LISTEN

2837 Words
Liam terpaku. Meresapi entah apa yang di rasakan Autumn yang memeluknya dari belakang. Rasa bersalah menderanya saat menatap pergelangan tangan gadis itu yang berbekas memerah. Hujan masih meningkahi sunyi yang tercipta antara keduanya. Isakan jelas terdengar namun William tak ingin mengusiknya. Membiarkan raga mungil itu memeluknya erat tanpa tahu apa yang di rasakan oleh gadis itu. "Aku harus pergi", ucap Autumn singkat. Pelukannya tangannya terurai dari perut William. Pelukan yang meninggalkan hangat di tubuh William dan aroma buah-buahan yang pasti membekas di penciuman Liam. Terdengar langkah kaki perlahan menjauh. "Aku akan mengirimkan baju ini secepatnya. Aku pamit. Terimakasih ", ujar Autumn tanpa menoleh. William menghela napas pelan. Mencerna apa yang baru saja terjadi. Dan mendapati hatinya begitu kosong begitu Autumn melepaskan pelukannya. William berbalik. Melangkah cepat ke arah Autumn dan menyambar tubuh gadis itu. Membawanya dalam gendongannya. Ringan. Hingga Liam yakin gadis ini tidak makan dengan benar. Autumn terpekik. "Aaaaw....apa yang kau lakukan?", tanya Autumn sambil berpegangan pada bahu William. Wajah William tetap menyiratkan dingin tak tersentuh. "Diam! Atau aku akan berubah pikiran", ujar William sambil melangkah keluar dari rooftop. Autumn menutup mulutnya cepat. Matanya mencari cepat bias wajah William sekarang. Dan Autumn mendengus pelan. Wajah itu semakin dingin dan menakutkan. Aura mendominasi dan tidak suka di bantah kental terlihat. William membawa Autumn turun dari rooftop menuju sebuah kamar. Merebahkan dengan gerakan tak terduga. Melempar tubuh mungil itu ringan. "Sakit William! Kenapa kau bawa aku ke sini? Aku mau pulang ", ujar Autumn. Suaranya semakin pelan saat menatap William yang bersedekap tanpa ekspresi di hadapannya. "Tidurlah", ujar William. "Tidak. Aku mau pulang", jerit Autumn tidak terima. "Tidur", ujar William dengan ekspresi lebih dingin. "Aku tidak mau. Aku...takut tidur sendiri", ujar Autumn. Suaranya mencicit tertelan rasa takut saat menatap manik mata William yang begitu redup dan terkesan menakutkan. William melangkah mendekati Autumn dan merebahkan badannya. Kedua tangannya dia jadikan bantalan kepalanya. Autumn terpekik pelan sambil menutup mulutnya. Apa-apaan ini? "Sekarang tidur", ujar William dengan tegas. Menatap Autumn yang masih terduduk sambil menekuk kedua kakinya menyamping. "Aku tidak bi...sa...", ujar Autumn. "Kenapa lagi?!", geram William. Tak habis mengerti mengapa menyuruh gadis ini tidur butuh banyak tenaga seperti sekarang. "Madre selalu memelukku. Aku tidak bisa tidur kalau tidak dipeluk", ujar Autumn pelan. Bayangan wajah sang Ibu yang begitu lembut hangat menyeruak. Ibunya perempuan yang tidak berdaya menghadapi hidup. Kebahagiaannya hanya kala bisa tidur saling berpelukan. Selebihnya? Deraan yang membuat hidup selalu dalam bayang prasangka buruk dan kecemasan. William menarik tubuh Autumn hingga tertidur beralaskan lengan kokohnya. Untuk sesaat Autumn terpaku. Lalu bergerak gelisah ingin melepaskan diri. "Diam", ujar Liam singkat di barengi geraman. "Tapi...ini...aku...", bisik Autumn bingung. Jelas posisinya yang begitu rapat dengan Liam membuat jantungnya berolahraga lebih keras. "Oooh...bisakah diam? Aku mau tidur ", geram Liam lagi. "Tapi...aku", bisik Autumn lagi. Bergerak lagi ingin melepaskan diri, namun Liam justru mengeratkan pelukannya. "Tidur Autumn Rhapsody!", ujar William sambil menatap manik mata  Autumn tajam. Autumn terkesiap dan menyurukkan wajahnya ke leher William. "Apa...apakah kita akan tidur dalam artian sesungguhnya? Hanya tidur? Maksudku...aku...", ujar Autumn gelisah. "Apa yang kau harapkan? Jangan berlebihan. Aku bahkan tidak tertarik dengan tubuhmu. Sekarang tidur! Itu lebih kau butuhkan di banding pikiran jorokmu itu", ujar William ringan. Oooh...William sangat buruk dalam pemilihan kosakata. Demi Tuhan...buruk sekali! Autumn tersenyum. Dihirupnya wangi maskulin William..Hembusan napas hangatnya menerpa leher William. Liam benar, Autumn memang merasakan lelah jiwa dan raga yang luar biasa. Kejutan hidup yang tidak pernah disangkanya datang begitu tiba - tiba. Pemotretan dengan durasi yang sangat lama membuatnya terkapar dalam lelah yang rapat di sembunyikannya. "Berhenti mengendus!", ujar Liam sambil memejamkan mata. Autumn mencebik kesal. Tak bisakah William diam saja dan memberinya kesempatan untuk melakukan apapun. Toh setelah ini Autumn akan pergi dari William. Autumn menatap William sebentar. Wajah pria itu sangat bersih. Dengan garis rahang kuat dan bibir yang agak tebal. Dari mulutnya itu kata-kata pedas terucap akhir-akhir ini. Benar-benar pedas namun terdengar indah bagi Autumn. Kelak, kata-kata super pedas itu juga yang akan menjadi nyanyian pengantar tidurnya. "Tidur! Aku memang tampan. Mau bagaimana lagi", ujar Liam tiba-tiba. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman walau tak mencapai matanya. Senyuman yang hanya sekelumit saja. Tapi, heeei...Liam tersenyum! Autumn kembali menyurukkan kepalanya. Mencari nyaman yang akan selalu di kenangnya. Yang akan menjadi bunga mimpinya kelak. **** "Makanlah. Aku akan mengantarmu pulang setelahnya", ujar Liam sambil menyodorkan sebuah box makanan cepat saji dari sebuah restoran mewah. Autumn yang sedang duduk di meja makan mendongak. Matanya menatap kotak itu. "Kalau aku bisa memilih. Aku tidak mau pulang", bisik Autumn. Liam yang sedang menuang air dingin ke dalam gelas menoleh. "Kau bicara apa?", tanya Liam heran. "Tidak ada, aku bisa pulang sendiri", ujar Autumn sambil berdiri. "Terimakasih sudah membiarkan aku istirahat di sini. Tempat ini luar biasa. Hmm...kau benar. Dunia model adalah dunia yang berat. Mungkin memang sudah nasibku harus bekerja di kantin seumur hidup", ujar Autumn. Liam terpaku. Raut wajah Autumn begitu memilukan. Autumn melangkah sembari membawa box makanan yang di berikan William. "Kalau kau tidak keberatan...aku boleh bukan membawa ini? Untuk Madre", ujar Autumn sambil mengangkat box makanan di tangannya. Liam menghela napas pelan. "Aku akan mengantarmu", ujar Liam sambil menyambar kunci mobilnya. Autumn menggeleng. " Menolak lah sepuas mu. Kau pulang denganku!", ujar Liam tajam sambil menarik tangan AutumnAutumn berjalan terseok dalam tarikan William dengan langkah lebarnya. Tak henti Autumn menatap tangan Liam yang menggenggam tangannya. Ini konyol...Autumn sampai menganga tak percaya. Perasaan ini konyol. Perasaan ingin menari dan bernyanyi begitu kuat dalam diri Autumn hanya dengan melihat tangan Liam yang menggenggam tangannya! Gila bukan? Weird! Ternyata Liam tidak langsung mengantarkan Autumn ke lapangan. Tapi mengajaknya sarapan. Menikmati sarapan pagi di sebuah kafe di hotel ternama. Liam juga memberinya berbagai makanan dan kudapan untuk di bawa pulang. Saat Liam mengantarkan Autumn pulang, dia berdiri dengan tatapan dingin hingga Autumn masuk ke dalam tenda. Liam segera masuk ke dalam mobil dan melajukannya ke mansion. Ada beberapa hal yang harus di kerjakan dan di tanyakan pada kakaknya, Stephanie. ----------------------------------------- "Kenapa gadis itu? Apa dia sakit flu atau semacamnya? Dia memakai masker. Dan...bukankah dia sudah menjadi model? Kenapa masih bekerja di kantin ini?", tanya Kyle sambil menoleh pada William yang mainkan sendoknya di atas piring spaghettinya. "Kau tahu? Kata David, perusahaan menarik semua majalah yang berisi gambar gadis itu dari pasaran. Apa maksudnya? Siapa yang melakukannya? Hmm...William...apa kau pelakunya? ", tanya Kyle penuh selidik. Matanya memicing menatap William. "Well...yang aku yakin...rasa ingin tahumu yang overload itu akan membunuhmu cepat. For your information, yes! Aku yang melakukannya", ujar William sambil berdiri. Liam berjalan dan melirik sekilas ke arah Autumn yang sedang membenahi makanan yang tersaji di meja saji. Liam sedikit heran kenapa Autumn harus memakai masker seperti sekarang. Liam berdiri di depan pendingin minuman. Membuka lemari itu dan mengambil sebotol sedang orange juice. "Apakah Ayahmu memukulmu lagi, sayang? Aku akan bicara pada Ayahmu. Sebaiknya setelah ini kau pulang ke rumahku", ujar sebuah suara dan Liam mengenalinya sebagai suara Nyonya Rossi, bibi Autumn. Tidak terdengar jawaban dari Autumn. Liam masih setia berdiri di depan lemari pendingin. Suasana kantin sudah sepi, karena memang jam makan siang sudah selesai. Liam berjalan pelan keluar dati kantin, diikuti oleh Kyle yang menatapnya keheranan. "Kita masih ada kelas. Sebaiknya kita cepat ", ujar Kyle. Liam mengangguk namun keningnya masih berkerut. Ayah Autumn memukulnya? Apakah ada hubungannya dengan perkataan gadis itu saat di apartemen? Tentang...kalau boleh memilih dia tidak ingin pulang? Liam berjalan cepat memasuki kelas dengan pikiran yang tidak tenang. --------------------------------------- Liam berdiri bersandar di depan mobilnya. Hari menjelang sore. Liam menyilangkan kakinya dan memasukkan kedua tangan di saku celananya. Matanya menekuri ujung sepatu ketsnya. Sesekali mendongak ke arah pintu keluar kantin. Langkah kaki pelan membuat Liam kembali mendongak. Autumn berjalan ke arah sepedanya yang terparkir agak jauh dari mobil Liam. Tanpa aba-aba apapun, Liam menarik tangan Autumn dan membawanya ke arah mobilnya. "Masuk!", ujar Liam sambil membuka pintu mobil. Autumn tergugu sambil menunjuk sepedanya. "Masuk!", ujar Liam lagi sambil mengambil keranjang makanan dari tangan Autumn. Autumn masuk dan duduk dengan mata penuh tanya. Liam berputar dan masuk ke dalam mobil. Tangan kanannya meletakkan keranjang makanan di jok belakang. Melajukan mobilnya cepat menuju sebuah tempat. Dua puluh menit kemudian mobil Liam memasuki sebuah rumah yang membuat Autumn menganga. Bukan rumah, tapi istana! Harga pintu gerbangnya mungkin akan sanggup untuk membeli sepuluh Van seperti milik Ayahnya. Autumn mendongak saat Liam memasukkan mobilnya ke garasi dan membukakan pintu untuknya. "Ayo", ujar Liam singkat. Autumn keluar sambil menatap kagum pada sekelilingnya. Garasi itu sangat luas dan berpuluh mobil terparkir dengan rapi. Sebagian besar adalah mobil antik dengan berbagai usia dan merk. Selebihnya adalah mobil mewah yang membuat Autumn menelan ludahnya susah payah. Autumn berlari kecil menyusul Liam yang memasuki sebuah pintu super besar. Pintu utama mansion ini. Mansion Leandro. "Liam...aku mau pulang", ujar Autumn. Khawatir dengan dirinya sendiri. Merasa takut untuk sekedar masuk ke mansion itu. Yang pastinya adalah tempat tinggal Liam. Liam mengabaikannya. Meraih tangan Autumn dan menyeretnya masuk. Seorang pria tua menyambut mereka. Suasana terdengar riuh di teras belakang ketika Liam menyeret Autumn ke sana. Autumn menunduk ketika semua mata terpaku menatapnya. Keheningan yang membuat Autumn untuk pertama kalinya mengutuk seorang William Leandro. "Lex, bisa kau tolong periksa gadis bodoh di sampingku ini?", tanya William pada seseorang di sofa ruang belakang itu. Jeritan seorang wanita membuat Autumn mendongak. Seorang wanita cantik menghampiri Liam dan menepuk pipi Liam pelan. "Kau kasar sekali William Leandro!", ujar wanita itu. "Mom, dia memang bodoh", ujar Liam ringan. Wanita yang di sapa Mom itu mencebik kesal dan menatap Autumn. "Kau pasti Autumn. Selamat datang di kediaman Leandro. Jangan dimasukkan hati ya sayang. William memang seperti itu. Kenalkan aku Cherry, ibu si bandel ini", ujar wanita itu ramah sambil mengangsurkan tangannya. Hati Autumn berdesir hebat. Wanita ini? Ibu Liam? Ya Tuhan...dia tidak berpakaian cukup sopan untuk bertemu dengan ibu seorang pemuda...yang di sukainya. Autumn mengangguk dan menyambut tangan Cherry. "Maaf Nyonya. Saya tidak berpakaian cukup pantas", ujar Autumn sambil melepaskan masker yang di pakainya. "Ya Tuhan sayang. Are you okay?", tanya Cherry sambil meraih Autumn dalam pelukannya. Seorang pria tampan melangkah ke arah mereka. Autumn juga melihat semua berdiri. Menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Iya. Saya baik - baik saja, Nyonya", ujar Autumn. "Tidak. Kau tidak baik-baik saja sayang. Lex...tolong", ujar Cherry sambil membawa Autumn ke ruang tengah mansion. Pria yang di panggil Alex itu bergerak cepat. Mengambil tas dari dalam sebuah ruangan. Cherry membimbing Autumn duduk. Liam hanya berdiri saja sambil menatap Autumn tajam. "Baiklah. Kita lihat apa yang terjadi denganmu, cantik", ujar Alex ramah sambil memasang sepasang sarung tangan kedokteran. Liam terdengar mendengus. Autumn menatap Liam penuh tanya. "Aku akan meminta James membuatkanmu teh hangat", ujar Cherry sambil melangkah ke belakang. Alex memeriksa Autumn. Mengeritkan dahi melihat lebam yang cukup parah. Bibir Autumn juga pecah dan menyisakan darah yang mengering. Kelopak mata dan pelipis bahkan lebih parah lagi dengan lebam yang menghitam. "Well...apapun alasannya. Tindakan seseorang padamu ini tidak manusiawi. Apakah kau mau bercerita?", tanya Alex lembut sambil menatap Liam. Liam terlihat menyugar rambutnya. Giginya gemerutuk menahan amarah. Dan Alex sangat tahu, belum pernah Liam segelisah ini. Alex menatap Autumn. Gadis itu menggeleng pelan. "Baiklah. Aku akan meminta seseorang ke apotik. Lukamu harus segera di obati. Ini, luka seperti ini tidak akan sembuh hanya dengan sebuah kompresan", ujar Alex sambil berdiri. Membereskan peralatan kedokteran nya lalu melangkah kembali ke ruangannya. James, kepala pelayan datang dengan seorang maid yang membawa teh. "Silahkan Nona", ujar James. Autumn mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih", ujar Autumn. "Baiklah. Minum tehmu sayang dan istirahatlah ", ujar Cherry yang sudah bergabung lagi dengan Liam dan Autumn. "Terimakasih Nyonya", ujar Autumn sambil meraih teh hangatnya. Meminum hingga setengah isi gelas. "Kau ini! Kau haus atau apa?", tanya Liam ketus. "Maaf, aku haus....", ujar Autumn membuat Cherry tertawa. "William. Kau ini, galak sekali", ujar Cherry. "Bawa Autumn ke kamarmu Liam. Di sana paling nyaman. Agak sepi. Autumn akan cepat membaik", ujar Cherry sambil menatap Liam tajam sebelum anak bungsunya itu melancarkan sebuah protes. Liam terlihat mendengus. Tapi mengangsurkan tangannya pada Autumn. "Aku harus menghabiskan tehku dulu, William", ujar Autumn pelan. "Ya Tuhan...kenapa aku membawamu kemari? Kau ini, kenapa tidak sekalian saja bilang kau lapar!", ujar William tajam. "Aku...memang lapar. Aku tidak sempat makan siang tadi. Kau menyeretku begitu saja", ujar Autumn kesal. Cherry tertawa keras. Merasa gadis inilah yang kelak akan mengisi kekosongan hati William. Menjadi penyeimbang bagi Liam yang sedikit pendiam dan dingin. "Ikutlah dengan Liam sayang. Aku akan meminta James menyiapkan makan siangmu yang sangat terlambat ", ujar Cherry lembut. "Maaf Nyonya...aku tidak bermaksud...", ujar Autumn malu.   "Panggil aku Aunty. Sudahlah...tidak apa-apa. Ikutlah dengan Liam", ujar Cherry sambil mengusap bahu Autumn lembut. Autumn mengangguk dan berdiri. Mengangsurkan tangan pada Liam yang langsung saja diabaikan oleh Liam. Liam justru melangkah menuju tangga dan berjalan menaikinya. "Kau tadi memberikan tanganmu. Sekarang kau meninggalkan aku...", ujar Autumn lirih. Cherry terbahak membuat Autumn menoleh. "Maaf..hmm..Aunty", ujar Autumn dengan muka memerah. Autumn membungkuk dan melangkah mengikuti Liam. Cherry menatap dua anak muda yang sangat berbeda karakter itu. Dan dalam hatinya sangat yakin keduanya memang berjodoh. Liam membuka pintu kamarnya dan menarik Autumn masuk. "Mandilah. Baru makan. Jangan bertindak barbar di sini ", ujar Liam sambil melemparkan handuk bersih pada Autumn. "Aku memang tidak berkelas. Wajar kau berkata seperti itu", ujar Autumn miris. Liam terdiam. "Ayahku yang melakukan ini. Tapi aku sangat memaklumi kesulitan kami sekarang. Ayahku baik. Setidaknya setahun yang lalu dia adalah sosok Ayah yang hangat. Aku terlalu bandel", ujar Autumn sambil tertawa sumbang. Liam dapat menangkap nada sedih dalam tawa Autumn. "Ayahku sudah tua. Dia ingin berhenti dari sirkus tapi...dia sulit mendapatkan pekerjaan. Aku tahu dia sangat depresi. Apalagi Madre sedang sakit. Diabetes membutuhkan biaya yang tidak sedikit", ujar Autumn lagi. Liam bersandar pada dinding di dekat meja. Menatap Autumn yang sekarang sudah duduk di kursi belajarnya. "Apapun alasanmu menyeretku dari lokasi pemotretan...aku menghargainya. Ayahku sangat marah. Dia memukulku karena dia tidak ingin melihatku telanjang untuk semua pria di luaran sana. Ayahku memang kadang memukulku tapi ini yang terparah. Aku tidak marah. Aku tahu aku salah. Aku masih terlalu muda untuk menjadi model majalah dewasa. Itu kata Ayahku. Dan Ayahku benar", ujar Autumn. "Aku...salah. Ayahku melarangku menyukaimu. Melarangku jatuh cinta padamu. Sejak setahun lalu dia bilang seperti itu, dan aku mengabaikannya. Dia sangat khawatir aku akan membuat ulah. Ayahku bilang apapun yang berhubungan dengan keluarga Leandro adalah hal yang harus aku jauhi karena kalian terlalu kaya. Ayahku takut aku membuat kekacauan dan berurusan dengan keluargamu", ujar Autumn lagi. "Ayahku sering memergokiku melihat koleksi fotoku. Semua isinya adalah fotomu...maaf. Aku akan menyerahkannya padamu nanti. Jadwal kepindahan kami dipercepat. Sebulan lagi kami akan pindah", ujar Autumn lagi. Matanya menatap William yang menunduk menekuri kakinya. Demi apapun juga. Autumn menyukai gaya William yang seperti ini. "Apa kau tidak ingin mengataiku? Aku lancang memotretmu. Katakan sesuatu yang pedas. Aku tidak apa-apa", ujar Autumn lagi. "Apapun alasannya. Ayahmu tidak boleh memukulmu. Aku akan bicara pada Ayahmu besok. Mandilah. Aku akan mencari baju untukmu", ujar Liam sambil berjalan k pintu. "William...aku selalu tahu kau memang baik", ujar Autumn. "Jangan memujiku. Aku tidak akan termakan rayuanmu. Mandi sana", ujar Liam dengan ketus sambil menarik gagang pintu. Autumn mencebik ngeri. Tetap saja. William sangat ketus! Autumn melangkah ke arah kamar mandi. Dan segera saja mengagumi interior dan isi kamar mandi William. Ini bagai bumi dan langit. Pengalaman pertamanya mandi di istana akan selalu di kenangnya. Pengalaman yang bertolak belakang dengan kesehariannya yang harus mandi di kamar mandi darurat atau bahkan di kamar mandi umum. Autumn menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit untuk berendam sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi berbalut handuk. "Kau merasa segar?", tanya sebuah suara dari ranjang William. Autumn mendongak, dan terkaget hingga terlonjak. "Kau, ya Tuhan...apa aku bermimpi? Kau Stephanie Rose? Ya Tuhan...apa aku bermimpi?", ujar Autumn berulangkali. Mengabaikan dirinya yang hanya memakai handuk. "Well...begitulah. Ini aku. Stephanie Rose. Apa kau mengharapkan orang lain? Adikku mungkin?", goda Stephanie. "William. Dia itu ketus sekali. Menakutkan. Ini hal terbaik yang pernah terjadi padaku. Bertemu denganmu. Ya Tuhan...bolehkah aku minta foto dan tanda tanganmu? Maaf...aku sedikit menyebalkan", ujar Autumn kebingungan karena dia menyadari, dia tidak membawa baju ganti. "Untuk apa? Kau akan sering bertemu denganku sekarang dan selanjutnya. Jadi kau tidak membutuhkan foto dan tanda tanganku", ujar Stephanie sambil mengedipkan matanya. Autumn melongo tak percaya. "Pakai bajumu dan aku akan mengurus rambutmu", ujar Stephanie sambil memberikan sebuah dress cantik berwarna putih lengkap dengan pakaian dalam. Autumn menerima baju itu dengan heran. "Aku sedang menemui nenekku dan Liam menelpon. Memintaku membeli gaun dan pakaian dalam? Aku belikan ini. Semoga kau suka Autumn. Namamu cantik sekali. Mom memberi tahuku", ujar Stephanie. Autumn tersipu dan memakai bajunya cepat. Sangat pas dan cantik. "Duduklah. Aku akan mengurus rambutmu", ujar Stephanie sambil menepuk tepi ranjang Liam. Autumn duduk dengan ragu. Bahkan Stephanie membawa sebuah pengering rambut dan tas make up ke kamar William. Perlahan Stephanie mengeringkan rambut Autumn. Memberikan vitamin rambut dan menyisirnya dengan rapi. Setelah itu Stephanie dengan serius membubuhkan bedak di wajah Autumn. Membubuhkan pensil alis dan sapuan lipstick berwarna lembut. Stephanie memegang cermin. Meminta Autumn melihat pantulan wajahnya. "Kau sangat cantik. Si bodoh itu benar-benar bodoh sudah mengabaikanmu", ujar Stephanie sambil tertawa kesal. "Si...apa?", tanya Autumn tak mengerti. "Siapa lagi? Pria yang kau gilai itu. William. Apa kau sehat? Dia itu seperti es batu", ujar Stephan"Dia adikmu", ujar Autumn geli. "Yah...malangnya begitu. Dia adikku", ujar Stephanie mencebik kesal. "Dia tidak menyukaiku", ujar Autumn lirih. "Ooh...dia hanya gengsi. Dia akan menyesal dengan gensinya yang besar itu", ujar Stephanie. "Tapi...biarlah. Aku memang tidak pantas", ujar Autumn. "Jangan bilang begitu. Jodoh tidak ada yang tahu. Dan...hancurkanlah gensinya itu. Aku pendukung setiamu mulai sekarang ", ujar Stephanie dengan wajah serius. Autumn tertawa. "Dia yang bicara dengan Tuan Jack Senna mengenai pembatalan kontrakmu. Dengan kompensasi yang tidak sedikit. Aku yakin dia marah pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin melihatmu telanjang untuk orang banyak!", ujar Stephanie lagi. "Aku akan bicara pada agensiku. Kau akan mendapatkan banyak pekerjaan sebentar lagi. Aku merekomendasikanmu untuk menggantikanku karena aku akan menikah dalam waktu dekat. Apa kau siap?", tanya Stephanie. Autumn mengerjap tak percaya. "Apa William akan marah?", tanya Autumn. "Tidak selama kau tidak telanjang", goda Stephanie. "Untuk apa aku marah. Lakukan apa maumu. Like I care", ujar William yang sudah masuk ke kamarnya. Stephanie dan Autumn menoleh. Mendapati Liam yang menatap tajam pada Autumn. Tidak marah huuuuuuh....?!!   -----------------------------  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD