Bab 85

1127 Words
Throwback Dua belas tahun lalu, Dua orang anak kecil tengah menikmati es krim mereka satu sama lain. Dua buah es krim dengan corn ukuran besar karena keduannya yang sangat menyukai jenis makanan tersebut. Namun, dengan rasa yang berbeda. Gadis kecil dengan kuncir dua yang duduk di sebelah kanan memegang sebuah es krim dengan warna cokelat dan memiliki rasa yang sesuai dengan warnanya. Sementara gadis kecil dengan gaya rambut yang dikepang satu di sisi kiri, warna es krim yang dipegangnya adalah merah muda. “Stroberi lagi, Ra?” tanya salah satu dari dua anak kecil perempuan di sana. Bicara-bicara keduanya sedang duduk di sebuah bangku taman dekat rumah mereka. Hari ini adalah akhir pekan dan rutinitas biasa sepasang saudara kembar itu adalah jalan-jalan sore di taman dekat rumah. Bersama Ayah atau kakak laki-laki mereka. Namun, Ayah yang lebih sering menghabiskan waktu berakhir pekan bersama. Seperti saat ini, Ayah Adnan sedang ke toilet dan menyuruh kedua putrinya untuk duduk di bangku taman. Agar tidak merasa bosan, selagi menunggu Ayah membelikan es krim untuk putrinya yang cantik-cantik. “Iya, Kak. Aira kan suka yang rasa stroberi,” jawab gadis kecil yang kepang satu. Sejumput es krim menempel di sudut bibirnya. “Hahaha ... kamu ini loh, Ra makan es krim saja belepotan. Sini, biar kubersihkan,” katta gadis kecil yan satunya lagi. Aira mendekat sesuai yang dipinta saudara kembarnya, merangsek maju sampai wajah kembar bak pinang di belah dua mereka berhadapan satu sama lain. Aira menyodorkan wajahnya dengan bibir yang ia monyongkan. Arina terkekeh, kemudian membersihkan pinggiran bibir sang adik kembar dengan menyapu pelan menggunakan ibu jarinya. “Jangan belepotan dong, Ra. Sebentar lagi kan kita mau masuk SD harus sudah bisa belajar rapi dan mandiri,” ucap Arina. “Iya, Kak maaf.” Aira menjawab dengan wajah menunduk. “Hei kenapa minta maaf, Kakak kan hanya menasihati kamu bukan memarahimu, Aira. Jangan minta maaf lah kamu tidak salah kok.” Sebegitu sayangnya sosok Arina kepada sang adik kembar. Keduanya sering bergurau dan bercanda bersama, bercerita bersama, dan memiliki beberapa hobi yang sama, walau beberap di antaranya juga mereka memiliki perbedaan. Seperti makanan kesukaan, warna favorit, dan nasib yang tidak seberuntung salah satu di antara mereka. Contohnya seperti sekarang, “Arina?!” Suara berat itu berasal dari seorang remaja lelaki yang datang dari arah timur. Arina dan Aira pun segera mengalihkan perhatian mereka ke sumber suara. “Kak Alpha?” Arina yang bersuara. Remaja lelaki berusia 14 tahun yang sedang duduk di bangku SMP itu pun mendekat, menunduk di sebelah Arina dan melihat es krim yang dipegang oleh Arina, wajahnya berubah merah. “Kamu makan es krim sore-sore begini?” Kalimat berupa pertanyaan itu Alpha keluarkan dengan nada sinis, sekilas melirik Aira di sebelahArina yang juga menikmati makanan yang sama. “Iya, Kak,” jawab Arina polos. “Kenapa kamu makan es krim Arina nanti kamu pilek, kamu kan tahu kalau kondisi tubuh kamu lemah. Ayah juga sudah melarang kamu untuk tidak sering-sering makan es krim kan?” “Tapi Ayah yang membelikannya Kak, kata Ayah karena sudah lebih dari sebulan kami tidak makan es krim jadi hari ini kata Ayah boleh.” Itu Aira yang menjawab dengan pelan. Es krim yang berada di tangannya mendadak tak disuapkannya lagi ke dalam mulut karena melihat tatapan nyalang dari kakaknya. Alpha menghunuskan tatapan tajamnya pada Aira, “Halah! Pasti kamu kan yang mengajak Arina makan es krim? Hei Aira, Arina ini tidak bisa makan makanan yang dingin-dingin terlalu bannyak. Kamu mau membuatnya sakit ya?” omel Alpha pada si kecil aira yang menunduk. “Nggak Kak Alpha, Ayah yang mengajak kita ke sini dan makan es krim,” jawabnya dengan cepat. “Jangan bawa-bawa Ayah, bilang saja kamu yang mengajak Arina kan? Dasar anak nakal pembawa s**l!” Makian Alpha yang kesekian kalinya pada Aira kecil. “Tapi Kak, apa yang Aira katakan memang benar. Kami ke sini bersama dengan Ayah, Ayah juga yang membelikan kami es krim Kak,” sahut Arina membela saudari kembarnya. “Sudahlah Arina, kamu jangan membela dia terus menerus. Sekarang lihat, dia jadi suka-sukanya seperti ini!” Namun, lagi-lagi Alpha abai dan tetap memercayai persepsinya sendiri. Alpha segera bangkit dan menarik lengan Arina sampai adiknya itu berdiri, es krim yang Arina pegang pun jatuh ke tanah. “Ayo, kita pulang saja,” kata Alpha dengan lantang. “Tapi Kak, Aira ...” “Dia yang mengajak kamu ke sini dan makan es krim. Biarkan saja dia di sana dan pulang sendirian, sebagai hukumannya. Kamu pulang dengan Kakak,” jawan Alpha tegas. Sebelah lengan kecil Arina, Alpha pegang dan sekali lagi tatapan sengit ia layangkan pada si bungsu Aira yang masih termenung di tempat duduknya dengan mata memerah. Es krim yang berada dalam genggamannya pun mencair dan berjatuhan ke tangan Aira. “Aira, kamu hati-hati ya sebentar lagi pasti Ayah kembali. Kakak pulang duluan ya.” Arina berkata dengan cemas. Raut lembutnya yang manis beradu dengan kerjapan seringan bulu milik saudari kembarnya. “Iya, Kak,” sahut Aira pelan. Suaranya bahkan lebih terdengar seperti cicitan alih-alih jawaban. Parau karena Aira kecil mencoba menahan tangisnya. Kedua kakaknya sudah pergi dan menjauh sampai punggung mereka tak lagi kelihatan. Dengan mata memerah dan berkaca-kaca, juga sesak yang ia tahan sekuat mungkin untuk menahan laju air matanya agar tidak jatuh. “Jangan menangis Aira, Kak Alpha pasti terkejut karena melihat Kak Arina main keluar rumah,” gumam si kecil Aira. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan terus berusaha berpikir positif. Air matanya memang tak jadi tumpah, namun jauh di dlam sanubarinya Aira merasa sedih. Kalimat menohok Kak Alpha barusan sudah biasa ia dengar tapi, hari ini bersamaan dengan perhatian yang Kak Alpha berikan pada saudari kembarnya, Aira merasa kesedihannya semakin berlipat ganda. “Padahal aku juga tidak bisa makan makanan yang dingin terlalu banyak, aku juga bisa sakit kalau makan es krim terlalu sering.” Aira berkata pada dirinya sendiri. Tidak dengan suara yang mencicit atau parau justru wajahnya menggambarkan ekspresi datar yang tenang. “Jantungku juga bisa kambuh sewaktu-waktu tapi, itu tidak penting bagi Kak Alpha.” Masih terekam apik di ingatannya perkataan Kak Alpha tadi mengenai kondisi tubuh Arina yang lemah padahal yang memiliki riwayat penyakit dalam adalah dirinya. Kakaknya juga tidak percaya kalau bukan dia yang mengajak Arina ke taman tapi Ayah. “Sepertinya Kak Alpha sangat membeciku ya. Ya Tuhan, suatu saat nanti jika Aira bisa tumbuh dan hidup sampai dewasa, Aira ingin merasakan kasih sayang dari Kak Alpha juga. Aira ingin hidup bahagia bersama Ayah, Kak Arina dan Kak Alpha.” Itulah permohonan sederhana dari seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang sebentar lagi akan memasuki jenjang pendidikan di kelas 1 sekolah dasar. Harapan dan permohonan yang tulus tanpa sesuatu yang memberatkan siapa pun. Hanya kasih sayang, iya hanya itu yang Aira inginkan dari sosok kakak laki-lakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD