan pada kami?” “Mungkin sekitar satu-dua bulan lagi,” jawab Hans sekenanya. “Hah? Kenapa lama sekali?” protes Darian. “Hei, kau sudah memesan dariku secara gratis dan kau masih protes,” oceh Hans. “Baiklah, aku akan bersabar.” Darian mengendikkan bahu dan menyesap kopinya. “Bagaimana kalau kau menghibur pengunjung saja? The piano is available.” Alex memiringkan kepalanya menuju piano putih yang ditaruh di pojok ruangan. Hans berdiri, menuruti perintah si pemilik kedai kopi. “Seperti biasa, gajiku adalah segelas kopi.” “Bagaimana jika aku tidak mau?” hardik Alex pura-pura tidak senang. Beberapa saat kemudian, dia tertawa. “Aku hanya bercanda. Kopimu hari ini gratis.” Dia mengangguk setuju dan membuka penutup piano. Kemudian memainkan satu lagu klasik untuk pengunjung. *** Pukul 23:15 WIB. Suasana kost bak rumah tak berpenghuni. Suara AC bergemuruh pelan di seluruh ruangan. Suara jam berdetak dengan kecepatan konstan.  Mungkin karena efek kopi yang diminum Hans tadi sore. Kata orang, mengonsumsi kopi terlalu sering tak bagus untuk kesehatan. Mungkin kebiasaan minum kopi dua-tiga gelas setiap hari perlu dikurangi. Dia memutuskan keluar dari kamar dan pergi ke balkon untuk menghirup udara segar. Siapa tahu angin sepoi-sepoi dapat membuatnya ngantuk.  Sayup-sayup suara gaduh menyusup dalam keheningan dan sampai pada pendengarannya yang cukup awas. Bunyi besi tangga lingkar menyambut pengguna tangga. Saat sampai di ujung tangga, Hans hampir terperanjat. Jadi, bukan hanya dia yang belum tidur? Seorang gadis yang sibuk sendiri menoleh begitu merasa diperhatikan Hans. Setelah dia melihat Hans, dia melanjutkan kegiatannya lagi; menjemur baju.  Siapa lagi kalau bukan gadis yang ambruk kemarin-marin? Hans sendiri tak menyapa. Dia memilih duduk di bangku kayu panjang yang disediakan kost dan sibuk dengan pikirannya sendiri.  Setelah beberapa menit, tak ada suara apapun lagi selain air perasan baju jatuh menghasilkan bunyi seperti percikan hujan. Tergambar jelas cipratan air yang kemudian mengalir tak beraturan di atas lantai semen.  Diam-diam, mata Hans melirik dari sudut matanya. Gadis itu membentangkan baju dan menggantungnya di atas tali yang cukup tinggi. Bila diperhatikan secara seksama, gerakan si gadis menjemur cukup aneh. Dia menggunakan tangan kanannya untuk menjemur baju di jemuran setinggi satu setengah meter. Dia baru menggunakan kedua tangannya untuk memeras pakaian.  “Hei. Apa kemarin kau mabuk?” tanya Hans tanpa basa-basi.  “Apa?” gadis itu balik bertanya seolah-olah tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam. “Kemarin kau pasti bangun dan ada jasku sebagai selimut,” jelas Hans.  Gadis itu berhenti menjemur baju, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dan begitu dia mengingat semuanya, wajahnya berubah pucat. Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal, dia paling anti berhubungan apa lagi punya masalah dengannya. Lagipula, kemarin dia tidak mabuk.  Astaga, dia benar-benar sial. Gadis itu menatap Hans dan menundukkan kepala. “Aku...aku minta maaf. Kemarin, aku merasa demam tinggi dan tak sadar ternyata kau ada disana. Sebagai tanda terima kasih, jasmu akan ku-laundry.”  Hans mengangguk. Meskipun dia sedikit tidak yakin apa yang dikatakan gadis itu.  “Oh iya...siapa namamu?” Gadis itu menatapnya penuh tanya. “Ka-kau berhutang jas padaku. Sudah selayaknya aku menanyakan namamu, kan?” Hans berubah panik, dan ini adalah hal yang tidak wajar terjadi ketika dia berbicara pada seseorang yang baru dikenalnya. “Erin,” kata gadis itu akhirnya menyebut namanya.  Dan detik itu juga, tanpa sadar Hans tidak tahu cara untuk melupakan gadis itu.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD