YOU!

2062 Words
"Aku ingin kuliah. Seseorang menawariku untuk menjadi seorang model. Bagaimana pendapatmu?", tanya Autumn mengagetkan William yang sedang membuka lokernya. "Aku mengidolakan kakakmu, Stephanie Rose. Dia mempesona", ujar Autumn lagi. Liam mengambil buku dari tasnya dan meletakkannya di loker. Tanpa sedikitpun Liam menatap Autumn yang bersandar pada loker di samping lokernya. "William...bagaimana pendapatmu...?", ujar Autumn. Suaranya perlahan menghilang tertelan rasa grogi karena Liam mengabaikannya. "Aku tidak perduli. Seperti kau cantik saja!", ujar Liam sambil menutup pintu loker. Menguncinya dan berbalik. "d**a mu itu rata. Tidak menarik!", ujar Liam dingin sambil berlalu. Autumn menatap punggung Liam. Punggung yang sangat ingin di sandari nya saat merasa tertekan dalam kesedihan. Autumn terus memandang punggung Liam hingga menghilang di belokan. "Itu kalimat terpanjang yang pernah aku dengar dari dia!", gumam Autumn sambil masih terpaku tak percaya. Autumn tersenyum dan sontak menatap dadanya. Tidak menarik! Baiklah. Biarkan apa saja komentar Liam untuknya. Yang terpenting Liam berbicara padanya. Suara Liam masih terngiang. Suara bariton yang terkesan berat. Kata-kata tajamnya mengalun pedas. Namun terdengar seksi di telinga Autumn. Jangan abaikan juga aroma maskulin yang tercium dari tubuh Liam yang tersemat sempurna di indra penciumannya. Apa yang tidak indah saat jatuh cinta? Autumn kembali bersandar di loker. Mengingat kembali saat pertama melihat Liam. Saat itu dia sedang bersepeda sepanjang jalan di tepi lapangan basket. Lalu berhenti membenarkan letak box makanan yang di pesan bibinya yang bekerja di kantin kampus. Saat itulah Autumn menoleh. Pandangan matanya menangkap sosok pria dengan senyum menawan sedang bermain basket. Senyumnya lebar. Ramah dan manis. Dunia Autumn terasa berputar kencang. Membuatnya merasa pening dan menyandarkan sepedanya di tembok pembatas. Untuk waktu yang lama Autumn berdiri dan memandang sosok itu sampai semua bersorak saat pria itu memasukkan bola basket ke ring dari jarak yang dramatis. William. Nama itu terpatri dengan indah di hati Autumn. Sejak hari itu, siang menjelang sore dengan semburat jingga di ufuk barat, Autumn bertekad dalam hati. William harus menoleh padanya! Sejak hari itu juga, Autumn mulai men stalker semua hal tentang William. Siapapun tidak akan heran, William Edward Leandro ada di jajaran paling atas pencariannya di berbagai media sosial. Autumn mulai mengikuti dalam diam semua kegiatan Liam. Dia bertingkah laksana mata - mata federal yang mengintai musuh yang membahayakan keamanan negara. Selama ber minggu-minggu kegiatannya berlangsung. Autumn mulai melancarkan trik - trik kuno. Meletakkan surat, bunga, coklat dan lain-lain di loker Liam. Semua hanya untuk menemukan bahwa William adalah pria yang sangat dingin. Tidak mudah tersentuh. Jarang berbicara kecuali pada teman-teman dekatnya. Autumn juga melakukan kegilaan dengan mengikuti setiap kegiatan Liam. Terutama saat pria itu bermain basket dengan teman-temannya. Dan spanduk itu? Membuatnya malu? Tidak. Katakan dia gila. Terserah. Dia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Isi hati yang setahun ini di abaikan oleh William. Menyerah? Tidak. Autumn menatap lagi dadanya. Setidaknya Liam mau memperhatikannya. Walaupun mengejek ukuran dadanya yang katanya tidak menarik. Autumn tersenyum simpul. Liam, membuatnya bahagia dengan caranya. Setidaknya sampai Autumn merasa harus menyerah kelak. Dan menerima begitu saja hidupnya yang sudah runyam. Setidaknya masih tersisa enam bulan ke depan sampai semua keluarganya di sirkus berpindah tempat ke Hartford, Connecticut. Kecuali... Dia bisa memulai hidupnya dengan mengenyam pendidikan di sini. New York. Dan tinggal bersama bibinya yang seorang janda. Autumn menghela napasnya. Keberuntungan menghampirinya saat seorang pencari bakat menyapanya dua hari lalu dan mengajaknya bekerja menjadi model. Autumn sudah melihat tempat kerja Tuan Jake Senna dan mempelajari reputasinya sebagai fotografer ternama dan pemilik dari sebuah perusahaan pencari bakat yang bonafid. Autumn ingin memberitahukannya pada Liam sebelum kembali besok untuk menanda tangani kontrak dan mulai bekerja. Alasannya? Entahlah. Hanya saja dia ingin Liam tahu. Itu saja. Tingkahnya konyol. Autumn mencebik geli saat sadar tingkahnya sudah bak istri yang patuh pada suaminya. Apa-apa harus meminta ijin pada suaminya. Autumn tertawa pelan dan mulai melangkah menuju kantin. Tempat di mana dia seharusnya berada. Membantu bibinya.  *** "Aku lihat kau berbicara dengan gadis itu di depan loker", ujar Kyle sambil menghempaskan tubuhnya di kursi. Menanti dosen yang akan memberi kuliah sekitar sepuluh menit lagi. "Penguping!", ujar Liam dingin. "Apa yang kalian bicarakan?", tanya Kyle dengan muka penasaran. Ingatkan pada William bahwa Kyle West adalah mahluk paling menyebalkan di dunia. Rasa ingin tahunya kadang bisa membuat makhluk di sekitarnya mati bosan menjawabnya. Dan sialnya...Kyle adalah teman terdekatnya sejak setahun belakangan ini. "Kau harus merubah pertanyaan mu. Kalian? Dia yang berbicara padaku. Bukan aku", ujar Liam sambil menyugar rambutnya. "Aaah...baiklah Tuan Iceman. Dia mempesona bukan? Bagaimana aromanya. Apakah dia ber aroma bacon dan kentang tumbuk yang selalu tersedia di kantin?", tanya Kyle sambil berbisik. Perumpamaan yang sedikit kejam. Dosen masuk dan berkata lantang. Mengakhiri sesi penyelidikan Kyle pada Liam. Hati Liam berdesir pelan. Aromanya aroma buah-buahan lembut. Itu aroma Autumn. Aroma yang mengikutinya hingga ke kelas ini. Liam menggeleng dan mulai fokus pada mata kuliah Arsitektur tata kota dengan dosen yang berteriak semakin lantang. ***  Liam keluar dari kamar mandi dan menghampiri lemari. Berendam membuatnya sedikit mengantuk. Karenanya Liam memakai bajunya cepat dan segera merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menerawang. Bayangan Autumn menyelinap. Wangi tubuhnya mendobrak indra penciumannya. Secara psikologis Liam mengaku kalah karena tidak mampu mengusir aroma tubuh gadis itu dari penciumannya. Masih terngiang jelas keinginan gadis itu. Bisa kuliah. Tawaran menjadi model. Meminta pendapat Liam. Liam mendesah gelisah. Gadis itu berlebihan. Apa maksudnya meminta pendapatnya? Semua terserah pada dia bukan? Toh, tidak ada hubungan apa - apa di antara mereka. Beberapa hari ini masih terpikir dengan jelas. Gadis itu begitu berbeda saat di kampus dengan di rumahnya...atau lebih tepatnya di mobil van dan tenda di lapangan itu. Wajahnya begitu muram di tengah keluarganya sendiri. Tapi begitu ceria dengan senyum menawan saat berada di kampus. Menawan? Liam merasa sudah sedikit gila. Atau kegiatannya yang terlalu banyak sudah mulai mengganggu fokusnya? Entah... Lelap menyapa Liam. Menyapanya tanpa menemukan jawab apa yang sebenarnya tengah dirasakannya. ***  Dua minggu berlalu dan Liam mulai melupakan kehadiran gadis itu. Kegiatannya yang menyita waktu membuatnya tidak mempunyai waktu untuk memikirkan hal lain. Kegiatan di kampus dan persiapan pernikahan kakaknya dan juga masalah - masalah yang timbul menjelang pernikahan mereka cukup menyita waktu Liam. Hingga tidak ada waktu untuk menyadari bahwa gadis itu sudah lebih dari dua minggu tidak muncul di kampusnya. Sampai Kyle menghampirinya dengan membawa sebuah majalah mode ternama. Saat ini mereka sedang berada di halaman kampus. Di padang rumput luas yang biasa di gunakan para mahasiswa berdiskusi dan beristirahat. Liam mendongak. "Dia...sangat seksi. Ini gila. Aku tidak menyangka! Di balik pilihan fasionnya yang terkadang aneh dengan nuansa gothic yang mencekam, tersembunyi tubuh molek yang indah. Ini akan menggemparkan kampus ini", ujar Kyle. Kyle membuka satu halaman. Liam menatap halaman yang di buka oleh Kyle. Pandangan matanya memanas. Autumn! Berpose dengan sebuah merk pakaian dalam ternama. Sama dengan brand yang menaungi Stephanie! Tapi...setidaknya Stephanie sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab. Sedangkan Autumn? Liam menutup majalah itu dan memasukkannya ke dalam tas. "Jauhkan pandangan matamu dari gadis itu Kyle West!", ujar Liam sambil beranjak. "Autumn sedang ada pemotretan di Kafe Brilliant. Kakakku yang memotretnya", ujar Kyle. "David!", batin Liam. Kakak Kyle itu terkenal sebagai womanizer dengan tingkatan sangat parah. Dan sekarang dia sedang memotret Autumn? Liam melangkah tergesa. Mengabaikan Kyle yang tertawa terbahak di belakangnya. Liam melangkah cepat menuju lapangan parkir dan masuk ke mobilnya. Melajukannya cepat menuju suatu tempat. Kegilaan apa yang ada di pikirannya tak lebih gila di banding apa yang di lakukan gadis itu sekarang. Liam memukul kemudi mobilnya saat jalanan sedikit macet. Sekitar sepuluh menit yang membuat Liam merutuk dalam hati. Mobil Liam memasuki kafe Brilliant. Kafe yang cukup terkenal di kalangan pebisnis dan eksekutif muda. Liam turun dari mobil dan melangkah cepat masuk ke kafe itu. Liam bertanya pada seorang waiter yang segera mengantarnya ke rooftop bangunan kafe yang digunakan sebagai lokasi pemotretan. Liam menatap nanar pada gadis itu. Autumn. Yang sedang berpose dengan berani di depan David West yang tentu sudah berliur-liur sembari mengambil gambarnya. Liam menyambar sebuah bathrobe di kursi rias dan melangkah ke arah Autumn. Mengabaikan teriakan pengarah gaya dan make up artis yang mengejarnya. Liam segera menarik tangan Autumn yang terlihat kaget dengan kehadirannya. Liam dengan cepat memakaikan bathrobe dan menarik tangan Autumn. Membawanya melangkah cepat. Mengabaikan teriakan semua orang. David mencoba menghalangi Liam dan Liam menatapnya tajam. "Aku akan bicara pada bosmu besok. Sekarang...back off! Jangan pernah mencoba apapun denganku", ujar Liam. David mengangkat kedua tangannya. Menenangkan semua orang. Siapa yang mau berurusan dengan William Leandro? Liam menarik tangan Autumn dalam genggamannya. Melangkah turun dan keluar kafe dengan cepat. "William...aku harus bekerja. Kau bisa menghancurkan harapanku", ujar Autumn sambil berusaha melepaskan diri. Liam menatap Autumn. Tatapan yang sontak membuat gadis itu menunduk. Sorot kemarahan jelas terlihat dari mata Liam. Tapi untuk apa? Apa perdulinya pada apa yang di lakukan oleh Autumn. "Masuk!", ujar Liam dengan suara dingin. Menahan pintu mobil dan menunggu Autumn masuk. Autumn kembali mendongak ke arah rooftop. Matanya menatap miris pada harapannya yang hancur. Keinginannya untuk bisa kuliah lagi seakan menguap tanpa di pintanya. "Masuk!", ujar Liam semakin dingin. Menyentak kesadaran Autumn yang bergegas masuk. Autumn duduk di jok mobil. Mengusap pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkeraman Liam yang terlalu keras. Liam membanting pintu dan berputar. Masuk ke dalam mobil dengan bantingan pintu yang sama keras. Liam menatap sekilas Autumn yang duduk sambil menunduk. Pergelangan tangan gadis itu terlihat memerah. Liam menghela napasnya dan mulai melajukan mobilnya dengan kencang. Setelah duapuluh menit yang mencekam, mobil memasuki sebuah bangunan apartemen mewah. Liam melajukan mobilnya ke basement lalu kembali menarik Autumn menuju lift yang akhirnya membawa mereka ke arah bangunan teratas. Liam menarik tangan Autumn masuk ke sebuah ruangan apartemen. "Duduk!", ujar Liam dingin sambil menunjuk sofa mewah di ruang tamu apartemen itu. Autumn duduk dan menatap Liam yang melangkah menuju sebuah kamar. Autumn menatap sekelilingnya. Ini luar biasa mewah. Harga sofa ini mungkin lebih mahal dari harga van keluarganya. Dan di sini sejuk sekali. "Pakai ini", ujar Liam sambil menyodorkan sebuah dress yang terlihat berkelas dan mahal. Autumn menaikkan satu alisnya heran. Milik siapa? Apakah milik kekasih Liam yang tertinggal di apartemen ini? Memikirkan kemungkinan Liam sudah mempunyai kekasih membuat Autumn tak kuasa mengangkat tangannya untuk menerima baju dari tangan Liam. "Ini milik Stephanie. Jangan berpikir macam-macam", ujar Liam. Autumn bergerak. Menerima baju itu dengan kelegaan yang terlihat jelas. Autumn membuka bathrobenya. Liam terpaku. Gadis itu! Benar-benar mengujinya! Liam menoleh ke arah lain. Membuat Autumn tersenyum geli. "Tidak usah tertawa. Aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuhmu", ujar Liam dingin dan melangkah ke arah dapur. "Ambilah minum sendiri kalau kau haus. Lalu istirahatlah. Kau bisa pakai kamar itu", ujar Liam sambil menunjuk kamar yang tadi di masukinya. Autumn mengangguk. Pandangannya masih terpaku pada Liam yang tengah meminum air putih dalam gelas hingga tandas. Liam melangkah ke arah sebuah tangga dan menghilang di balik sebuah pintu. Itu...seperti sebuah rooftop. Autumn memukul kepalanya sendiri pelan. Lalu dia melangkah menyusul Liam. Autumn membuka pintu. Dan pandangan di rooftop itu begitu menakjubkan. Dari sini bisa terlihat gedung-gedung pencakar langit di kejauhan. Dan interior rooftop ini sangat mewah dengan kolam renang dan sebuah tenda. Juga beberapa kursi malas dan rak-rak buku yang terlihat begitu rapi. Autumn masuk dan menutup pintu pelan. Matanya menatap sosok Liam yang berdiri di depan dinding pembatas rooftop. Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana. Demi apapun di dunia. Autumn ingin waktu berhenti saat ini saja. Di mana dia bisa mengagumi sosok indah yang nyata sekali tidak akan mampu di raihnya. Dan entah mengapa, menatap Liam saat ini menguatkan tekadnya untuk menyerah. Menyudahi harapannya untuk bisa bersama pria itu. Menatap Liam yang seperti sekarang ini, entah mengapa membuat Autumn bertekad. Mengubur cintanya pada pemuda itu. Autumn mendekat. Mendung tiba-tiba terlihat menutup arak-arakan awan yang terlihat dari kaca tebal penutup rooftop. Lalu angin terlihat membawa awan mendekat. Dan hujan tiba-tiba saja turun. Meluruhkan harapan Autumn atas segalanya. Seakan memberi tahu pada Autumn bahwa semua harus berakhir. Perjuangannya selama setahun belakangan ini harus segera di akhiri. Hujan semakin deras menyamarkan lelehan airmata di wajah tirus Autumn. Bahu Autumn terguncang pelan. Isakan berusaha sekuat tenaga di tahannya. Langkahnya pelan. Berusaha tak mengusik William yang tengah menikmati hujan. Keindahan William. Bukanlah keindahan yang akan mengiring hari-hari Autumn selanjutnya. Autumn hanyalah gadis miskin yang harus segera sadar akan pijakannya. Sadar akan statusnya yang berbanding terbalik dengan William. Autumn berdiri di belakang William. Aroma maskulin menguar dari tubuh William yang segera di hirup pelan oleh Autumn. Di sematkannya dalam kalbu. Untuk di kenang setelah nanti dia pergi. Pergi membawa cintanya. Pergi di jalan yang memang seharusnya dia tempuh. Jalan di mana Ibunya tak berdaya saat melihat sang Ayah memukulnya dan melecehkannya sedemikian rupa. Mungkin memang sudah seharusnya seperti itu. Hidupnya yang harus di tempa sedemikian rupa. Oleh siksaan dan deraan. Seharusnya memang Autumn hanyalah musim gugur yang tidak selalu indah. Tidak pula indah untuk seorang William Leandro. Autumn melingkarkan tangannya di perut William. Memeluknya erat. Membuat pemuda itu sedikit tersentak tapi tidak menepis tangan Autumn. "Jangan menolak. Ijinkan aku memelukmu sesaat. Setelah itu aku berjanji padamu, aku akan berlalu darimu", bisik Autumn lirih. Liam menghela napasnya pelan. Merasakan pipi Autumn menempel di punggungnya. Isakan terdengar lirih meningkahi hujan yang menghantam kaca rooftop dengan keras. Liam menatap tangan mungil dengan tanda merah di pergelangan kanannya... Mungkin hujan lebih tahu apa yang di rasakan keduanya...  ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD