Bab 10. Philemaphobia?

1166 Words
Kini Alleta dan ketiga sahabatnya tengah berada di kantin. Keempatnya seharusnya sudah pulang sejak 15 menit lalu, tetapi mereka memilih untuk mampir ke kantin dan menikmati beberapa menu favorit di sana. Alleta sempat mengabari Abi bahwa dirinya akan pulang terlambat meskipun laki-laki itu tidak ada di sini, tetapi Alleta tak ingin melakukan kesalahan sama yang membuat dirinya akan didiami oleh Abi. Cukup satu hari itu Alleta merasa frustasi karena Abi mendiami dirinya. Alleta menyedot minuman miliknya, dia menekan tombol power pada ponselnya yang sengaja diletakkan di atas meja. Tidak ada balasan apa pun dari Abi, gadis itu mengedikkan bahunya. "Mungkin dia sedang sibuk" Pikir Alleta. "Eh, lu pada tau soal fobia ciuman? Gua denger ada Kakak tingkat kita yang fobia ciuman. Dia malah diputusin sama pacarnya," celetuk Cindy sambil mengaduk-aduk es jeruk miliknya. "Fobia ciuman?" ulang Kalea yang disambut anggukan oleh Cindy. Atensi Alleta dan Mila sontak saja beralih pada Cindy. Keduanya saling pandang lantas mengedikkan bahu pertanda tak tahu darimana Cindy mendapati berita tersebut. "Lu tau dari mana?" tanya Mila dengan kening berkerut. Cindy mengunyah seblak miliknya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Mila. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan membuat ketiga sahabatnya memandang Cindy dengan alis menyatu. "Tadi pas di koridor gua denger gosipan itu," bisik Cindy lantas kembali menegakkan tubuhnya. "Lu tau siapa orangnya?" Kali ini Alleta yang bertanya, gadis cantik itu memandang Cindy dengan raut wajah penasaran. Cindy menggelengkan kepala. Gadis itu melipat tangannya di atas meja dan memandang serius ketiga sahabatnya yang tengah menanti jawaban dari dirinya. "Cuman yang pasti setau gua itu cewek, dari yang gua curi denger mereka belum tau penyebabnya apa, sih," jelas Cindy. Kalea mendengus kesal mendengar jawaban Cindy yang menurutnya kurang rinci untuk bisa menjawab rasa penasaran dirinya. Berbanding terbalik dengan Alleta dan Mila yang menghela napas mereka kasar. Mila menopang dagunya, dia memandang lurus ke depan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Biasanya ada penyebab dan itu pasti. Bisa aja dia punya fobia takut sama kuman, jadi dia juga fobia ciuman. Apalagi di bibir, setau gua mereka yang fobia ciuman itu cenderung nolak ciuman bibir sama pasangan," jelas Mila. "Misofobia?" Kening Kalea mengerut menatap ke arah Mila. "Bisa aja, sih. Air liur, 'kan ada kumannya. I mean, itu yang buat dia jijik, mungkin?" Cindy mengedikkan bahunya pertanda tak tahu. "Yang tahu pasti sih cuman yang bersangkutan," balasnya lantas menyedot es jeruk miliknya. Alleta memasukkan satu suap terakhir siomay ke dalam mulutnya. Gadis itu sedari tadi memilih mendengar pendapat temannya sembari menghabiskan siomay miliknya. Manik gadis itu menatap Mila yang masih menopang dagu dan Kalea yang tengah menghabiskan bakso miliknya, sedangkan Cindy tengah meneguk habis air putih karena rasa pedas yang dia rasakan dari mulutnya. Gadis itu menegakkan tubuhnya dengan mulut yang masih mengunyah siomay. Alleta menelan siomay miliknya saat dirasa sudah terkunyah hingga halus. Gadis itu menatap menerawang pada suatu kejadian di masa lalu, mungkin kejadian yang tidak akan pernah Alleta lupakan dalam hidupnya. "Tetangga gua dulu juga fobia ciuman. Mereka suami istri." Alleta menjeda ucapannya. "Suaminya fobia ciuman, tapi selama pacaran istrinya enggak pernah tau. Dia justru mikir si cowok enggak mau nyium dia karena ngejaga ceweknya banget. Pas malam pertama, istrinya mau nyium si cowok, 'kan cowoknya ngejerit histeris gitu sampai gemetar ketakutan." Alleta menarik napasnya dalam-dalam, gadis itu meneguk air putih miliknya. Tenggorokannya terasa kering setelah berbicara panjang lebar. Di sisi lain, ketiga sahabatnya menatap Alleta dengan raut wajah penasaran, mereka bahkan mencondongkan tubuhnya. Raut penasaran dan serius milik ketiganya membuat Alleta terkekeh geli saat melihat raut wajah ketiga sahabatnya. "Mereka berantem, tengah malam teriak-teriak. Tetangga bahkan kebangun termasuk gua, kita semua langsung nerobos masuk. Karena saat itu ngerasa suasana enggak kondusif. Gua inget banget itu gua kelas 1 SMA. Warga nenangin si cowok yang terus ngejerit histeris, mereka juga nenangin si cewek yang ngemaki suaminya terlalu berlebihan. Dia ngerasa suaminya jijik sama dia. Setelah ditelusuri ternyata pas TK suaminya diculik sama tante-tante, suaminya dicium berulang kali di bibir nyaris diperkosa," sambung Alleta. "Seriusan?! Gila!" pekik Cindy dengan wajah terkejut. "Gua rasa penting ada edukasi di masyarakat bahwa enggak ada yang lebay atau berlebihan saat seseorang memiliki masalah kesehatan mental. Tau atau enggak soal itu seharusnya masyarakat lebih bijak dalam menanggapi," tangkas Kalea. Mila menganggu setuju. "Sayangnya masyarakat kita keseringan anggap itu drama atau lebay. Padahal masalah semua orang, kesehatan mental semua orang, rasa sakit semua orang enggak bisa disamaratakan." *** Alleta memasuki rumahnya dengan santai. Dirinya berniat untuk mengambil salah satu buku miliknya yang tertinggal, tetapi gadis itu menghentikan langkah kakinya di anak tangga pertama saat mendengar suara berisik dari arah dapur. Kening Alleta berkerut, setahu dirinya tak ada siapa pun di rumah ini. Dirinya bahkan ingat jika tadi dia bertemu Pak Sudin di pos satpam rasanya sangat tidak mungkin pria itu berada di dalam rumah sekarang. Dengan langkah hati-hati Alleta berjalan ke arah dapur, dirinya dilanda rasa penasaran sekaligus khawatir. Walau rasanya sedikit aneh jika itu maling karena perumahan ini dijaga dengan ketat, Alleta merasa dirinya harus tetap waspada dalam situasi apa pun. Alleta menghentikan langkahnya di pintu masuk dapur saat melihat tubuh tegap seseorang yang tak dirinya lihat selama dua hari belakangan ini. Alleta melihat dengan jelas bagaimana sosok itu berjalan ke sana dan ke mari, aroma mi instan menyapa indera penciumannya membuat Alleta yakin jika orang itu tengah memasak mi instan. "Kak Abi kapan pulang?" tanya Alleta sembari berjalan mendekat. Abi menoleh ke belakang sebelum akhirnya kembali menatap ke depan dan mematikan kompor. Dia cukup terkejut melihat kedatangan Alleta, karena rencananya dia akan menjemput Alleta saat makan malam nanti. "Kamu pulang ke sini?" tanya Abi dengan tangan yang sibuk meniris mi. Alleta mengangguk meskipun Abi tak akan melihatnya karena posisi Abi yang membelakangi dirinya. Dia mendudukkan dirinya di salah satu kursi bar mini yang ada di dapur. Mata Alleta memandang lamat Abi tengah sibuk menuangkan kuah ke dalam mangkuk mi instannya. "Iya, taunya ada Kakak di sini. Kakak kapan pulang?" sahut Alleta sembari menopang dagu. Abi berjalan mendekati Alleta, dia duduk di hadapan Alleta. Memang bentuk meja bar itu memanjang dengan kursi yang diletakkan di luar dan di dalam bar. "Kamu mau mi?" Abi menatap Alleta sembari mengangkat sedikit mangkuknya di hadapan Alleta. "Baru dua puluh menit lalu, rencananya saya bakal jemput kamu nanti waktu makan malam," sambungnya. Dia menggeleng. "Enggak usah, Kak," balas Alleta. Abi mengangguk, tanpa berkata lagi Abi memilih memakan mi instan yang dirinya buat. Dia mengabaikan Alleta yang sedari tadi menatapnya lekat sembari menopang dagu. "Kamu harusnya pulang dari tadi, 'kan? Saya liat chat kamu izin mau nongkrong di kantin. Ngapain aja?" tanya Abi setelah menelan minya. "Bahas soal philemaphobia," sahut Alleta seadanya. Abi yang ingin menyeruput minya sontak saja menatap Alleta dengan kening berkerut. "Philemaphobia?" ulang laki-laki itu merasa asing dengan kata yang Alleta sebutkan. Alleta mengangguk cepat. "Iya, fobia ciuman." "Memang ada?" Kening Abi berkerut dengan raut wajah bingungnya. "Ada, Kak." Abi yang mendengar itu hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menyeruput minya yang tadi sempat tertunda karena ucapan Alleta. "Nanti kita ambil barang kamu di rumah mama Vera agak sorean." "Oke, Kak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD