Bab 8. Dijemput Siapa?

1170 Words
"Alleta buruan turun untuk sarapan sebelum kamu berangkat kuliah." Teriakan itu membuat Alleta yang tengah memoleskan liptint di bibirnya terhenti. Gadis itu menghela napas, tak ada yang lebih menggelegar dibandingkan teriakan Vera sendiri. Terkadang Alleta heran, apa tenggorokan mamanya itu tak sakit? Tanpa menunggu banyak waktu lagi Alleta cepat-cepat menyelesaikan acara beriasnya. Dandanan natural yang bahkan tidak pernah mengurangi kadar kecantikan gadis itu dipadukan dengan balutan gaun biru muda di atas lutut dan flat shoes berwarna putih. Alleta meneliti kembali penampilannya pada cermin, gadis itu berdecak kagum. "Perfect!" cetusnya merasa bangga. Dia mengambil totebag miliknya lantas berjalan keluar kamar. Dengan langkah santai Alleta menuruni tangga, di anak tangga terakhir dapat Alleta lihat sosok ayahnya dan ibunya tengah mengobrol sembari menanti dirinya. Gadis itu tersenyum tipis, mempercepat langkahnya menuju kedua orang tuanya. Dia mendudukkan bokongnya pada kursi di sebelah kanan sang ayah. "Pagi, Pa, Ma," sapa Alleta dengan senyuman manis. "Pagi, Sayang. Gimana tidur kamu semalam?" "Pagi, Kak. Mau sarapan pakai apa?" Alleta yang mendengar pertanyaan nyaris berbarengan itu mengulum senyum. Pandangannya beralih pada menu sarapan pagi ini. Mata gadis itu tertarik pada nasi putih dan lauk yang nyaris memenuhi meja. "Tidurku cuman nyenyak, Pa. Aku mau makan pake nasi aja, Ma. Lauknya ikan, tempe, sambal, sayur lodeh, sama timun," balas Alleta bebarengan. Vera mengangguk pelan. Wanita berusia 45 tahun itu segera menyiapkan sarapan sang putri dan suaminya. Sesekali dia melirik sang suami dan anaknya yang tengah mengobrol membuat hati wanita itu menghangat. "Gimana kuliah kamu?" tanya Dion Adiputra selaku kepala keluarga. Alleta mengangguk pelan. "Lancar aja sih, Pa. Semester awal mah masih bisa have fun," sahut Alleta. "Udah-udah ngobrolnya." Vera meletakkan piring berisi sarapan Dion dan Alleta, dia lantas mendudukkan diri di sisi kiri sang suami. "Makan dulu, ini udah jam tujuh nanti malah telat." "Makasih, Ma." "Makasih, Sayang." Vera mengangguk pelan sebagai respons. Kini ketiganya makan dengan tenang tanpa ada yang berbicara. Ini adalah hal yang Dion terapkan pada keluarga kecilnya sejak awal dia menikah dengan Vera. Di samping itu, Alleta dengan lahap memakan masakan Vera. Rindunya akan rasa masakan sang mama terobati pagi ini, masakan sederhana yang selalu membuat Alleta merasa ingin makan dan makan lagi. Gadis itu bahkan makan dengan lahap membuat kedua orang tuanya menggelengkan kepala mereka melihat cara makan putri semata wayang mereka. Dion lebih dulu menyelesaikan sarapannya, pria berusia 47 tahun itu segera membersihkan sudut bibir dengan sebuah tisu. Dia menatap anak dan istrinya yang masih menikmati sarapan mereka dengan tenang. "Sayang, aku berangkat dulu." Dion menatap sang istri dengan lekat. "Kak, mau ikut Papa?" tanya Dion beralih menatap Alleta. Alleta mendongak lantas menggeleng. "Enggak perlu, Pa. Aku pesen ojol aja atau nanti minta Cindy jemput, Papa duluan aja. Makasih tawarannya." "Hati-hati ya, Mas," ucap Vera dengan senyuman manis. Dion mengangguk lantas mengecup kening Vera dan membisikkan kalimat cinta. Alleta yang melihat itu merasa iri, dia selalu membayangkan mempunyai pernikahan manis seperti pernikahan orang tuanya. Namun, suaminya adalah seorang Abi—laki-laki minim ekspresi, Alleta ragu jika itu semua bisa terwujud. Setelah berpamitan dengan dua perempuan yang amat dicintainya, Dion lantas berjalan ke luar rumah. Alleta dan Vera saling tatap sebelum akhirnya melanjutkan acara makan mereka dengan tenang. Tak berselang lama, seorang wanita berusia 78 tahun menghampiri mereka, tatapan perempuan itu berfokus pada Alleta yang memakan sarapannya dengan tenang. "Kenapa, Mbok?" tanya Vera menyadari kehadiran asisten rumah tangganya. "Ada yang nyari Nona Muda, Nya," sahutnya dengan mata tertuju pada Alleta. Alleta sontak menoleh, kening gadis itu berkerut. Siapa yang mencarinya? Setahunya, dia bahkan belum menghubungi sahabatnya untuk meminta tolong dijemput. "Siapa, Mbok?" tanya Alleta dengan heran. Wanita bernama Mbok Surti itu menggeleng pelan. "Mbok kurang tahu, Non," balasnya. Alleta dan Vera saling pandang, keduanya lantas membersihkan mulutnya dengan tisu. Keduanya langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang mencari Alleta. "Makasih ya, Mbok," ucap Alleta sembari mengambil totebag miliknya dan menyusul Vera. "Siapa kamu? Ada apa mencari anak saya?" Samar-samar Alleta mendengar ucapan tak suka itu keluar dari mulut Vera. Gadis itu lantas terburu-buru menghampiri sang mama yang berdiri di tengah pintu. "Ma, Mama kena—" Ucapan Alleta harus terhenti saat melihat sosok laki-laki berusia 22 tahun itu tengah berhadapan dengan sang mama. Alleta menghela napasnya kasar, dia tak percaya jika sosok Rion—sang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusnya akan bertindak senekat ini. Sungguh, Alleta tak habis pikir. "Saya ke sini mau jemput Alleta, Tante," balas Rion dengan ramah. Rion Putrawan, Alleta tentu mengenal laki-laki ini. Laki-laki yang merupakan Mahasiswa populer di kampusnya, selain karena status Rion selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa itu juga karena ketampanan dan kecerdasan milik laki-laki itu. Rion seolah memiliki daya tariknya sendiri, tetapi bagi Alleta itu bukanlah apa-apa. Alleta hanya tertarik pada laki-laki pekerja keras dan mapan di usia muda, mungkin itu jatuh pada Abi? Alleta menatap Vera yang kini memandangnya dengan tatapan tajam. Gadis itu menelan salivanya dengan kasar. Tatapan Vera seperti orang yang akan menguliti dirinya hidup-hidup. Alleta berdeham singkat, dia sempat melirik sinis seorang Rion Putrawan sebelum tatapan Alleta melembut diiringi senyum palsu. "Aduh, Kak Rion. Perasaan gua enggak nyuruh lu jemput deh, jadi ngerepotin ya?" ucap Alleta dengan nada tak enak hati yang dibuat-buat. Rion tersenyum manis sembari menggelengkan kepalanya. "Enggak pernah ada kata merepotkan untuk orang yang gua sayang." Vera berdeham keras membuat Rion segera menatap Vera diikuti seulas senyuman manis, berbanding terbalik dengan Alleta yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu. Alleta merutuki jawaban Rion yang membuatnya kian tersudut, belum lagi tatapan tak suka sangat jelas dilayangkan oleh Vera untuk Rion. "Bisa aja deh," sahut Alleta merasa kikuk. "Lain kali kamu enggak perlu datang ke mari untuk anak saya. Saya sedang tidak mencari supir untuk anak saya," celetuk Vera dengan wajah datarnya. Rion tersenyum kikuk ke arah Vera. Dia bukan tak mengerti jika itu berarti kalimat yang meminta dirinya untuk menjauhi Alleta. Di samping itu, Alleta meringis mendengar ucapan tajam yang keluar dari mulut sang mama. Meski terkenal dengan pribadi yang lembut, Vera nyatanya tak pernah sungkan itu menunjukkan ketidaksukaan wanita itu terhadap sesuatu. "Ayo deh, Kak. Lu udah ke sini, kasian kalau gua usir karena enggak mau berangkat sama lu," ujar Alleta dengan senyuman. "Gua tunggu di mobil, ya." Rion menatap Vera dengan ramah. "Tante saya permisi, ya. Terima kasih." Baik Alleta maupun Vera keduanya menatap kepergian Rion menuju mobilnya terpakir. Vera lantas beralih memandang Alleta dengan tatapan sinis, wanita paruh baya itu bahkan tak segan menjewer telinga sang putri membuat Alleta meringis merasakan sakit. "Pinter ya kamu! Udah punya suami masih kegatelan sama itu cowok," sembur Vera. Alleta memegang tangan sang Mama yang menjewer telinganya, gadis itu bahkan menunjukkan raut wajah memelas berharap sang Mama mau melepaskan jewerannya itu. "Aduh ... Ma! Sakit! Aku bahkan enggak tau itu onta ke sini," protes Alleta sembari berusaha melepaskan tangan sang Mama dari telinganya. "Awas kamu macam-macam!" Vera memandang sang putri penuh peringatan sembari melepaskan jewerannya. "Enggak, Ma. Aman, ya kali mau macem-macem," ketus Alleta sembari mengusap telinganya. "Hm, sana berangkat!" usir Vera sembari mengibaskan tangannya. "Iya udah aku berangkat dulu, Ma."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD