A and K | 1

2304 Words
Ini mampu mengobati rindu kalian pada Arabelle dan Elvano, hihihi .... Selamat malam dan selamat membaca:) Jangan lupa follow dan tap love sebelum membaca;) . . BAB 1   Seorang pria bertubuh ideal, tinggi tegap dengan bisep otot yang terbentuk sempurna tengah bermain badminton di halaman rumah bersama sang ayah. Di sore hari dengan awan yang masih cerah ini sangat pas dimanfaatkan untuk menyehatkan tubuh—berolahraga adalah hobinya, hampir setiap hari dia melakukannya. Wajar saja jika dia memiliki tubuh yang bagus, kencang, dan kekar. Biasanya pria itu berlari kecil sepuluh putara mengelilingi halaman depan yang begitu luas. Sambil sesekali melakukan gerakan push-up, sit-up, dan lain sebagainya. Jika cuaca sedang tidak mendukung, biasanya dia melakukan olahraga di dalam ruangan khusus—terdapat banyak sekali peralatan yang menyehatkan tubuh di ruangan tersebut, lengkap tanpa kekurangan satu barang pun. “Alsen, Mas El ...!” panggil seorang wanita cantik dari arah teras—aura keibuan terlihat begitu jelas dari wanita berusia 42 tahun tersebut. Dia membawakan buah-buahan dan minuman sehat untuk kedua pria yang amat dia cintai dan begitu berharga dalam hidupnya—putra pertama dan suaminya. Senyumnya menyembang, membuat siapa saja yang melihatnya merasa kedamaian hati. Alsen dan sang ayah menyudahi permainan mereka. Alsen terlihat tengah menyapu keringat yang membasahi seluruh permukaan tubuhnya, menghampiri sang ibu. Tanpa dosa—mengabaikan tatapan sinis ayahnya, dia melingkarkan tangan kekar miliknya pada pinggang wanita itu, kemudian mendaratkan kecupan sayang pada pipi sebelah kanan. “Terima kasih, Mommy!” ucapnya dengan mata berbinar terang, dia senang. Lantas meminum minuman sehatnya hingga setengah bagian, “Ini sangat enak, Mommy,” komennya dengan senyuman manis. Alis tebal, hidung mancung, bibir berwarna kemerahan, serta mata lebar berwarna hitam itu ikut andil membingkai wajah tampan Alsen. Elvano mendengkus kesal. Dia keduluan Alsen untuk memeluk dan mengecup sang istri tercinta. “Ingat umur, Alsen! Kamu sudah 25 tahun, tetapi tetap saja bersikap manja terhadap Mommymu. Apa kata orang nanti?” cibirnya. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang sang istri dengan posesif, mendaratkan kecupannya pada pipi kiri. Tidak pernah mau mengalah dengan Alsen, ataupun anaknya yang lain, yap kecuali pada Alya—putrinya. “Sayang, kamu jangan mau kalau dicium Alsen, dia sudah besar. Rasa cemburuku juga semakin besar. Anak ini dari kecil sudah pintar mengambil alih perhatianmu, tidak menyisakan sedikit pun untukku.” Arabelle menggelengkan kepalanya, keheranan. “Mas, ingat ya kamu juga sudah tua—59 tahun, tetapi tetap saja bersikap seperti pria seumuran dengan Alsen, heran aku tuh sama kamu. Biarkan saja Alsen bermanja-manja, dia kan sayang sama aku.” Alsen tertawa terbahak mendengar ucapan ibunya. Dia selalu menang jika berdebat dengan sang ayah, karena ibunya tersayang itu selalu membelanya—selalu berada di posisinya. Ah, Alsen sangat menyayangi wanita itu, melebihi apapun di dunia dan seisinya ini. “Dengerin tuh, Daddy, aku kan masih kecil lagi. Masih wajar manja-manja sama Mommy, beda sama Daddy yang sudah tua.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, berpura-pura keheranan mengikuti Arabelle. Elvano memberengut. Dia menepis kasar tangan Alsen yang ingin meraih tangan Arabelle. Pasti anak itu akan mencium punggung tangan istrinya, kemudian mengatakan jika dirinya sangat menyayangi Arabelle. Sudah begitu hapal, dan tentu saja menggelikan. Alsen sudah besar, oh ayolah ... harusnya dia pandai menyesuaikan diri mengingat umurnya yang sudah tak lagi anak bayi. “Jangan memperlakukan Mommy seperti kamu memperlakukan Olivia. Sana cium saja tangan kekasihmu, tangan Mommy hanya Daddy yang boleh mengecupnya.” Dia langsung meraih kedua tangan Arabelle, mengecupinya masing-masing dua kali, kemudian menyombongkan diri jika dia sudah berhasil mengecup. “Mas El, kamu ini ya ... setiap hari gak pernah gak berantem sama Alsen. Selalu saja ada yang didebatkan, kayak kucing sama tikus—gak pernah akur.” Dia memutar bola mata dengan jengah. “Sudah, makan dan minum dulu. Aku mau ke dalam, Alya sedang belajar di kamarnya, aku mau menemaninya dulu.” “Malam ini tidur sama Alsen ya, Mom? Ada yang pengen Alsen ceritain sama Mommy, penting.” Alsen meminta dengan lantang, seperti tengah menantang sang ayah yang saat ini tengah memelototkan mata. Benar-benar anak itu, gak ada akhlaknya kelewatan. Senang sekali membuatku naik darah! “Tidak boleh! Mommy akan tidur sama Daddy.” Elvano memicingkan mata, tidak ingin dibantah. “Kalau kamu ingin tidur sama wanita, sana menikah saja. Jangan ngajak-ngajak Mommy, tidak akan Daddy kasih izin. Kebiasaan banget, sudah terlalu sering kamu minta ditemani Mommy tidur, kenapa tidak sekalian minta dimandiin dan disuapi makan saja? Biar kayak bayi!” Arabelle memijat keningnya. Lihat kan, kembali berdebat lagi. Tadi padahal sudah adem sekali dilihat, keduanya akur dengan bermain badminton. “Benar apa kata Daddy, Alsen, kamu tidak bisa selalu ingin ditemani Mommy. Kalau kamu mau ada temennya, menikah saja. Umurmu sudah 25 tahun, ya ... sudah cukup matang untuk menikah.” Alsen melebarkan matanya. Sesakit ini ternyata saat ibunya tak berada di posisinya, membelanya seperti tadi. “Tapikan wanita yang paling Alsen cinta itu Mommy. Yang lain biar nanti aja. Mommy yang nomor satu di hati Alsen, suer deh!” Elvano menyudahi perdebatan mereka dengan membawa Arabelle meninggalkan halaman depan, meninggalkan Alsen dengan gerutuannya amat geram. “Daddy ...! Aku akan membalasmu nanti, lihat saja!” teriaknya tidak terima. Seperginya kedua orangtuanya, terdengar cibiran dari anak lelaki dari arah belakang. “Ck, Bang! Kamu terlihat seperti kekanak-kanakan, manja sekali. Heran aku!” kataya dengan menggelengkan kepala. Bola sepak tengah berada dalam pelukannya. Anak laki-laki berumur 19 tahun itu menatap datar pada Alsen. Matanya berbentuk bulat seperti Alsen, namun warnanya cokelat pekat. Hidung mancung, bibir tipis kemerahan, dan alis yang juga tebal itu berhasil menjadi penyaing nomor satu ketampanan seorang Alsen. Alex dan Alsen sebenarnya mirip, hanya saja Alex lebih datar sedangkan wajah Alsen terlihat begitu manis bak seorang malaikat. “Ingat umur kenapa sih, Bang, sudah tua juga!” komentarnya lagi, mencoba mengingatkan Alsen jika umurnya sudah tidak muda lagi. Alsen berdecak. “Diam saja kamu manusia bermuka datar. Sana belajar yang benar dulu. Masih kecil sudah pintar mengomentariku, padahal aku jauh lebih tahu dari pada kamu!” Alex masih menunjukkan wajah datarnya, tidak berubah sedikit pun. “Katanya lebih tahu, tapi kok masih kayak anak kecil. Bahkan aku yang umurnya 19 tahun—sering Abang katai anak kecil ini, tapi aku gak pernah bersikap kayak Abang tuh. Sekarang aku jadi bingung, yang Abang itu sebenarnya siapa?” “Hey! Tutup mulutmu, tentu saja aku adalah Abangmu. Kamu ya selalu saja berbicara seolah yang paling benar dan dewasa. Ya sudahlah, aku pusing berdebat dengan manusia datar sepertimu. Sulit mengerti apa yang aku mau juga!” Lantas melangkahkan kakinya memasuki rumah, meninggalkan Alex dengan segala kebingungannya. Dia hanya mencoba memberi tahu pada Alsen jika kelakuannya yang seperti tadi tidak sama sekali mencerminkan pria dewasa seusianya. Tapi lagi-lagi dia salah, abangnya itu memang tak pernah mau menerima komentar apapun dari dirinya. Ah, sudahlah! **** Seorang gadis tengah ribet dengan segala macam bahan dan peralatan memasak. Ini sudah siang, dia lapar. Karena hanya seorang diri di rumah, semua dia lakukan tanpa bantuan orang lain. Tangan kecilnya mengusap pelipis yang sudah dipenuhinya keringat. Siang ini dia membuat masakan sederhana kesukaannya, bakwan jagung, tumis tahu tempe, dan ayam goreng mentega. Menunya hari ini memang terdengar enak, karena biasanya dia lebih sering memakan mie atau telur. Gadis bernama Kania itu sedang memiliki rezeki berlebih jadi dia membeli bahan masakan untuk menyenakkan moodnya, dia ingin makan yang enak-enak, sudah terlalu bosan dengan telur ceplok dan kecap. Mata lebar berwarna cokelat pekat itu bersinar terang, bibir berwarna kemerahan itu membentu senyum dengan begitu manis, menampakkan kedua lesung pipinya. Semua yang dia masak hari ini enak, tidak terdapat kekurangan apa pun dari segi bentuk atau rasa, sempurna! Kania menata makanannya ke atas meja makan, kemudian mengambil nasi ke dalam piring, dia sudah begitu lapar—tidak sabar untuk makan yang banyak. Gadis kecil berkulit putih bersih dengan tinggi 152 sentimeter itu berdecak sekali lagi, makanan yang dia masak emang benar-benar ... argh, enak sekali! Dia memakan makannya dengan begitu lahap. Meski tubuhnya kecil—memiliki berat 44 kilogram, makannya selalu porsi jumbo. Dia banyak makan, tetapi nampak sulit gendut. Buktinya badannya selalu terlihat bagus, ideal dengan tinggi badannya yang minimalis. Seekor kucing putih berbulu tebal dengan bentuk tubuh kecil namun gembul datang menghampiri Kania, dia mengeong sambil bermanja-manja pada kaki Kania yang telah merawatnya hampir dua tahun belakangan, kucing yang begitu menggemaskan tersebut hadiah dari seseorang yang begitu Kania sayangi, seseorang yang paling bisa memahami dirinya. Biasanya kalau suka bermanja-manja seperti ini, dia kelaparan meminta diberi makan dengan segera. Kania mengangguk, dia meninggalkan sebentar makanannya, beranjak menuju tempat makanan di Cici—nama kucing dengan mata bulat dengan bentuk lebar itu. “Makan yang benar, jangan sampai berhamburan ke mana-mana. Dengar?” pesannya setiap kali ingin memberikan makan pada Cici. Cici menyahut dengan mata sedikit lebih lebar, dia mengangkat kedua kakinya, menunjukkan sikap yang begitu menggemaskan. “Oke, baiklah. Karena kamu sangat pintar setiap harinya, aku kasih makan lebih banyak lagi.” Kania mengelus puncak kepala kucing itu dengan sayang, kemudian kembali ke dapur untuk mencuci tangan. Meski hanya makanan kering, tetap saja harus dibersihkan kembali tangannya. Cici selalu mandi seminggu sekali, tepatnya pada hari jum’at. Kania sangat menjaga pola makan kucing kesayangannya, memandikannya dengan benar, dan juga memberikan tempat tidur yang nyaman, terdapat selimut, bantal dan guling berukuran kecil. Sejauh ini, Cici jarang sekali sakit karena Kania merawatnya dengan baik. Usai menyelesaikan makannya, Kania melangkahkan kakinya menuju halaman belakang tempat di mana biasanya dia menjemur pakaian. Mengangkat semua pakaian yang dia rasa telah mengering, membawanya ke ruang tengah untuk di setrika. Sekitar jam 4 nanti dia harus kembali berangkat ke rumah sebelah untuk menyelesaikan pekerjaan di sana. Hampir seharian penuh di waktu siangnya Kania habiskan untuk mencari uang dan beberes rumahnya sendiri, ketika malam baru dia bisa beristirahat dengan tenang. Meski kadang terasa melelahkan tetapi Kania berusaha untuk mensyukuri apa pun itu. Dia bukan tipe orang yang cepat mengeluh karena keadaan. Kania, gadis polos, lemah lembut, dan penyayang. Dia berusia 18 tahun—baru saja lulus dari bangku sekolah menengah atas, beberapa bulan yang lalu. Kania adalah anak yatim piatu, orangtuanya meninggal ketika dia akan menghadapi ujian nasional, akibat kecelakaan tunggal saat mengunjungi kediaman sang nenek di Bandung. Tidak lama dari meninggalnya sosok seorang yang begitu dia cintai, Kania kembali mendengar kabar menyakitkan ... jika sang nenek juga menyusul kepergian ibu dan ayahnya—meninggalkannya seorang diri di Jakarta. Kania masih memiliki keluarga, tetapi nampaknya mereka semua mengabaikan kehadirannya. Tidak ada satupun dari mereka yang mendatangi Kania, menjenguk walau sekedar ingin melihat atau menanyakan keadaannya. Dia benar-benar sendiri, sepi, dan juga menyakitkan. Semua orang mengabaikan kehadirannya. Kania bekerja di salah satu rumah tetangga—ibu Rania, teman baik ibunya, mencuci piring, mencuci pakaian, dan menyetrika—dia akan datang ke rumah itu saat pagi dan sore hari. Meski terasa berat menjalani kehidupan demikian, Kania tetap bersyukur—sebab Tuhan masih memberikan kesempatan untuk melihat dunia, memiliki tempat tinggal yang nyaman untuk berteduh dari hujan, beristirahat dikala penat, dan tidak terkena terik matahari yang panas. Di tempat ibu Rania pun Kania diperlakukan dengan sangat baik, bahkan wanita hebat itu telah menawari dirinya agar tinggal di rumahnya saja—menjadi anak angkatnya, hanya keluarga itu yang menganggap kehadirannya. Namun Kania menolak, dia tidak enak hati dan takut merepotkan orang lain. Cukup disayangi dan merasa aman pun dalam setiap harinya sudah cukup baginya. Saat sedang asik menyetrika sambil mendengarkan beberapa lagu kesukaannya, pintu depan diketuk. Ada seseorang yang datang untuk bertamu. Segera gadis itu mencabut kabel setrika pada colokan, melangkah lebar membukakan pintu. “Siang, Kania,” sapa seseorang yang begitu dia kenali. Senyum Kania mengembang. Dia mengangguk, seraya mempersilakan orang itu duduk di ruang tamu sederhana yang ada di rumahnya. “Oh ya, hari ini minggu ya, Bang. Aku lupa kalau Abang libur bekerja. Tadi pagi pas aku ke rumah beberes sama bantuin Tante Rani masak Abangnya gak ada. Aku pikir sudah berangkat kerja.” Pria yang Kania sebut ‘abang’ tersebut tertawa kecil. Dia adalah Reynal—pria dewasa berumur 25 tahun, mempunyai tubuh idela, tinggi dan tegap. Wajah tampan dengan hidung mancung, alis tebal, mata sipit berwarna cokelat serta senyum manisnya terpahat sempurna. Selain tampan, Reynal juga hangat dan penyayang. Sifat lemah lembutnya membuat siapa saja nyaman dengan perlakuannya, betah di sisinya. “Aku tadi pagi ke rumah Nenek, baru aja pulang dan langsung ke sini nyamperin kamu.” Reynal mengulas senyum, dia sering kali bolak balik Bekasi untuk mengunjungi nenek tersayangnya, setiap hari libur bekerja—kadang juga menginap di sana. Pria itu menaruh paper bag ke atas meja. “Buat kamu, Nia. Aku pas liat ini di pasar bareng Nenek tadi langsung keiinget kamu.” Mata Kania berbinar. “Oya? Apa ini?” tanyanya antusias. “Buka dong biar tahu apa isinya.” Kania mengangguk, dia mengambil paper bag tersebut dan mengeluarkan dalamnya. Sebuah kotak kecil dengan pita berwarna merah muda. “Wah cantik banget kotaknya.” Reynal tertawa. “Kok malah kotaknya yang di komentarin, isi dalamnya dong, Nia.” Sikap Kania yang seperti ini selalu membuat dirinya gemas, ingin mencubit gadis yang selalu membuatnya berbahagia. “Oh, iyaya ...!” kekehnya dengan begitu polos. Perlahan dia membuka pita, kemudian membuka tutup kotak kecil itu. Sebuah kalung dengan liontin bulat kecil berada di dalamnya, terlihat begitu indah. “Ini bagus banget, Bang Rey.” Kania mengangkat kepala, dia menatap Reynal yang juga saat itu tengah menatap kepadanya. Reynal mengangguk membenarkannya. Kalung itu cantik, sama seperti kamu, Nia—batinnya sambil tersenyum. “Iya bagus, cocok buat kamu.” Mata Kania menyendu seketika. “Tapi, Bang, Nia gak enak nerima ini. Bang Rey sudah terlalu baik sama aku selama ini.” Dia menutup kembali kotak itu, memasukkannya ke dalam paper bag lagi. Mendekatkan ke arah Reynal. Cici, kucing kesayangannya itu juga Reynal yang membelikannya saat ulang tahunnya yang ke 16 tahun. Begitu pun dengan baju, sepatu, gelan. Pria itu begitu baik, membuat perasaan Kania semakit nyata kepadanya. “Sudah sering aku bilang, kamu itu adik kesayangan, sudah aku anggap adik sendiri. Terima saja, ini khusus buat kamu yang sudah baik banget juga sama aku selama ini.” Kania akan berucap, segera di potong oleh Reynal. “Aku akan merasa sedih kalau kamu menolak ini, Nia.” Kania memikirkannya beberapa saat. Kemudian mengangguk pelan. “Ya sudah, sebagai gantinya nanti aku bikinin kue cokelat lagi mau?” tawarnya. Reynal sangat menyukai kue cokelat, apalagi yang ada kacang kenarinya. “Boleh! Ah, kue bikinan kamu emang paling jago dari yang lain, paling enak rasanya. Pas banget di lidah aku.” Kania tersipu malu dengan pujian itu. Hampir setiap hari dia menerima pujian seperti itu dari Reynal, entah dari pekerjaannya yang rapih, makanan yang dia masak, atau sikapnya yang disenangi oleh pria itu. Keduanya kembali mengobrol perihal Nenek Reynal yang kira-kira akan pindah ke rumahnya, sebab di Bekasi hanya bersama asisten rumah tangga. Katanya ibu Reynal—Rania lebih tenang perasaannya jika sang ibu dia yang merawat. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD