Bintang enggan bersinar. Bulan tertutup gumpalan awan. Seolah mengetahui jerit hatinya yang merana. Ilham memandang langit, seolah mencari di manakah letak cinta sejati itu. Jiwa mudanya mulai terpikat akan cinta ketika dirinya masih sekolah Menengah Pertama dulu. Sekali jatuh cinta dan tersakiti di waktu yang bersamaan. Sampai detik ini, bahkan rasa cinta dan sakit itu masih ada. Seandainya ia bisa merubah takdir. Kenapa ia harus jatuh cinta pada gadis yang juga dicintai kakaknya?
Pepohonan bergoyang tertiup angin, menimbulkan bunyi gemerisik. Beberapa helai daun terbang jauh dan …
“Ham, ngapain lo?”
Pemuda itu menolehkan kepalanya sebentar. Dia mendongak, menatap Reza, kakaknya itu sudah berdiri di depannya.
“Nggak apa - apa, Kak,” jawabnya berdusta.
Ilham menggelengkan kepala. Ia tahu ada yang disembunyikan adiknya ini. Bagaimana pun, Ilham adalah adik kandungnya sendiri, bagaimana mungkin ia tak mengetahui kegundahan hatinya. Saudara itu ikatannya kuat, bukan? Lagipula Ilham selama ini tak pandai berdusta.
“Mau curhat?”
“Enggak Kak, gue nggak ada masalah kok.” Mata Ilham seolah berbinar menatap wajah Kakaknya. Menyembunyikan kedukaan yang sangat. Ia tak ingin kakaknya sedih dan hubungan persaudaraan ini pecah hanya karena satu gadis.
“Yaudah, gue enggak maksa loe buat cerita. kalau butuh cerita, kamar gue selalu terbuka buat loe.” Ilham berlalu meninggalkan kamar Ilham.
Sepeninggal kakaknya, Ilham memilih untuk mengambil buku - bukunya, lalu membaca ulang materi pelajaran tadi pagi. Ada juga beberapa tugas yang harus ia kerjakan. Berkutat dengan beberapa buku dan kitab tebal sejenak telah membuatnya melupakan kegundahan hatinya.
***
Kicau burung bersahutan. Bunga di taman mulai bermekaran. Embun masih menggantung pada dedaunan membentuk mutiara. Suasana pagi yang damai. Shayana telah sampai di sekolah sejak pukul lima, pagi tadi. Setelah menaruh sebuket bunga di makam yang tak jauh dari gedung sekolahnya, ia baru berangkat. Senyum gadis itu merekah bagai mawar. Indah dan sedap di pandang mata. Shayana berjalan melewati setiap koridor sekolah menuju ruang kelasnya.
Bugh!
“Aaargh!!”
“Sorry, gue…” pemuda itu tak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap wajah gadis di depannya yang terduduk. Gadis yang tanpa sadar, telah mengisi relung hatinya. Sungguh, hatinya saat ini tengah berbunga.
“Gue nggak apa - apa kok.” Shayana membereskan buku - bukunya yang berserak di lantai. Buru-buru ia bangkit lalu masuk ke ruang kelasnya.
“Gue semakin penasaran sama lo, Shayana.” gumam Ilham. Pemuda itu melanjutkan langkah memasuki ruang kelasnya.
Sementara itu, Shayana masih duduk merenung menatap pemandangan hijau di luar kaca jendela. Hijau rumput lapangan cricket. Ia berharap suatu saat seseorang akan mengajaknya juga ke tempat itu. Agar mereka tahu, dirinya mampu dan bisa menjadi gadis normal.
“Shayana, tadi loe ketemu Ilham?” tanya Anisa. Ia baru datang, dan mengambil tempat di samping Shayana.
Sejurus mata Anita memicing, telinganya mencuri dengar pembicaraan mereka. Hatinya bergemuruh, seolah sesuatu runtuh dari balik dadanya.
“Dia nggak sengaja nabrak gue, Nis,” lirih Shayana.
Anisa tersenyum. Ekor matanya mampu melihat seseorang tengah mengawasi pembicaraannya. Dia berdiri menghampiri Anita di balik pintu kelas. “Ada yang nguping nih, hobby banget sih lo nguping pembicaraan orang!" Anisa berucap tegas.
“Siapa juga yang nguping, pembicaraan enggak penting.” Anita memasuki kelas berpura - pura bersikap biasa saja.
Anisa memandang tak peduli. Berucap apapun tentu tak akan berpengaruh baginya. Toh, ia tahu benar siapa itu Anita. Ia duduk kembali di kursinya.
***
Angin bertiup kencang. Menerbangkan helai demi helai daun yang mulai mengering. Terbang tinggi jauh dari pohonnya yang mulai rapuh. Di antara padang ilalang dan pohon rindang, seorang pemuda duduk bersandarkan pagar kayu. Tangannya menari-nari di atas kertas putih dengan begitu lihainya. Ia sibuk menggambar pada robekan kertas putih, sisa kertas hvs di kantornya.
“Aaargh!!”
Sebuah suara mengejutkannya. Pensil yang ia gunakan menggambar itu patah. Ia tak peduli. Matanya memicing mencari sumber suara. Bisma bangkit dari duduknya. Tas dan kertasnya dibiarkannya tergeletak begitu saja. Ia mencari sumber suara yang mengejutkannya itu.
Langkahnya terhenti di depan sebuah danau. Seorang gadis duduk memeluk lutut. Rambutnya tergerai liar dipermainkan angin. Pakaiannya compang - camping, dengan banyak sobekan dimana - mana. Bisma merasa iba melihatnya. Hatinya tergerak untuk mendekati gadis itu.
“Kamu siapa?” tanya Bisma hati - hati.
Gadis itu bergeming. Ia memandang danau pada satu titik, kosong. Ia tetap tak bergerak bagai patung. Bisma tak kehilangan akal, ia mencoba bertanya lagi.
“Aku Bisma, kamu …”
“Pergi!! Pergi dari sini!” teriak gadis itu histeris.
Bisma menghindar. Sedikit menjauh dari gadis itu, sorot matanya tajam.
“Aku bukan orang jahat, namaku Bisma.”
Gadis itu menatap Bisma datar. Ia mulai sedikit tenang. Dia tetap menekuk lutut. Bibirnya bergerak - gerak. “Dia orang jahat, telah merenggut semuanya dariku. Aku enggak tahu harus kemana.” Gadis itu meracau. Bisma diam saja, membiarkan gadis itu bercerita tentang apa yang terjadi padanya. Sejurus kemudian, gadis itu kembali terdiam.
“Nama kamu siapa?” tanya Bisma kemudian.
“Namaku Ivon.”
Hah?
Bisma mengucek mata berulang kali. Berulang kali pula ia memperjelas pendengarannya. Apa ia tak salah lihat dan dengar? Gadis di hadapannya itu adalah seorang model dari agensi yang cukup terkenal. Tetapi kenapa bisa …
“Kamu ada masalah dengan …” Suara Bisma memelan. Ia tak jadi melanjutkan pertanyaannya. Bukan tak ingin tahu, hanya saja tidak baik bertanya apa pun pada seseorang yang baru dikenalnya.
***
Shayana menyandarkan tubuh pada dinding kamar dan memejamkan matanya. Ia sengaja melakukan itu untuk membuang perasaan resah yang memenuhi benaknya. Entahlah, selama beberapa hari terakhir ini seringkali ia memikirkan hal - hal aneh. Sejak pertemuannya dengan Ilham, pemuda itu telah diam - diam masuk ke alam bawah sadarnya. Mungkinkah ini cinta, atau hanya perasaan kagum.
Ck! Kadang orang merasa sulit membedakan antara cinta atau hanya sebatas rasa kagum semata. Shayana tak ingin pikirannya berkelanjutan. Kelopak matanya terbuka perlahan - lahan.
Merasa semangatnya telah kembali. Shayana bangkit dan keluar dari kamar. Ia baru teringat akan janjinya pada Ilham. Pemuda itu tentu sudah menunggunya di taman kota saat ini.
***
Taman indah dengan aneka warna bunga itu menebarkan keindahan. Bunyi air mancur yang di pasang di area dekat danau buatan terdengar bergemirisik bagai alunan music yang indah. Seorang pemuda berdiri tegak menghadap danau, tangannya memegang sebuah kotak kecil.
“Hei.” tepukan kecil di pundaknya membuat pemuda itu menoleh.
“Eeh, hai. ” Ilham terlihat gugup.
Shayana tersenyum. Ia lalu mengajak Ilham mencari tempat yang enak untuk duduk. Tak sekejap pun, Ilham melewatkan untuk menatap wajah gadis impiannya ini. Wajahnya nampak lebih berseri dari biasanya.
“Sorry ya kalau lama,” kata Shayana ber basa-basi. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku kecil dan menaruhnya di atas rumput.
“Enggak kok, aku juga baru dateng.”
Eh?
Mata Shayana memicing. Tangannya bergerak menyentuh kening Ilham. Mata keduanya beradu. Jiwa muda Ilham mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Baru kali ini, dirinya merasa begitu dekat dengan orang yang begitu Ia cintai.
“Tidak panas, kok.” ujar Shayana, menurunkan tangannya. “ Akan tetapi, kenapa tadi lo manggilnya pakek Aku dan kamu, sejak kapan?”
Hening.
Ilham memikirkan cara untuk bisa bicara dengan tepat. Bagaimana mungkin? Ia justru tak memiliki keberanian itu.
“Hallo! Lo masih disini, 'kan?”
“Dari tadi juga disini, emang kemana?” sahut Ilham.
Ck!
Kenapa dia tak mengerti juga kalau ia dilanda gugup. Ilham menghembuskan nafas.
“So, kita ngapain kesini?”
“Gue … ada yang harus gue bicarain sama loe, Shayana.”
“Apa? Emang dari tadi kita nggak ngomong.”
Skakmat! Ucapan Shayana membuat Ilham mati kutu, apa gadis itu telah mengetahui isi hatinya, sehingga secepat kilat memagari taman di hatinya agar tak di buka siapapun juga. Ini salahnya terlalu terburu – buru mengambil keputusan.
Ilham menatap hamparan rumput gading yang hijau bagai permadani. Ia tak lagi berani mengangkat kepalanya, malu. Tetapi para pemuda memang biasanya terlalu terburu nafsu tanpa pikir panjang akibatnya.
“Gue suka sama lo dan berharap lo mau menikah sama gue, Shayana.” kata Ilham hampir tanpa bernapas.
“Apa?” mata Shayana membola. Ia memperjelas pendengarannya, barang kali telinganya yang salah dengar. Mungkin saja itu bukan yang ia dengar tadi.
“Lo tadi ngomong apaan?” tanya Shayana.
“Gue cinta sama loe, Shayana!! Gue jatuh cinta sama loe sejak awal kita ketemu!! Gue suka sama loe, puas?!” Ilham berucap lantang.
Brugh
Shayana terjatuh tak sadarkan diri.
***
“Bapak membawa gadis lagi, siapa dia?”
Bisma tersenyum gamang. Ia tak menyangka asisten pribadinya itu akan menanyakan hal yang mungkin baginya tak terlalu penting. Sejak kapan seorang bos menanyakan dulu pada karyawannya tentang apa yang harus dilakukan. Apa mungkin Shavana telah menaruh hati kepadanya?
“Saya bertanya, kenapa Bapak tak juga mau menjawab.” Gadis itu berujar cukup tegas. Dan hal itu membuat Bisma menarik ujung bibirnya, tersenyum.
“Dia butuh bantuan, Va.” jawab Bisma. Ia menduduki kursinya lalu menata berkas – berkas yang harus ia perbaiki letak kesalahannya.
Shavana mendesah. Ia terlalu peduli pada bos yang telah memberinya gaji besar itu, hingga tak sadar telah mempertanyakan hal yang tak sepatutnya ditanyakan. Ia hanya terlalu khawatir, bukan berarti cinta.
“Saya harus kembali ke ruangan. Jika bapak membutuhkan sesuatu, panggil saja saya. Jadwal meating sudah saya siapkan di lemari.” Shavana bangkit dari duduknya dan melangkah keluar dari ruangan Bisma.
“Apa ini saatnya untuk mengajak ribut? Camoon girl! Dia itu seorang cewek, dan kamu tega membiarkannya ....”
Shavana menghentikan langkah, menoleh menatap Bisma. “ Ini bukan waktunya untuk ribut, Pak Bisma. Masih banyak tugas yang harus saya selesaikan, permisi!” Gadis itu melanjutkan kembali langkahnya.
Bisma tersenyum. Tanpa di ucapkan, cinta tahu kemana dia akan dituju. Kenapa harus ada kata jika hati bisa mengatakan segalanya. Bawahan dan bos takkan mampu merubah rasa cinta itu sendiri. Cinta tak pandang bulu, tak pandang martabat dan derajat. Jika cinta telah menyapa maka kehidupan dunia takkan berarti apapun.
Shavana terdiam di ruangannya. Ia heran dengan apa yang dilakukan bosnya. Sejak kapan pria itu mulai menggoda dirinya. Oh ia ingat, sejak awal pertemuan memang dia seringkali mengganggunya bukan. Lalu apa yang berbeda?
“Masa bodoh, aku harus selesaikan semua ini.” Shavana membuang nafas. Menghilangkan kecamuk dalam benaknya, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tak menyadari seseorang sedang memperhatikannya dari balik pintu ruangannya.
***
Keindahan dan pesona lapangan hijau di belakang gedung sekolah memang tak tak perlu diragukan lagi. Pohon ditanam bergerombol di pojok lapangan, berjejer dengan lemari untuk menyimpan bola dan stik cricket. Shayana tersenyum sumringah, untuk pertama kalinya pada akhirnya kakinya berhasil menginjak rumput di lapangan ini.
“Shayana, kok loe di sini? Duuh, kakak lo khawatir tahu nggak!” cerocos Ilham. Ia memperhatikan sekilas wajah Shayana yang nampak pucat, namun tertutup senyuman palsu yang menutupi kerapuhannya.
“Gue males di rumah terus, pengen main kesini,” jawab Shayana enteng. Gadis itu memandang lemari yang berisi bola cricket dan stiknya.
“Terus, kalau kakak lo nyariin gimana?”
“Lo enggak mau main?” tanya Shayana tak mengindahkan pertanyaan Ilham.
Ilham menggelengkan kepalanya, diteguknya sebotol air mineral ditangannya. “ Gue kesini tadinya cuma mau ngambil buku yang ketinggalan, malah ketemu lo disini.”
Shayana melotot. Ia begidik.” Siapa juga yang nyuruh lo ketemu gue! Kalau enggak mau ketemu sama gue, pergi aja sono!” sambar Shayana kesal.
“Eh? Aduh neng, jangan marah-marah lah, jelek kalau marah, cepet reot entar,” goda Ilham.
Shayana mendengus. Ia memukulkan tinjunya pada paha Ilham pelan. Angin sore berembus pelan membawa kedamaian. Keduanya semakin terhanyut dalam pembicaraan serius layaknya sepasang kekasih.
Tak jauh dari tempat keduanya, seseorang berdiri dibalik pohon. Tangannya mengepal, matanya menahan amarah. Sejurus kemudian pemuda itu berlalu meninggalkan lapangan criket.
“Tadi lo kesini sama siapa?” tanya Shayana.
“Sama kak Reza, mungkin dia udah balik. Oh iya, gimana kabar kak Shavana?” Ilham nampak mengalihkan pembicaraan.
“Kak Vana akan kesini satu atau dua bulan lagi.”
“Kok lo bisa tahu?”
“Dia yang bilang.”
Ilham manggut – manggut, keduanya lalu berjalan bersama meninggalkan lapangan criket.
BERSAMBUNG