Bab 62

1380 Words
“Heh! Lo sama Alpha beneran lagi berantem ya?” sarkas Sheila yang bertanya pada Aira di sana. Ngomong-ngomong, Alpha sudah tidak ada di sana. Suster Lia sempat datang dan mengabarkan ada beberapa pasien yang harus diperiksanya hari ini. Sehingga dengan sangat terpaksa Alpha harus meninggalkan Aira untuk beberapa jam ke depan. Tentunya dengan salam penutup yang sangat tidak Aira harapkan. “Titip adik saya ya, Sheil. Moodnya sedang kurang baik beberapa hari ini jadi, tolong maklumi saja kalau saat kamu ajak bicara pun Aira membalas seadanya.” Demikian yang Alpha katakan gerangan. Walau Aira tidak tahu pasti apa yang kakaknya katakan pada Sheila, pada intinya ia tetap menyukai opsi terakhir. Yakni dirinya yang terdampar dengan makhluk seperti Kak Sheila. “Kalo orang nanya tuh dijawab, begoo! Lo punya mulut kan?” “Ada,” sahut Aira asal. “Btw gue bosen diem di sini mulu gak ada kegiatan apa-apa, lo bisa keluar sebentar kan?” “Maksud Kak Sheila?” “Temenin gue jalan-jalan kek seenggaknya. Kata Alpha lo suka taman belakang rumah sakit kan?” Iya, terus? “Hum.” “Yaudah, kita ke sana aja. Gue sumpek di kamar lo terus.” Tidak hanya sekedar memeriksa pasien saja, mungkin juga Kak Alpha akan ada operasi sampai sore, karena operasinya kan banyak. Jadi, dari pada berdiam terus dan berakhir bosan ajakkan Sheila bisa Aira pertimbangkan. “Kursi rodanya di dekat meja reseptionist, Kak. Kemarin sempet diambil petugas karena mau dibersihin,” ucap Aira. Yang berarti ia menyetujui usulan Sheila. Hanya jalan-jalan sebentar saja, toh cuma ke taman belakang saja. Jadi seharusnya tidak masalah kan? Sheila berdecak kesal, “Udah kayak babu elo ya gue!” “Atau Kakak mau gendong aku aja?” “Dih, gilaa ya lo. Gak sudi banget gue,” sarkas Sheila. Jawaban yang sudah bisa Aira tebak. Memang kapan sih Kak Sheila bisa baik padanya. Hanya saat pertama kali bertemu dulu kan? Itu pun ternyata juga palsu. Dengan berat hati Sheila keluar dari ruangan, menuju meja reseptionist di lantai itu yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruangan Aira. Pintu dibanting dengan keras, Aira hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. “Kenapa sih harus ada Kak Sheila disaat – saat lagi kayak gini,” gerutu Aira. Dia masih terbayang-bayang wajah Juno yang berlaria di hadapanya, merengek, dan segala tingkah usil tapi menggemaskannya. Dan aktris kelas biasa saja ini datang membuat semangatnya semakin hilang. Hancur tak bersisa. Hari ini tumben Kak Sheila baik padanya. Membawakan bubur segala dan mengajaknya keluar untuk jalan-jalan? Ya, walaupun katanya karena dia yang merasa bosan tapi, banyak sedikitnya Aira juga kebosanan sih. Atau jangan – jangan ... Sosok Sheila kembali muncul dari balik daun pintu. Masih dengan poker facenya ia berjalan ke arah Aira, sembari mendorong kursi roda. “Tuh, buruan naik. Harus gue gendong dulu kayak Alpha gendong lo buat duduk di situ, iya?” “Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok,” sahut Aira tenang. Mau bagaimana pun Sheila menjerit-jerit dan berbicara kasar padanya, Aira tetap tidak bisa membalas apalagi melawan. Tubuhnya terlalu malas untuk itu. Tidak berguna juga. Dengan perlahan, gadis yang hari ini mengganti seragam rumah sakit birunya dengan warna peach yang disediakan pihak rumah sakit itu pelan-pelan menarik kakinya untuk turun dari ranjang. Nyes! Dingin saat telapak kakinya menyentuh marmet putih tersebut. Ah iya, sandalnya berada di pojok sofa. “Apa lagi?!” Aira memejamkan sebelah matanya. Suara Sheila bukan main melengking dan membuat telinga sakit. Apa harus bicaranya sambil teriak-teriak begitu? Huh ... kesabarannya benar-bena diuji pagi ini. Oh, bukannya sudah biasa ya? Bahkan sejak ia masih kecil pun kata sabar sudah menjadi makanannya sehari-hari. Maih sama sepert dulu, hanya saja sekarang penyebab sabar otu bukan lagi datang dari kakaknya tapi dari orang lain. Dari wanita bar-bar yang sayangnya menyukai Kak Alpha. Kenapa harus Kak Sheila orang itu? “Sandal aku ada di sofa, Kak.” “Terus?” Dengan wajah galak begitu bertanyanya? Siapa juga yang akan sanggup. Mngkin tanaman pun akan layu melihatnya. Iya, saking sangarnya sampai mengeluarkan hawa panas yang besar. Tak menjawab, Aira berjalan pelan-pelan menuju sofa maroon di sana. Akan ia ambil sendiri sandalnya tanpa meminta bantuan pada Kak Sheila. Orang ini, hanya baik saat Kak Alpha ada Kalau kakaknya tidak ada, ya akan menunjukkan jati dirinya yang asli. “Huh ...” Aira mengehela napas panjang. Slipper berkepala kelinci itu sudah terpasang sempurna di kakinya. “Yaudah buruan duduk!” “Gak usah teriak-teriak dong, Kak.” “Ya abis lo lama!” Kemudian keluarlah mereka dengan Aira yang berada di kursi roda dan didorong oleh Sheila. Taman belakang rumah sakit, seperti yang wanita itu katakan padanya. Aira tenang tanpa banyak protes. Berbicara sekecap pun tidak. Diam-diam di belakangnya, Sheila tengah mengetik sesuatu di ponselnya. Menekan ikon send, dan kembali ia simpan benda pipih pintar tersebut. “Kayaknya gue kebelet deh, Ra. Lo tunggu di sini sebentar bisa gak?” Aira mendongak, menatap Sheila yang tampak memegangi perutnya. “Ya udah, Kak. Tapi jangan lama-lama ya,” katanya. “Hum.” Usai berkata demikian, Sheila pergi dan menghilang di balik koridor ujung yang terdapat belokkan di pojoknya. Aira celinggukkan melihat ke sana kemari, kosong. Koridor terpantau sepi, tidak ada yang lewat bahkan seorang pun. Mereka sudah berjalan cukup jauh dari ruangannya. Jadi, ia memilih diam dan menunggu mungkin Kak Sheila memang sedang perlu ke kamar mandi. Sebentar lagi pasti kembali. Satu menit Tiga menit Lima belas menit Satu jam setengah Namun, selama itu pula Sheila tak kunjung kembali. Seorang pun yang melintas di sana tidak ada. “Kak Sheila ke mana ya? Kok gak balik-balik dari kamar mandinya.” Aira yang mulai resah. Posisinya kini pun tidak cukup bagus. Dan Aira baru menyadari posisinya sekarang, ia berada di ujung anak tangga yang cukup terjal. Belum lagi sekitar yang sangat sunyi. Lagi pula Aira tidak habis pikir kenapa Kak Sheila mengajaknya ke sini, padahal ada lift yang dapat mereka gunakan. Dan tentu saja lebih efisien. Ia lirik anak-anak tangga yang berjejer rapi di bawah sana, tampak gelap dan curam. Seketika Aira mengernyit merinding. “Apa aku balik ke ruangan aja ya? Kak Sheila mungkin udah pergi,” monolognya. Karena sejak awal pun ia sudah mencium bau-bau mencurigakan dari sosok itu. Tidak biasanya Kak Sheila bertingkah seolah ada Kak Alpha di sana, padahal tidak ada. Dan sekarang, yang ia dapatkan justru ditinggal sendirian di koridor kosong ini. Seharusnya dia menyadari dari awal. Niat baik tidak akan muudah datang pada seseorang yang memang dasarnya tidak baik. Jadi, dengan tertatih Aira beranjak dari kursi rodanya. Sepelan mungkin ia mendorong kursi rodanya ke belakang, karena kursinya bukan kursi roda elektrik sehingga Aira mendorong bagian rodanya. “Eh?” Ya ampun, dia bahkan tidak melihat ujung depan roda kursinya yang sudah menggantung sedikit sampai melampaui lantai. Pelan-pelan, Aira tetap berusaha agar ia bisa mundur ke belakang barang sedikit saja. Dengan posisinya yang tidak menguntungkan ini, jika salah satu kakinya turun ke lantai sedikit saja mungkin akan menyebabkan pertahanan kursi rodanya tergelincir ke bawah. Oh tidak! Aira menggelengkan kepalanya. “Ayo, sedikit lagi,” ucapnya menyemangati diri sendiri. Seandainya tidak seperti sekarang posisi kursinya, Aira pasti sudah berdiri dan menarik ke belakang benda beroda tersebut. Tetapi, keadaan sangat tidak mendukung. “Oh?” Aira menoleh Ia seperti mendengar suara derap langkah seseorang. “Kak Sheila?” panggilnnya pelan. Pasti Kak Sheila yang datang! Iya itu pasti Kak Sheila. Mungkin dia sedang mengalami gangguan pencernaan jadi sedikit lebih lama di toilet. Dan sekarang sudah selesai lalu, datang kembali untuk menjemputnya. Begitu kan? Aira tetap mencoba berpikiran positif. “Kak Sheila, udah selesai di kamar mandinya kan? Ayo sekarang kita balik ke ruangan aku aja, Kak.” Namun, hening. Tidak ada sahutan apa-apa di sana. Sheila pun tak terlihat batang hidungnya. “Kak Sheila?!” Oh, siapa itu? Aira berniat untuk menoleh ke belakang, melihat siapa gerangan yang memegang dorongan kursi rodanya. Tetapi, semuanya terjadi secepat itu. Tanpa aba-aba dan tak pernah terbayangkan olehnya sedikit pun. Seerat mungkin Aira memejamkan mata. Ia merasakan seseorang mendorong tempat duduknya hingga menghantam dinding di bawah sana. Kursi yang didudukinya meluncur cepat pada tiap-tiap anak tangga dan menimbulkan bunyi kegaduhan yang keras. Jadi, beginikah akhir hidupnya? “Selamat tinggal Ayah, selamat tinggal Kak Alpha.” Padahal Aira hanya ingin bertahan sedikit lebih lama lagi, tapi ternyata ia tidak menyangka akan secepat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD