Pacaran begitu lama, kamu sama sekali belum pernah ciuman?
Jaman now begini mah udah biasa itu, asal suka sama suka aja.
Mencicipi dulu tidak masalah kalau suka sama suka. Banyak. juga yang begitu, tapi kan akhirnya nikah juga kan? Sudahlah jadi orang jangan munafik!
Di awal pacaran dengan Liana, perkataan nakal seperti itu tidak pernah kumasukkan ke hati. Prinsipku Kala itu adalah bila mencintai seorang wanita harus menghargainya juga. Tak pernah terpikirkan olehku untuk mengambil apa yang berharga dalam diri Liana sebelum menikah. Aku sayang Liana dengan hati tulus. Liana juga gadis baik-baik dan sangat pengertian, dia sangat mendukung karirku.
Aku yakin dia bisa menjadi seorang istri yang setia dan menempatkan dirinya dengan baik.
Awal pertemuan kami adalah saat aku dipanggil Bos untuk memperbaiki komputer di divisi multi media yang bermasalah. Di sana aku bertemu dengan pegawai baru dan ku ketahui kemudian bernama Liana Tedjo. Dia gadis cantik, hanya saja sedikit berisi, kalau tidak mau dibilang gemuk.
Pertama sih aku tidak begitu tertarik sebab dia bukan tipe gadis yang kusukai. Aku lebih suka gadis yang lebih tinggi langsing.
Sebenarnya aku belum pernah pacaran karena aku memang fokus kerja dulu, aku adalah tulang punggung keluarga.
Besoknya, aku mendapatkan bingkisan kue dari Liana lewat temannya sebagai tanda terimakasih.
Ck! Harusnya tidak perlu tapi tetap ku terima juga, kita harus menghargai pemberian orang kan?
Lalu, secara kebetulan kami sering bertemu. Kadang dia meminta bantuanku bila ada program yang rewel. Dari situ lah kami menjadi dekat apalagi punya minat yang sama yaitu sama-sama pecinta kopi.
Aku menilai Liana sebagai gadis yang cerdas dari obrolan intens kami, hanya saja dia termasuk gadis introvert yang kurang percaya diri tapi dia memiliki hati yang tulus plus murah hati.
Mulanya aku juga heran kenapa dia suka insecure begitu. padahal dia punya banyak kelebihan, Cantik dan cerdas itu kombinasi yang bagus kan biarpun sih dia punya body sedikit gemuk menurut aku.
Aku hanya bisa berkesimpulan dia seperti itu karena didikan dari orang tua saja. Liana memang kadang mengeluh tentang mamanya yang selalu mendikte dan suka menuntutnya tampil sempurna.
Kata orang, kalau sering bertemu lama-lama jatuh cinta juga. Yah, aku rasakan sih, aku dan Liana akhirnya pacaran untuk pertama kali. Benih cinta perlahan tumbuh di hati kami. Harapan kami waktu itu cinta kami berakhir di pelaminan.
Tahu kenapa aku bilang waktu itu?
Benar, saat itu cinta kami masih berkobar-kobar dan tentu saja seperti pasangan muda lainnya selalu mengimpikan hal-hal indah tentang sebuah pernikahan.
Seiring waktu, kami, bukan, maksudnya aku mulai merasakan kebosanan.
Pacaran tahunan dan setiap hari ketemu, memang bikin jenuh, apalagi gaya pacaran kami flat, tidak ada sensasinya.
Yang bikin kupingku ngilu dan gumoh adalah tatkala hubungan kami berjalan tahan ke empat, mulailah Liana mendesak aku melamarnya, dan ibu nya juga ikut campur soal hubungan kami.
Aku bukannya pria plin-plan tapi sekali lagi kubilang aku ini tulang punggung keluarga. Aku punya orang tua dan , adik yang masih tergantung padaku. Belum lagi, aku harus membiayai kuliah adek perempuan . Itu butuh biaya besar kan?
Aku tak mau fokus ku kacau antara mengurus keluarga besar dan keluarga yang kubangun nanti.
Jadi aku butuh waktu! Persiapan harus matang!
Namun, Liana kerapkali mengeluh tentang ibunya yang selalu mendesak kami menikah.
Dari situlah kejenuhanku semakin bertambah.
Bertambah tahun, ku jalani masa pacaran kami dengan malas-malasan, bukan karena aku tidak cinta Liana sama sekali tetapi entahlah.
Pernah ku utarakan segala kegelisahan ini kepada teman rekan kerjaku yang sudah menjadi sahabatku, Ridwan.
"Punya tip ga biar pacaran ga bosenin?" tanyaku saat jeda kerja di bagian teknisi.
Bukan jawaban tapi malah gelak tawa yang ku terima.
"Bosen tinggal putusin aja, gitu kok repot." seloroh Ridwan di sela tawanya.
"Bukan gitu juga, Bro. Kamu kan udah banyak pengalaman, kasih tip lah." decakku sebal. Ridwan memang tampan mirip dengan salah satu petinggi di negeri ini, namanya depannya pun mirip, Ridwan yang satu ini terkenal flamboyan.
"Tapi memang sih kalau gaya kamu bosen main tinggalkan saja." sarkasku.
Dia tidak tersinggung dia hanya terkekeh-kekeh lalu katanya setengah berbisik,"Pacaranmu flat yah, pernah ciuman ga?"
Aku membuang napas kasar, "Pikiranmu jorok banget."
"Cowok mah biasa mikir jorok. Masa pacaran gitu lama ga pernah ciuman?" Dahi pria bertubuh kekar itu mengerut.
Memang aneh yah?! Liana itu gadis tipe konservatif, haram baginya pacaran gaya bebas begitu. Dan aku menghargainya plus aku bangga, Liana type gadis limited.
Ridwan geleng-geleng kepala, "Ga salah, kalau pacaran kalian sangat membosankan, ga ada sensasinya. Kalian itu memang pasangan cupu!" Ledekannya memang sadis, tapi membuat aku berpikir ulang.
"Liana itu gadis yang sangat menjunjung tinggi moral... Dia bukan kayak cewe di luar sana.. " belaku.
Ridwan menepuk pundakku, katanya," Gue ga bilang elu harus begitu, biarpun bagi ku sah-sah saja asal suka sama suka. Kissing itu mah biasa buat orang pacaran. Jangan kulot gitu lah, elu bukan hidup di abad delapan belas."
Dan sejak itu lah, nasehat ala Ridwan flamboyan ini pelan merasuki pikiranku, bahkan aku membayangkan lebih dari sekedar Lips kissing!
Seperti kata sahabat setengah setan itu, begitu aku menjulukinya, cowok memang suka berpikir jorok kalau melihat wanita apalagi yang sexy, sah-sah saja. jadilah sejak itu sisi gelap ku mulai menyeruak keluar walaupun sering ku tahan-tahan.
Kutumbangkan pradigma Liana soal pacaran no kissing. dengan sedikit rayuan dan bujukan yang diprakarsai setan.
Selalu ku katakan padanya, semua atas dasar cinta.
Cinta kata orang bisa membutakan. Dan setahuku, Liana sangat bucin.
Sampailah umur pacaran kami masuk tahun ke enam. Liana semakin terang-terangan minta dilamar. Yah, aku maklum, usia kami sudah tidak muda lagi, secara finansial pun kami sudah siap nikah.
Pikir ku tak lama lagi, adikku juga hampir selesai kuliahnya jadi aku minta tenggat waktu, aku akan melamar Liana lalu menikahinya.
Dan di antara waktu itu, aku mendapat tawaran kerja dari pamanku, sepupu dari mama aku yakni menjadi manager perusahaan, kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Sejak itu perlahan kehidupan finansial ku pun meningkat tapi hubunganku dengan Liana alami pasang surut karena kesibukan ku yang menyita waktu.
Namun, tak ada masalah, Liana, seorang gadis yang pengertian, dia selalu mendukung karirku. Aku salut sama dia!
Satu lagi, kehidupan ku juga semakin berwarna.
Aku katakan, berwarna! Tahu kan maksudnya? Hahahahah.