A and K | 3

1612 Words
Bab 3 Perlahan namun pasti, kelopak mata Kania terbuka. Sembari menyesuaikan cahaya yang masuk melalui retina, dia mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir kali. Yang begitu membekas ialah, dia berjalan kaki ke pinggir jalan ingin membeli martabak manis. Kemudian ada sebuah mobil melaju lumayan kencang dan setelah itu Kania tidak ingat apa pun. Sambil memijit kepalanya yang terasa pusing tiba-tiba, Kania amat terkejut melihat isi ruangan yang dia tempati saat ini. Sebuah ruang tengah lebar dengan perabotan mewah di mana-mana mencuri perhatiannya, membuat Kania tercengang. Ini dia ada di mana? Syurga kah? Apa mobil itu menabraknya dengan sangat kencang? Membuat dirinya meninggal dan sekarang berada di alam akhirat? Benarkah? "Sudah sadar, eh?" Pertanyaan dari seseorang yang baru saja menuruti undakan tangga kembali mengagetkan Kania, untuk kesian kalinya. Dengan was-was, Kania menatap tajam pria yang sama sekali tidak dia kenal tersebut. Kania rasa ini masih dalam dunia nyata. Seperti dugaannya saja, syurga tidak ada bentuk manusia senyata pria yang ada di hadapannya saat ini. Jujur saja, meski tampan dia nampak menakutkan bagi Kania. Gadis itu mulai memikirkan cara untuk menjauh dan berlari keluar dari ruangan. Meski di sekolah dia tidak pintar-pintar sekali, namun soal menghindar dari orang jahat otaknya masih cukup bekerja dengan baik. "Kamu bisu?" tanya Alsen. Dia mendudukkan diri di samping Kania. Tangannya terangkat akan menyentuh kening, memeriksakan keadaan gadis yang sudah pingsan sekitar tiga jam itu. "Jangan menyentuh!" ketus Kania setelah menepis kasar tangan Alsen. Sikap lemah lembut juga penyayang nampaknya tidak berlaku kepada pria setampan Alsen. Kania memundurkan posisinya, semakin memojok pada ujung sofa panjang. Dia mengambil bantal, menutupi bagian d**a dan melipat kedua kakinya. "Weh? Kenapa dengan kamu? Aneh!" Alsen mengernyit penuh kebingungan. Dia bermaksud baik ingin mengecek keadaan Kania, siapa tahu gara-gara kejadian tadi menyebabkan adanya luka yang tak terduga. "Aku yang hampir menabrakmu tadi, apa ada yang sakit atau terluka?" tanyanya kemudian. Dia harap gadis dengan tatapan sulit diartikan itu dapat memberikan jawaban seperti yang dia inginkan, bukan malah memancing emosinya karena penolakan untuk kedua kali. Alsen benci ditolak, tidak ada siapa pun yang bisa menolak pesonanya selama ini. Kania tidak menjawab. Matanya masih menyorot tajam. Dia takut. "Aku mau pulang." "Ck! Aku tanya apa, kamu jawabnya apa!" Alsen mencibir. Apa penampilannya sekarang buruk hingga gadis itu enggan menatapnya? Baju kaos hitam polos dengan celana selutu abu-abu, apa kelihatan seperti perampok? "Siapa nama kamu?" "Aku mau pulang. Di mana pintu keluarnya?!" Alsen menggerutu. Dia diabaikan untuk kesekian kali. Apa gadis itu tidak takut dengannya? Kenapa malah semakin memancing emosi? "Tidak sebelum kamu menjawab semua pertanyaanku." "K-kamu gak perlu tahu. Tolong, Pak, aku mau pulang. Ini sudah malam, gak boleh berduaan begini." Alsen tertawa mendengarnya. Omongannya lucu sekali. Kelihatan masih remaja, begitu polos. Membuat Alsen menggelengkan kepala, heran. "Apa wajahku seperti bapak-bapak hingga kamu memanggilku dengan sebutan 'Pak'? Panggil aku Al atau Alsen. Bagus bukan namaku?" "Aku mau pulang." Alsen memijat pelipisnya. "Aku siapkan makanan untukmu dulu. Anggap saja sebagai permintaan maaf dan rasa bersalahku karena sudah hampir melayangkan nyawamu." "T-tidak, tidak perlu. Aku bisa makan di rumah saja. Tunjukkan saja di mana pintu keluarnya, aku mau pulang." Alsen menunggu ke arah kanan. "Di balik tembok itu belok kiri, terus saja ada pintu utama." Kania mengangguk, namun sebelum berhasil beranjak, Alsen kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi tidak bisa terbuka sebelum aku memberikan kunci ini kepada kamu." Memperlihatkan beberapa kunci yang tergabung menjadi satu, kemudian kembali memasukkannya ke dalam saku celana. Alsen tersenyum miring, Kania takut dibuatnya. "Lalu sampai kapan aku di sini? Aku baik-baik saja, gak ada luka apa pun." "Ya, aku sudah melihatnya dari cara kamu bersikap. Kamu baik-baik saja." "Kalau begitu, biarkan aku pulang." "Tidak sebelum kamu makan dulu. Asal kamu tahu, aku jarang sekali berbaik hati kepada orang asing sepertimu, aku orang yang selalu berhati-hati dengan orang luar. Jadi jika aku sudah melakukan ini, kamu tidak bisa menolaknya. Jangan membuat harga diriku terasa diinjak dengan berbagai macam penolakanmu. Aku bisa saja marah dengan semua sikap keras kepalamu itu!" Benarkah Alsen rela berucap panjang lebar hanya karena gadis asing itu? Sial! Segala penolakannya membuat Alsen begitu penasaran. Apa pesonanya sama sekali tak membuat dia senang atau menyukai dirinya? Seperti layaknya wanita di luaran sana yang haus akan perhatian dan mengejar-ngejarnya sampai mengabaikan rasa malu? Hey, bahkan Kania adalah wanita ketiga selain ibu dan kekasihnya yang datang ke tempat pribadinya ini. Berani sekali sok jual mahal! "Kamu bukan orang jahat kan?" Konyol! Pertanyaan macam apa itu? "Apakah ada orang jahat setampan aku?" Alsen memasukkan kedua lengan ke dalam saku celana. Dia nampak kesal, rahangnya mengeras. Cukup sabar menghadapi gadis yang kelihatan kalem wajahnya ternyata memiliki sifat asli begitu bar-bar. "Kamu lihat seisi ruangan ini, tidak ada barang yang di bawah harga satu juta. Semua mahal, aku kaya raya. Untuk apa jadi orang jahat, huh?" Kania menaikkan sebelah alisnya. Tangannya mengilang di depan d**a sambil mengerucutkan bibir. "Orang jahat 'kan banyak dari kalangan orang kaya raya, mafia contohnya." "Kamu kebanyakan membaca cerita, hidupmu jadi konyol. Diam, dan duduk yang benar sebelum aku mengusirmu dengan keadaan paling kejam, sesuai bayanganmu!" Kania membelalakkan mata. "Kamu?!" geramnya sambil menunjuk Alsen. Hey! Sejak kapan dia bisa berbicara lancar dan seperti tidak ada akhlak seperti ini? Ini semua gara-gara pria yang bahkan belum dia tahu namanya. "Kamu tidak berniat meracuniku kan?" tanya Kania lagi untuk memastikan. Hidupnya sangat berarti, meski sangat merindukan kedua orangtua dan juga neneknya. Mati bukanlah sesuatu yang gampang, Kania takut kematian. "Untuk apa? Aku masih banyak pekerjaan lebih berfaedah dari pada melenyapkanmu. Gak ada untungnya bagiku." Alsen mengangkat bahu cuek. "Baiklah." Kania mengangguk. "Jadi, siapa namamu tadi?" Alsen tersenyum jahat, kemudian melangkah menuju pantry. "Alsen." Kania mengangguk. "Siapa namamu? Aku rasa kamu masih memiliki nama." "Kania. Panggil saja Nia, jangan Ani. Aku tidak senang mendengar sebutan itu." Alsen mengangguk kecil. "Berapa umurmu? Kelihatannya masih sangat muda." "Kepo! Kamu hanya perlu tahu namaku. Selebihnya cukup menjadi rahasia saja." Menyebalkan! Alsen berkali-kali mengumpat dalam hati. Gadis bernama Kania tersebut memancing emosinya terus, padahal baru berkenalan kurang dari beberapa detik yang lalu. "Kamu mau makan apa?" Kania menghela napas. "Aku mau pulang saja. Aku sudah memasak banyak di rumah." "Aku tengah berbaik hati, kenapa kamu selalu menolakku? Kamu adalah gadis paling berani, aku bahkan tidak pernah ditolak wanita sebelumnya!" Dengan kasar, Alsen mengenakan celemek. Mengikatnya sambil memicing tajam. "Bantu aku, ambil sayuran dalam lemari pendingin." Kania bergeming. "Gak. Siapa tahu dalam lemari itu banyak senjata, atau bom?" "Kamu sangat menguji kesabaranku gadis kecil!" geram Alsen. Melihat tatapan yang tidak biasa itu pun Kania langsung terlonjak, dia segera beranjak dari sofa melangkah lebar menuju lemarin pendingin besar, pintunya ada dua--persis seperti sebuah lemati, besar. "Bagaimana cara membukanya? Aku tidak mahir hidup mewah, gak ngerti sama lemari pendingin canggih seperti ini." Alsen mencibir. "Orang susah sepertimu saja banyak tingkah, berani sekali menolak dan keras kepala di hadapanku." Dia tersenyum miring, "Apa? Kamu mau marah dengan ucapanku yang kelewat jujur?" Kania menarik napas panjang, menghembuskannya dengan kasar. "Baiklah, aku maafkan ucapanmu yang sebenarnya sangat membuatku jengkel itu." Dia pasrah. Memang benar, dia gadis miskin bukan? Bukan hanya miskin harta, dia juga miskin perhatian semenjak orang-orang tercinta pergi meninggalkannya. "Bagaimana cara membukanya? Ini tidak ada tombol apa pun." "Sentuh begini!" Alsen mendekat, dia menempelkan jari telunjuknya pada bagian lemari pendingin tersebut, membentuk pola garis lurus ke samping. Dan yah, kedua pintunya termuka dengan cara bergeser kemudian terbuka ke muka. Wow! Barang-barang orang kaya memang semenakjubkan ini. Orang miskin seperti dirinya gak mungkin bisa punya. Mimpi saja! "Kenapa?" tanya Alsen terdengar mengejek. "Apa di rumahmu tidak ada kulkas kayak begini? Cih! Tentu saja, ini mahal sekali harganya." Kania memutar bola matanya jengah. "Sudah tahu tapi masih bertanya? Aku tahu kamu mengejekku!" sungutnya kesal. Alsen tertawa geli. "Benar sekali. Aku tengah mengataimu. Ternyata kamu termasuk gadis yang peka juga." "Lupakan. Kamu mau memasak apa sebenarnya?" Kania mendongak, menatap Alsen yang berada di samping kanannya. Pria itu nampak tengah berpikir. "Kamu sendiri ingin memakan apa?" "Sebelum kejadian mengenaskan tadi, aku berniat membeli sosis bakar. Aku sangat ingin memakannya." "Ya sudah, kalau begitu biar aku buatkan sosis bakar." Mata Kania melebar. Dia tidak salah dengar? Pria itu baru saja dia kenal, sudah bersikap layaknya mereka kenal sangat lama. "Kenapa? Kamu meragukan kebaikanku lagi? Aku hanya ingin meminta maaf atas kejadian tidak sengaja itu, selebihnya aku tidak berniat apa pun. Setelah memasakkan ini, aku berdoa agar tidak bertemu denganmu lagi, gadis mengesalkan." Kania mencebikkan bibir. "Siapa juga yang mau bertemu dengan kamu lagi? Kedua kali aku bertemu denganmu, bisa-bisa aku akan mati terlindas." "Bagus kalau kamu tahu. Kedua kalinya bertemu akan ku lindas saja kamu biar gak banyak omong kayak gini. Sungguh, aku nampak menyesal membawamu ke sini. Membuat telingaku sakit mendengar celotehanmu." "Kalau saja ada pemukul baseball di sini, aku gak berpikir dua kali untuk melayangkannya ke mulutmu yang kelewatan kurang ajar itu, gak ada akhlaknya banget!" Kania mendengkus. Dia mengangkat tangan yang mengepal, namun sebelum berhasil melayang sempurna pada permukaan kulit Alsen, dia mengurungkan niatnya. "Kenapa tidak jadi, huh? Kamu takut?" Kania mengangkat bahu. "Orang kaya seperti kamu akan melebih-lebihkan keadaan jika aku melakukan tindak kejahatan. Dan yah ... sebagaimana uang berkuasa, kamu akan menang di kantor polisi nanti," katanya sambil melihat-lihat sayur yang ada di dalam lemari tersebut. Semua nampak lengkap, tapi sayangnya banyak bagian yang sudah layu. "Katanya mau membuatkanku sosis bakar, tapi kenapa gak bergerak juga dari tadi?" Kania menaikkan sebelah alisnya. Dia masih melihat Alsen berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam dan kedua tangan terlipat di depan d**a. Wajah datar yang tampan itu tidak mampu membuat Kania klepek-klepek. Malah yang ada, emosi Kania tidak stabil berada di dekatnya. Oh, ayolah! Kania yang lemah lembut saat berbicara pada orang lain ke mana? Kenapa sekarang dia malah menurut sikap ibunya semasa hidup? Ketus dan tegas dalam hal apapun? Ke mana sikap penurut juga selalu menundukkan kepala? Apakah kecelakaan tadi membuat kepalanya terbentur hingga hilang akal seperti sekarang? Kania nampak kehilangan dirinya. Alsen, pria itu Kania akui memanglah tampan, tapi entah kenapa membuatnya was-was dan setiap saling bersahutan dia tertantang untung menjadi pribadi orang lain. Kania bingung, dirinya bukan seperti ini. **** Terima kasih sudah membaca:) Salam manis, Novi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD