A and K | 2

2076 Words
Hujan turun begitu deras mengguyur ibu Kota di sore hari menjelang malam ini, membuat kedua insan yang tadinya berada di sebuah taman kota—membeli jajanan pinggir jalan, martabak manis dan sate, berlarian kecil memasuki mobil. Meski sudah sedikit cepat menghindari tetesan air, tetap saja tubuh keduanya tak terhindar dari yang namanya kebasahan. Sang wanita mengusap kedua lengannya sambil menggigil dingin. Lihat saja sebentar lagi, seluruh permukaan kulitnya akan muncul bintik merah-merah—dia alergi dingin. “Sayang, pakai ini dulu,” ujar sang kekasih pria, memberikan sebuah selimut yang baru saja dia ambil dari tukang cuci langganannya. Dia adalah Alsen, dan wanita itu bernama Olivia. Seorang wanita yang sudah dia pacari sejak satu tahun belakangan ini. Alsen begitu menyayangi Olivia, wanita cantik dengan postur ideal, rambutnya panjang berwarna cokelat dengan gaya gelombang. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih—Alsen merasa begitu beruntung mendapatkan wanita yang menjadi idaman kaum pria. Di kampusnya pun Olivia menjadi sasaran kaum Adam, semua menyukainya yang serba bisa dalam segala bidang. Prestasinya juga tak diragukan lagi. Olivia mengangguk, segera dia menyelimuti tubuhnya. “Alsen, ke apartemen aku dulu?” tanyanya. “Aku lapar, kita makan bareng, ya?” Alsen mengulas senyum, tentu saja dia akan menemani kekasihnya. Meski beberapa kali menginap di tempat Olivia, Alsen tak pernah tidur satu ranjang. Dia sangat menjaga dan menyayangi wanita itu, tidak akan pernah merusaknyaa untuk kesenangan semata. “Tentu, Sayang, apa satenya kurang? Kalau kurang aku belikan lagi satu bungkus.” Alsen menawari dengan nada bicara yang lemah lembut, Olivia merasa begitu di cintai oleh pria itu—selalu berhasil membuat terbang lagi dan lagi. “Enggak usah, ini aja udah cukup, Sayang. Di apartemen nanti aku masakin kamu ayam mentega, mau?” Alsen mengangguk cepat. Lihat kan, Olivia adalah istri idaman, dia pintar mengolah masakan dan juga beberes rumah pastinya. Olivia tipe orang yang selalu ingin sempurna dalam hal apa pun, entah penampilannya, kondisi ruangan pribadinya, dan sebagainya. Kebersihan dan kerapian nomor satu bagi Olivia. “Sama capcay, boleh?” Olivia mengulum senyum. “Boleh dong, apa sih yang enggak buat kamu.” Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Alsen. “Sayang banget sama kamu,” ujarnya terdengar begitu tulus. Alsen mengangguk sambil terkekeh geli. “Aku tahu itu, kamu sudah membuktikannya.” Lantas meraih tangan Olivia, mengecupnya cukup lama. “Aku bersyukur bisa memiliki kekasih hati seperti kamu, kamu terbaik.” Pipi Olivia merona. Alsen paling bisa membuatnya malu, dan ingin berteriak sekarang juga saking senangnya. Apa saja yang Alsen lakukan berhasil membuatnya bahagia. Namun meski begitu, tak jarang juga mereka berselisih paham. Mereka sering mendebatkan sesuatu yang menurut masing-masing tak sesuai dengan keinginan. “Minggu depan aku ulang tahun.” Olivia menatap Alsen, lalu menggembungkan pipinya—nampak menggemaskan. Dia takut Alsen lupa, jadi tak salah jika dirinya mengingatkan, bukan? Alsen mencubit pipi kanan Olivia. “Aku ingat, Sayang. Mau hadiah apa, hum?” Olivia terdiam, dia nampak berpikir. “Mau kamu!” katanya telak. “Aduh kayaknya udah ngebet nikah, ya, kamu. Umur aku masih 25 tahun, kamu 23 tahun, perjalanan kita masih panjang, Sayang. Nikmati dulu kesuksesan kamu. Habis ini kamu mau bekerja dulu kan?” Dengan tatapan menyendu Olivia mengangguk. Dia sudah berkali-kali memberikan kode kepada Alsen jika dia ingin mereka segera menikah saja. Bukankah mereka saling mencintai? Akan lebih indah jika hidup bersama dalam ikatan suci pernikahan. Olivia takut kehilangan Alsen, sebab banyak wanita di luar sana yang menginginkan posisinya—di sisi Alsen. Padahal Olivia tidak masalah jika mereka bekerja, menata karir sambil menjalani bahtera rumah tangga. Olivia bisa mengatur semuanya dengan baik, dia yakin itu. Pekerjaan di luar rumah akan tetap berjalan, begitu pun dengan pekerjaan di dalam rumah. Olivia sudah pintar mengelola semuanya, dia rasa dia sudah cocok menjadi seorang istri dan ibu muda. Jujur saja, menikah diusianya seperti ini sudah tak bisa dibilang muda lagi, dia sudah cukup matang. Benarkan? “Sayang, kok malah diam? Kamu marah?” tanya Alsen, dia merasa tidak nyaman melihat keterdiaman Olivia dengan tatapan menyentu seperti itu. “Kapan kita menikah? Aku cinta kamu, kamu cinta aku. Lalu apa lagi yang kamu pertimbangkan, Alsen? Aku takut kehilangan kamu.” Alsen melebarkan matanya. “Hey, Sayang, kenapa ngomongnya kayak gitu? Gak mungkin aku ninggalin kamu, aku cinta kamu. Aku hanya belum siap, aku takut belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu. Atau mungkin menjadi ayah jika kamu hamil nanti. Bukankah semua harus dipersiapkan terlebih dahulua? Menikah bukan perihal yang mudah menurutku, Sayang, kita jalani saja dulu hubungan ini sambil menata diri menjadi lebih baik ke depannya. Oke?” Olivia tidak menyahut, dia menundukkan kepala dengan bibir cemberut. “Sayang, mengertilah. Ada banyak sekali perihal rumah tangga yang harus kita ketahui terlebih dahulu, gak perlu terburu-buru. Jika nanti waktunya tiba, aku pasti akan menikahi kamu.” Alsen mengusap rambut Olivia. “Aku tahu kamu bisa segalanya, aku yakin kamu juga bisa menjadi istri dan ibu yang baik nantinya. Nah jika kamu sudah mendekati kata sempurna itu, tentu saja aku harus menyeimbangkan diri dulu bukan?” “Hem, baiklah, aku mengerti.” “Jangan ngambek dong, Sayang. Kita bahas yang lain aja, biar mood kamu bagus.” Alsen tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Mau kado apa?” “Cincin kura-kura, aku suka kura-kura.” Alsen mengangguk. “Baiklah, akan aku carikan cincin terbaik yang ada kura-kuranya. Selain itu? Mau sekalian gelang sama kalungnya?” Mata Olivia berbinar. “Boleh?” “Tentu saja, Sayang. Apa yang gak boleh buat kamu?” Mendengar itu Olivia menjadi tertawa. **** Sesampainya di apartemen Olivia dan Alsen segera menuju dapur, menaruh sate dan martabak manis yang dibelinya tadi ke atas meja makan. “Sayang, aku mau mandi air hangat sebentar aja, gak pa-pa?” tanya Olivia. Alsen melepaskan jaketnya, menggantung pada kepala kursi. “Iya, mandi aja dulu. Aku tunggu di ruang tengah sambil nonton telivisi.” “Kamu mau aku buatkan minum apa? Teh hangat gimana, jangan jus dulu ya, cuaca kali ini dingin. Aku takut kamu masuk angin juga.” “Iya, Sayang, teh hangat aja. Kayak biasa ya, gulanya sedikit aja.” Olivia mengangguk, dia melangkah ke balik pantry membuatkan teh hangat sementara Alsen berlalu menuju ke ruang tengah. Wanita itu hanya memerlukan waktu yang singkat untuk membuatkan teh, karena air panasnya sudah tersedia di dalam sebuah wadah khusus. Kemudian dia melangkah ke ruang tengah mendatangi Alsen yang sedang selonjoran di sofa panjang, layar telivisi terbuka—menampilkan sebuah acara tentang bisnis. “Sayang, aku tinggal ke atas dulu, ya. Kalau kamu mau nyemil kamu makan aja dulu martabak manis ini, aku mandinya sebentar aja kok—cuman mau basahin badan aku yang kena air hujan tadi.” Alsen mengangguk. “Iya, Sayang. Sana mandi dulu biar lebih enakan badannya.” Setelah itu Olivia beranjak menuju lantai atas, kamarnya. Kurang lebih dua puluh menit, Olivia kembali dengan keadaan lebih segar dari tadi, dia juga sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai—kaos polos longgar dan celana pendek setengah paha. Alsen tidak terganggu dengan celana yang dikenakan Olivia, dia sudah sering melihatnya—wanita itu hampir setiap hari mengenakan celana bahan yang pendek. Alsen mengikuti Olivia yang melangkah menuju dapur, dia menarik kursi bar dapur—duduk di sana sambil memerhatikan dalam diam gerakan demi gerakan yang Olivia lakukan. Kedua orang tua Alsen pintar memasak, maka berlaku pepatah demikian, ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Yap, Alsen juga pandai memasak—jika sedang tidak malas. Alsen juga pandai bersih-bersih rumah, tidak hanya kamar ... apartemennya juga sangat bersih. “Pedas capcaynya, Al?” “Iya dong. Aku kan suka pedas. Kalau bisa yang pedas pedas banget.” Bibir Olivia mengerucut. “Gak boleh! Nanti kamu sakit perut, ih. Kalau tante Ara tahu kamu bakal di omelin makan yang pedas begini.” Tidak terlalu menanggapinya, Alsen malah tertawa. “Jangan sampai ketahuan dong, Sayang. Lagian aku sama Mommy itu sama, suka yang pedas, manis juga kalau soal urusan kue.” Olivia tahu itu, dia tahu bagaimana Alsen—sudah hampir hapal apa saja makanan yang pria itu sukai dan tidak suka. Dia selalu berusha menyenangkan Alsen, termasuk dalam menciptakan makanan yang enak. Niat hati agar Alsen selalu merindukan cita rasa makanan olahannya. Bukan hanya Olivia yang demikian, Alsen pun begitu. Dia tahu apa saja yang membuat perasaan wanita itu senang, apa yang membuatnya bersedih. Meski sudah berusaha menyenangkan Olivia, masih ada saja kelakuannya yang menyalah—membuat wanitanya kesal. Aneh bukan? Ah, memang seperti itu, wanita mana bisa salah dan kalah. Pria harus banyak-banyak mengalah adalah sebuah keharusan. Selama satu tahun menjalin hubungan, Alsen sama sekali tak merasa bosan. Dia menikmati setiap harinya bersama Olivia. Wanita itu selalu memberikan rasa nyaman, aman, dan senang untuknya. Jika Olivia tidak ada kelas, biasanya wanita itu mengunjungi kantor Alsen di waktu makan siang. Olivia akan membawakan makanan untuknya, lalu mereka makan bersama. Orang-orang kantor menyebut mereka pasangan yang serasi, Alsen tampan dan Olivia yang cantik bak seorang model. Tidak hanya itu, seminggu atau dua minggu sekali biasanya Alsen akan mengajak Olivia jalan-jalan, entah ke kebun binatang, keluar kota, atau ke mana pun yang membuat keduanya lepas dari kegiatan yang memusingkan satu sama lain. “Alsen, kamu melamun?” tanya Olivia mengagetkan pria itu, menyadarkan dirinya dari lamunan singkat. Pandangannya kemudian terarah pada sepiring ayam goreng mentega yang sudah tersaji dengan aroma yang wangi, rasanya tidak bisa diragukan lagi. Pasti enak sekali! Alsen menggaruk leher bagian belakang yang tiba-tiba terasa gatal. “Eh, iya, sedikit,” kekehnya malu-malu. “Wow, ayamnya kelihatan enak banget nih,” komentar Alsen menatap ayam goreng mentega itu dengan mata bersinar. Olivia yang sedang menaruh sate ke piring pun tertawa kecil. “Kamu bisa aja. Rasanya tetap kayak biasa, kamu sudah sering memakannya bukan?” “Heem, tapi tetap saja aku harus meakui kalau makanan yang kamu masak semuanya enak, gak ada rasa yang mengecewakan. Top pokoknya!” decak kagum pria itu, pintar sekali menyenangkan hati wanitanya. Tidak lama, capcay juga siap disajikan dalam sebuah mangkuk. Alsen membantu Olivia menatap makanan mereka ke atas meja makan, keduanya kemudian makan dengan sesekali bercanda gurai dan saling bertukar cerita. **** Sehabis menyetrika, Kania menerima upah sebesar lima puluh ribu perharinya. Menurut Kania upahnya ini lumayan besar untuk sekedar mencuci, menyapu, mengepel, dan menyetrika. Sesekali dia juga membantu ibu Rania memasak, atau menanam bunga bersama. Kerjaannya lumayan ringan, tetapi dengan hati malaikatnya ibu Rania memberikan uang yang lebih dari cukup, bisa di kata lebih besar dari upah asisten part time di luaran sana. Kania pulang ke rumahnya dengan membawa sekotak tahu sumedang yang dikasih oleh ibu Rania. Wanita itu benar-benar baik hati sekali. Kania hanya bisa mendoakannya agar panjang umur dan selalu berada dalam lindungan Tuhan. Sehabis membersihkan diri, Kania berniat ke depan gang sana untuk membeli sosis bakar yang ingin sekali dia beli sedari tiga hari yang lalu. Kania tipe gadis yang pintar menabung, karena memikirkan masa depannya nanti. Mungkin saja suatu saat dia memerlukan uang banyak untuk sesuatu, jadi dia tidak perlu mencari-cari pinjaman ke orang-orang. Dia paling anti merepotkan orang lain, kalau bisa dia lakukan sendiri kenapa tidak. Selain cerdas, penyabar, Kania juga terkenal sebagai gadis manis yang ramah dan baik hati. Para tetangga semua menyukai sikapnya yang penuh sopan santun, murah senyum, serta ringan tangan dalam hal membantu sesama. Kania bisa diandalkan dalam hal apa pun, semua orang mempercayainya—dia mempunyai kejujuran yang tinggi. Hebat bukan orangtuanya mendidik dan membesarkannya sampai dia menjadi gadis yang seperti sekarang? Siiiittttt ...! Decitan sebuah mobil mengagetkan Kania, dia memekik keras sambil menutupi wajahnya. Mobil mewah melaju kencang dari arah kiri, hampir saja menabrak tubuh kecilnya. Karena syok, Kania langsung ambruk ke aspal jalanan. “Oh, astaga!” pekik sang empu mobil tak kalah kaget. Ketika melihat keadaan Kania tak sudah tak sadarkan diri, Alsen langsung mengangkat tubuh kecil gadis itu memasuki mobilnya, mendudukkan Kania di jok samping pengemudi. Alsen kemudian menepikan mobilnya ke depan sebuah ruko yang sedang tutup. Dia mengambil minyak kayu putih, mengoleskan pelan pada hidung Kania. Kepanikannya semakin membumbung saja. “Ayolah bangun. Jangan membuatku khawatir.” Alsen menepuk-nepuk pelan pipi Kania, namun tak ada jawaban apapun. Alsen melihat wajahnya, bibir mungul itu memucat. Dengan segala pikiran yang berkecamuk, Alsen kembali melajukan mobilnya menuju apartemen pribadinya. Konyol bukan jika dia membawa gadis yang sama sekali tak dia kenal itu ke rumah orangtuanya? Bisa mati diomeli dia oleh sang ibu karena sudah lalai dalam menyetir dan membahayakan nyawa orang lain. Tidak, tidak! Alsen mengirimkan pesan pada ayah dan ibunya jika dirinya tidak pulang ke rumah hari ini, melainkan ke apartemen dengan alasan membereskan tempat yang sudah lama tak berpenghuni itu. Tidak lama, pesan dari sang ayah masuk. Daddy El: Kamu tidak berbohong kan, Al? Tanpa berpikir dua kali Alsen segera mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan sang ayah. Alsen: Sejak kapan Daddy meragukanku? Bukankah selama ini aku selalu menjadi putra terbaik dan membanggakan untuk Daddy dan Mommy? Daddy El: Baiklah, tidak perlu meng-gas. Daddy hanya memancing reaksimu saja. Hehe! Memancing? Lihat betapa mengesalkan pria yang dia panggil ‘Daddy’ tersebut. Untung saja Tuhan menciptakan Alsen menjadi pria sabar dan baik hati—menurutnya, jadi dia bisa dengan sabar menghadapi kekonyolan sang ayah, dan sikap menyebalkan si adik pertamanya, Alex. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD