Bab 23

1099 Words
Alpha POV Ruang operasi pukul 1.17 dini hari. "Pada bagian ini, terlihat gumpalan kecil yang berdetak. Itu menandakan mungkin saja kinerja jantung sedang dalam keadaan normal. Namun, pada titik ini-" Ada jeda cukup panjang. "Mustahil," sambung seseorang tersebut. Kaindra, profesional bedah toraks kardiovaskular. Ia tiba tepat pada pukul 11 malam tadi. Kedatangannya tidak ada sambutan apa pun kecuali helaan napas lega di antara kami. Julio, Bintang, Lia, Prof. Fany, dan tentu saja diriku sendiri. Rapat darurat kecil - kecilan kami lakukan sebagai final discussion sebelum bedah mata Aira dilaksanakan. Sejak tadi Aira ku temukan bersama dengan Sheila, ia langsung memasuki ruang operasi. Terhalang oleh sebuah kaca transparan yang menghubungkan ruangan ini dengan ranjang pasien. Di sana, adikku tengah bercengkrama dengan salah satu petugas medis. Hal ini agar pasien dapat merasakan rileks dan tidak takut menghadapi operasi. Di pimpin oleh Julio. Sebuah layar monitor menunjukkan bagaimana keadaan ginjal dan jatung Aira dalam layar sebesar 29 inchi tersebut. Seluruh tim yang terlibat dalam operasi ini adalah anggotanya. "Beberapa menit terakhir, denyut jantung pasien tidak bekerja dengan baik. Kanker ginjalnya pun semakin menyerang imun dalam waktu singkat. Tidak boleh terjadi pembedahan di saat - saat seperti ini," celetuk Julio. "Otot - otot pada perut yang bereaksi saat pembedahan mungkin akan sedikit menolong." Kali ini Lia. "Ketika diafragma melemah, kita bisa memancing kestabilitasan denyut jantung pasien. Beberapa sekon setelah anestasi disuntikkan." "Apa itu aman?" tanyaku cepat. Kaindra mengangguk sejenak. "Mungkin kelihatannya agak tidak masuk akal. Tapi, aku pernah mencobanya beberapa kali dengan pasienku, dan itu berhasil," jawabnya. "Tapi Dokter, pasien bisa terkena serangan jantung kapan saja." Bagas menyanggah cepat. Lagi - lagi dokter bedah terobosan negeri gingseng itu hanya mengangguk. "Selama pasien tetap merasa tenang dan waktu pembedahan tidak lebih dari tiga jam. Sepertinya itu akan sangat tidak bermasalah." "Yang kita bedah matanya. Cukup mengganti kornea yang rusak dengan kornea baru yang bagus. Ini operasi kecil. Aku yakin Julio dapat mengatasinya dengan baik." Satu hal yang kutemui, bahwasannya seorang Kaindra ini sangat positif. Bagi kami mungkin ini cukup sulit dan beresiko sementara dirinya, tidak sedikit berkata bahwa operasi ini akan berhasil dengan tingkat keberhasilan 80 %. "Aku akan mengawasi sepanjang operasi melalui monitor di ruang pengawasan. Pastikan microphone bekerja dengan baik. Bukankah yang di sini adalah orang - orang pilihan Saudavel?!" Tidak, aku tidak merasa sebaik itu. Dan mungkin itu juga yang rekan - rekanku pikirkan. Julio dan yang lainnya hanya diam saling pandang satu sama lain. "Rasa takut itu muncul karena kurangnya kepercayaan pada diri kita sendiri. Otak dan hati bukan suatu kesatuan yang patut disamakan dalam hal ini. Jika otak berpikir takut, itu hanya pemikiran sementara saja. Percayalah, hati kalian mengatakan ini tidak apa - apa. Kesuksesan sebuah operasi itu melibatkan seluruh tim yang bersangkutan. Kerja sama yang kompak dan rasa kepercayaan diri yang besar. Bukan hanya kalian tapi, aku juga bertanggung jawab dalam operasi ini." "Maaf, Dok. Kita sempat berkecil hati," celetuk Bintang. "Bukan saatnya meminta maaf. Ingat! Kalian bisa kalian hebat!" Seluruh peserta rapat di sana mengangguk semangat. Benar, ini bukan masalah takut dan ketakutan tapi, bagaimana kami dapat menaklukkan rasa takut tersebut. Kami sempat ragu melakukan operasi mata Aira karena riwayat berbagai macam penyakit yang adikku miliki. Namun, berkat wejangan dari Kaindra yang berhasil mendongkrak semangat dan rasa kepercayaan kami. Operasi akan tetap dilaksanakan. Mengingat kornea sumbangan dari pendonor tidak boleh digunakan lebih dari 2x24 jam [Ini prosedur terbaik]. Sementara persedian kornea mata tidak selalu ada. Sementara aku berkuat ingin Aira segera melihat. Selama satu jam setengah rapat darurat berjalan. Usai itu, kami segera mensterilkan tubuh dan menggunakan pakaian yang siap digunakan untuk operasi. Aira telah diberikan blok retrobulbar menggunakan bupivacaine 0,75%. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian anestesi dosis pemeliharaan pada daerah retrobulbar. Kaindra telah bersiap di ruang pengawasan tepat di sebelah kanan atas ruang operasi yang bersekat kaca transpara. Microphone dan monitor pembedahan pun telah menyala menampilkan keseluruhan bagian tubuh Aira yang akan dibedah. Berikut dengam kondisi jantung, ginjal, hati, dan paru - paru Aira. Melalui monitor itu, Kaindra dapat menyaksikan proses pembedahan secara keseluruhan. "Rileks, Al. Aira akan baik - baik saja." Bintang menghampiriku dengan tepukkan yang ia layangkan di sebelah pundakku yang mendadak mematung usai selesai menggunakan pakaian steril. Bagaimana pun ini adalah operasi pertamaku setelah satu tahun berlalu. Apalagi, pasien kali ini adalah Aira. Begitu banyak kekhawatiran yang takut kujabarkan secara rinci. Hanya dapat berdoa semoga operasi berjalan lancar dan adikku baik - baik saja. "Lihat, Prof. Fany juga datang menyaksikan operasi kita. Tunjukkan bahwa kamu masih Alpha yang sama." Aku mendongak. Di sana, bersama Kaindra ku lihat Prof. Fany bergabung. Mataku terpejam sesaat, aku harus kuat. Pasti bisa. "Kamu gak sendirian, Al. Kita yang di sini juga cemas sama Aira. Tapi, kita tetap harus profesional," sambung Julio menambahi. Di belakang sana, Dessy, Lia, dan Bagas Bagus juga sudah berjajar rapi menatapku penuh keyakinan. "Semangat, Al!" ucap mereka bersamaan. Aku mengangguk cepat. Iya, semangat! Tepat pukul 02.47 dini hari operasi dimulai. Dua puluh menit sebelumnya aku mendapat pesan teks penyemangat dari Chandra, Ayah, dan juga Sheila. Mereka bertiga menunggu di luar ruang operasi. Terlebih Ayah, tidak cukup sekali tapi tiga sampai empat pesan ia kirim ke surat elektronik di ponselku. Begitu pun dengan Chandra dan Sheila. Mereka kompak memberiku semangat dengan melakukan panggilan video. Sheila sempat berkata, "Aku yakin kamu bisa, Al. Aira akan melihat kembali. Aku yakin itu." Ya, aku juga yakin. Semoga saja. Meski baru ku kenal tapi, Sheila juga merupakan salah satu orang baik yang mendukung kesembuhan Aira secara penuh. Bahkan, saat aku mengobrol dengannya di luar ruang rawat inap Aira saat itu, tanpa ku sadari aku sudah terlalu jauh berbagi kisahku dengannya. Namun, aku tak menyesal. Responnya cukup baik bahkan sangat baik. Ia banyak menyemangati dan memberi masukkan yang positif tentang Aira. "Siap?" Pertanyaan Julio kami angguki bersamaan. "Baik, mari kita mulai." "Tindakan asepsis dan pemasangan spekulum sudah stand by, Dok." Lia berucap. "Bagus, gunting!" Aku segera memberikan apa yang Julio ucapkan. Ia mulai memasang cincin flyering untuk memfiksasi sklera dan mencegah terjadinya kolaps pada bola mata. Julio terus berkonsentrasi dengan prosedur berikutnya. Trephine akan dievakuasi dengan menggunakan aspirator barron trephine. Namun, saat itu, "Tekanan darah pasien meningkat drastis, Dok! 140/90 mmHg." "Berikan oksigen lebih banyak! Suntikkan calcium channel blocker." "Baik, Dok." "Kurangi dosis pada obat pereda nyeri!" "Baik, Dok." Setengah jam berlalu, operasi masih terus berlanjut. "Tekanan darah mulai stabil, 120/90 mmHg," ucapku. "Awasi oksigen, pastikan pasokkan yang diterima lancar," tegas Julio. Hampir selesai namun, "Denyut jantung melemah dan meninggat drastis. Berikan ACE inhibitor, lambatkan jalan pasokan oksigen beberapa sekon!" Suara Kaindra terdengar dari speaker ruang operasi. "Getaran jantung semakin kecang, Dok!" "Serangan jantung! CEPAT!" teriak Kai lewat pengeras suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD