Taksi terus meluncur memunggungi matahari, pemandangan masih sama. Hijau sawah yang berjejer rapi mendamaikan hati yang gelisah. Bandung masih sama seperti dulu, indah dan asri. Beberapa toko mulai buka. Penjual barang khas Bandung juga mulai menjajakan dagangannya. Beberapa turis asing masih berseliweran di jalanan. Mungkin Bandung bukan satu-satunya kota yang menyimpan banyak kebudayaan. Namun, tetap saja kota ini mampu menarik pengunjung dari kota maupun negara lain.
Taksi berbelok arah sesuai arahan penumpangnya. Di kanan jalan, terdapat banner besar bertuliskan duka cita juga bendera kuning berkibar di setiap rumah. Vana tahu, ada kematian. Iya, kematian adiknya.
Setelah membayar tarif taksi, Shavana keluar. Dengan tergopoh - gopoh Morgan menyambut kedatangan Shavana. Air matanya diusapnya kasar, dia memeluk adiknya lalu menuntunnya masuk ke rumah.
“Kemarin dia baik - baik saja, siangnya mendadak demam dan mengeluhkan sakit di kepalanya. Dia pengen makan bubur. Baru habis tiga sendok suapan, sudah bilang kenyang. Malamnya dia pergi untuk selamanya,” tutur Morgan di samping jenazah Shayana.
Shavana tak dapat lagi menahan tangisnya, ia teringat kaos yang diminta adiknya. Dikeluarkannya, kemudian ditaruhnya diatas d**a Shayana. Adiknya meninggal di hari yang baik, Jumat Kliwon, kata orang dulu itu hari baik.
Beberapa orang nampak berdecak kagum pada sosok Shavana. Gadis berusia 24 tahun itu memang masih muda, namun terlihat sudah cukup dewasa. Sebelum pergi ke Jakarta, Vana tak lebih dari seorang anak SMA yang kemudian merantau untuk mencari ilmu lebih tinggi lagi.
Kini wajahnya terlihat lebih cantik dengan polesan make up sederhana, mungkin sekarang sudah mampu membiayai perawatan wajah dan tubuhnya sendiri. Tubuhnya tinggi semampai dan ramping. Rambutnya hitam panjang. Terlihat cantik natural.
“Neng Vana, ada bosnya,” bisik Tinuk. Pembantu di rumahnya ini. Ia duduk berjongkok di samping Shavana.
Bisma telah sampai. Semua orang menatapnya heran. Bos muda itu terlihat rapi dengan setelan jas hitam dan kaca mata yang bertengger di hidungnya. Pasti semua orang berpikir dia pacar atau calon suami Shavana. Lagi pula untuk apa seorang bos mau berepot - repot melayat jika tidak ada hubungan apa pun.
Setelah menyalami beberapa tamu, Bisma kemudian duduk bersama Shavana. Ikut mendoakan sebisanya.
“Kok sudah ke sini, apa semuanya sudah selesai?” tanya Shavana. Bisma mengangguk.
“Tadi ketemu client lalu meating sebentar, kemudian pulang.”
Setelah berdoa, Bisma bangkit, duduk berhambur bersama tamu yang lain. Mungkin dia lupa atau mungkin tidak tahu bahwa orang tua Shavana tidak ada disini.
“Akan dimakamkan jam berapa?” tanya salah satu pelayat.
Teman disampingnya melihat jam. "Jam satu siang, mungkin sebentar lagi.”
***
Semakin mendekati jenazah diberangkatkan, tamu - tamu pelayat semakin banyak yang datang. Mereka tahu, sekitar satu jam lagi jenazah akan diberangkatkan. Persiapan di rumah itu pun sudah selesai. Shavana menyaksikan semua itu dengan haru. Ia tak pernah menyangka kalau adiknya begitu disayangi banyak orang.
Beberapa Mahasiswa teman Morgan juga siswa sekolah, sahabat Shayana juga datang. Karangan bunga dari berbagai kalangan terus berdatangan. Dari rektor, pejabat pemerintah daerah yang mengenal keluarga Winata, juga dari sahabat Shayana sendiri.
Suasana berkabung semakin terasa. Membuat rumah berhalaman luas itu seakan tak mampu lagi memuat para tamu yang melayat.
Langit nampak seperti mendung di Bandung. Tak ada tanda akan turunnya hujan. Mungkin ini sebuah pertanda seorang yang ber budi pekerti luhur dan mulia telah berpulang ke Haribaan Illahi.
Angin pun enggan bertiup.
Daun - daun enggan bergoyang
Gagak yang terbang pun rela bertengger di dahan.
Seakan turut merasakan berkabung.
Seseorang memasuki rumah membela tamu yang sebagian duduk di kursi dan sebagian lagi berdiri bergerombol. Ia membawa karangan bunga. Seseorang menyambut karangan bunga yang dibawa lelaki itu. “Ini dari Pak Bupati," kata lelaki itu kemudian.
“Sampaikan terimakasih kami pada beliau.”
Karangan bunga itu kemudian diletakkan di tempat yang strategis bersama karangan bunga lainnya. Jam masih menunjukkan pukul 12.30. Masih lama menunggu jenazah diberangkatkan.
Tak lama kemudian sebuah taksi berhenti. Orang - orang bertanya, siapa yang datang? Seorang pria keluar dari dalam taksi itu. Lalu melepas kaca mata hitamnya.
“Ooh itu Ilham, mantan tunangannya Shayana," ucap salah seorang. Sedikit terkejut. Ada yang bertanya, kenapa dia ke sini, padahal pertunangannya waktu itu dibatalkan. Apa dia masih peduli, atau hanya pencitraan? Lalu dengan tergopoh - gopoh, seseorang menyambut Ilham. Dia Anjar, teman sekolah Shayana yang masih family keluarga Winata, lalu mengajaknya masuk.
Ia juga ingin segera memberi tahu pada orang yang berada di dalam rumah bahwa mantan tunangan Shayana itu datang. Beberapa orang melihat pemuda bertubuh gempal itu, kemudian menyalami. Anjar lalu kembali kepada tamu yang lain. Memberi isyarat.
“Terimakasih sudah mau datang ke sini,” sambut Shavana.
“Sama - sama Teh, walau pertunangan kami dibatalkan karena sesuatu hal, saya tetap menganggap keluarga ini adalah bagian dari hidup saya.”
Shavana tersenyum hangat. Dia lalu menemani Ilham melihat jenazah Shayana yang dibaringkan. Ilham bersimpuh dan berdoa sepenuhnya di depan jenazah Shayana.
“Maafkan aku, Ana, kepergianmu yang mendadak, membuat kami semua berduka. Semoga kamu di tempatkan bersama orang - orang yang beriman. Maaf jika ada kata - kataku yang membuatmu sakit hati,” kata Ilham. Mereka yang mendengar penuturannya turut merasakan kehilangan.
Setelah Ilham datang, panitia pemakaman lantas menanyakan apakah masih ada keluarga jauh yang ditunggu.”Mungkin dari luar kota?” tanyanya. Shavana menjawab tidak ada. Karena memang hanya dialah satu - satunya putri keluarga Winata yang tinggal jauh di luar kota.
Shavana berpikir praktis saja, adiknya sudah sejak semalam dibaringkan. Kasihan jika berlama - lama tidak segera dimakamkan. Akan sangat baik jika lebih dipercepat saja proses pemakamannya. Sebab, persoalannya bisa cepat selesai. Setelah membicarakannya dengan Morgan, Vana setuju.
Kentongan lalu dipukul, pertanda kalau jenazah akan segera diberangkatkan. Pukul tiga belas tepat. Payung hitam bertangkai panjang disiapkan. Jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti berhias roncean melati. Peti jenazah dibungkus kain satin putih. Bau wangi bunga melati dan minyak menyerbak dalam ruangan.
Sebentar lagi peti jenazah akan ditutup dan dikencangkan dengan paku berukir. Shavana masih berada tak jauh dari peti itu. Ia teringat kaos bergambar Monas. Shavana menatap Bisma yang menatap peti yang terbuka.
Pukul satu lebih lima menit jenazah diberangkatkan. Tiba - tiba Shavana mengambil kaos Monas dan menyerahkannya pada Mang Jamil.
“Mang Jamil, sebelum petinya ditutup, tolong kaos ini diletakkan di d**a Shayana,” pintanya pada mang Jamil. ”Biarkan kaos ini dikuburkan dan menemani perjalanan Shayana menghadap Tuhan.” Shavana menyerahkan kaos itu, baru sesudah itu peti ditutup.
Bisma masih berdiri di sana, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Baginya, ini merupakan pengalaman pertama. Menyaksikan upacara pemakaman secara islam. Selama ini dirinya tinggal di Korea untuk mengurus bisnis. Ryan Group juga terbagi dalam berbagai cabang disana, yang salah satunya saat ini dipegang Rangga, kakaknya.
Jenazah akan dibawa menuju makam, yang terletak sekitar lima meter. Makam itu berada ditepi sungai yang mengalir tenang. Tempatnya sedikit menanjak. Dit empat itu juga kedua orang tua dan sanak keluarga Shavana dikebumikan. Di makam keluarga.
“Pelan - pelan, angkat bersama - sama,” perintah mang Jamil pada beberapa orang yang siap mengangkat peti itu.
“Allahu akbar .…”
Langit masih nampak mendung. Pelan - pelan jenazah di usung dan dibawa ke arah selatan setelah upacara pemberangkatan jenazah selesai dilakukan. Peti jenazah itu nampak mulai menjauh dari rumah duka. Pelayat mengikuti di belakangnya, melantunkan takbir dan dzikir panjang. perjalanan menuju selatan di pimpin oleh mang Jamil, yang merupakan tetua atau sesepuh kampung.
***
Usai pemakaman, hari sudah hampir sore. Sebagian orang kembali ke rumah duka, sebagian lagi pulang ke rumah masing - masing. Shavana dan Morgan merasakan seolah ada sesuatu yang hilang ketika sampai di rumah. Di rumahnya, beberapa pemuda begitu cekatan membereskan kursi - kursi kosong. Asap masih mengepul dari arah dapur.
Shavana duduk bersama keluarga dan tamu - tamu yang belum pulang. Tamu yang datang, sebagian besar masih sanak familinya. Bisma duduk bersama beberapa tamu yang datang. Mengajaknya mengobrol layaknya sang pemilik rumah.
Shavana begitu merasa kehilangan adiknya ini. Biasanya jika pulang ke Bandung, dia pasti langsung menemui Shayana, bercerita panjang lebar mengenai pekerjaannya hingga larut malam. Jika dia pulang lagi kesini, ia akan menjumpai kamar Shayana yang kosong. Sama dengan kamar kedua orang tuanya.
Morgan mengeluarkan minuman untuk tamu yang yang belum pulang. Masih ada yang belum bertemu Shavana. Mereka lalu menyalaminya. Kemudian bergabung duduk bersama mereka. Ada yang sibuk mengobrol sendiri di pojok ruangan. Bagi Shavana, setelah ia meletakkan tubuhnya dengan santai, baru semuanya menjadi semakin jelas. Mereka bisa bercakap - cakap dengan lebih leluasa.
“Reza tadi sempat telephon, dia kebetulan sedang berada di Yogyakarta. Dia terkejut mendengar kabar Shayana meninggal. Ini kabar yang mendadak baginya. Sayangnya dia hanya nitip salam,” kata Morgan.
“Oh, jadi sekarang dia di Yogya?”
“Iya. Lagi sibuk pemotretan.”
“Lalu, dimana Ilham. Apa dia sudah pulang bang?” tanya Shavana. Benar saja, sejak tadi dia tak menemukan Ilham.
“Dia tadi pingsan saat perjalanan menuju makam, mungkin tidak kuat menahan kesedihannya,” jelas Morgan.
Dia mendapat kabar itu dari beberapa pelayat, memang rombongan sempat terpotong karena Ilham yang tiba - tiba saja ambruk, kemudian di bopong pulang ke rumahnya.
Reza Abdi Nugroho, adalah Mahasiswa semester dua, sahabat Morgan yang ternyata menyukai Shayana. Namun, dia harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui bahwa adiknya yang disukai Shayana. Karena itulah, dia memilih pergi ke beberapa kota untuk menghilangkan kesedihannya. Terakhir kali bertemu ketika di Jakarta saat Shavana masih disana. Itu pun dalam keadaan marah.
Shavana juga mendapat kabar dari Sanusi, teman dekat Reza bahwa dia akan menikah secepatnya. Gadis Bali, si beruntung itu. Mungkin mantan modelnya.
Sebuah mobil berwarna merah memasuki halaman rumah. Kiranya siapa lagi yang datang kali ini?
“Pak Danu. Ya Allah, itu Pak Danu dan istrinya, Bang,” ucap Shavana.
“Kami turut berduka cita.” kata pak Danu sambil menyalami Morgan, istrinya juga ikut menyalami. “Istri saya dik Vana,” katanya memperkenalkan istrinya.
Bisma ikut menyalami. Berdiri menyambut mantan Walikota Bandung itu. Setidaknya itu yang bisa Ia lakukan.
“Saya tadi kebetulan sedang ada perlu ingin ke sini. Lalu medapat kabar kalau adik Shayana meninggal. Akan tetapi, maaf. Kami tidak bisa lama - lama di sini, ada keperluan lain,” kata Pak Danu menolak duduk di kursi.
“Iya pak, terimakasih sudah datang,” ujar Shavana.
“Kalau sudah jadi orang penting, sudah enggak ada waktu, ya pak?” ujar Morgan berkelakar.
“Sungguh dik, lain kali kalau ada kesempatan kita bisa mengobrol,” balas Pak Danu, kemudian pamit.
Bisma mengantar sampai halaman depan. Dia lalu kembali ke dalam rumah. Shavana melihati bosnya itu dengan heran. Kenapa dia begitu peduli pada keluarganya? Apa maksud dibalik semua ini?
Bisma menatap ponselnya. Lalu menerima telephon.
“Vana, itu bos kamu sampai kapan disini? Apa kamu enggak ambilkan minum atau dia mau menginap? Biar aku suruh Tinuk menyiapkan kamar tamu.”
“Iya, nanti aku tanyakan bang,” sahut Shavana. Lalu dia bangkit berdiri masuk ke dapur, mengambil makanan kecil dan buah.
Ingatannya kembali lagi, saat dimana biasanya dia sering menganggu ibunya memasak bersama Shayana. Lalu, Morgan akan datang menengahi.
Benar, kehilangan orang yang tersayang itu jauh lebih sakit dari kehilangan barang berharga sekalipun.
***
Bisma sedang duduk di halaman samping rumah Shavana, ngobrol kecil bersama Morgan malam itu. Rembulan bersinar cukup terang malam ini, langit berhias bintang.
“Kamar bapak sudah siap," ujar Shavana. Bisma menolehkan kepala sejenak, kemudian mengangguk.
“Terimakasih, kamu bisa kembali besok bersama saya?” tanya Bisma. “Tadi, Lucky telephon, katanya ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan.”
Shavana menatap Morgan, seolah meminta persetujuan kakaknya. Morgan hanya mengangguk. “Insya Allah, jika sudah tidak ada yang diurus, saya akan pulang ke Jakarta bersama Bapak,” katanya kemudian.
Bisma tersenyum. Merasa lucu sendiri, biasanya di kantor Shavana akan menyebutnya tidak begitu formil. Bahkan terkadang memanggil seenaknya. Ada apa dengan sekarang? Seperti bukan Shavana saja. Ada apa sampai dia bersikap begitu formil seperti ini? Oh, mungkin untuk menjaga sikap di depan keluarganya saja.
Lalu dia bangkit. Masuk ke kamarnya, mengistirahatkan tubuh yang terasa lelah seharian.
Selepas kepergian Bisma, Shavana masuk ke dalam rumah. Udara dingin malam ini seakan menusuk tulang. Ia teringat pada adiknya. Sebuah photo besar menempel di tembok tepat di lorong yang menghubungkan kamar tamu dan dapur.
“Ini photo Shayana?” tanya Bisma. Entah, sejak kapan pria itu berdiri di belakang Shavana.
“Iya pak.”
“Dia cantik, ya.”
Bagi Bisma, ini suatu pengalaman yang lucu dan unik baginya. Untuk pertama kali, dirinya menghadiri upacara kematian adik dari sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Yang bahkan sebelumnya tak pernah dilakukannya pada karyawannya yang lain.
Karyawan di kantornya sudah banyak yang tahu mengenai kedekatannya dengan Shavana. Mantan karyawan Rangga yang sebelumnya hanya bekerja sebagai pengantar barang. Kemudian, saat pergantian jabatan bos, dirinya justru memilih Shavana sebagai asisten sekaligus sekertarisnya. Tak banyak yang tahu bagaimana sebelumnya mereka bertemu.
Saat itu, Shavana sedang mengantar barang ke pelanggan. Kebetulan Bisma sedang lewat di tempat di mana Shavana akan mengantar barang itu. Sebelumnya Bisma terkesan dengan cara kerja Shavana, tetapi kemudian dia sedikit merasa kecewa karena Shavana malah menitipkan barang pesanan itu kepadanya. Itu dianggapnya tidak kompeten. Keributan sering mewarnai perusahaan sejak pertemuan itu. Hingga sekarang. AKan tetapi, entah apa yang membuat Shavana begitu menarik perhatiannya.
“Apa adik kamu ini sakit?”
“Iya, kanker cairan getah bening, mungkin meninggalnya komplikasi juga.”
Bisma menarik napas sebelum kembali angkat bicara. “Lalu, siapa itu Ilham dan Reza?”
“Ilham dan Reza adalah saudara kandung. Keduanya sahabat keluarga kami. Ilham adalah teman sekolah Shayana yang kemudian menyukainya. Reza kakaknya Ilham, sahabat baik bang Morgan. Karena sering bertemu, dia juga diam – diam mencintai Shayana,” terang Shavana. Bisma manggut - manggut.
“Lalu, kenapa Ilham bisa sampai roboh tadi?”
“Ilham sempat bertunangan dengan Shayana, namun dibatalkan. Shayana merasa hidupnya yang singkat justru akan membuat repot Ilham pada nantinya. Dia juga sempat koma karena penyakitnya semakin parah. Karena itulah pertunangan dibatalkan tepat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Itu pun sesaat setelah Shayana sadar dari komanya, dia sendiri yang memutuskan semuanya.”
Setelah mendengar penuturan Shavana, Bisma pamit masuk ke kamarnya.
Malam merambat perlahan. Shavana mendapat kabar dari pihak sekolah, kalau Shayana ternyata masih memiliki kewajiban membayar uang spp, tidak terlalu banyak. Selain itu, ada juga kabar lain bahwa restoran yang di kelola Morgan sudah mulai kehilangan pengunjung. Resto peninggalan kedua orang tuanya itu mulai kehilangan kejayaannya. Mungkin karena banyaknya restorant yang berebut peluang pasar.
“Akan tetapi, usaha ini harus tetap dipertahankan 'kan bang, demi masa depan Abang," kata Shavana.
“Aku masih sanggup mengelolanya, Va.” sahut Morgan.
“Bagaimana kebun bunga sepeninggal Shayana?” tanya Shavana.
Semasa hidupnya, Shayana memang akif menanam bunga di taman samping rumah. Bunga yang ditanam beragam. Kebanyakan anggrek dan lyly. Yang kemudian dijadikan usaha baru. Teman - teman sekolahnya banyak yang membeli bunga di tempatnya.
“Shayana sudah meminta Hanum dan Panjul untuk menangani, aku kira itu lebih baik dari pada dibiarkan tidak terurus.”
Shavana mengangguk paham, ”Tadi juga sempet ketemu mereka, katanya mereka siap membantu merawat taman bunga itu,” katanya.
Morgan lalu menceritakan bahwa adiknya pada hari terakhir itu nampak lebih banyak bercakap - cakap dengan bunga di kebun. Seperti percakapan terakhir yang bisa dilakukan. Seperti sebuah isyarat dan ucapan selamat tinggal.
“Beberapa hari sebelum meninggal, Shayana juga menuliskan surat untuk kamu, dia merindukan kamu, Va. Setelah itu, aku juga melihat dia nulis surat lagi untuk Mama dan Papa.”
“Nulis surat untuk mama dan papa?”
“Iya. Aku sudah jelaskan padanya, kalau mama sudah enggak ada. Lalu kemana surat itu akan dikirimkan nantinya? Shayana malah tertawa terpingkal - pingkal.”
Morgan sebenarnya takut melihat adiknya tertawa sampai seperti itu.
“Tapi bang, aku teh kangen pisan sama mama dan papa. Kalau kangen kan boleh atuh berkirim surat, iya 'kan?” ujar Morgan menirukan gaya bicara Shayana saat itu. “Aku teh pengen tahu, nanti kita bertemu di Surga apa teuk?”
***
Shavana tidak bisa tidur nyenyak semalam. Bukan karena nyamuk. Melainkan gambaran wajah adiknya semakin jelas. Sejak subuh tadi dia sudah bangun. Angin pagi yang berembus di Bandung dihirupnya pelan - pelan dari jendela kamarnya yang terbuka. Bisma kemarin memesan nasi goreng untuk sarapannya. Tinuk sudah belanja diantar Morgan. Untuk sementara, selama masa berkabung, restaurant nya tutup.
Sebuah koran pagi teronggok di atas meja ruang tamu. Sepagi ini sudah sampai ke rumah pelanggan. Biasanya, koran pagi dibaca sambil buang hajat di kamar kecil. Atau dibaca sambil duduk di teras ditemani secangkir kopi panas. Hari itu, mengulas tentang perempuan - perempuan dari desa yang dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan bagus dengan gaji besar. Rupanya mereka hanya dijadikan pekerja seks. Koran itu menyebutkan ada seorang wanita yang berhasil melarikan diri dan di wawancarai wartawan. Wartawan itulah yang mewawancarai dan melaporkan, kemudian diulas hingga hari ini.
Ulasan itu memang terus bersambung. Rupanya inilah menu yang diharapkan bisa mengangkat tiras koran itu. Yang dijadikan umpan adalah perempuan dari desa - desa minus di Jawa tengah. Disebutkan misalnya desa - desa di wilayah Mutilan, Temanggung dan Wonogiru, melebar sampai ke Sragen.
Mereka diiming - imingi pekerjaan dengan gaji besar. Siapa yang tidak akan tegiur? Ternyata sebuah penipuan. Kenapa masih ada perempuan yang bisa dijadikan objek seperti itu? Janji kosong belaka. Padahal mereka sudah sangar senang mendapat pekerjaan. Ada yang yang rela menjual perhiasan sebagai modal. Memecah tabungan atau bahkan hutang pada saudagar - saudagar kaya dengan janji akan dikembalikan bila anaknya sudah sampai ke tempat tujuan.
“Nuk, apa Kamu sudah mendengar ada berita penipuan tenaga kerja wanita?” tanya Shavana, setelah membaca koran itu.
“Sudah Teh, memang masih hangat beritanya sampai sekarang. Untung aku menolak. Dulu ada orang yang bertanya padaku, siapa kira - kira perempuan di desa yang mau bekerja dengan gaji besar. Padahal kalau mau bekerja di Bandung saja sudah tidak akan kekurangan. Terlebih jika banyak wisatawan yang terus mengalir,” tutur Tinuk.
Menolak bukan karena tidak tergiur gaji tinggi. Semua orang juga pasti akan mudah terpancing. Tapi, bukan karena itu Tinuk menolaknya. Melainkan karena Tinuk merasa ada keganjilan. “Kenapa harus membayar uang muka dulu sebelum gaji itu diberikan? Katanya untuk biaya administrasi. Apa sudah pasti?” kata Tinuk lagi.
“Itulah penipuan dengan cara halus, Nuk. Terlebih lagi orang desa kebanyakan masih bodoh dan terlalu mudah ditipu.”
“Nah itu dia Teh. Malah banyak yang merasa bangga sudah memberikan uang muka. Meskipun uang administrasi mereka jelas nggak paham sama sekali.”
“Ternyata masih banyak yang harus ditolong pada bangsa kita.
Ketika Shavana dan Bisma sarapan pagi dengan nasi goreng, topik tenaga kerja wanita yang tertipu, masih menjadi bahan pembicaraan. Kasus - kasus penipuan semacam itu, memang harus terus diungkap. Bila tidak, akan semakin banyak korban lagi.
“Masih untung mereka hanya dijadikan pekerja seks, kalau dibunuh atau disiksa? Banyak kasus semacam itu ketika Indonesia mengirim banyak tenaga kerja wanita ke luar Negri,” ujar Bisma.
“Mestinya yang kita ekspor bukan tenaga tidak terampil. Tapi, skill. Padahal, dulu bangsa kita sering mengirim tenaga skill seperti dosen atau guru ke Malaysia," sahut Morgan.
“Ya, itu lebih baik. Kenapa sekarang set back?”
“Bukan seperti itu cara mengurangi beban penduduk,” timpal Shavana. “Justru hal itu akan menambah derita rakyat.”
“Itulah nasib perempuan desa yang kurang mujur.” Morgan menghabiskan sepiring nasi gorengnya, lalu bangkit berdiri menuju dapur.
Sarapan pagi ini dirasakan Shavana sebagai anugerah. Untuk pertama kalinya, dia membuatkan nasi goreng untuk bosnya. Tak disangka Bisma akan menyukai nasi goreng buatannya. Nasi goreng racikannya memang lain dari pada yang lain. Meskipun kata Bisma, rasanya hampir mirip dengan nasi goreng buatan mamanya.
Usai sarapan, Bisma ingin berkeliling kota Bandung. Melihat kawah putih katanya. Dasar bule palsu. Mungkin dia akan ber -Selfie ria disana.
***
Matahari bersinar tidak terlalu garang. Masih ada beberapa orang yang datang ke rumah keluarga Winata, untuk mengucapkan bela sungkawa. Ada yang baru mendengar kabar kematian itu. Ada yang datang dari luar kota. Kebanyakan yang datang adalah kenalan Shayana dan juga pelanggan yang biasa memesan bunga pada adiknya itu. Shavana memakluminya. Setelah tamunya pulang. Ia membongkar lemari Shayana yang menyimpan baju dan kain batik peninggalan ibunya. Kain - kain panjang koleksinya ditatanya kembali. Ternyata, Shayana menjaga betul amanah dari ibunya dulu. Sehingga koleksi batik milik ibunya masih terlihat utuh dan awet warnanya.
Shavana tercenung. Kain batik yang dimiliki ibunya itu masih tersimpan dengan baik. Ada cara tradisional mencuci yang membuat kain panjang itu tetap cemerlang. Yakni dengan dengan Klerak. Ibunya selalu menyuruh mencuci dengan klerak, agar warnanya tidak pudar.
Tiba - tiba Shavana menemukan sebuah amplop berisi surat di antara tumpukan pakaian.
Ia membaca sampul surat itu. Di tulis Shayana, ditujukan pada Mama dan Papanya. Apakah ini yang diceritakan kakaknya itu? Shavana memanggil kakaknya masuk.
“Lihat ini, bang. Ini surat yang di tulis Shayana untuk mama dan papa. Persis seperti yang abang ceritain. Apa ini surat yang dimaksud Anushka?”
“Mungkin benar, Shayana bilang dia kangen Mama dan Papa.”
Apa isi suratnya?
Tak ada yang tahu bahwa Shayana benar - benar mengirim surat untuk kedua orang tuanya. Ia tahu bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Tentu akan sia - sia saja bila surat itu diposkan. Ini yang membuat surat itu hanya disimpan. Shavana tersentak ingin membaca surat itu. Lalu ia membaca isinya.
Mama dan Papa yang Shayana sangat sayangi. Entahlah kenapa aku ingin sekali nulis surat untuk kalian. Mungkin karena Shayana tidak mempunyai buku harian khusus. Ana merindukan kalian berdua. Berapa lama kalian telah meninggalkan kami semua? Bang Morgan, Teh Shavana dan Aku. Rasanya mungkin suatu hari nanti, aku akan segera menyusul kepergian kalian. Sejujurnya, ada sesuatu yang membuat Shayana sedih, Ma ... dan Papa ... ini tentang pertunanganku dan Ilham yang terpaksa di batalkan .…”
Sampai di sini Ia diam. Menetes air matanya, membasahi kertas surat itu. Apakah sebenarnya Shayana masih berharap pertuangannya itu terjadi? Mungkinkah sebenarnya Shayana ingin pertunangan itu tetap dilanjutkan hingga hari pernikahan?
Surat itu di tulis dengan rapi. Tidak ada bekas tipe x atau bahkan coretan. Sejak kecil, Shayana memang tidak pernah salah menulis. Di antara saudaranya hanya Shayana yang paling terampil menulis. Jika ada tulisannya yang salah, dia memilih untuk merobeknya saja.
“Isinya mengharukan, Va.”
“Shayana pasti masih ingin menikah dengan Ilham sebelum dia pergi. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, Tuhan telah berkehendak lain. Mungkin mereka memang tidak berjodoh."
Shavana kembali melanjutkan membaca surat itu lagi.
“Satu hal yang masih menjadi rahasiaku sampai hari ini adalah, salah satu organ tubuhku telah hilang. Beberapa hari lalu, aku mendonorkan salah satu ginjalku untuk kakak dari sahabatku, Anisa. Namanya Dicky Prasetya, dia menderita gagal ginjal dan sudah sangat kritis. Untuk itulah aku berniat membantu sebisaku. Lagi pula, apa guananya hidup jika tidak bisa membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Benar kan, Ma dan Pa, aku mohon, jangan kalian beritahukan masalah ini pada Abang Morgan dan Teh Shavana. Biarlah ini menjadi rahasia kita."
Shavana terdiam kembali. Semulia itukah adiknya?
“Bang, sepertinya kita harus cari tahu siapa itu Anisa prasetya, mungkin kita bisa mengetahui keberadaan Dicky prasetya darinya,” ucap Shavana kemudian.
“Lalu setelah ketemu mau apa, Va? Apa kamu mau mengambil kembali ginjal yang sudah diberikan Shayana untuk Dicky?”
“Bukan begitu, bang. Aku hanya ingin bertemu saja dengan Dicky. Mungkin saja dia masih ada perlu dengan Shayana."
Morgan mengangguk. Shavana kemudian mencari di mana alamat rumah Anisa dan Dicky. Mungkin Shayana menyimpannya.
“Mereka dari keluarga Prasetya. Semula mereka tinggal di Bandung, kemudian pindah ke Jakarta selatan. Mereka tinggal di daerah Blok M nomor 203, komplek Rawa Indah. Ini tidak begitu jauh dari apartement yang aku tinggali sekarang, bang.”
Shavana menggenggam surat yang di tulis Shayana, ketika tergopoh - gopoh Pandi datang mencari Shavana. Pandi menemukan Shavana dan Morgan ada di kamar, “Ada apa?” tanya Shavana.
“Kuburan Ana .… kuburan Shayana dibongkar orang, neng.”
“Kenapa bisa dibongkar? Siapa yang sudah membongkarnya?”
Pandi tidak bisa menjawab dengan pasti. Ia baru mendengar orang - orang ramai membicarakan ada kuburan baru yang dibongkar. Pandi mengambil kesimpulan bahwa itu pasti kuburan Shayana.
Shavana tidak jadi membongkar lemari kain adiknya. Hatinya menjadi gelisah memikirkan nasib adiknya itu yang menyedihkan. Kenapa orang sebaik Shayana masih ada saja yang menganggunya bahkan meskipun orangnya telah tiada, rela mengganggu istirahatnya.
“Kita harus melihatnya sendiri,” usul Pandi.
”Di mana Pak Bisma?” Shavana tergopoh - gopoh meninggalkan kamar. Ia tidak menemukan Bisma di ruang depan. Oh iya, tadi dia bilang akan ke kawah putih. Biarlah nanti dia menyusul.
***
Orang - orang membicarakan kuburan yang dibongkar. Itu tentu kuburan Shayana Winata. Jika benar, ini merupakan sebuah pelecehan bagi keluarga Winata yang merupakan keluarga paling tersohor dan terhormat di Bandung.
“Siapa yang membongkar dan kenapa sampai tega membongkarnya? Apa sebenarnya kesalahan adikku sampai mereka tega membongkar makam adikku dan mengusiknya?” tanya Shavana tak habis pikir.
Shavana bergegas menuju makam diikuti Pandi dan Morgan. Ternyata Bisma sudah berada di sana. Ia tengah berbicara dengan seorang pria yang sangat ia kenal, Rangga. Kenapa bos lamanya itu bisa berada di sini? Apa keperluannya sampai dia datang ke Bandung? Apa ini ada hubungannya dengan pembongkaran makam Shayana. Shavana tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri.
“Kalau loe enggak juga mau balik, gue akan berbuat lebih dari ini. Gue bisa berbuat lebih kejam dari ini!” tegas Rangga. Bisma tak bisa berbuat banyak, sorotan matanya menatap ke arah tanah basah bekas kuburan Shayana yang dibongkar. Di sana tubuh Shayana masih terbujur kaku.
“Pak, jadi ini semua ulah Bapak? Kenapa Bapak sampai tega melakukan ini pada keluarga kami, apa salah Shayana kepada Bapak?”
“Ini semua salah lo, kenapa lo biarin Bisma tetap disini, kalau adik lo udah dikubur seharusnya loe cepet balik, jangan sampai pekerjaan loe terganggu. Loe mau kita kehilangan banyak client dan menghancurkan perusahaan, hah!” sahut Rangga sengit.
***
Shavana tak habis pikir. Ia bahkan belum bisa berpikir jernih, saat Morgan membimbingnya pulang ke rumah. Di sampingnya, Bisma duduk terpekur dengan pancaran mata yang aneh. Kemungkinan pria itu juga sama seperti dirinya. Terlebih pembongkaran makam ini dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya. Ia tentu merasa bersalah.
Shavana menangis di pundak Morgan. Sebenarnya apa salah Shayana sampai tega sekali Rangga melakukan itu padanya. Jika hanya masalah pekerjaan, kenapa tidak bisa dibicarakan dengan kekeluargaan saja dan dengan kepala dingin.
“Ini bukan salah Shayana, tetapi salahku, ” ujar Bisma lirih.
“Iya, lalu kenapa Bapak masih disini? Kenapa tidak segera kembali saja. Bukankah urusan Bapak disini sudah selesai. Sama seperti para tamu yang lain, seharusnya Bapak sudah kembali ke Jakarta sejak kemarin, bukan?” tukas Shavana.
“Sudahlah Va, jangan bersedih. Lagi pula, Bos kamu tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Ini semua takdir, soal makam Shayana yang dibongkar, nanti aku suruh juru kunci untuk memperbaikinya. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mendoakan Shayana, dan ya ... jika Rangga ingin kalian kembali maka kalian berdua harus pulang ke Jakarta besok,” kata Morgan.
Keluarga dekat ikut menghibur. Mereka ikut menyesal, tetapi apa yang bisa dilakukan. Seharusnya ada yang menjaga makam Shayana. Terlebih itu makam keluarga yang dibongkar. Bisa jadi ada sesuatu yang diincar bukan hanya karena masalah pekerjaan.
“Bang, kenapa kita harus mengalami masalah seperti ini?”
“Ini bukan kesalahan Shayana. Dia anak yang baik pada semua orang. Trust Me! Mungkin Rangga hanya ingin mengingatkan pada kamu saja, tenanglah, jangan dipikirkan lagi, sekarang bersiaplah untuk kembali ke Jakarta. Mulai semuanya dari awal.” Morgan berusaha menenangkan.
Diam - diam pikiran Morgan terganggu dengan peristiwa ini. Sungguh, jika Shavana merasa terganggu. Maka ia juga merasa terusik. Malam ini pun berubah menjadi kelam dan tak b*******h.
“Peristiwa ini harus di tulis di koran dan media online! Ini sebuah pelecehan bagi keluarga Winata!”
“Tolong jangan lakukan itu,” pinta Bisma memelas. “Aku minta maaf atas nama keluarga, aku mohon jangan lakukan itu.”
Shavana masuk ke kamarnya tak peduli. Dia bertekad akan mengatakan semua ini pada Hari Ryan Karisma, ayah Bisma. Bukan dia ingin mempermalukan Bisma atau membuat masalah baru. Tapi semua ini harus diluruskan agar tidak timbul masalah baru yang meruncing hanya karena masalah pembongkaran makam.
BERSAMBUNG