WILLIAM

1891 Words
Semilir angin menggoyangkan dedaunan. Lapangan berumput yang luas terpampang di kiri kanan jalan. Di beberapa titik terlihat beberapa muda mudi yang merupakan mahasiswa di tempat ini menggelar diskusi yang kelihatannya cukup seru dan menarik. Ada juga yang hanya sekedar duduk-duduk membaca buku dan sebagian lain hanya mengobrol. Columbia University Tempat di mana William Edward Leandro memulai harinya sebagai salah satu mahasiswa di sana. Sebuah perguruan tinggi Swasta yang didirikan sekitar tahun 1754 dengan nama awal King's College. Sebuah perguruan tinggi dengan biaya kuliah yang sangat mahal yang terletak di New York City. Ini adalah tahun pertama William menimba ilmu di kampus itu. Tahun dimana dirinya merasakan tekanan yang sedikit berat dalam pendidikannya. Liam mengambil jurusan Arsitektur dan Pembangunan. Jurusan yang cukup prestisius di Universitas itu. Mahasiswanya rata-rata mempunyai kepintaran yang luar biasa dan mempunyai keahlian khusus yang menonjol. Itulah mengapa Liam sangat cocok dengan Daniel Jefferson tunangan kakaknya, Stephanie Rose Leandro yang akan menikah sebentar lagi. Daniel sangat jenius dan mumpuni di bidang desain grafis. Daniel sangat hebat bila sudah berhubungan dengan gambar menggambar. Daniel yang terkesan dingin dan serius nyatanya mampu membuat kakak cantiknya bertekuk lutut. Liam menyugar rambutnya. Membenarkan letak tas ransel di punggungnya. Hari ini kelas sudah selesai dan Liam mempunyai janji dengan beberapa temannya untuk bermain basket di lapangan basket kampus. Liam berbelok ke arah jalan kecil yang menuju ke arah lapangan basket. Dari jauh sudah terlihat beberapa temannya berkumpul di tepi lapangan. Liam menuju ruang ganti dan mengganti bajunya dengan baju olahraga. Liam menghampiri teman- temannya yang segera saja melakukan pemanasan sambil berbincang satu sama lain. "William...apakah gadis itu masih meletakkan surat dan coklat di pintu lokermu?" Kyle teman satu jurusannya bertanya. Nadanya menggoda. William mendengus kesal. Membuang napas dan meregangkan otot tangannya. Kyle tertawa. Dia tahu William merasa risih. Tapi sebagai laki-laki Kyle mengakui pesona William memang sulit di abaikan. "Aku tidak habis pikir. Apa yang ada di pikiran gadis itu hingga membuatnya melakukan hal yang konyol seperti itu." William berkata dengan nada dingin. Nadanya datar walau sedikit kesal. "Cinta itu bisa membuat seseorang menjadi gila Liam. Dan gadis itu...sekarang ada tepat di arah jam 9." Kyle berbisik lirih. Liam menoleh. Tepat di arah yang ditunjukkan oleh Kyle. Dan...mendapati gadis itu berdiri dengan senyum cerianya. Membawa spanduk yang dibentangkan dengan tulisan Would you marry me William? Hal yang hampir selalu dilakukan oleh gadis itu saat jadwal olahraga basket Liam tiba. Semua temannya bersorak. Ada yang bersiul lantang. Dan gadis itu bertambah semangat dengan melambaikan tangannya ke arah para pria yang tengah melakukan pemanasan. Liam berpaling. Mengabaikan gadis tidak tahu malu itu. Gadis itu bahkan mengabaikan cemoohan yang terlontar oleh gadis-gadis lain yang jelas - jelas sedang mengagumi Liam dan teman-temannya. Hal seperti ini sudah dilakukan oleh gadis itu bahkan dari awal William masuk ke kampus yang terletak di Morningside Road ini. Semua segera memulai olahraga basket. Mengabaikan teriakan - teriakan menggoda para gadis yang duduk bangku penonton. Liam melirik ke arah gadis dengan spanduk. Gadis itu memakai sebuah dress sederhana berwarna hitam, sebuah tas selempang dengan flat shoes. Rambutnya coklat panjangnya mencapai pinggang, dan riasan wajahnya bernuansa gothic. Kesan gelap dan mistis yang berbanding terbalik dengan keceriaan senyumnya. Permainan berlangsung seru. Para gadis bahkan mulai meneriakkan nama idola masing - masing hingga babak kedua hampir berakhir. Saat mengambil jeda untuk minum Liam sempat melirik ke arah gadis berambut coklat dengan spanduk itu berada dan tempatnya sudah kosong. Gadis itu sudah menghilang. Permainan berlanjut hingga babak kedua selesai dan para pemain terkapar kelelahan. "Namanya Autumn Rhapsody. Nama yang agak aneh tapi terdengar manis." Kyle berkata di sela minumnya. Liam menghela napas. Apa pedulinya dengan nama gadis itu yang bahkan sudah diketahuinya? Namanya sama dengan butik yang dimiliki para wanita Leandro. Kebetulan atau apa? "Dia juga manis. Semanis namanya. Apakah kau yakin tidak mau memberinya kesempatan?" Kyle bertanya dengan nada penasaran yang teramat sangat. Liam yang sedang menenggak minumannya menoleh. "Tidak."Liam menggeleng. Raut wajahnya datar. Cenderung tidak suka. Kyle mendesah pasrah. Secantik apapun gadis yang mencoba mendekati Liam yang dingin akan berakhir dengan derai air mata patah hati. Seperti apa yang terjadi pada para gadis seangkatan atau senior mereka yang pernah mencoba peruntungan mendekati seorang William Leandro. Semua berakhir mengenaskan tanpa tanggapan sedikitpun dari Liam. Tidak juga sedikit senyuman dari bibirnya. "Aku pulang dulu." Liam mengangguk pada semua temannya. Teman-temannya bergumam tidak jelas. Liam melangkah menuju area parkir Universitas dan memasuki mobilnya. Menjalankannya pelan menyusuri jalan keluar Universitas Columbia. Mobil Liam membelah jalanan Morningside Road. Melewati sebuah lapangan luas yang akan ramai oleh sebuah pertunjukan sirkus dan pasar malam di malam hari nanti. Liam mengurangi kecepatan laju mobilnya. Menoleh ke arah lapangan yang sedikit lengang karena biasanya anggota sirkus akan bekerja pada malam hari. Mereka adalah kaum gipsi yang selalu hidup berpindah. Namun sudah hampir sepuluh bulan belakangan orang - orang itu menjalankan bisnis hiburannya di sini. Mungkin dengan izin khusus Walikota. Liam menghentikan mobilnya tepat di pinggir jalan. Di seberang trotoar berdiri sebuah tenda besar dan mobil van yang cukup besar pula. Sebuah teriakan bergema mengurungkan niat Liam untuk keluar dari mobil. Sesosok tubuh ringkih terdorong keluar dari dalam tenda besar dan terjatuh begitu saja. Tersungkur dan tidak bangkit lagi. Gadis bernama Autumn! Liam menatap ke arah gadis itu. Seorang pria berperawakan besar sedang mengomel dan membentak-bentak Autumn dengan bahasa yang Liam tahu adalah bahasa Spanyol. Umpatan kasar dan menyakitkan terdengar oleh Liam dan Autumn hanya mampu terduduk dan menunduk. Liam mencoba mengabaikan semua. Toh bukan ranahnya mencampuri urusan keluarga gadis itu. Liam menatap sekali lagi ke arah gadis itu. Terlihat baik - baik saja. Liam menjalankan mobilnya pelan. Pikiran buruk berkecamuk di hati Liam. Pengabaian terhadap perlakuan kasar seorang pria pada wanita jelas tidak pernah diajarkan oleh keluarga Leandro padanya. Namun sekali lagi Liam merasa bukan ranahnya mencampuri urusan gadis itu sedangkan dia tidak tahu menahu apa yang tengah terjadi. Liam berbelok memasuki mansion Leandro dan memasukkan mobilnya ke garasi. Suasana sepi karena keluarganya pasti sedang berada di teras belakang untuk minum teh. Liam bergegas masuk ke kamarnya di lantai dua. Berjalan pelan ke kamar mandi dengan bayangan gadis bernama Autumn itu menyeruak hebat. Autumn tidak menangis, tapi jelas sekali Liam menangkap raut ketakutan dan duka di wajah manis gadis itu. Tunggu dulu... Manis? Liam menggeleng keras. Masuk kamar mandi dan segera menelanjangi dirinya. Dia membutuhkan berendam yang lama. Setelah dua puluh menit kemudian Liam beranjak dari bath up. Berendam ternyata tidak membantu sama sekali. Perasaan Liam tak juga membaik. Setelah berganti baju Liam memutuskan untuk merebahkan diri sejenak. Berbolak - balik sana sini dengan gelisah. Memikirkan apakah gadis itu baik - baik saja adalah hal terkonyol yang pernah Liam rasakan. Tapi entah mengapa perasaan tidak nyaman. Khawatir begitu mendera hatinya. "Darling. Apa kau sudah pulang? Kau mau makan sesuatu?" Sebuah suara lembut menyapa William. Pintu terbuka dan Liam melihat Mommynya masuk dan menutup pintu. "Apa kau tidak enak badan? Kau bahkan tidak bergabung untuk minum teh. Kakek Viktor menanyakanmu." Mommynya berkata lirih sambil membelai rambut Liam. Liam terkaget. "Kakek sudah datang? Kapan? Kenapa tidak ada yang memberitahuku Mommy?" Liam beranjak dari tidurnya Liam melangkah keluar kamarnya. Mengabaikan sang Mommy yang berteriak pelan menyuruhnya tetap beristirahat. Liam berjalan cepat ke arah teras belakang mansion. Berteriak kencang memanggil sang kakek yang terlihat sedang duduk di sofa panjang bersama dengan nenek dan pamannya. "Hai grandpa." Liam menyapa sambil memeluk Viktor yang terkekeh kencang. Bergantian Liam memeluk nenek Anja dan Paman Sebastien. "Kau bertambah besar. Dan tampan. Apakah para gadis mengerubuti seperti lebah?" Paman Sebastien menggoda. Liam hanya tertawa pelan. "Kenapa tidak bilang kalau kalian akan tiba hari ini? Aku bisa menjemput kalian." "Kau sudah terlalu sibuk. Kami tidak mau mengganggumu", ujar Viktor sambil menepuk bahu Liam pelan. "Tentu saja tidak. Aku akan meluangkan waktu", ujar Liam. "Kami harus ke rumah Bibimu malam ini. Bibimu mengundang makan malam", ujar Anja sang nenek. "Apakah Dad dan Mommy ikut?", tanya Liam.  "Mereka ikut. Zach dan Skyla akan menyusul. Begitu juga Alex dan Mika. Dan kau...apakah kau akan datang?", tanya Viktor. "Tentu saja. Aku akan bergabung", ujar Liam. "Kau anak yang baik", ujar sang nenek sambil mengusap kepala Liam dengan sayang. Mereka berbincang hingga menjelang malam dan siap berangkat ke rumah Luke dan Petra. Mereka menggunakan mobil dan seorang supir. Selama perjalanan mereka bercengkrama hal - hal yang ringan. Jalanan sedikit macet saat melewati Morningside Road yang mengarah ke Columbia University. Di sisi kiri jalan pasar malam mulai ramai pengunjung membuat jalanan sedikit tersendat. Liam menoleh ke arah lapangan. Tepat di depan tenda yang dilihatnya tadi sepulang dari kampus. Gadis itu sedang duduk disebuah kursi tinggi. Surai coklatnya sesekali tertiup angin. Di depan gadis itu terdapat sebuah meja tinggi dengan...spanduk yang biasa gadis itu bawa saat melihat Liam bermain basket. Autumn. Terlihat menekuri spanduk itu dengan pandangan sayu. Entah mengapa. Mengapa harus memandangi spanduk itu dan mengusapnya dengan pilu? Seperti hembusan napas yang terbawa angin. Membelai raga dan membuat dua rasa yang saling mencari. Autumn. Tiba-tiba saja menoleh ke jalanan. Matanya bertemu pandang dengan mata Liam yang telah membuka kaca mobilnya. Gadis itu tidak tersenyum atau berteriak seperti biasanya. Hanya memandang Liam dengan wajah tak terbaca. "Sayang. Kamu baik - baik saja?", tanya sang Mommy yang mendapati Liam terus menerus memandang ke arah lapangan. Liam mengangguk bersamaan dengan jalanan yang mulai terurai. Mobil mulai bergerak maju dengan pelan. Liam menatap Autumn yang masih menatapnya tanpa menoleh lagi. Hingga mobil semakin menjauh meninggalkan jalanan sepanjang lapangan. ***   Makan malam berjalan meriah, bahkan Stephanie juga datang walaupun tanpa Daniel. Juga Celina yang datang tanpa Ben. Kakek Viktor dan keluarganya memutuskan untuk menginap. Wujud syukur karena makan malam itu membawa kebahagiaan untuk semuanya. Kabar kehamilan Petra begitu membuat semua larut dalam suka cita. Hampir tengah malam ketika mereka, Liam dan kedua orangtuanya, kembali menyusuri jalan pulang. Melewati lapangan yang mulai lengang. Manusia di dalamnya mulai berbenah untuk beristirahat dan bekerja lagi di malam berikutnya. Liam menoleh. Menatap tenda yang sudah gelap. Penghuninya mungkin sudah terlelap. *** Kelas berakhir ketika menunjukkan pukul 11:00 dan Liam memutuskan pergi ke kantin kampus. Dia melewatkan makan paginya di rumah karena terburu-buru. Suasana kantin sangat ramai saat Kyle melambai pada Liam. Liam membalas lalu bergegas mengambil nampan dan mulai memilih makanan untuk sarapannya yang terlambat. "Autumn...bawa salad buahnya kemari sayang", teriak Mrs Rossy. Liam mendongak. Matanya menangkap sosok gadis yang tersenyum riang. Tangan Liam meraih sendok salad. Namun sebuah tangan mungil dengan cekatan meletakkan se porsi sedang salad buah pada piringnya. Tidak ada kata apapun keluar dari bibir gadis itu. Tapi setidaknya Liam tahu, Autumn baik-baik saja. "Have a nice day, William", ujar Autumn ringan. Liam yang sudah akan berjalan ke arah meja Kyle berhenti. Namun kemudian memutuskan untuk melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Lalu kesibukan dalam kantin pun bertambah. Para mahasiswa yang kelaparan dengan wajah yang sebagian banyak terlihat semrawut mulai berdatangan. "Kau lihat? Senior kita yang bernama  Jonathan itu? Sepertinya dia bertindak agak berlebihan pada gadis itu", ujar Kyle lirih sambil mencondongkan badannya ke arah Liam. Liam mendongak. Menatap ke arah Autumn yang terlihat kewalahan meladeni tingkah laku Jonathan yang sedikit berlebihan. Berulangkali Jonathan terlihat berusaha melakukan kontak fisik dengan Autumn. Dari mencoba memegang tangan, berdiri di belakang Autumn dan mengendus rambut gadis itu dan banyak lagi gerakan lain yang membuat Autumn terlihat tidak nyaman. "Apa itu tidak cukup mengusikmu William?", tanya Kyle pada Liam yang tengah menatap tajam ke arah Autumn. Liam menoleh pada Kyle. "Tidak. Aku duluan", ujar Liam sambil berdiri dan melangkah dengan cepat keluar dari kantin. Liam melangkah menuju tempat parkir dan masuk ke dalam mobilnya. Menghembuskan napasnya kasar dan mulai melajukan mobilnya menuju rumah. Beruntung karena hanya ada satu kelas hingga Liam bisa keluar dari kampus dengan cepat. Gadis itu. Autumn Rhapsody. Hanyalah gadis yang bekerja bersama dengan bibinya Mrs Rossy Delaney di kantin kampus. Gadis itu bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang penting hingga sanggup mengusik hati seorang William Leandro. Autumn Rhapsody. Hanyalah melodi musim gugur yang akan cepat berganti dengan musim yang lainnya. Seperti hidup gadis itu yang tidak pernah akan menetap di suatu tempat untuk waktu yang lama. Bagi William, Autumn bukan siapa-siapa.   ---------------------------------------------------        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD