TE AMO, TINY

2552 Words
Makan malam yang sedikit canggung setelah akhirnya Stephanie membawa Autumn keluar dari kamar William. Juga setelah William dengan kejamnya masuk untuk mengambil ponselnya dan mengatakan hal yang membuat raut muka Autumn terlihat begitu sedih. Namun bukan keluarga Leandro kalau tidak bisa mencairkan suasana. Semua berusaha membuat Autumn nyaman. Kecuali Liam yang terlihat bersandar di kursinya dan memainkan sendok di tangannya. Raut wajahnya begitu dingin dan sesekali dia terlihat menggigit bibir seakan memikirkan sesuatu. Demi apa?! Autumn yang berulangkali melirik Liam berusaha menata hatinya. William yang seperti sekarang ini membuat Autumn salah tingkah. Autumn merutuk dalam hati. Mengapa semua yang ada dalam diri William begitu indah? Bahkan setiap gesture tubuhnya? Juga suara dan kalimat-kalimat ketusnya? Untuk semua kebahagiaan yang pernah di cecapnya di dunia, Autumn yakin dia harus mengunjungi seorang psikiater kalau sudah ada uang nanti. Autumn merasa dia sudah gila! Semua berkumpul di ruang keluarga saat Liam keluar dari arah kamarnya dengan memakai jaket. Tatapannya tajam pada Autumn yang sedang terkikik geli saat Stephanie menceritakan bahwa dia pernah terjatuh saat di catwalk. Jatuh di catwalk itu biasa...tapi kalau sampai dua kali jatuh itu memalukan. Stephanie bahkan sampai menutup mulutnya karena geli mengingat hal itu. "Pulang!", ujar Liam membuat semua menoleh. Semua mata memandang Liam. "Kenapa tidak menginap saja? Ini sudah malam", ujar Dadnya sambil melirik Momnya. Cherry, sang ibu terlihat mengangguk. Lalu berdiri di sertai pelototan kesal pada putra bungsunya yang hanya mengangkat bahu. Autumn berdiri. "Tidak Aunty. Sebaiknya aku pulang. Madre sedang sakit jadi aku harus pulang", ujar Autumn sambil membungkuk. "Baiklah sayang. Berjanjilah untuk menginap lain kali", ujar Cherry sambil merangkul bahu Autumn. Mengantarkannya hingga ke teras mansion di mana Liam sudah menunggu di dalam mobilnya. "Hati - hati sayang", ujar Cherry lembut sambil mencium pipi Autumn. "Sampai jumpa Aunty. Terimakasih sudah menerimaku dengan baik", ujar Autumn. "Tentu, sayang", ujar Cherry. Autumn melangkah masuk ke dalam mobil. Mendapati William yang menunduk sambil mengetuk-ngetuk kemudi mobilnya. Autumn duduk dan menunggu. "Sudah basa basinya?", ujar William tanpa menoleh. Autumn menelan salivanya susah payah. Alih-alih marah pada kata-kata Liam, Autumn justru sibuk mengagumi tampilan Liam yang terlihat...seksi? Yakin! Autumn merasa sudah gila. Tanpa sengaja tangan Autumn bergerak memukul kepalanya pelan. "Bagus. Pukul kepalamu yang isinya hanya pikiran m***m itu", ujar Liam sambil menjalankan mobilnya keluar dari mansion. Autumn menunduk malu. Hell...what?! Liam bahkan tahu isi kepalanya memang kadang melenceng...membayangkan Liam...dan dirinya... "Berhenti tersenyum sendiri. Atau nanti aku akan mengantarmu ke rumah sakit jiwa", ujar Liam sambil berbelok tajam keluar dari kompleks Water Mills. Autumn menggigit bibir dalamnya. "Katakan apapun. Tidak masalah untukku", batin Autumn. Lalu hening menyergap hingga Liam memarkirkan mobilnya di jalan di dekat van dan tenda tempat tinggal Autumn. Liam keluar bersamaan dengan Autumn yang menatapnya heran. "Kau mau kemana? Tidak usah mengantarku ke dalam", ujar Autumn sambil memegang lengan Liam. "Aku mau bicara dengan Ayahmu, bodoh!", ujar Liam ketus. Ekspresinya membuat Autumn bergidik ngeri. "Ap...apa maksudmu berbicara dengan...Padre? Tidak...kau tidak boleh melakukannya!", ujar Autumn dengan suara bergetar. Tangannya terus menahan lengan Liam yang bahkan tidak bergerak sedikitpun. Liam menatap Autumn tajam. Membuat gadis itu menunduk. Tak kuasa bertatapan dengan mata Liam yang...membuatnya takut. Aura mendominasi dan tidak mau di bantah begitu terasa. Tapi sekilas...Autumn melihat aura melindungi dari tatapan itu. Perlahan Autumn melepaskan lengan Liam dan memilih pasrah. Mengikuti Liam yang melangkah memasuki area sirkus. Jangan pernah tanyakan bagaimana takutnya Autumn membayangkan apa yang akan terjadi. d**a Autumn semakin bergemuruh saat melihat Ayah dan beberapa rekannya sedang duduk - duduk di depan Van keluarganya. Ibunya terlihat sibuk menuangkan minuman ringan ke dalam beberapa gelas. Autumn berdiri terpaku di tempatnya saat Liam terlihat menyapa Ayahnya dengan raut muka...penuh senyum? Autumn melihat Liam menunjuk ke arahnya dan semua orang menengok ke arahnya. Ayahnya mengangkat tangan menyuruh Autumn mendekat. Autumn berjalan pelan dan tetap menunduk begitu sampai di hadapan sang Ayah. "Tidurlah", ujar sang Ayah. Hanya itu. Dan terdengar hangat. Autumn melirik ke arah Liam yang tengah menatap sekeliling. Dan Liam hanya mengangkat satu alisnya heran saat mendapati Autumn menatapnya dengan pandangan bertanya. Autumn melangkah ke arah mobil Van dan masuk ke dalamnya. Dari balik tirai jendela, Autumn melihat beberapa rekan Ayahnya terlihat beranjak pergi. Dan Liam terlihat duduk. Autumn mengernyitkan dahinya. Apa-apaan itu? Kenapa Liam tidak langsung pulang? Apakah dia mencari mati? Tubuh Autumn gemetar. Ketakutan setengah mati akan apa yang akan terjadi. Apakah Ayahnya akan memukul Liam? Setelah lima belas menit bahkan Liam belum beranjak. Dari gesture tubuh Liam dan Ayahnya, mereka terlihat serius membicarakan sesuatu. Autumn merutuk dalam hati dengan napas memburu saat menyadari tak ada satupun isi pembicaraan mereka terdengar olehnya. Yang terlihat kemudian justru kedua pria yang di cintainya itu terlihat asyik menekuri sebuah kertas. Mencorat coret di sana sini. Sesekali terlihat berdebat sambil mengetuk-ngetukkan pensil mereka. Liam juga menyesap berulangkali minuman ringan yang di sajikan ibunya. Pembicaraan itu berlangsung hingga hampir tengah malam dan nyatanya Autumn masih memicingkan mata menunggu. Sang Ibu berulangkali mengingatkannya untuk segera tidur, tapi Autumn menggeleng. Dan ibunya akhirnya menyerah dan menuju ke arah ranjangnya. Autumn tersentak ketika melihat Liam berdiri. Begitu juga dengan sang Ayah. Mereka terlihat berjabat tangan dan sang Ayah terlihat menepuk bahu Liam berulangkali. Ayahnya bahkan mengantar Liam hingga ke pagar pembatas sebelum akhirnya sang Ayah berbalik dan masuk ke arah tenda di samping Van. Autumn menatap bayangan Liam yang berdiri di trotoar. Berharap, apapun yang dibicarakannya dengan sang Ayah adalah hal yang baik. Autumn berbalik. Duduk di sofa dan menatap ke arah ranjangnya. Cahaya lampu tidur membuatnya sedikit mengantuk walaupun rasa penasaran masih menggelayutinya. Kesadarannya kembali pulih saat jendela Van di ketuk pelan. Autumn berbalik dan menumpukan kedua lututnya di sofa. Membuka tirai yang tertiup angin karena dia terbiasa membiarkan jendela Van terbuka sepanjang malam agar udara lebih sejuk. Autumn membeku. Menatap Liam yang berdiri di depan jendela Vannya. Masih tak mengerti ketika Liam mendekat. Namun secara reflek yang terasah, Autumn menebalkan telinganya, siap mendengarkan kalimat apapun yang pedas keluar dari mulut Liam. Posisi van yang lebih tinggi membuat Autumn berhadapan langsung dengan Liam saat dia bertumpu pada lututnya di sofa seperti sekarang. Demi apapun di dunia ini...tatapan Liam begitu...lembut? Suasana lapangan lumayan sunyi karena hari ini sirkus sedang libur. Autumn tak berani berkata-kata. Hanya menatap Liam tak mengerti. Pun ketika Liam mendekat padanya. Menumpukan kedua tangan pada tepi jendela. "Bernapaslah", ujar Liam datar. Autumn tersentak. Menghela napasnya lega dan pipinya segera merona menyadari ketololannya. "Pulanglah. Sudah larut. Nanti Aunty cemas", ujar Autumn pelan. Sangat pelan. "Aku ini laki-laki. Mom tidak akan cemas walau aku tidak pulang sekalipun", ujar Liam datar. Autumn mendengus. Liam selalu benar. "Jangan lupa mengobati lukamu", ujar Liam datar. Autumn mengangguk. Teringat obat yang di berikan Alex padanya setelah makan malam. Beserta petunjuk penggunaanya yang di jelaskan oleh Alex..... Autumn tersentak ketika sesuatu yang hangat dan sedikit bergetar mendarat di bibirnya saat dia sibuk mengingat tata cara penggunaan obat yang tadi di jelaskan oleh Alex. Autumn lansung memejamkan mata saat menyadari sesuatu yang hangat itu adalah bibir Liam yang menempel di bibirnya. Tangan besar Liam mengusap pipinya. Hangat. Autumn tersentak saat bibir Liam bergerak. Dan dengan bodohnya Autumn ikut terhanyut. Menggerakkan bibirnya membalas. Bergerak seirama untuk beberapa saat. Menciptakan geleyar aneh yang tak di mengerti. Liam mengusap kelopak mata Autumn saat bibir mereka berpisah. Autumn menggeleng. Enggan membuka mata. Takut semua hanya mimpi yang akan sirna saat dirinya membuka mata. Liam tertawa pelan membuat Autumn membuka mata. Rona merah dipipi Autumn segera diusap oleh Liam. "Tidurlah", ujar Liam singkat. Apa-apaan itu? Setelah sebuah ciuman dan Liam menyuruhnya tidur? "Itu tadi...", ujar Autumn bingung. "Kita bicara besok. Tidurlah sekarang", ujar Liam datar. "Tapi...", ujar Autumn tak mengerti. "Tidur sekarang!", geram Liam sambil mencium sudut bibir Autumn. Berlama-lama di sana dsertai geraman lirih. "Ba...baiklah", ujar Autumn akhirnya. "Aku pulang. Aku akan menelponmu besok", ujar Liam. Autumn mengangguk dan menatap punggung Liam yang segera berbalik. Berjalan pelan dengan kedua tangan yang di masukkan ke saku celananya. Autumn mengerjap tak percaya. Menatap kesal mobil Liam yang melaju menjauh. William! Bahkan dengan kejamnya pergi tanpa memberi penjelasan apa yang sudah di lakukannya? Atau lebih tepatnya apa yang baru saja mereka lakukan? Tidakkah itu lebih kejam daripada kata - katanya yang pedas? Autumn berbalik. Luruh di sofa dan memegang bibirnya. Menggeleng pelan. Meyakini itu bukan mimpi... Autumn berjalan terhuyung ke arah ranjangnya. Perlahan Autumn naik ke ranjang dan merebahkan tubuhnya. "William...hmm...aku harus bagaimana? Ternyata Padre benar. Cinta ini akan membuatku terluka. Aku bahkan sudah merasakan sakitnya sebuah ketakutan...takut kau menghilang. Padahal...ini belumlah apa - apa", bisik Autumn. Napas dan bibir hangat Liam masih terasa. Apa yang akan terjadi esok. Autumn menyurukkan sebuah bantal ke kepalanya dan mencoba terlelap. Hasilnya jauh dari harapan. Autumn bahkan baru bisa terlelap menjelang dini hari! **** Autumn merapatkan selimutnya. Berjalan terhuyung keluar dari Van. Matanya mengerjap menahan silau matahari yang hangat menerpa kulit mukanya. Autumn terbelalak saat menatap meja di depan Van telah penuh dengan makanan dan....William sedang asyik bercengkerama dengan ibunya sambil menata piring dan sendok makan. Autumn berbalik cepat. "Ya Tuhan! Autumn! Cepatlah mandi", ujar ibunya keras. Autumn berbalik dan mendapati Liam yang menatapnya horor. Autumn berbalik lagi dengan mulut bersungut kesal. Tatapan macam apa itu?! Huuuh... Autumn menuju kamar mandi darurat dengan membawa handuk dan peralatan mandinya. Juga semua baju gantinya. Sebelum masuk ke kamar mandi Autumn masih sempat menoleh dan mendapati Liam sudah duduk dengan Ayahnya. Dan entah mengapa Autumn merasa kesal. Mungkin dia semalam mimpi buruk tapi tak bisa mengingat apapun, dan berimbas pada moodnya sekarang. William sangat tampan dengan apa yang di pakainya sekarang. Sepanjang Autumn mandi tak henti dia membayangkan seseorang yang justru sekarang tak perlu di bayangkan karena...dia ada di sini sekarang! Autumn merapikan rambutnya yang dia ikat asal. Membubuhkan bedak tipis tanpa polesan lipstik di bibirnya. Liam bahkan tak meliriknya sedikitpun saat Autumn masuk ke dalam Van setelah mandi. Terdengar teriakan sang Ayah yang memanggilnya untuk bergegas. Autumn keluar dan duduk di samping Liam. Karena memang hanya kursi itu yang tersisa. Mereka menyatukan tangan sebelum mulai makan. Autumn menatap makanan yang tersaji di meja. Tidak mungkin ibunya yang memasak semua ini. Karena Autumn tahu, persediaan makanan keluarganya tinggal sedikit dan mereka belum berbelanja. "Makanlah. William susah payah membawakannya untukmu ", ujar sang Ayah. Autumn menoleh pada Liam yang tengah menikmati sarapannya dengan santai. "Terimakasih", ujar Autumn. Liam hanya mengangguk. Autumn memulai sarapannya. Sang ibu juga terlihat menikmati makanannya. Begitu juga Ayahnya. Liam langsung berubah serius ketika Ayah Autumn mengajak bicara. "Aku membawa kontraknya Uncle. Setelah ini Uncle bisa membacanya dan menandatanganinya kalau Uncle sudah setuju", ujar Liam. Autumn mengernyit heran. "Kekasihmu ini mengajak Ayahmu yang sudah putus asa ini untuk sebuah proyek rumah caravan. Proyek impian Ayah...", ujar Ayah Autumn sambil menyuapkan udang berukuran besar ke mulut ibunya. Autumn tersenyum saat melihat ibunya menyambut suapan Ayahnya dengan kekehan bahagia. Tapi Autumn lalu tersedak dan Liam segera mengangsurkan segelas air putih pada Autumn dengan muka datar. Bukan karena proyek! Tapi karena Ayahnya menyebut kata kekasih! Autumn meniupkan napasnya lega. Dari sudut matanya Autumn dapat melihat Liam tersenyum kecil. Sarapan yang menyenangkan bagi kedua orangtua Autumn berakhir ketika meja sudah bersih di bereskan oleh Autumn dan Ibunya. Dua pria itu kembali larut dalam kertas - kertas. Sebelum akhirnya Autumn melihat sang Ayah tersenyum lebar, membubuhkan tanda tangan dan mereka berjabat tangan. Setelahnya sang Ibu meminta Ayahnya untuk menemaninya berbelanja bahan makanan. Dan dengan mobil Liam Ayahnya pergi mengantar ibunya. Autumn juga sempat melihat Liam memberikan sebuah kartu berwarna gold yang di paksakan pada ibunya. Setelah orangtua Autumn pergi, Liam memilih merebahkan tubuhnya di kursi malas di depan Van. Memakai kacamata hitamnya untuk menahan silau matahari yang hangat. "Apakah kau tidak ada kegiatan lain selain merebahkan badanmu di sini?", tanya Autumn sambil duduk di samping Liam. "Tidak", jawab Liam singkat. Autumn seakan kehilangan kata-katanya. Entah mengapa dia merasa aneh dengan sikap William yang acuh. Lalu apa artinya semalam itu? Autumn menghela napasnya pelan. Mungkin William memang seperti itu. Dan hanya akan seperti itu. Lakukan dan lupakan. Berciuman dan anggap semua tak pernah terjadi. Autumn mengangguk. Baiklah. Untuk apa harus bingung. Seperti itulah pergaulan orang kaya. William termasuk di dalamnya. Autumn beranjak hendak melangkah masuk ke dalam van. Membaca novel mungkin dapat mengurangi gundahnya. Lalu Autumn tersadar sebuah tangan besar telah menariknya dan membuatnya terjatuh menimpa tubuh William. Liam terdengar mengaduh. Autumn bergerak hendak berdiri, namun Liam justru mengeratkan pelukannya. "Liam...lepas. Aku malu. Nanti ada yang melihat", ujar Autumn. Liam membawa tubuh Autumn rebah di sampingnya dengan lengannya sebagai bantalan kepala gadis itu. Autumn terpaku. Menunggu Liam membuka suara. Tapi tak kunjung Autumn mendengarnya. Hanya hembusan napas yang menerpa leher Autumn saat Liam memiringkan tubuhnya ke arah Autumn. "Aku tidak bisa tidur semalam ", ujar Liam lirih. Autumn melirik wajah yang begitu dekat dengan wajahnya itu. Autumn baru tahu sebuah tahi lalat kecil dan samar tersemat sempurna di atas bibir Liam. Manis sekali. Seingat Autumn, Aunty Cherry juga memilikinya. "Kenapa?", tanya Autumn tak kalah pelan. "Entahlah. Aku...ingin kemari lagi semalam...itu saja", ujar Liam. "Ini bukan kau", ujar Autumn sambil menatap manik mata William. Pekat sepekat malam. Manik mata Uncle Ethan. "Well...lalu seperti apa aku menurutmu?", tanya Liam menelisik. "Kau ketus, galak dan...kejam", ujar Autumn. "Begitukah?", tanya Liam. Autumn mengangguk yakin. Autumn tersentak saat tangan besar Liam mendarat di perutnya. Mengusapnya pelan... "Jangan menyentuhku di situ", ujar Autumn kesal. "Kenapa?", tanya Liam. "Pokoknya jangan", pekik Autumn saat Liam tak menghentikan kegiatannya. "Lalu di mana aku boleh menyentuhmu?", ujar Liam. "Tidak di manapun!", ujar Autumn sambil memukul tangan Liam pelan. Liam menangkap tangan mungil Autumn dan menggenggamnya. Tatapan mereka beradu. Mencoba menerjemahkan rasa yang membingungkan. Lalu ketika genggaman tangan terlepas, Autumn merasa kehilangan. Namun seketika itu juga hati Autumn kembali terisi ketika tangan itu terangkat, mengusap sudut bibirnya lembut. Dan hanya seperti itu. Bibir hangat Liam kembali mendarat di bibir Autumn. Membuat hati Autumn kembali terisi penuh dengan kebingungan rasa yang menggelitik. Tangan Liam meraih pinggang Autumn semakin mendekat. Decapan bibir mereka nyata membuat terlena hingga Liam menjauh dari bibir Autumn. "Setelah ini, apa kau yakin aku tidak boleh menyentuhmu di manapun?", tanya Liam di sela engahan napasnya. Autumn membisu. "Te Amo", bisik Liam di telinga Autumn. Suara itu berdengung dan Autumn yakin dia membutuhkan seorang psikiater yang juga seorang dokter THT. "Kau tidak...", ujar Autumn lirih. Liam telihat mengangguk. "Yes I do", bisik Liam di telinga Autumn lagi. Autumn menggeleng. Liam menggigit telinga Autumn kecil. Membuat gadis itu menoleh dan menatap Liam. "Aku sudah gila...", ujar Autumn. Liam kembali mendaratkan tangannya ke perut Autumn membuat Autumn tersentak. "Te Amo", bisik Liam tak menyerah. Autumn masih menggeleng. Mengusap perut rata Autumn menjadi kegiatan baru Liam yang menyenangkan. Gadis itu masih terpaku menatapnya tak percaya. "I love you", bisik Autumn pelan. Tak meyakini kalimat itu akhirnya terucap juga. Liam mencubit hidung Autumn pelan. "Sakit", ujar Autumn keras. "Baiklah...kau sudah kembali, kau dan suara kerasmu", ujar Liam. Autumn menghela napasnya kencang. Memiringkan tubuhnya menghadap Liam yang masih menghadapnya. Autumn menyambar bibir Liam dan menciumnya keras. "Wow...ini...", ujar Liam kaget. "Aku harus meyakinkan diriku bahwa aku cukup waras dan tidak salah dengar", ujar Autumn sambil mencium Liam dengan gerakan terputus. "Kau nyata ", bisik Autumn putus asa. "Apa ini? Kau menyesal mencintaiku?", tanya Liam setelah mendengar desahan putus asa dari mulut Autumn. Autumn menggeleng. "Aku hanya yakin aku akan menjadi gila sebentar lagi", ujar Autumn. "Tidak akan karena aku mencintaimu Autumn Rhapsody", ujar Liam yakin. Sebuah ciuman disematkan di bibir gadis itu yang mulai mengalihkan pandangan pada awan. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan atau aku akan mengangkatmu ke dalam van dan kau akan berakhir di ranjang bersamaku", ujar William kesal. "William..itu tidak sopan!", pekik Autumn sambil mengangkat tubuhnya. Duduk dengan gelisah. "Hmm...begitukah?", tanya William sambil menyusur leher Autumn. "William! Please!", pekik Autumn kesal bersamaan dengan Liam yang menggigit lehernya kecil. Liam tertawa. Mengacak rambut Autumn. "I love you, tiny", ujar Liam membuat Autumn tersipu. Menyerah dan memeluk Liam. Menyerah pada rasa yang di takutinya setahun belakangan ini. Menyerah untuk mencinta apapun nanti resikonya. "Kau m***m", protes Autumn. "Setiap pria seperti itu. Lalu di mana letak kesalahanku?", tanya Liam ringan. "Karena ini kau melarangku telanjang untuk majalah?", tanya Autumn lagi. "Tentu saja. Kau hanya boleh telanjang untukku", ujar Liam ringan. "Serakah!", teriak Autumn kesal. "Awan itu berbentuk tapir...", ujar Liam mengabaikan kekesalan Autumn. "Aku ingin kuliah...aku harus mencari uang", ujar Autumn. "Aku akan mengurusnya. Dan awan yang di sana itu...seperti payung", ujar Liam sambil menunjuk sebuah awan yang anehnya memang terlihat seperti payung. Autumn menyerah. Matahari mulai terik saat keduanya menghabiskan siang dengan menebak wajud awan dam menyematkan ciuman-ciuman hangat di selanya. Apa yang tidak bisa di sebut gila untuk sebuah kalimat keramat yang dinamakan jatuh cinta itu? Bahkan untuk seorang Ice Man seperti William Leandro sekalipun.   ****    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD