Bab 86

2008 Words
Sepulangnya dari taman, Arina yang dibawa pulang secara paksa oleh Alpha pun memaksa untuk melepaskan cekalan tangannya yang digenggam oleh sang kakak begitu erat. "Kak Alpha, Aira bagaimana?" Mengabaikan rasa sakit di pergelangan tangannya, Arina justru menanyakan perihal adik kembarnya yang mereka tinggalkan begitu saja di taman. Alpha remaja tidak peduli, ia tetap diam tanpa membuka suara sedikit pun. "Kak, Arina bisa sampai sana karena diajak oleh Ayah bukan kemauan Aira ataupun Arina." "Tapi di sana tadi tidak ada Ayah, Ra. Tidak ada!" "Ayah ke toilet, Kak. Bahkan Ayah yang membelikan kita es krim dan menyuruh kami menunggu di sana, supaya aku dan Aira tidak kesepian. Ayah memperbolehkan kami makan es krim karena sudah sebulan lebih kami tidak makan itu, Kak." Anak perempuan berusia 6 tahun itu menjelaskan serinci mungkin kejadian yang terjadi di taman tadi. Dengan usia demikian, Arina berusaha sebisanya membela saudari kembarnya. Selalu. Aira dan Arina adalah sepasang saudara kembar yang saling menyayangi satu sama lain. Meski Alpha kerap kali pilih kasih dan membeda-bedakan keduanya, kakak laki-laki mereka yang selalu mengutamakan Arina, menomorsatukan Arina, membela Arina dan menyayangi Arina dengan tidak memberikan hal yang sama kepada Arina. Namun, Arina tidak pernah merasa unggul. Kasih sayang lebih yang ia dapatkan dari Alpha tidak membuatnya merasa senang, sebaliknya, Arina justru sedih karena menurutnya sang adik tidak melakukan kesalahan apa pun. "Aira itu saudari kembar Arina, Kak. Tidak mungkin Aira mempunyai niat jahat kepada Arina." Lagi, pola pikir dewasa anak kembar itu pun sama. Meski usia keduanya baru menginjak di angka 6 tapi, Arina dan Aira tumbuh menjadi gadis kecil yang berpikiran dewasa. Mereka cepat menangkap situasi yang sedang terjadi. Keduanya mampu berpikir sebagaimana orang dewasa memikirkan suatu permasalahan. Terkadang, hal itulah yang membuat keduanya dikagumi banyak orang. Meski tak jarang pula, Aira selalu mendapat bullyan karena ucapan Alpha yang selalu mengumbar kalimat berbunyi, "Anak pembawa sial." Sementara Arina, ia selalu mencoba tutup telinga dan selalu berada di sisi Aira. Menemani dan menjaga Aira jika ejekan-ejekan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar menyerang saudari kembarnya. "Kak Alpha, kita balik ya jemput Aira." Permohonan sederhana Arina yang begitu mudah. "Arina, kamu masih saja memedulikan Aira? Arina dengar, dia itu bukan anak baim seperti kamu. Kakak sudah bilang berulang kali kalau Aira itu anak pembawa s**l. Dia bencana di keluarga kita, Ra." "NGGAK KAK! AIRA BUKAN PEMBAWA s**l!" jerit Arina saking kesalnya. Meluapkan emosinya yang sejak tadi ia tahan. "Aira bukan orang seperti itu. Kakak salah karena membenci Aira sampai seperti ini Kak. Justru Kakak yang jahat karena selalu mengatai Aira yang tidak-tidak sampai tetangga dan teman-teman Arina semua juga membenci Aira." "Iya, memang itu tujuan Kakak. Supaya Aira tidak memiliki teman dan dia akan hidup kesepian selamanya!" sahut Alpha pedas. Arina menggelengkan kepalanya, dalam dirinya yang kecil ini dia bisa apa sih? Ingin menangis rasanya karena kakaknya yang paling ia banggakan malah berlaku setidak adil ini. "Arina ingin Aira juga mendapatkan hal yang sama seperti Arina, Kak. Kakak yang menyayangi Aira, menjaganya, dan selalu berbicara yang baik padanya. Kakak kan juga kakaknya Aira, Kak." "Iya, Kakak memang Kakaknya Aira tapi, dia dan kamu sangat berbeda, Ra. Kamu keberuntungan, kamu malaikat kecil yang Tuhan titipkan untuk keluarga kita, lalu Aira? Dia hanya anak yang lahir ke dunia dengan membawa semua kesialannya, Ra. Kalian sangat berbeda!" Alpha dan Arina yang tengah berdebat di ruang tamu itu pun terlonjak kaget. Terutama Arina, gadis kecil itu sampai nyaris jatuh kalau saja dia tidak berpegangan pada meja yang berada di dekatnya. "Aira ..." lirih Arina. Di sana, di depan pintu utama yang terbuka lebar, Aira berdiri dengan seluruh tubuh yang basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan di dekat kakinya, sebuah pot bunga terlihat pecah berantakan dengan tangan Aira yang mengeluarkan noda kemerahan di sana. Ternyata sedang turun hujan di luar sana. Arina sampai tidak menyadarinya. Berdebat dengan Kak Alpha membuat emosinya memuncak hingga tidak mengetahui kalau hujan turun dengan deras. Dan di sana, di depan sana Aira, adik kembarnya dalam keadaan yang memprihatinkan. Dengan cepat Arina berlari menuju Aira di depan sana. Mengabaikan Alpha yang hanya diam tanpa pergerakkan apa pun. "Aira! Astaga tangan kamu berdarah, Ra. Luka kenapa ini, Ra?" tanya Arina khawatir. "Kak, maaf ya tadi Aira tidak sengaja menendang pot bunga karena mau cepat-cepat masuk, dingin Kak." "Ya Tuhan, Ra seharusnya kamu tidak memedulikan potnya. Sekaramg malah jari kamu yang terluka." "Maaf Kak Arina." "Baju kamu juga basah. Ayo sekarang kamu masuk dan cepat mandi ya. Kakak siapkan baju bersihnya di kamar." Ucapan Arina lekas Aira angguki. Tanpa banyak bicara lagi, Aira langsung masuk ke rumah sembari menggigil kedinginan. Saat melewati Kak Alpha yang juga sedang melihatnya, Aira bersikap biasa saja tanpa menoleh sedikit pun. Biarlah kalimat menyakitkan yang Kak Alpha keluarkan tadi untuknya Aira telan bulat-bulat saja. Sejak awal, sejak Aira hadir di dunia ini kakaknya yang satu itu memang tidak pernah menyukainya. Dari zamannya mereka TK dua tahun lalu, Aira mengingat setiap perlakuan dan omongan pedas Kak Alpha yang ditujukan untuk dirinya. Dan hari ini, terjadi kembali. Aira hanya akan menutup mata dan telinga. Bersikap seolah tak pernah melihat atau mendengar apa pun. Bukankah selama ini hidupnya selalu seperti itu? Kalimat yang sangat menyakitinya itu tadi, Kak Alpha ucapkan secara lugas dan keras. Seolah menjelaskan betapa sang kakak sangat-sangat membencinya. Pada otak kecil anak berusia 6 tahun itu, lagi-lagi ia dibuat berpikir dan berpikir. Tanpa bisa bertanya dengan siapa pun, tanpa bisa juga mengeluh dan menyampaikan kekesalannya terhadap apa pun. "Kak Alpha seperti ini karena aku lahir kan? Saat aku lahir, Ibu meninggal karena memperjuangkanku. Kalau behitu kenapa aku tidak aku saja ya yang meninggal, supaya aku tidak perlu merasakan ini semua," monolog bocah perempuan 6 tahun tersebut. Tidak ada air mata, tidak ada isakkan yang membuatnya tersedu sedan, tidak ada semua ciri-ciri yang menunjukkan kesedihannya. Aira kecil yang begitu tegar. Padahal makian yang Alpha ungkapkan tadi membuatnya sedih sekali. Namun, seolah harus bisa menghadapi situasi seperti ini, ia hanya dapat diam. Menyimpan segalanya tanpa menunjukkan rasa kesakitannya. Sejak dini Aira sudah mengatur dan mengolah emosinya sendiri. Sungguh, betapa sakit hatinya saat kalimat "Anak pembawa s**l" itu terucap langsung dati lisan kakak laki-lakinya yang selama ini Aira sayangi. Kak Alphanya yang Aira lihat sebagai malaikat karena kelembutan, dan kebaikkannya terhadap saudari kembarnya. Namun, ternyata berbanding jauh jika itu dengannya. Kak Alpha selalu saja mengatainya anak pembawa s**l-lah, mala petaka dalam keluargalah, dan segala macam kalimat-kalimat pedas lainnya yang sudah pasti menyakitinya. Padahal, Aira juga tidak minta dilahirkan seperti ini. Dia juga tidak ingin saat dirinya lahir, Ibu justru pergi. Tidak, Aira tidak pernah menginginkannya. "Karena Aira juga mau merasakan kasih sayang seorang ibu, Aira ingin seperti teman-teman yang lain. Memiliki ibu dan bercanda bersama. Kalau pergi sekolah diantar dan pulangnya dijemput." Aira kecil mencicit sendu. Namun tetap, wajahnya masih sedatar papan tanpa tanda-tanda mata yang berkaca atau lainnya. "Kak Alpha memang sering datang ke sekolah. Mengantar dan menjemput pulang, atau kalau ada acara pentas seni dan lain-lain juga Kak Alpha sering berkunjung tapi ..." Aira tahu itu semua kakaknya lakukan bukan untuk dirinya, melainkan kakak kembarnya, Kak Arina. "Tapi Aira kan punya Ayah," sambungnya kemudian menampilkan senyum manisnya yang jauh dari gurat sedih. Gadis kecil ini begitu tegar menghadapi hidupnya yang kejam sejak kecil. Ingat, usianya baru 6 tahun. "Kak Alpha tidak membenciku, Kak Alpha hanya kesal karena Kak Arina makan es krim. Kak Alpha khawatir, tapi dia sulit menyampainkan perasaannya sehingga hanya bisa memyampaikan lewat kata-kata." Di dalam kamar mandi, guyuran air yang membasahi tubuhnya, menyapu semua kotoran yang menempel pada kulitnya, Aira tetap berpikiran positif dan menyemangati diri sendiri. Mungkin ini yang membuat baik Arina maupun Aira mempunyai pemikiran terbuka dan dewasa, keadaanlah yang memaksa mereka untuk memahami semuanya secara utuh. Manis, pahit, serta kerasnya kehidupan semua seolah bermakna dan mereka harus memahaminya. Kondisilah yang memaksa mereka untuk berpikir panjang. Kondisi di mana anak-anak lain seusia mereka masih asik bermain tapi, si kembar sudah harus bisa mengatur mood mereka. Memahami hal-hal yang terjadi di sekitar mereka, memaklumi, dan selalu menelaah semuanya sendirian. Keadaan yang memaksa mereka dewasa. Suara ketukkan pintu dari luar kamar mandi membuat Aira kecil terkesiap. Guyuran air yang dari tadi menyiram tubuhnya pun segera ia matikan. "Aira ... kamu belum selesai juga?" Itu suara Kak Arina. Terdengar dari suaranya, Kakak kembarnya itu sangat mengkhawatirkannya. "Hmm ... Iya, Kak. Sebentar lagi," sahut Aira dari dalam kamar mandi. "Jangan lama-lama, Ra nanti kamu masuk angin, bisa pilek." "Iya, Kak." Ada Ayah dan Kak Arina yang menyayanginya, begitu saja sudah lebih dari cukup kok untuk Aira. Perhatian kakak kembarnya itu selalu bisa membuat Aira merasa dicintai, dan sikap Ayah juga selalu bisa membuatnya merasa tenang karena disayangi sepenuh hati. Tutur kata yang keduanya ucapkan saat bersamanya tidak pernah kasar. Berbeda, tidak seperti Kak Alpha. Aira kecil keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuh kecilnya yang ringkih. Melihat saudari kembarnya keluar dari dalam kamar mandi, Arina segera mendatangi Aira dan memberika pakaian bersih untuk sang adik. "Ini, Ra. Cepat ganti ya. Nanti Kakak bantu mengeringkan rambutmu," ucap Arina. Dress dan dalamannya ia serahkan kepada sang saudari kembar. Lihat kan? Kak Arina adalah malaikatnya. "Terima kasih ya, Kak." Dengan senyuman manisnya Aira kecil menerima pakaian yang kakaknya berikan. "Sama-sama, Ra. Sudah sana cepat kamu ganti dulu." "Iya, Kak." Lima menit setelahnya, Aira keluar lagi dengan pakaian yang sudah berganti lebih baik. Rambutnya digelung dengan liliyan handuk di atasnya. "Eh ..." Aira terkejut. Begitu ia keluar lengannya langsung ditarik oleh kakak kembarnya. "Sini Aira cepat, rambut kamu harus segera dikeringkan kalau tidak nanti kamu bisa sakit betulan." Arina berkata cepat. Aira tersenyum hangat mendengarnya. Keduanya duduk di pinggiran ranjang Aira. Kamar mereka satu ruangan tapi tempat tidurnya dipisah menjadi dua. Dan itu semua karena kemauan Alpha. Katanya, Arina bisa terkena kesialan dari Aira kalau mereka tidur dalan satu ranjang. Arina melepaskan lilitan handuk dan mulai mengusap-usap dan menggosok rambut basah Aira menggunakan handuk lain yang kering. "Kenapa kamu bisa kehujanan, Ra? Ayah mana?" tanya Arina. Tangannya masih sibuk mengeringkan rambut sang adik. "Sepertinya setelah dari toilet Ayah bertemu dengan bos di kerjaannya, Kak. Aira sempat melihat Ayah sangat sopan dengan orang itu. Dan sepertinya mereka membicarakan soal pekerjaan." "Lalu kenapa kamu bisa pulang dalam keadaan basah kuyup seperti tadi Aira?" "Langit tiba-tiba mendung dan mulai hujan rintik-rintik. Aira lihat Ayah masih di sana dengan bosnya, Kak. Aira tidak mau datang ke Ayah karena takut akan mengganggu. Jadi Aira memilih pulang saja." "Dan kamu kehujanan saat dalam perjalanan pulang?" Aira mengangguk kecil. Ia pun menjawab, "Iya, Kak." "Astaga Aira ... seharusnya kamu ikut pulang saja tadi dengan Kakak dan Kak Alpha jadi kamu tidak kehujanan seperti tadi. Ingat, Ra jantung kamu bisa sakit kapan saja, Ayah sudah sering bilang kan supaya kamu tidak kelelahan." Arina mengomel. Ia genggam tangan saudari kembarnya, menghantarkan kehangatan yang utuh di sana. "Kamu punya riwayat sakit jantung Aira, seharusnya kamu abaikan saja perkataan Kak Alpha dan ikut pulang bersama tadi." Aira menggeleng, "Nggak Kak, Kak Alpha pasti bisa marah lebih besar dan menganggap Aira semakin-semakin," jawab Aira. Arina mencebik, matanya mulai berkaca-kaca. "Ra, Kakak minta maaf ya." "Jangan minta maaf, Kak. Kakak tidak salah apa pun," sahut Aira. "Kakak gak bisa jaga kamu sebagai saudara kembar dengan baik." Arina mulai menangis. Aira pun beringsut memeluknya. "Jangan bilang kejadian ini pada Ayah ya Kak. Nanti Ayah jadi khawatir dan marah dengan Kak Alpha." Suara Aira terdengar jelas di rungu Arina dan seseorang yang mengintip dari celah pintu kamar si kembar yang terbuka sedikit. Itu Alpha. "Kenapa? Biar aja, Ra. Biar Kak Alpha kena marah sama Ayah. Kak Alpha sudah jahat sama kamu, Ra." "Nggak, Kak jangan. Biar saja Ayah tidak perlu mengetahui masalah ini. Aora gak mau Kak Alpha kena marah," jawab Aira. Sesuatu dari dalam relung hati Alpha seolah berdenyut saat Aira berkata demikian. "Anak itu ..." gumam Alpha. Raut wajahnya yang dingin dan datar tanpa ekspresi apa pun tidak bisa menjelaskan respin Alpha yang benar seperti apa. Dia hanya diam dengan pandangannya yang lurus ke depan. Matanya taknlepas menatap Aira yang berada dalam dekapan Arina. Setelahnya, Alpha memilih pergi, meninggalkan si kembar dan menyudahi acara mengintipnya. Masih dengan ekspresinya yang sulit ditebak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD