Sosok Pertama Kali

1983 Words
Apa itu barusan?  Matanya tiba-tiba terbuka cukup lebar. Barusan, dia terbangun karena telinganya menangkap suara yang cukup keras, semacam suara makian. Setelah beberapa saat, suara itu tak terdengar lagi.  Sial, tidur panjangku jadi rusak, makinya dalam hati.  Tubuhnya terasa pegal, entah ada penyakit apa yang menyerbu dirinya. Sayang, matanya sudah tidak lengket seperti beberapa detik yang lalu. Jam yang menempel gagah di dinding berdetak begitu berisik telah menunjuk pukul 09:55. Sebenarnya, dia tidak tahu sejak kapan dia mulai membenci suara jam yang berdetak. Apa jam berisik itu diganti saja atau tidak perlu? Hans memaksakan diri untuk bergegas. Sebenarnya, dia masih punya banyak sekali waktu hingga jam empat sore. Mungkin hari ini dia hanya menghabiskan waktu di suatu tempat. Begitu dia hendak menuruni anak tangga, dia mendengar suara keras lagi. Ah, suara itu, gumam Hans sudah tahu penyebabnya. Bu Kost—memakai daster dan rol rambut yang tidak dilepas— sedang menagih anak-anak yang nunggak uang sewa hingga berbulan-bulan.   Hari ini adalah awal bulan, waktunya bayar uang kost. Tapi tidak jadi masalah, Hans sangat yakin Bu Kost tidak akan menagihnya. Dia selalu membayar uang kost untuk tiga bulan kedepan.  Sebentar, awal bulan, pikirnya. Itu berarti...  Hans merasa ponselnya bergetar di kantong celana. Dia membuka pesan singkat yang datang.  “Hari ini temui Mama pukul dua belas.” Baru saja dia bangga, sekarang Hans merasa kesal sendiri. Benar, hari ini berarti dia harus bertemu dengan orang yang sangat tidak diinginkannya. Hans mengutuk dirinya dalam hati. Baiklah, pertemuan itu hanya sebentar. “Kau sudah nunggak tiga bulan!” seru Bu Kost sehingga mengundang perhatian orang, termasuk Hans sendiri. Dia tidak dalam kondisi terburu-buru. Jadi, menonton sekali-sekali Bu Kost memarahi orang juga tidak ada salahnya. Kali ini targetnya seorang gadis bertubuh kurus dan tinggi. Gadis itu hanya menunduk tidak berani melawan atau merayu Bu Kost seperti orang-orang yang tinggal di kost pada umumnya.  “Saya kasihan padamu. Tapi tidak sampai selama ini juga,” Bu Kost semakin kesal melihat si gadis.  “Maaf, Bu,” jawab gadis singkat, kepalanya tetap tertunduk. Bu Kost menghela napas. Beliau tidak langsung membuka mulutnya. Matanya terus menatap si gadis dengan tatapan menyidik. “Bulan depan. Kalau bulan depan kau tidak bisa melunasinya, saya terpaksa akan mengusirmu dari sini.”  Setelah pertengkaran selesai, si gadis pergi seolah tidak terjadi apa-apa.  “Lagi-lagi si gadis aneh itu lagi,” sahut Darian menjawab pertanyaan di benaknya. Tak ada angin, tak ada hujan, dia sudah hadir tanpa tanda-tanda yang jelas. Hans hampir saja terlonjak—bahkan jatuh terguling-guling dari tangga—kalau saja dia tidak tahu bahwa teman sekamarnya ini memang suka mengagetkan orang. “Memangnya, ada apa dengannya?” tanya Hans mengendikkan kepala ke bawah. Tenang, dia sudah bisa menguasai dirinya lagi. Mata Darian melotot lebar. “Dia terkenal gara-gara mulai jadi bulan-bulanan Bu Kost.” “Oh. Aku baru tahu. Aku hanya baru beberapa kali melihatnya” Hans mengangkat bahu cuek.  “Memang jarang kelihatan kalau matahari belum terbenam. Gadis aneh.”  “Aneh?” Hans mengerutkan dahi. Darian menaikan alis sembari mengangkat bahu. “Tidak jelas. Angker. Tidak ada yang tahu berapa umurnya, dan apa status atau pekerjaannya. Yang aku tahu dari Bu Kost, dia dari luar kota tanpa tujuan.” Dia menggelengkan kepalanya. “Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namanya.” Darian melirik jam tangannya. Merasa sudah terlambat, Darian menepuk bahu Hans tanda pamitan. “Aku pergi dulu.”  Penjelasan panjang lebar Darian juga takkan pernah membuat Hans tertarik, apa lagi mengurusi orang lain. Lebih baik dia mandi daripada memikirkan hal yang sama sekali tidak penting. *** Langkah kakinya memasuki restoran mewah yang terletak di lantai enam salah satu hotel mewah di Jakarta. Persis di depan lift, beberapa sofa bergaris kuning merah berdiri di dekat jendela. Tak jauh dari sana, sebuah bar terpisah berlantai hitam menyediakan berbagai jenis wine yang sengaja dipajang di dalam sebuah rak yang tingginya hampir menyentuh langit-langit. Sedikit melangkah melewati bar, restoran bernuansa modern itu terlihat cukup ramai, tidak seperti biasanya. Restoran ini memiliki sekitar enam puluh kursi dengan sentuhan minimalis. Tempat yang dapat digunakan sebagai meeting spot diatur agar pengunjung seperti merasakan upacara minum teh dengan berbagai macam pilihan snack, evening coctails, dan berbagai macam cerutu.    Hans melihat sosok wanita yang tengah duduk di dekat jendela besar dengan tirai tebal keunguan. Entah kapan terakhir kali Hans makan di restoran mewah seperti ini bersama dengan orangtuanya. Dia menghampiri meja itu dan langsung duduk tanpa menyapa sedikitpun. Sembari memilih-milih makanan, Leonie melirik Hans yang kini sibuk memainkan ponsel tanpa menyentuh buku menu sedikitpun. “Kau tidak mau makan?” tanya Leonie sembari membolak-balik buku menu. “Aku tidak lapar. Mama duluan saja,” kata Hans menarik senyum.  Sikap Hans sama sekali tak berubah, penurut dan semakin tidak banyak bicara. Ini dimulai sejak dirinya menduduki bangku SMA. Hans merasa tidak memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang dia inginkan. Dia selalu dipilihkan sekolahnya dan menuruti segala keinginan ibunya hanya demi membuat ibunya tidak kecewa. Sesudah menutup buku menu dan memesan, Hans langsung mengambil alih pembicaraan. “Ada apa Mama memanggilku kemari?” Leonie mendeham. “Soal itu...” Dia menaruh kedua lengannya di atas meja, “Berhentilah kost.” “Apa?” Hans merasa telinganya salah dengar. Leonie menghela napas panjang. “Kau sudah sangat cukup umur untuk belajar dan mengambil alih perusahaan,” lanjut Leonie. “Sudah cukup lama kau mengeksplorasi dirimu, bukan? Apa yang sebenarnya kau cari dalam dirimu?” Ini hanya menghancurkan apa yang dia rencanakan. Memimpin perusahaan bukan cita-citanya sejak dulu. Bahkan, untuk bekerja di perusahaan saja butuh waktu lama untuk mencapai kata “sepakat”. Hans akan bekerja di perusahaan keluarga setelah dia merasa siap. Sebagai gantinya, Hans diizinkan untuk kost dan diperbolehkan membayar kost per-tiga bulan. Padahal menurutnya itu sudah adil. Tiba-tiba saja, dia diminta menjadi penerus perusahaan? Itu terlalu terburu-buru. Hans tahu kata-kata itu pasti akan datang, cepat atau lambat. Tidak disangka akan datang secepat itu, hari ini pula. Hans menghembuskan napas, memalingkan kepala sejenak. “Aku belum menginginkannya.” “Sayangnya tidak bisa,” tolak Leonie tegas, merasa jawaban Hans tidak masuk diakal. “Apa kamu tidak sadar dengan umurmu sekarang? Dua puluh lima, Hans. Mama sudah cukup memberimu kebebasan selama ini. Tetapi, kamu harus ingat darimana kamu berasal.”  Hans berusaha mencerna apa yang utarakan Leonie. Benar, umur dua puluh lima adalah umur yang bisa dikatakan dewasa. Bahkan di umurnya banyak anak muda yang sudah mengambil alih perusahaan keluarganya atau menitihkan karir demi kesuksesan hidup. Sedangkan, dia masih berkeliaran seolah-olah dia masih menikmati bangku sekolah. “Mama akan menempatkanmu di apartemen dekat kantor. Mama sudah meminta desainer interior untuk mendekornya sesuai seleramu,” lanjut Leonie tanpa diminta. Sontak, Hans terdiam. Lagi-lagi pernyataan yang tak menyenangkan. Apa selamanya aku harus bersembunyi begini?  Hans berjanji takkan mengecewakan dan akan menuruti segala perintah ibunya. Janji picisan diutarakan anak kecil pada ibunya yang bersedih tak bisa ditarik kembali. Dalam posisinya sekarang, janji picisan itu bagai “senjata makan tuan”. Dia sudah muak dengan semua ini. Mengerikan. “Ini adalah terakhir kalinya Mama menolerirmu. Mama akan memberimu kebebasan sampai apartemen itu selesai. Yang pasti, tawaran meneruskan perusahaan akan datang lagi,” lanjut Leonie setelah minuman pesanannya datang. “Jangan lupa minggu depan datanglah ke pesta pernikahan sepupumu.” Perbincangan singkat ini tidak sesederhana itu. Kata-kata yang diucapkan ibunya menancap dipikirannya begitu saja. Namun, dia tidak akan menyerah. Lagi-lagi, Hans mengalah untuk kesekian kalinya. Dia memejamkan mata sejenak dan bersandar di kursi. “Baiklah.”  *** Rachmaninoff, Piano Concerto no. 2, Op 18  bersatu dalam harmoni di dalam ruangan yang relatif sempit. Ritme yang mengalir dengan hati-hati; jemari yang menari cepat dan lembut, tak ada satupun yang bisa menghentikannya. Warna musiknya serasa menyentuh jiwa setiap orang yang mendengarnya. Tak bisa dipungkiri, pemain lain dan karyawan dibuat terpesona dengan permainan musik pianis hingga tanpa sadar mereka sudah cukup lama mengintip ke dalam ruangan. Tidak hanya bakat yang luar biasa, wajah serius sang pemain piano benar-benar memesona.   Alunan musik berhenti setelah pianis mendentingkan tuts terakhir movement pertama. Begitu salah satu pemain biola menatap para pengintip, mereka langsung sadar dan kembali ke tugas masing-masing. Tentu saja pianis itu sendiri tahu sedari tadi para pengintip itu sebagian besar adalah wanita.  “Kau sudah menguasai bagianmu dengan sempurna,” kata Ivan sembari meneguk minuman dari botol plastik dan merenggangkan otot setelah mengulang lagu ini sampai tiga kali.  “Dan kurasa kau belum sempurna, concertmaster,” kata pemuda itu cuek. Hans hanya terdiam. Dia merasa sedikit kesal dan tertekan hari ini. Pernyataan Leonie tadi siang telah menancap di kepalanya. Satu-satunya pelarian hanyalah latihan piano sampai dia lupa dengan kata-kata Leonie. Tapi sampai sekarang, dia belum bisa lupa.  Memindahkan dirinya ke apartemen dalam waktu beberapa bulan kedepan bukan masalah besar, dia masih bisa menikmati kebebasannya. Pembelaannya tadi siang sama sekali tidak terlalu penting. Hanya satu dia yang ditakutkan dan semuanya bisa hancur... ...yaitu orkestra ini. Mimpinya untuk bisa tampil sekali lagi di atas panggung. “Aku tahu Hans, kau itu pro. Aku akui kau jenius—kau bisa bermain lagu sesulit apapun dengan sempurna hanya dalam beberapa kali latihan. Tapi, tidak sampai menyiksaku juga, kan?!” sindiran pun tidak akan memengaruhi pikiran Hans. Merasa berdiam diri akan mengingatkannya pada kejadian tadi siang, Hans melirik Ivan. “Ayo kita mulai lagi.”  Ivan terpelongo sesaat, barulah menyadari apa yang baru saja didengarnya. “Sudah gila, ya? Ini bahkan belum lima menit!” *** Oke. Aman, batin Hans tenang.  Ini sudah kesekian kalinya dia terlambat pulang ke kost-annya. Dia memang suka melanggar jam malam kost, tetapi karena kepawaiannya dalam memanjat pagar tanpa bersuara, dia menganggap ini aman. Memiliki postur tubuh tinggi, terutama kakinya yang jenjang, tentu saja menjadi anugerah tersendiri. Semua orang menganggap dirinya berbakat jadi maling.  Hans membuka pintu belakang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kost yang menjadi tempat tinggalnya memiliki tiga lantai, lantai satu untuk kumpul-kumpul dan tempat tinggal pemilik kost, lantai dua kost perempuan, dan lantai tiga kost laki-laki.  Pintu belakang kost selalu menjadi penyelamatnya dan seluruh penghuni kost lainnya. Pintu belakang memang jarang dikunci (lebih tepatnya Hans selalu mendapati pintu itu tidak terkunci saat pulang terlambat). Di dekat pintu belakang, terdapat sebuah tangga lingkar yang menghubungkan jalan menuju kamar-kamar.  Hanya sayup-sayup cahaya dari luar yang menyusup diam melewati jendela. Suara tenang sedikit terusik dengan suara yang dibuatnya. Begitu dia melewati dapur, hanya sedikit berkas cahaya disana. Berarti, semua orang sudah terlelap dalam mimpi ditemani selimut nan hangat atau berada di dalam kamar.   Hans mempercepat langkahnya menuju tangga besi. Ini bukan pertama kalinya dia pulang larut malam, tetapi ini adalah pertama kalinya dia pulang sangat larut, pukul 02:45.  Perlahan-lahan, sebersit perasaan tidak enak muncul. Seperti...ada yang melototinya dari belakang.  Tanpa pikir panjang, Hans langsung menantang dirinya, memutar pelan kepalanya ke belakang, menatap langsung ke bawah. Dan tantangannya berhasil membuatnya hampir berhasil terguling dari tangga, kalau saja dia tidak sadar dia berada di tangga besi yang cukup curam. Ada seseorang yang benar-benar memelototinya di bawah sana.  Seorang gadis berambut panjang, wajahnya tertutup dengan rambutnya, membuat wajahnya sama sekali tak nampak. Baju putih polos kebesaran dan...celana panjang motif kotak-kotak berwarna merah. Hans langsung mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia sempat ketakutan pada seorang manusia yang dianggapnya seperti—mahluk halus—tetapi nyatanya memakai celana motif kotak-kotak? Sumpah serapah digumamkannya selama sekian detik. Kenapa dia selalu dikejutkan dengan sosok-sosok manusia yang datang tiba-tiba? Beruntung, dia cukup hebat dalam urusan pengendalian diri.  Gadis itu tak kunjung bicara. Matanya berbalik menatap Hans tenang seperti permukaan danau yang tenang. Merasa menghiraukan Hans bukan hal penting, dia melewati laki-laki itu dan mengunci pintu belakang. Si gadis kembali menatap Hans. Dengan dinginnya, dia mengendikkan kepala ke atas, menyuruh Hans naik.  Gerakan gadis itu membuat Hans teringat dirinya harus kembali ke kamar. Sebelum ada yang datang melihatnya masih dalam keadaan memakai sepatu dan membopong tas ransel, tanpa bilang terima kasih, Hans kembali melanjutkan misinya. Begitu misinya selesai dalam keadaan selamat sampai di kamar, dia teringat satu hal. Gadis tadi...si gadis aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD