Bab 12. Dihukum

1022 Words
Abi membuka mata perlahan, kepala laki-laki itu berdenyut nyeri membuatnya meringis tertahan. Mata laki-laki itu mengedar, tidak ada Alleta di sini. "Apa mungkin Alleta sudah ke kampus?" Pikir Abi. Dengan hati-hati Abi mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada ranjang. Laki-laki itu memejamkan mata saat kepalanya terasa semakin berdenyut jika dia duduk. Menghela napas pelan, Abi merutuki diri sendiri yang harus jatuh sakit. Alleta memasuki kamar dengan nampan berisi bubur, air putih, dan obat di atasnya. Dia berjalan mendekati Abi meletakkan nampan yang dia bawa di sisi ranjang. Gadis dengan crop top berwarna navy itu mendudukkan dirinya di sisi ranjang. "Makan dulu, Kak," titah Alleta sembari mengambil bubur milik Abi. Abi memandang lekat gadis dengan rambut tergerai yang duduk di sisinya. Jika melihat dari jarak sedekat ini, Abi akui kecantikan Alleta semakin bisa dilihat jelas. Wajah manis Alleta seolah menghipnotis Abi untuk terus memandang wajah Alleta. "Kamu enggak ke kampus?" Pertanyaan bernada lirih itu dibalas anggukan oleh Alleta. Tangan gadis itu bergerak menyuapi Abi yang langsung diterima oleh Abi tanpa banyak protes. "Bentar lagi, selesai Kakak makan," balas Alleta santai. Abi mengerutkan keningnya. "Enggak telat?" Gadis itu menggeleng pelan. Dia menghela napas kasar, Abi menjadi cerewet jika tengah sakit begini. Alleta melihat bubur di dalam mangkuk yang dia bawa, satu suapan lagi dan selesai. "Mama tau saya sakit?" tanya Abi setelah menelan suapan terakhirnya. Alleta yang tengah menyiapkan obat untuk Abi sontak menghentikan kegiatannya. Gadis itu menoleh memandang Abi yang tengah menatap lekat ke arahnya. Alleta berdeham dan kembali menyiapkan obat sekaligus minum untuk Abi. "Tahu." Alleta menyerahkan obat di tangannya untuk Abi minum. "Aku nelepon mama semalam, mama nyuruh kompres Kakak dan mama juga nelepon dokter Deon,." sahut Alleta dengan mata yang terfokus memandangi Abi. "Makasih dan maaf repotin kamu." Alleta menggelengkan kepalanya mendengar ucapan tulus diiringi senyuman tipis. Wajah lemah Abi membuat dirinya tak tega untuk meninggalkan laki-laki itu sendiri di rumah meskipun ada Sudin yang menjaga rumah. Alleta membantu Abi membaringkan kembali tubuh laki-laki itu, dia juga menyelimuti Abi. Saat dirasa semuanya sudah selesai, Alleta mengambil kembali nampan yang dia letakkan di atas meja. "Kakak istirahat dulu sampai bener-bener pulih. Jangan bandel, abain dulu pekerjaan. Lagian aku yakin papa Rendi bakal handle semuanya sampai Kakak sembuh. Awas aja aku tau Kakak urusin kerjaan!" tungkas Alleta dengan tegas. "Hm, ya," balas Abi dengan anggukkan lemah. Alleta tersenyum puas. "Aku berangkat ke kampus dulu. Take care yourself, kalau ada apa-apa Kakak bisa hubungi aku." "Hati-hati." *** "Muka lu kayak manusia kurang tidur, Ta," celetuk Mila saat melihat Alleta memasuki kelas. Alleta mengabaikan celetukan sahabatnya itu, dia lebih memilih menaruh tasnya di atas meja dan mendudukkan bokongnya setelah itu. Manik hitam miliknya memandang tempat para sahabatnya duduk, kening gadis itu menunjukkan kerutan saat tak melihat salah satu sahabatnya. "Kalea mana? Biasanya dia yang paling rajin dateng," kata Alleta heran. "Izin, dia liburan ke Bali sama keluarganya," balas Cindy yang sedari tadi asyik berfoto. Mila yang mendengar itu menggelengkan kepalanya pelan. "Orang kaya emang agak beda, enggak papa," kekehnya. Cindy meletakkan ponsel miliknya ke dalam tas. Gadis itu berjalan mendekati bangku Alleta yang ada di depan bersama Mila yang duduk di bangku sebelah kiri. "Ta lu udah—" "Selamat pagi, anak-anak." Semua Mahasiswa dan Mahasiswi berbondong-bondong kembali ke meja mereka saat seorang Dosen perempuan memasuki kelasnya. Cindy bahkan nyaris jatuh karena tersandung salah satu kursi. Mila yang melihat itu menggelengkan kepalanya diikuti kekehan geli. "Kelakuan," gumamnya. "Pagi, Miss." "Makalah yang saya minta buat sudah kalian kerjakan? Jika sudah, Mila tolong nanti dikumpulkan dan bawa ke ruangan saya." "Baik, Miss." Wajah Alleta memucat. Dirinya melupakan tugas kuliahnya karena terlalu asyik menonton Drama China kemarin malam. Gadis itu memilin tangannya di bawah meja, digigitnya bibir bawahnya pertanda dirinya tengah cemas sekarang. Alleta mendesah berat, merutuki kesalahannya yang justru memilih menonton Drama China daripada harus mengerjakan tugas. Gerak-gerik Alleta tak luput dari pandangan tajam milik Mila. Melihat tingkah Alleta tentu saja gadis itu yakin jika Alleta belum mengerjakan tugasnya. Mila berinisiatif memiringkan sedikit tubuhnya mendekat ke arah Alleta. "Pst ... pst ...," panggil Mila dengan berbisik. Alleta menoleh ke samping, dia memandang Mila dengan raut wajah cemas miliknya. "Lu belum ngerjain tugas?" bisik Mila. "Iya, gimana ini?" lirih Alleta dengan wajah cemas. "Mila, Alleta, kenapa kalian bisik-bisik?" tegur Dosen bernama Larasati. Alleta menelan salivanya dengan kasar. Dia memandang takut ke arah dosennya. Menarik napasnya dalam, Alleta memandang Mila yang mengangguk meyakini dirinya. "Maaf, Miss. Saya lupa mengerjakan tugas saya," sahut Alleta dengan satu tarikan napas. Dosen itu memandang Alleta lamat. "Silakan kamu tinggalkan kelas saya, Alleta," titahnya tegas. Alleta menghela napasnya kasar. Dengan gerakan lemas dia mengambil tas miliknya lantas keluar kelas. Alleta menutup pintu kelas dengan tatapan sendunya. Tak ada yang bisa dirinya salahkan selain dirinya sendiri. Dengan langkah gontai Alleta berjalan menuju taman. Dirinya butuh menghirup udara segar untuk ketenangan pikiran dan memperbaiki suasana hatinya. "Gini banget idup," gumam Alleta. Langkah kaki Alleta harus berhenti saat Rion menghadang jalannya. Gadis itu menghela napas kasar, suasana hatinya semakin memburuk saat melihat laki-laki ini tersenyum manis ke arahnya. "Kamu enggak ada matkul?" tanya Rion memandang heran ke arah Alleta. "Urusan sama ni onta apaan coba," cibir Alleta di dalam hati. "Disuruh keluar karena enggak buat tugas," balas Alleta dengan ketus. Rion menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis. Tangan laki-laki itu bergerak ingin mengacak rambut Alleta, tetapi Alleta lebih dulu menepis tangan Rion. "Jangan pegang-pegang!" sentak Alleta dengan melotot garang. Rion menaikkan kedua tangannya. "Oke, maaf," ucapnya. Alleta mendengus kesal. Tanpa memberikan respons apa pun selain dengusan, dirinya berniat untuk meninggalkan Rion sendiri di koridor. Namun, Rion menghentikan langkah Alleta dengan memegang pergelangan tangan Alleta. Buru-buru laki-laki itu melepaskan genggamannya saat Alleta berniat menyentak tangannya. "Apa lagi?" keluh Alleta dengan wajah malasnya. Rion menarik napasnya, dia memandang Alleta yang masih membelakangi dirinya. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Sampai kapan kamu nolak kehadiran aku, Al?" tanya Rion pelan nyaris tak Alleta dengar. Alleta menoleh ke belakang. "Sampai kapan pun. Kakak harusnya mundur saat gua ngelakuin penolakan. Gua risih, gua enggak suka sama tindakan lu, Kak," tukas Alleta. "Tapi kenapa?" tanya Rion dengan napas tercekat. "Karena sampai kapan pun gua enggak akan suka sama lu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD