4. Pengenalan Tempat Baru

1866 Words
Kouki mengikuti langkah Pak Hendry yang masuk ke dalam rumahnya yang besar. Di pintu depan mereka disambut dengan dua buah patung wayang yang saling berhadapan, ada sebuah figur seperti burung yang bersayap besar. Sayapnya berwarna hitam, terbentang dengan lebar dengan gagahnya. “Silakan duduk,” ucap Pak Hendry. Kouki yang sedang menatap figur burung itu lalu menatap Pak Hendry dan tersenyum kikuk. Dia lalu ikut duduk di sofa samping Lucian yang sudah duduk lebih dulu. “Kamu menyukainya?” tanya Pak Hendry sambil tersenyum. Kouki menatap kembali figur burung itu dan tersenyum, “Ini sangat keren.” “Saya mendapatkannya dari Amerika saat seseorang yang pernah berkunjung ke sini,” ujar Pak Hendry. Kouki hanya mengangguk, matanya benar-benar tidak bisa lepas dari figur itu. “Kamu kembali lagi untuk meliput, Lucian?” tanya Pak Hendry pada Lucian. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk, “Saya jadi naik jabatan karena meliput tempat ini dan saya rasa masih banyak yang bisa diberitakan dari tempat ini.” Pak Hendry berdeham sebentar, “Tapi kamu batasannya ‘kan?” “Batasan?” Kouki ikut dalam percakapan Pak Hendry dan Lucian. “Ada alasan kenapa tempat ini terletak jauh dari peradaban manusia dan orang yang masuk dibatasi,” ujar Pak Hendry, tegas namun pelan. Kouki secara otomatis menelan salivanya dan menatap Lucian yang juga ternyata sedang menatapnya. “Kami ingin dikenal tapi kami tidak ingin membuat keramaian di sini.” Lucian mengangguk mengerti. “Saya sudah melihat artikelmu dan harus kami akui kamu berbakat,” ucap Pak Hendry. “Oh ya? Terima kasih, saya akan pastikan saya akan menulis yang bagus tentang tempat ini,” ujar Lucian. “Dan kamu ... siapa namamu lagi?” tanya Pak Hendry sambil menatap Kouki. “Ah, namaku Kouki.” Kouki memperkenalkan dirinya. “Kamu keturunan Jepang?” Kouki mengangguk, “Kakekku adalah orang Jepang asli yang datang kemari." "Jadi? Apa tujuanmu ke sini?” “Saya adalah seorang musisi muda dan saya ingin belajar musik tradisional di sini. Dari apa yang saya dengar dari Lucian, ini adalah tempat terbaik untuk mempelajari musik.” Kouki berkata dengan sungguh-sungguh. “Musisi ya?” Pak Hendry mengangguk-angguk. “Saya mohon, Pak. Izinkan saya untuk dapat belajar di sini.” Kouki memohon. “Tentu bisa, ini adalah salah satu tempat terbaik untuk belajar musik tradisional. Kami punya banyak pemain musik tradisional berbakat dari setiap daerah dari negara ini,” ucap Pak Hendry. “Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan kalian.” Pak Hendry hanya tersenyum. Lelaki berkulit sawo matang datang dengan membawa minuman untuk mereka. “Minum dulu, baru setelah itu kalian akan ditemani Pak Jarwo dan Rama berkeliling tempat ini dan mengantar kalian ke rumah kalian.” “Rumah?” Kouki terkejut mendengar ucapan Pak Hendry. “Di sini setiap kamar dibuat seperti rumah,” jelas Lucian. “Ah, menarik.” Kouki mengangguk-anggukan kepalanya. “Di sini privasi sangat di hargai,” tambah Pak Hendry. Lucian dan Kouki meminum minuman yang sudah disajikan kepada mereka. “Jarwo dan Rama, tolong temani mereka keliling dan juga antar mereka ke rumah mereka,” ujar Pak Hendry. “Baik, Pak.” Kouki menatap Pak Jarwo dan juga Rama yang dia tebak lebih muda dari dia. Kouki masih memperhatikan Rama yang dia rasa sedikit aneh, pemuda muda itu hanya menatap lurus ke depan. “Ki!” Lucian menepuk bahu Kouki sehingga membuat Kouki tersentak kaget. “Malah mengkhayal! Ayo buruan!” ujar Lucian lagi. Kouki menatap Lucian dan juga ke arah Pak Hendry yang sedang tertawa pelan. “I-iya.” Kouki lalu bangkit berdiri. “Permisi, Pak. Sekali lagi terima kasih untuk kesempatannya,” ujar Kouki lagi. “Sama-sama. Semoga kamu betah di sini,” ujar pak Hendry. Kouki dan Lucian akhirnya mengikuti Pak Jarwo dan Rama keluar dari pekarangan rumah Pak Hendry. “Bapak sudah lama ada di sini?” tanya Kouki lagi. “Kami tidak boleh menceritakan latar belakang kami di sini,” jawab Pak Jarwo. “Kenapa?” “Kami meninggalkan hidup kami ketika kami datang ke tempat ini,” ujar Pak Jarwo lagi. Lucian menyikut lengan Kouki pelan membuat lelaki itu langsung menatap temannya itu. “Hati-hati, mereka bisa marah kalau kamu terlalu banyak bertanya. Kamu tidak mau ‘kan kalau sampai kita diusir dari tempat ini?” bisik Lucian. Kouki menatap Lucian sebentar lalu mengangguk. “Nah, ini adalah tempat kamu mempelajari dan juga latihan musik.” Pak Jarwo berhenti di sebuah tempat yang terdapat gerbang kecil di depannya. Tampak ada empat bangunan di sana, masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda dan berada di setiap sudut. Di samping kiri gerbang ada sebuah bangunan yang mempunyai atap kerucut, di depannya ada bangunan dengan kolong jadi hanya ada bangunan di bagian atas saja dan bisa diakses dengan tangga di depan. Di sudut lainnya ada sebuah bangunan yang berbentuk bulat seperti sebuah gendang raksasa, sungguh unik. Yang terakhir adalah bangunan yang terlihat normal saja namun banyak sekali tumbuhan di depannya. “Yang kerucut itu adalah tempat untuk mempelajari alat musik tiup, yang bangunan tangga itu untuk mempelajari alat musik petik, yang berbentuk seperti gendang itu adalah tempat mempelajari alat musik pukul dan yang terakhir adalah untuk mempelajari alat musik gesek,” jelas Pak Jarwo. “Wow! Bangunannya unik-unik sekali,” puji Kouki. Pak Jarwo tersenyum dan menatap Kouki juga Lucian, “Semua bangunan di tempat ini adalah desain dari Pak Hendry.” Lucian mengangguk, “Beliau memang sangat berbakat.” “Bagaimana caranya saya bisa langsung belajar?” tanya Kouki. Pak Jarwo kembali tersenyum, “Kamu tidak bisa langsung belajar begitu saja. Kamu harus melewati tahap pengujian terlebih dahulu. Ayo kita ke sana!” Ke empatnya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke sebuah tempat seperti sebuah panggung dengan tangga-tangga di sekitarnya, tampak beberapa orang sedan di sana dan sedang memainkan berbagai jenis alat musik tradisional. “Mereka sedang diuji kemampuan mereka sebelum mereka masuk ke kelas yang di sana,” jelas Pak jarwo sebelum Kouki dan Lucian bertanya. “Berarti besok, saya harus ke sini dulu?” tanya Kouki. Pak Jarwo mengangguk, “Sebentar.” Lelaki itu berjalan menuju ke seorang pria dan bicara sebentar dengan pria itu. Pria asing itu menatap Kouki sebentar lalu ikut dengan Pak Jarwo mendekat ke arah Kouki dan juga Lucian. “Saya dengar kamu ingin belajar musik juga?” tanya lelaki itu. “Iya. Ah, perkenalkan saya Kouki,” ucap Kouki. “Saya Heri. Saya yang akan menjadi penentu apakah kamu layak untuk pergi ke kelas di sana atau tidak,” ujar pria itu lagi. “Ah, begitu. Mohon bantuannya,” ucap Kouki sambil membungkuk. Pak Heri tertawa sebentar, “Datanglah hari Senin jam sembilan pagi kami sudah mulai latihan. Setiap harinya kamu akan diuji kemampuannya dan pada hari Jumat malam nanti akan diadakan pertunjukkan. Jika kamu dirasa bagus, hari Seninnya kamu sudah bisa masuk ke kelas yang di sana.” “Jadi saya harus menunggu sampai hari Senin?” tanya Kouki. Pak Hendry mengangguk, “Beristirahatlah dua hari ini agar kamu semakin siap.” Kouki sebenarnya sudah tidak sabar namun dia menahannya dan mengangguk. “Baik kalau begitu, ayo kita teruskan perjalanan kita,” ujar Pak Jarwo lagi. Mereka lalu kembali melanjutkan perjalanan mereka, mereka berjalan cukup jauh namun rasa lelah tidak begitu terasa karena udara yang begitu sejuk. “Ini adalah dapur. Tapi untuk makanan akan diantar ke kamar kalian masing-masing setiap hari. Mulai dari sarapan sampai makan malam, lengkap sampai camilan dan juga minuman,” ujar Pak jarwo lagi. “Oh iya. Untuk acara setiap Jumat malam itu, semua orang wajib untuk datang dan menonton pertunjukkannya. Jika kedapatan kalau tidak pergi menonton, maka harus dikeluarkan dari tempat ini karena dianggap tidak ingin menjadi bagian dari tempat ini,” lanjut Pak Jarwo. Kouki dan Lucian mengangguk. “Di sini memang tidak ada sinyal telepon ya?” tanya Kouki. Pak Jarwo menggeleng, “Tempat ini memang sengaja dibuat se-terpencil mungkin.” “Harusnya kalian sudah tahu sebelum masuk sini jadi tidak ada alasan untuk kalian agar bisa keluar masuk sembarangan.” “Ah, saya hanya bertanya. Lagi pula saya tidak butuh untuk menelepon siapa-siapa,” ujar Kouki. Pak Jarwo mengangguk lagi, “Tolong hargai kami dengan menaati semua peraturan yang ada.” “Nah, kita sudah dekat dengan rumah Lucian.” Pak Jarwo menunjuk sebuah rumah yang hampir sama dengan rumah alat musik petik. Rumah dengan kolong dan di akses menggunakan tangga di depannya. “Wah, keren sekali!” ucap Kouki. Lucian tersenyum menatap rumah kecilnya. “Makanan akan diletakkan di bagian luar jadi sebaiknya kalian keluar secepatnya ketika waktu makan supaya bisa menikmati makanan kalian selagi hangat.” Lucian mengangguk, “Saya mengerti.” “Waktu bangun adalah jam enam pagi dan jam sepuluh malam sudah tidak ada lagi yang keluar dari rumahnya,” ujar Pak Jarwo. “Kenapa?” tanya Kouki dengan curiga. Pak Jarwo menatap Kouki dan tersenyum setelah melihat mimik wajah Kouki, “Tempat ini berada di hutan dan kami tidak punya banyak petugas keamanan. Kami takutnya kalau jam segitu masih ada yang berkeliaran, kalian bisa di serang binatang buas yang masih sering muncul di tempat ini.” Kouki lalu kembali menangguk mengerti, penjelasan Pak Jarwo masuk akal. “Ayo kita teruskan ke rumah kamu, Kouki!” ajak Pak Jarwo. “Saya akan langsung masuk saja lebih dulu,” ujar Lucian. “Baiklah kalau begitu, selamat beristirahat.” ujar Pak Jarwo. Kouki bersama Pak Jarwo dan Rama kembali melanjutkan perjalanan mereka sampai tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiri mereka dengan terburu-buru. “Ada apa ini?” tanya Pak Jarwo. “Bapak dipanggil Pak Hendry, katanya penting!” jawab lelaki itu. “Sekarang?” “Sekarang juga, Pak!” Pak Jarwo sudah ingin melangkah namun dia kembali melihat ke arah Kouki dan juga Rama. Dia mendadak terlihat ragu. “Ayo Pak Jarwo!” ajak lelaki itu lagi. “Rama! Kamu antar Kouki ke rumahnya dan segera kembali ke rumah kamu!” ujar Pak Jarwo pada Rama. Lelaki muda yang dari tadi diam dan tidak berekspresi itu hanya mengangguk. Setelah itu Pak Jarwo dan lelaki yang memberi pesan itu segera berlari menuju kembali ke arah rumah Pak Hendry. “Ayo!” Rama berkata tanpa melihat ke arah Kouki dan mulai berjalan. “Berapa usiamu?” tanya Kouki. “Dua puluh delapan tahun,” jawab Rama. “Ah, aku kira kamu lebih muda daripada aku ternyata lebih tua dariku. Wajah kamu benar-benar terlihat sangat muda,” ujar Kouki. “Ini rumahmu.” Rama berhenti dan menatap sebuah rumah kecil, rumahnya sama seperti punya Lucian. “Wah, pasti pemandangannya bagus dari atas sana,” ujar Kouki. “Masuklah, semua peraturan sudah diberitahukan Pak Jarwo tadi dengan jelas,” ujar Rama lalu bergegas pergi. “Hey! Bisa bantu aku sebentar?” tanya Kouki. Rama berhenti lalu kembali berbalik. “Bantu angkat tasku ke atas bisa? Aku sudah tidak sanggup membawa tas ini ke atas,” ujar Kouki sambil menurunkan tasnya. “Itu tasmu, tanggung jawabmu.” Rama tidak berekspresi. “Ayolah, hanya bantu itu saja. Saya janji tidak akan merepotkanmu lagi,” bujuk Kouki. Rama bergeming. “Pundakku benar-benar sakit!” Kouki memegang pundaknya. Rama akhirnya mendekat ke arah Kouki, tangannya lalu memegang tas kouki bersiap untuk mengangkatnya. “Argh!!!” tiba-tiba saja Rama berteriak. . . . Jangan lupa tap love cerita ini :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD