Bab 61

2585 Words
Hari cepat berlalu, pagi berganti petang menghadirkan malam dan kini sudah datang kembali pagi. Kokokan ayam jantan terdengar merdu bergantian, saling bersahut-sahutan. Namun, tak sama seperti pagi-pagi pada umumnya hari ini langit tak terlihat secerah biasanya. Awan gelap tampak menghiasi keseluruhan langit Ibu kota, mendung. Pun air-air langit yang turun membasahi bumi manusia. Tidak terlalu deras tapi cukup untuk mengurung tubuh ke dalam selimut. Berjarak satu setengah jam dari kokokan ayam sebelumnya, kini tibanya jarum jam pada angka setengah tujuh pagi. Alpha yang sudah rapi dengan setelan dokternya, baru saja selesai mengecek pasienya yang lain. Dan kini, tengah berkutat dengan mawar putih di atas nakas sembari menunggu Aira bangun. Namun, pagi itu terlalu tiba-tiba bagi Alpha disaat adiknya membuka mata. Bukan sapaan yang Aira katakan seperti biasanya. Melainkan menyampaikan keinginannya untuk segera bertemu Juno. Bahkan tanpa membasuh muka terlebih dahulu atau setidaknya minum segelas air. Dengan keinginan menggebu dan wajah yang terlihat khawatir, Alpha yang tidak kuasa melihatnya pun langsung menggendong adiknya menuju ruang rawat bocah laki-laki tersebut. Sesampainya di depan ruangan bernomor 429 itu, dengan tergesa Aira membukanya. Namun, saat itu obsidian Aira tertuju pada segerombolan dokter dan perawat yang ada di sana. Juga sepasang suami istri di sisi pojok ruangan yang tengah menangis. “Juno?” lirih Aira. Alpha menuntun Aira untuk segera memasuki ruangan dan mendudukkannya di dekat sepasang suam istri yang ia kenali sebagai orang tua dari Juno. Selesai dengan adiknya, Alpha mendekati seorang dokter dan beberapa perawat di sana. Terlihat dokter yanng sedang menempelkan alat kejut jantung pada dadaa Juno, sementara para perawat menyiapkan gel dan memantau monitor dengan seksama. “Sekali lagi!” “Baik, Dokter.” “250 Joule!” “Ready.” “Shoot! Beberapa kali para medis melakukan hal yang sama, sampai pada kemudian suara itu berdenging nyaring. Dan sebuah garis lurus panjang pun terlihat di monitor serupa tv tersebut. Hingga seorang dokter yang bertugas mengucapkan, “Waktu kematian, 18 April 2021.” Seketika terdengar tangisan seorang wanita parubaya yang langsung histeris. Begitu pun dengan pria dewasa yang memeluk istrinya. Ketika manik gelap Alpha melirik pada sosok Aira di sana, adiknya itu hanya terdiam tanpa pergerakkan sedikit pun. Yang langsung saja Apha berjalan ke arah Aira. Berhenti tepat di sebelah gerangan yang diam dengan pandangan kosong, hampa. Grep! Mengambil gadis tersebut ke dalam kungkungannya. Tanpa berucap sepatah kata pun, Alpha hanya ingin memberi ketenangan pada adiknya melalui dekapan yang hangat. Tidak semua ucapan-ucapan menenangkan itu dapat bekerja sesuai ekspektasi. Karena sebagian orang yang tak menunjukkan kesedihannya secara langsung, akan lebih memilih bentuk menenangkan itu dengan action dari pada hanya sekedar perkataan belaka. Sebagaimana yang sedang Alpha lakukan sekarang. Memeluk sebagai bentuk ungkapannya. Aira, adiknya itu tidak terlihat menangis, atau sekedar berkaca-kaca matanya. Kedua bahu sempitnya pun bahkan tak bergetar seperti orang yang sedang menangis pada umumnya. Alpha tahu, Aira memang gadis kuat yang selalu menyembunyikan perasaan dan kesedihannya. Oh, bukan! Tapi, berpura-pura menjadi gadis kuat dengan cara tidak menangis dan tidak berekpresi apa pun. Tidak menunjukkan kesedihannya secara gamblang. Meski demikian, Alpha tahu bahwasannya Aira adalah seorang gadis yang memiliki hati lembut dan penuh kasih sayang. “Juno ... Hua ... hiks !” Tangisan ibu dari Juno pun memenuhi ruangan, tangis pilu seorang ibu yang sangat menyangai anaknya. “JUNO BANGUN SAYANG! INI MAMA, NAK. BUKA MATA KAMU, MAMA MOHON. BANGUN SAYANG BANGUN!!” Namun hanya hening yang tercipta, wajah pucat dengan bibir biru itu tercetak jelas di sana. Rasanya baru kemarin ia merengek minta dipeluk Aira kini, tawanya tak lagi dapat terlihat. Juno yang periang terbujur kaku dengan selang-selang infus dan peralatan medis lainnya. Anak laki-laki yang selalu mendatangi Alpha setiap malam, diam-diam menyusup ke ruangan ahli bedah dan meletakkan sepucuk surat dengan satu buah permen kaki di meja kubikelnya. Juno yang Alpha sayangi dengan sepenuh hati. Melihat Juno, membuatnya merasa sedang melihat Aira di masa kecil. Sikap riang dan pantang menyerah yang sama seperti adiknya. Masih terekam jelas di benak Alpha bagaimana waktu itu Juno yang berlari ke arahnnya minta digendong dan dibawa pergi karena takut pada jarum suntik. Juno yang selalu minta diajarkan bahasa Asing karena katanya saat dewasa nanti dia ingin menjadi dokter. “Kamu mau jadi dokter?” “Iya! Juno mau jadi dokter karena bisa menyembuhkan banyak orang yang sakit. Jadi kalau Mama dan Papa sakit, Juno bisa mengobatinya. Juno juga ingin terlihat keren seperti Dokter Alpha.” Juga kepolosan dan kebersihan hatinya yang sangat Alpha senangi. Juno adalah anak kecil yang berhati besar. Saat malam hampir berlalu, dan Juno terbangun karena mimpi buruk, diwaktu yang sama ketika Alpha sedang menjenguknya setelah memastikan Aira tertidur. Saat itu, Juno mengingau dan menangis berkata, “Ampun, jangan pukuli Juno lagi. Juno kan teman kalian juga, Juno hanya ingin ikut bermain bola dengan kalian.” “Akkh sakit! Jangan tendang punggung Juno!” “Ampun!” “Juno! Bangun Juno, ini Dokter Alpha. Kamu tidak kenapa-napa, bangun Juno!” ucap Alpha khawatir. Dengan kerjapan cepat beberapa kali, Juno yang begitu membuka mata melihat ada Alpha di sana pun tersenyum lembut. “Dokter Alpha?”lirihnya. Yang dengan cepat Alpha tarik bocah laki-laki itu ke dalam dekapannya. “Juno, tidak apa-apa. Kamu tidak akan menderita lagi sekarang. Ada dokter dan Kak Aira yang akan selalu menemani Juno.” “Terima kasih, Dokter Alpha ...” ucapnya tulus. Tanpa menitikan setetespun air dari mata kecilnya. Padahal dalam igauan tersebut, Alpha bisa melihat betapa sedihnya wajah Juno yang mencebik seolah bersiap untuk menangis. Iya, itu dulu. Dua bulan sebelumnya saat Alpha baru mengetahui Juno menjalani perawatan di rumah sakit yang sama dengan Aira. Dan juga merupakan tempatnya bekerja. “Kita kembali ke ruangan kamu ya, Ra.” Sepelan mungkin Alpha mengatakannya. “Sebentar, Kak” Aira menjawab. Lantas melepas pelukkan yang kakaknya ciptakan, berjalan tertatih menuju Juno yang terbaring tak bernyawa di sana. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Saya dan para rekan turut berduka cita. Sampai titik terakhir pun Juno tetap tegar dan kuat menjalaninya dengan ceria tanpa pernah mengeluh-” Tak sanggup lagi melanjutkannya karena air mata yang sudah mendesak ingin keluar. Dokter dengan name tag Rio Dirgantara itu pun pamit undur diri. Diikuti oleh perawat yang segera menyiapkan kamar jenazah untuk si kecil yang meninggalkan kesan mendalam. Juno adalah kesayangan banyak para medis di sini. Sikapnya yang ceria dan gemar bermain, membuatnya terlihat seperti anak-anak biasa tanpa penyakit semengerikan ini. “Kami permisi,” ucap dokter Rio yang berpeluh keringat sampai kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya pun dilepas. “Dokter Alpha, saya permisi.” Saat melihat siluet Alpha ada di sana. Dan di sana, Aira menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana penjelasan keluar dengan sendu dari dokter yang menangani Juno. Seketika memori-memori kebersamaannya dengan Juno di hari-hari yang lalu kembali berputar random seperti film yang diputar ulang. Juno yang dengan manisnya tersenyum lebar sampai matanya hanya tinggal setitik. Juno yang suka menempelinya saat anak itu mengunjungi ruangannya. Juno yang begitu ia sayangi. Kini, di hadapannya. Tidak seperti biasa, tersenyum dan memanggilnya dengan lantang “Kakak cantik!” Tetapi terbaring dengan wajah pucat dan tangan yang begitu dingin saat Aira menyentuh punggung tangan kecil itu. “Juno ...” Tak kuasa menahan, akhirnya air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya, Aira jatuhkan dan mengalir deras saling berdesakkan. “Juno ...” Yang lambat laun menjadi isakan. Aira tersedu sedan dengan tangis hebatnya. Tak lagi mampu mengontrol diri sendiri, Aira merosot pada lantai yang dingin sedingin tangan Juno dalam genggamannya beberapa saat lalu. “Juno ... hiks!” Alpha yang melihat itu pun segera mendekati adiknya, dan membawanya kembali pada dekapnya. Air mata juga ikut luruh membanjiri pipi bersihnya. Juno yang akan selalu terkenang dalam ingatan, namanya bahkan sudah terukir apik dalam benak Alpha sebagai salah satu manusia yang ia sayangi. Besar keinginannya untuk dapat menyembuhkannya. Namun, apa daya. Kanker yang Juno derita juga sudah memasuki stadium akhir. Disaat dirinya yang sudah menyusun rencana untuk melakukan kemping kecil-kecilan di halaman belakang rumah sakit, bersama Aira dan Juno. Mereka pasti sangat menyukainya. Ternyata, Tuhan sudah menyiapkan rencana-Nya yang lain. Bisa apa? Karena semua yang bernyawa pasti akan berpulang. Hari itu, derasnya hujan yang turun dari langit tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Dimulai dari pagi menyingsing sampai malam merangkak, tetesnya masih senantiasa jatuh membasahi tanah. Kabar kepergian Juno pun cepat merambat ke seisi ruangan dokter spesialis bedah lainnya. Sore itu, Bintang, dan Kaindra segera mendatangi ruangan Aira. Kedua dokter muda itu bahkan sampai berlari demi melihat kondisinya. Karena mereka tahu sedekat apa Aira pada Juno. Dan sesayang apa pula Aira pada bocah lelaki periang itu. Tak berselang lama, Tae Young dan Julio juga ikut memasuki ruangan yang sama. Di mana Aira tengah tertidur dalam kondisi mata yang bengkak. Ada Alpha di sana, sebelah tangannya menggenggam jemari Aira dengan pasti. Dan melihat dari bengkaknya kantong mata tersebut, sudah pasti Aira telah mengetahuinya lebih dulu. Maka, keempatnya pun kembali pergi. Keluar meninggalkan ruangan Aira dengan berat hati. Niat ingin menyembunyikan fakta darinya ternyata salah. Ya, tidak mungkin juga kalau Aira tidak mendengar kabar ini kan? Beritanya melebar sampai ke devisi lain. Begitu yang Julio dan kawan-kawan yakini. Padahal firasat Aira lebih cepat dari yang lainnya. Ia pun turut menyaksikan detik-detik Juno menghembuskan napas terakhir. Pintu tertutup dengan pelan. Sepelan mungkin karena dengan hati-hati Bintang merapatkannya. Namun, pada sekon kedua para dokter itu meninggalkan ruangannya, mata Aira malah membuka. Bukan, dia bukan terbangun karena suara yang ditimbulkan para rekan-rekan kerja kakaknya itu tapi, karena sejak tadi Aira bahkan tidak tidur sama sekali. Hanya memejam, tapi dengan kesadaran penuh. Dan saat itu pula lagi – lagi air matanya merembes sendiri. Keluar tanpa diperintah. Kesedihan masih tersisa mendalam padanya. “Sampai bertemu lagi Juno, Sayang.” Kalimat kecil Aira yang sangat-sangat lirih. Bahkan nyaris tak megeluarkan suara sama sekali. Diam-diam, Alpha menekan kuat-kuat keinginannya untuk tidak menyeka air mata Aira dan memeluk gadis itu seerat mungkin. Alpha tahu Aira sedang tidak tidur sekarang. Alpha juga tahu adiknya pasti sedang menangis. Ya, ia turut melakukan sandiwara dengan berpura-pura terlelap. Sengaja memberikan adiknya privasi untuk melepaskan kesedihan yang ia rasakan. Karena Alpha tidak mau Airanya berlarut-larut dalam kesedihan. Alpha juga tahu kehadiran teman-temannya yang lain barusan. Karen pada saat – saat seperti ini, ia tidak mau meninggalkan Aira bbarang sedetik pun namun tetap berusaha memberi ruang pribadi untuk adiknya. “Jangan sedih Aira. Masih ada Kakak dan yang lainnya di sini untuk kamu.” Hari-hari berganti dengan cepat. Sudah seminggu sejak kepergian Juno yang sangat tiba-tiba, dan hari ini adalah hari ketujuh Juno meninggalkan dunia. Sepi, sunyi. Itu yang Aira rasakan selama satu pekan ini. Tidak ada lagi yang suka berlarian memasuki ruanganya sembari memanggil kakak cantik dengan lantang. Tidak ada lagi yang suka merengek dan minta peluk sampai lima menit baru mau minum obat. Tidak ada Juno yang suka bercanda mengatai kakaknya yang besar seperti Hulk tapi tampan seperti Harry Potter. Tidak ada. Semua hanya tinggal kenangan yang tidak pernah Aira lupakan dalam hidupnya. Kelak, ia bahkan menginginkan nama Juno untuk anak laki-lakinya nanti. Itu pun jika Tuhan berkehendak dan memberinya umur yag panjang. Jika tidak, Aira akan mengingat Juno sebagai hal yang indah dan menyenangkan yang pernah ia temui selama masih dapat bernafas di bumi manusia. “Rotinya sudah matang, Kakak oleskan selainya dulu ya? Kamu suka yang rasa stroberi kan?” Alpha yang menawarkan dengan sabar. Pasalnya sudah tiga kali ia bertanya dan adiknya itu hanya menjawab dengan, “Terserah.” Terserahnya wanita yang mengandung keambiguan. Terlebih ini adalah Aira yang baru saja kehilangan. Tok tok! Kriet ... “Selamat pagi Aira, selamat pagi Alpha ...” Kalimat yang manis semanis senyum lebar di wajah orang itu yang menenteng paper bag di salah satu tangannya. Perhatian Aira seketika terfokus pada orang tersebut. “Selamat pagi Sheila,” Alpha yang menjawab. Aira? Gadis itu hanya diam tanpaa bersuara sedikit pun masih dengan pandangan yang mengarah pada sosok Sheila di sana. “Lagi pada sarapan ya?” tanyanya ramah. “Ah? Iya. Aira saja sih yang sarapan, aku sudah sejak beberapa saat yang lalu,” sahut Alpha. Padahal tidak. Lambungnya sejak tadi malam pun masih saja kosong tanpa sebutir nasi atau sepotong roti yang mampu menghilangkan rasa lapar pada manusia. Sebab, selama hampir dua belas jam itu pula Alpha tak merasa lapar sama sekali. Ntahlah, melihat keadaan Aira yang jauh lebih diam dari biasanya, nafsuu makanya pun menghilang. “Kebetulan sekali, Kakak membawakan bubur ayam Mackenzie. Ini menu favorit anak muda zaman sekarang. Dan tentunya sehat jadi, Kakak membawakan dua, kamu makan ini saja ya, Ra?” “Iya,” sahut Aira cepat. Sudah, biarkan. Ia sedang malas berdebat dan berpikir yang macam-macam. Toh bubur yang dibawa Kak Sheila pasti masih hangat karena baunya tercium sampai ke hidungnya. “Aku bawa dua padahal, Al. Satunya untuk kamu tapi, kamu sudah sarapan ya.” Ada nada kecewa dalam intonasinya. “Yasudah nanti aku makan lagi, kamu sudah berniat baik bawa ini untukku dan Aira jadi tidak boleh ditolak,” kata Alpha. Kotak putih tersebut segera berpindah tangan padanya. Dan ia letakkan pada nakas dekat vas bunga. Hal yang membuat Sheila langsung menampilkan senyum cerahnya. Tanda baik. Iya kan? Begitu pikirnya. “Makasih ya, Al.” Alpha mengangguk ringan, “Sama-sama.” Senyum berkembang semakin lebar saja pada kedua sudut bibir Sheila. Sikap Alpha yang tiba-tiba ramah seperti inilah yang Sheila nantikan sejak lama. Bukankah dengan begini, ia akan lebih mudah menarik simpati Alpha? Lantas, melalui ekor matanya Sheila melirik Aira yang terlihat agak berbeda hari ini. Agak lebih pendiam dari biasanya. Dan terlihat tidak peduli dengan eksistensinya. Wow! Apa ini? Rasa penasarannya tiba-tiba saja meraung-meraung mengharapkan apa yang sedang ia pikirkan benar. “Pasti lagi ribut nih. Hahaha ... good-good. Jadi gue bisa mepetin Alpha dong,” batin ganjennya Sheila. “Oh iya, Ra. Kakak suapi ya.” Tak mendapatkan jawaban. Aira bahkan tak memandag ke arahnya sejenak saja. Ya terserahlah. Toh itu tadi bukan pertanyaan tapi pernyataan. Sheila masih bodo amatan. “Ah ... buka mulutnya Sayang.” Demi Alpha! Kalau bukan kerena kakandanya ada di sana dan memerhatikan mereka berdua dari sofa, Sheila juga ogah menyuapi Aira. Apalagi memanggilnya dengan sebutan ... Oh my God! What the hell Iam going on! Sayang? “Buka mulut lo, cepat!” ucap Sheila pelan yang hanya mampu didengar oleh Aira seorang. Sontak saja pandangan Aira menatap lurus pada Sheila. Jadi, seperti ini ya? Rasanya ingin pergi tapi disatu sisi juga ingin bertahan. Bukan pergi karena dipanggil oleh-Nya. Tapi, murni pergi karena terlalu muak dengan semua sandiwara yang ada. Namun, pada akhirnya Aira juga membuka mulutnya dan menerima suapan dari Sheila. “Makan yang banyak ya, Sayang. Kakak harap kamu segera sembuh.” Drama lagi, drama terus, drama queen! Sudahlah, Aira malas. Sampai pada suapan terkahir, bubur tesebut berhasil Aira habiskan meski dengan penuh tekanan. Bagaimana tidak, tidak sedikitnya Sheila yang mengolok-oloknya dan memakinya disetiap kali suapan akan wanita itu berikan padanya. Dengan suara pelan, Sheila berkicau sepanjang makanannya masuk ke mulut sampai turun ke lambung. “Nyusahin aja lo!” Padahal Aira tidak memaksa minta disuapi. “Makan sendiri kenapa sih. Ribet banget idup cuma bisa bergantung sama orang lain.” Dia juga tidak berniat menggantungkan diri pada siapa pun. Apalagi membuat seorang Shela ribet. Dia sendiri yang ribet. Mukanya banyak sekali. “Gak bisa ngeliatt nyusahin, bisa ngeliat juga sama aja!” Sejak kapan dirinya ada meminta bantuan pada Sheila ya? “Btw, muka lo kek anak burung ditinggal induknya. Kusut, kusam, suram. Kenapa? Lagi berantem ya sama Alpha?” Dan pertanyaan kali ini Aira bungkam batinnya. Tidak bisa menjawab walau dalam hati sekali pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD