Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan dengan matang. Ia tersenyum menatap hasil kerjanya yang telah rampung itu. Sebuah kejutan untuk adik kesayangannya yang mungkin tidak akan diterimanya. Namun ia yakin, suatu saat adiknya itu pasti akan menyadari betapa besar rasa sayang yang ia berikan untuknya.
Morgan menaruh sebuket bunga di atas meja, tangannya bergerak mengambil ponsel dari dalam saku celanana. Ia mengetikkan sesuatu sebelum akhirnya meninggalkan meja kave tersebut.
Beberapa menit berlalu, seseorang memasuki kave dan mengambil tempat di dekat jendela. Seorang pemuda, tersenyum meraih sebuket bunga lyly yang tertata rapi di atas meja lengkap dengan lilin dan sebuah kertas.
“Ilham, kenapa .…”
Pemuda itu menolehkan kepalanya. Sejenak ia memperhatikan Shayana dari atas hingga ke bawah. Pemuda itu nampak terpesona dengan kecantikan gadis di hadapannya. Shayana begitu cantik dengan gaun merah menyala, anggun dan mempesona.
“Tumben ngajakin ketemu di tempat seperti ini, ngapain?” tanya Shayana. Ia duduk di kursinya tanpa di minta.
Ilham tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik saku jas. Tak ingin banyak berpikir panjang, pemuda itu lalu mengeluarkan sebuah benda dari sana. Benda yang sama, yang telah ia simpan berbulan lamanya.
“Aku serius cinta sama kamu, Shayana. Maukah kamu menikah denganku?”
Shayana tercekat. Ia bergeming. Semua yang berada di kafe itu menatapnya. Ia dilanda gugup. Bukan ini yang ia harapkan, tetapi sesuatu yang lain.
“Gue ….” Shayana mendesah panjang. “Gue mau.”
Eh?
Ilham berpikir ulang. Shayana bahkan tak melanjutkan kalimatnya. Ia dibuat penasaran dengan jawaban Shayana yang menggantung. Ingin bertanya, ia enggan.
“Iya, gue mau kita tunangan dulu, Ham.”
Kalimat terakhir yang diucapkan Shayana membuat hati Ilham lega. Setidaknya ada titik terang dari pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.
***
Shavana tersenyum menatap layar ponselnya. Hatinya ikut bahagia setelah mendapat kabar dari kakaknya di Bandung. Bahwa Shayana, adiknya itu telah bertunangan dan bahkan mulai menampakkan sebuah harapan untuk hidup. Ia bersyukur pada akhirnya sesuatu yang ia nantikan itu terjadi juga.
“Non, ada tamu.”
Shayana buru-buru bangkit. Ditaruhnya ponsel di atas nakas. Kemudian ia melangkah keluar kamar. Gadis itu menghentikan langkahnya, menatap sosok pemuda yang duduk di sofa ruang tamu.
"Reza?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, untuk apa? Shavana bangkit dari ranjangnya, kemudian melangkah keluar kamar.
“Teteh nggak berubah ya, tetep cantik dari dulu,” kata Reza ber basa-basi.
Shavana menatap Reza tanpa suara. Ia masih diliputi kebingungan karena kedatangan sahabat baik kakaknya itu. Untuk apa Reza datang ke sini? Memberinya selamat itu tidak mungkin.
“Mau minum apa, Za?” tawar Shavana.
“Aku ke sini cuma mampir, teh. Tidak perlu repot-repot,” tolak Reza.
Kening Shavana semakin mengernyit. Tak seperti biasanya pemuda ini bersikap semanis ini. Ia bahkan menolak halus tawarannya. Ada apa?
“Saya enggak minta teteh untuk membatalkan pertunangan Shayana dan Ilham, tetapi saya hanya ingin teteh tahu. Kalau saya juga mencintai adik teteh, Shayana.”
Shavana sontak berdiri.
“Apa sih maksud kamu, aku enggak ngerti.”
“Teh, saya cuma mengungkapkan isi hati, udah itu aja." Reza berdiri, meraih pundak Shavana dan mendudukkannya kembali di kursinya. “ Saya mengikhlaskan Ilham menikahi Shayana, saya datang ke sini hanya untuk itu saja.”
Shavana bergeming. Sorot matanya yang teduh menangkap wajah Reza yang diliputi kesedihan. Ia tahu sekarang, ada cinta segitiga yang mewarnai hari dan kehidupan Shayana. Akan tetapi, apakah tetap seperti ini, jika saja mereka tahu siapa gadis yang mereka perebutkan. Dia hanyalah gadis malang yang menunggu takdir menjemput jiwanya.
“Saya permisi, teh. Masih ada urusan di Jakarta yang harus di selesaikan, ada pemotretan juga.” Reza meraih tas selempangnya kemudian bangkit. Tanpa salam pemuda itu lalu melangkah meninggalkan ruang tamu kediaman Shavana.
Shavana masih diam terpaku di kursinya. Mata menatap bayangan wajahnya dari akuarium. Pikirannya tertuju pada Shayana, adiknya itu. Bagaimana keadannya sekarang? Sudahkah ia mulai sembuh. Sungguh ia begitu merindukannya. Shavana menarik diri, meninggalkan ruang tamu. Ia masuk ke dapur mengambil segelas air dan membawanya ke kamar.
“Non, mau dibuatin bubur atau makanan lain?” tanya Lastri.
Shavana menoleh. “Ah, kamu Las. Sejak kapan sih, kamu manggil aku dengan sebutan itu, aku lebih nyaman kalau kamu manggil aku dengan sebutan Mbak,” protes Shavana.
“Eh, iya. Mau dibuatin makanan apa, Mbak?”
“Enggak usah, aku nggak laper, Las.” Shavana memasuki kamarnya.
Lastri geleng-geleng melihat juragannya itu. Ada yang aneh, mungkin bukan urusannya menanyakan hal yang tidak penting untuk ia ketahui.
***
Beberapa bulan kemudian…
Prang!
Bingkai yang terpajang di dinding kamar Shavana terjatuh tengah malam itu. Bingkai photo Shayana, adiknya yang sejak kepindahannya ke Jakarta, dipajang di kamarnya. Shavana memunguti pecahan kaca. Bingkainya rusak, ia harus memesannya lagi yang baru. Akan tetapi, itu tidaklah penting. Yang menjadi beban pikirannya saat ini hanyalah, kenapa bingkai photo itu bisa terjatuh? Padahal tidak ada angin.
Mungkinkah ini suatu firasat? Beberapa hari lalu, ia juga dikejutkan oleh erang kucing. Burung gagak yang hinggap dipohon. Orang dulu mengatakan itu sebuah pertanda tak baik. Tapi, Shavana berusaha menepis semua itu. Lalu, kabar apakah yang akan sampai ke telinganya?
Pertanyaan tanpa jawab itu masih menari di alam pikirannya. Hingga akhirnya ia merasakan angin berkesiur di luar rumah, memaksanya menutup pintu depan. Malam merambat perlahan tanpa sinar rembulan. Tiba- tiba bunyi telephon berdering mengejutkannya.
“Hallo.”
“Hallo, ini Abang Morgan. Aku telephon dari Bandung,” jawab suara di sebrang sana.
“Iya, kenapa bang?”
Hening. Isak tangis kakaknya yang terdengar cukup keras membuat jantung Shavana berdesir. Ia tak ingin memikirkan sesuatu yang buruk. Akan tetapi ...
“Va, Shayana meninggal.”
Shavana tak bisa lagi berkata apa pun. Ia tak melanjutkan percakapannya dalam telephon, tubuhnya gemetar. Ia seolah tak kuasa menahan beban berat tubuhnya lagi. Adiknya yang tinggal jauh darinya itu telah tiada. Padahal sebulan yang lalu, ia terlihat sudah sehat dan bahkan bisa tersenyum saat bertatap muka dengannya melalui Video Call w******p. Kenapa begitu mendadak kabar ini Ia dengar.
“Aku harus pulang,” gumamnya. setelah memberi kabar tadi, Morgan langsung menutup telephonnya. Shavana bergegas membereskan beberapa pakaiannya juga kaos bergambar Monas yang diinginkan adiknya. Setelah siap. Ia mengirim pesan untuk bosnya, Bisma.
***
Taksi biru itu meluncur meninggalkan pelataran apartement megah yang ditinggali Shavana. Entahlah, pikirannya semakin kacau sejak mendapati kabar kematian adiknya. Alasan dibalik kematiannya itu tentu karena sakit yang telah lama diidapnya, tetapi kenapa hatinya gelisah.
“Ke Bandung mau liburan, Bu?” Pertanyaan sopir taksi itu memecah hening. Sekilas dia mencuri pandang wajah Shavana. Jika ditaksir usianya sekitar tiga puluh atau kurang. Bau parfumnya harum, mungkin terbilang mahal.
“Tidak, saya tinggal di Bandung dekat kawah putih. Sudah sering ke Bandung?”
“Waah ... tak terhitung, bu . Kerap malah. Biasanya saya mengantar turis asing.”
Hening. Sopir itu terdiam begitu melihat Shavana menerima telephon. Ia tak ingin mengganggu.
“Iya Bang, kenapa?” Shavana memalingkan wajah keluar jendela.
“Abang? Kamu pikir ini siapa?” Suara berat nan serak itu terdengar begitu keras. Shavana menatap layar ponselnya, tertera nama Bisma Ryan Karisma di sana. “Maaf, Pak.”
“Kamu ijin ke siapa? Berkas yang kemarin di mana, saya ada meating penting 'kan, hari ini? Apa kamu lupa, seharusnya semuanya kamu bereskan sebelum pergi.” Suara Bisma di sebrang sana nampak kesal. Mungkin ada baiknya ia belajar melakukan semua pekerjaannya sendiri setelah ini.
Shavana tersenyum. “Ada di Alya, pak. Saya sudah menitipkan dokumen dan berkas penting padanya. Tadi pagi sebelum berangkat, saya sudah ijin juga padanya.”
“Iya baiklah, bagus kalau begitu, lalu kamu ijin cuty ada apa? Kenapa mendadak sekali?”
“Adik saya meninggal tadi malam, saya meminta izin beberapa hari.”
Sudah tak ada jawaban. Telephon ditutup sepihak setelah Bisma mengatakan bahwa dia akan menyusul ke Bandung nanti. Pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini harus diselesaikan sekarang juga, agar tidak keteteran nantinya.
Shavana menatap keluar jendela. Gedung yang tinggi berganti dengan sekelebat pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Pemandangan berganti dengan lukisan alam yang alami. Terbayang kembali dalam ingatannya, bagaimana dulu Shayana, Morgan dan dirinya sering pergi ke Kawah putih sekadar untuk mengisi liburan.
Dari ketiga saudaranya, Shavana yang terlihat paling menonjol. Dia selalu aktif berbicara dengan turis asing yang datang ke tempat wisata. Lumayan, sambil belajar bahasa Inggris. Bukan hanya itu, bahkan suatu hari ada turis yang datang ke rumahnya untuk melamar dirinya, jika mengingat itu, ia ingin tertawa.
BERSAMBUNG
Makin seru loh. Part berikutnya setelah kematian Shayana, akan banyak misteri yang harus di ungkap Shavana dan yang lain.