Bab 13. Pasar Malam

1152 Words
"Besok kelompok Mila dulu, 'kan yang presentasi?" tanya gadis bernama Inka. Alleta yang tengah mengemas barang-barangnya lantas menoleh dan mengangguk cepat. "Iya, kelompok Mila dulu." Memang kali ini dia dan kedua temannya tidak dalam satu kelompok yang sama. Tentu saja mereka tidak bisa memaksa kehendak Dosen yang telah menentukan kelompok mereka. "Ta, gua sama Danis pulang dulu, ya," pamit Inka. "Iya, gih. Hati-hati, ya." Alleta menghela napas panjang saat melihat kedua temannya menjauh. Gadis itu memainkan ponselnya sembari menunggu jemputan Abi. Tugasnya baru selesai pada pukul 20.13 WIB dan sekarang sudah pukul 20.45 WIB, Alleta yang tadinya memang dianter oleh supir pun meminta Abi untuk menjemputnya. Selang lima belas menit, Abi datang dengan terburu-buru menghampiri meja Alleta. Alleta yang melihat itu segera memasuki ponselnya ke dalam tote bag yang dirinya bawa. "Kak, aku mau ke pasar malam dulu sebentar. Boleh?" Alleta bangkit dari duduknya lantas meraih tote bag dan laptop miliknya, dia memandang penuh harap ke arah Abi. Abi terdiam sejenak untuk berpikir sebelum akhirnya laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "Ayo, sebelum makin malam." Di dalam mobil keduanya sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Abi yang terfokus pada jalanan di hadapannya dan Alleta yang tak bisa melunturkan senyumnya karena Abi yang akan membawanya ke pasar malam. Abi menoleh ke samping, laki-laki itu menggelengkan kepalanya saat melihat raut wajah bahagia Alleta yang hanya akan ke pasar malam. "Gimana tugas kuliah kamu?" tanya Abi sembari melirik Alleta sekilas sebelum akhirnya kembali menatap ke depan. "Lumayan, nyatuin lebih dari satu otak itu susah," jawab Alleta. Abi mengangguk setuju. "Yes, you're right. Nyatuin banyak otak itu susah karena setiap manusia punya pemikiran yang berbeda-beda. Enggak ada yang salah, tapi sudut pandangnya aja yang beda," papar Abi. Alleta menoleh mendengar paparan Abi. Gadis itu memberikan Abi dua jempol diikuti oleh kekehan geli. "Pinter! Kakak dapet bintang lima," canda Alleta. Abi menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu memandang pasar malam yang nampak ramai pengunjung. Matanya melirik Alleta yang tengah menunduk memainkan ponsel. Dia berdeham singkat. "Kita udah sampe," ucap Abi memberitahu. Alleta mendongak, bibir gadis itu membentuk sebuah senyuman manis. Segera diletakkannya ponsel miliknya ke dalam tas. Abi memandang tak sabar pada keramaian pasar malam di depan matanya, sedangkan Abi tengah sibuk memakirkan mobil. Alleta segera melepas sabuk pengamannya saat Abi telah menemukan tempat parkir. Gadis itu sempat merapikan penampilannya sebelum keluar dari mobil. Alleta tersenyum senang saat melihat banyaknya orang berlalu lalang di area parkir, entah mereka yang baru datang ataupun akan pulang. Senyum Alleta semakin mengembang saat melihat Abi berjalan menghampiri dirinya. Tanpa dikomando Alleta menggenggam tangan Abi dan menarik Abi memasuki pasar malam. Di belakangnya Abi hanya mengikuti langkah Alleta dengan pasrah. "Kamu mau ke mana?" tanya Abi saat mereka sudah memasuki pasar malam. Alleta menghentikan langkahnya, dia memandang sekitarnya dengan tatapan menilai. Gadis itu berdecak sebal saat apa yang dirinya cari justru tak dia temukan. Mata Alleta terus menyusuri tempat itu membuat Abi yang berada di belakangnya menghela napas kasar. "Itu dia!" Tunjuk Alleta pada penjual permen kapas. "Ayo ke sana!" ajak Alleta dengan wajah berbinar, dia bahkan menarik tangan Abi untuk mengikuti langkahnya. "Pelan-pelan, Alleta! Kamu bisa jatuh lagian penjualnya enggak bakal kabur," tegas Abi yang merasa kesulitan berjalan karena ditarik cepat oleh Alleta. Alleta menoleh dengan tatapan sinisnya. "Cuman kehabisan doang," ketusnya. Alleta menghentikan langkah saat mereka sudah berada di hadapan penjual permen kapas. Abi kembali menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah kekanakan Alleta yang tengah memesan permen kapas. "Jangan beli kebanyakan nanti kamu sakit gigit." Abi memandang malas Alleta yang akan memesan lima permen kapas. "Ck! Iya-iya!" decak Alleta dengan wajah kesalnya. "Satu aja deh, Pak. Berapa?" "Dua belas ribu, Dek." Alleta mengangguk, dia mengambil satu lembar uang sepuluh ribu dan satu lembar uang lima puluh ribu. Gadis itu menyerahkan uangnya bersamaan dengan penjual paruh baya itu memberikan permen kapasnya. "Kembaliannya buat Bapak aja. Makasih, Pak," ucap Alleta dengan senyuman manis. Alleta berjalan mendekati salah satu kursi diikuti Abi. Gadis itu memakan permen kapasnya dengan senyuman manis dia sempat menatap Abi yang memandang lurus ke depan. "Kakak mau?" tawar Alleta sembari memajukan permen kapasnya ke hadapan Abi. Laki-laki itu menoleh lantas menggelengkan kepalanya. "Buat kamu aja. Saya enggak mau sakit gigi," balas Abi. Dia memutar malas bola matanya. "Makan segigit doang enggak sampe bikin sakit gigi kali," cibir Alleta. Atensi Alleta dan Abi teralihkan pada seorang bayi yang menangis di dalam gendongan ibunya. Abi memilih mengabaikan tangisan bayi itu baginya itu biasa terjadi, tetapi berbanding terbalik dengan Alleta yang justru berdecak melihatnya. "Anaknya laper bukannya dikasih asi malah ditepuk-tepuk pantatnya," kesal Alleta. "Tau darimana kamu?" Abi menatap Alleta dengan kening berkerut. "Tangisannya," balas Alleta sembari menggigit permen kapasnya. "Hm?" Kening Abi berkerut, dia memandang Alleta dengan raut wajah kebingungan. Gadis itu menghela napasnya kasar. "Tangisan bayi itu ada artinya. Kayak Adek itu." Alleta menunjuk bayi yang menangis dengan dagunya. "Dia nangis karena laper. Tangisan bayi yang kelaparan tangisannya itu lama, dia juga nendang kaki ke udara, dan ngisep tangannya. Liat deh bayinya," jelas Alleta. Abi mengikuti perintah Alleta, dia memandang seorang Ibu muda yang tengah menenangkan bayinya yang masih menangis. Dia juga memperhatikan bayi itu dengan lamat, ciri-ciri yang Alleta sebutkan sangat pas dan tepat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan bayi itu saat menangis. "Habis ini kamu mau ke mana?" Abi memandang lekat istrinya itu. Alleta terdiam sejenak, dia tengah memikirkan tempat mana yang akan dirinya kunjungi setelah ini. "Kita jalan-jalan dulu, deh," putus Alleta. "Enggak papa? Kakak baru sembuh soalnya." Matanya menyorot Abi meminta persetujuan suaminya itu. "Iya." *** Abi memakirkan mobilnya pada bagasi rumah tepat pada pukul 23.08 WIB mereka baru tiba di rumah. Dia menoleh pada sang istri yang tengah terlelap dengan damai. Abi segera melepaskan sabuk pengamannya setelah itu dirinya melepas sabuk pengaman milik Alleta. Berada pada posisi sedekat ini membuat Abi bisa leluasa memandangi wajah cantik milik istrinya. Bibir ranum berwarna merah alami, hidung mancung, dan mata bulat berwarna hitam legam itu seolah aset paling indah menurut Abi yang dirinya lihat saat ini. Pikirannya melayang pada kejadian di pasar malam. Tanpa sadar dia menarik sudut bibirnya mengingat ucapan Alleta yang menurutnya aneh, tetapi memiliki makna yang luar biasa. "Saya pikir kamu ke sini mau naik wahana taunya cuman mau jajan doang." Abi menatap Alleta yang berjalan bersisihan dengan dirinya. Gadis itu menoleh. "Kakak enggak nyadar sesuatu?" tanya Alleta dengan senyuman tertahan. "Apa?" Abi menaikkan satu alisnya dengan tatapan heran. "Aku ajak Kakak ke sini ya emang bukan untuk main wahana. Dari dulu aku selalu ke sini kalau malam Minggu dan beli jajan, aku juga belinya di pedagang-pedagang yang udah tua. Kenapa? Kasian, udah malem harusnya dia istirahat," ungkap Alleta dengan senyuman manisnya. "Termasuk bayar lebih? Kamu sengaja?" tanya Abi dengan mata memicing. "Iya!" Abi terkekeh, dia memandang lamat wajah Alleta yang tengah tertidur pulas. Dirinya bahkan baru menyadari jika Alleta selalu membayar dengan uang lebih yang harusnya mendapatkan kembaliannya. Bagi Abi cara Alleta terlalu unik untuk membantu orang tanpa membuat orang itu merasa direndahkan. "You're like an angel, Ta," bisik Abi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD