Bab 3. Lupa Izin

1129 Words
"Baik semuanya, kita akhiri pertemuan hari ini. Tetap semangat dan jangan menyerah." "Baik, Prof." Seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang mendengar itu bernapas lega, rasanya mereka sudah mulai lelah diminta untuk memahami mata kuliah hari ini. Seluruh mahasiswa dan mahasiswi bersorak ria, tak terkecuali Alleta yang bersorak senang di dalam hati. Rasa kantuk yang sedari tadi mereka rasakan mendadak hilang kala ucapan yang dinantikan akhirnya terucap juga. Anak-anak fakultas kedokteran jurusan psikologi itu tengah mengemas barang-barang mereka meskipun seorang dosen wanita masih berdiri tegak di sana. Tampak dosen itu pun tengah merapikan barang-barang dan mejanya. Setelah semuanya rapi, dia memandang seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang dia ajar. "Baik semuanya, selamat siang. permisi." "Baik, Prof." Mereka menghela napas lega, dua jam mencerna setiap ucapan dosen membuat otak mereka rasanya panas. Meskipun tergolong anak-anak cerdas, tetapi tetap saja otak mereka tak akan sanggup mencerna banyak mata kuliah dalam satu waktu. Alleta merapikan alat tulisnya, gadis itu tampak fokus memasukkan setiap barang yang dia bawa ke dalam tas. Tak lupa dia juga memeriksa kolong meja, takut ada barang ataupun sampah yang tertinggal di sana. "Kita nge-mal, yuk? Udah lama banget kita enggak ngabisin waktu," celetuk Kalea hingga Aletta langsung melihatnya. "Ayo aja sih gua, suntuk juga di rumah soalnya," jawab Cindy tanpa menatap Kalea. Gadis itu tengah membuka botol minum yang dia bawa dari rumah. "Duh, maaf banget. Gua enggak bisa ikutan, gua harus kerja," balas Mila dengan wajah tak enak. Ketiga gadis itu sontak menatap Mila, mereka tersenyum tipis. Alleta menghampiri gadis itu, dia merangkul pundak Mila dengan senyuman yang tak juga luntur dari wajahnya. "Santai aja kali, Mil. Lu mau gua anter ke kafe lintang? Motor lu, 'kan di bengkel," ucap Alleta. Memang motor matic milik gadis itu berada di bengkel karena semalam ban motor Mila pecah. Mau tak mau gadis itu harus membawa motornya ke bengkel dan merelakan sedikit uang untuk membayar perbaikan motor itu. Mila menggeleng pelan, dia tak mau merepotkan sahabatnya. "Enggak usah, Al. Gua sendiri aja. Kalian have fun, ya! Jangan lupa kalau nanti ada cogan kabarin gua!" kekeh Mila. "Ya udah, lu hati-hati di jalan ya, Mil. Kalau ada apa-apa kabarin gua, ya!" pinta Cindy sembari memakai tasnya. Dia mengangguk. "Sip, kalian tenang aja!" balas Mila. *** Di sebuah mal yang tampak cukup ramai pengunjung, Aletta tampak menyedot minuman boba miliknya. Mata gadis itu mulai memandangi setiap toko dengan tatapan memindai. Hampir 30 menit mereka memutari pusat pembelanjaan itu, tetapi tak ada satu pun yang ingin mereka beli selain minuman boba di tangan mereka. "Ini seriusan kita cuman muter-muter doang?" cetus Cindy yang sudah merasa lelah. Dia menggeleng. "Gua pengen beli boneka yang banyak," sahut Kalea. Alleta dan Cindy saling tatap. Sudah tak heran dengan tingkah Kalea yang memang lebih kekanakan dan manja. Keduanya mengangguk, mereka mengapit Kalea di antara mereka. "Mau beli boneka apa?" tanya Alleta sembari menatap sekitar. Kalea nampak berpikir dengan kening berkerut. Cindy yang melihat itu hanya menggelengkan kepala. Kalea selalu bingung harus membeli boneka yang mana, karena menurut gadis semua boneka itu lucu. Akhirnya Kalea akan membeli banyak boneka. "Orang kaya bebas." Itulah kata yang selalu dilontarkan Mila saat melihat Kalea memborong boneka. Merasa tak mendapatkan respons dari Kalea, Alleta menoleh menatap Kalea. Dia menepuk keningnya saat Kalea tengah berpikir dengan tangan yang diletakkan di dagu. Gadis itu merasa gemas sekaligus geram dengan tingkah Kalea. "Enggak usah sok-sok mikir lu, ujungnya juga lu ngeborong," cibir Alleta. Mendengar itu, Kalea tersenyum lebar. Dia pun lantas menarik tangan kedua sahabatnya menuju toko boneka yang membuat Alleta dan Cindy menghela napas kasar. *** Alleta baru sampai di rumah saat pukul 17.30 wib. Langkahnya terhenti saat baru saja masuk saat melihat Abi yang duduk di ruang tamu sembari merentangan tangannya dan meletakkan tangan pada punggung sofa. Tatapan mata laki-laki itu terlalu tajam hingga membuat Alleta merasa terintimidasi. Tentu saja Aletta terkejut karena setahu dirinya, Abi baru akan pulang pada jam makan malam, tetapi kini laki-laki berstatus suaminya itu sudah berada di rumah. Alleta pun segera menaruh paperbag miliknya yang berisi novel, buku filsafat, baju, dan sepatu di lantai. "Kakak kapan pulang? Kok tumben awal banget?" tanya Alleta berusaha untuk tak menunjukkan rasa gugupnya. "Dari mana aja? Kamu pulang dari kampus itu jam 3, sedangkan ini sudah mau jam 6." Bukan menjawab, Abi justru melontarkan pertanyaan. Dia memandang Alleta yang masih berdiri di jarak lima langkah darinya. Alleta bahkan menundukkan kepala, merasa takut dengan tatapan Abi. Gadis itu masih bergeming. Dia lupa untuk meminta izin pada Abi. Sungguh, Alleta lupa jika sekarang dirinya harus meminta izin ke mana pun dia akan pergi. "Kenapa diam aja?" tanya Abi dengan nada datar. Alleta menghela napas kasar. Dia memilin ujung kemeja yang digunakan. Rasanya Alleta ingin menangis karena sangat takut pada aura yang dikeluarkan oleh Abi. "Ma―maaf, Kak. Aku lupa izin," cicit Alleta dengan kepala yang masih menunduk. Abi memandang datar sang istri. "Saya tanya kamu ke mana?! Bukan meminta kamu untuk minta maaf. Ngerti?!" Alleta terkejut, tubuhnya mengelinjang. Dia memejamkan mata saat nada bicara Abi naik satu oktaf. Selama 17 tahun dia hidup, Alleta tak pernah mendapatkan ucapan bernada tinggi dari keluarga dan teman-temannya, tentu Alleta tak terbiasa dengan semua itu. "Mal," lirih gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Abi memandang datar Alleta. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun laki-laki itu pergi menuju kamar utama. Alleta yang mendengar derap langkah kaki segera mendongak. Dia membuka matanya pelan, mata hitam legam itu berkaca-kaca. Alleta memandang lekat punggung lebar Abi yang menjauh. "Maafin Alleta karena gagal jadi istri yang baik, Ma." Gadis itu merasa sedih. Bukan hanya merasa bersalah, tetapi dia juga merasa bodoh karena sampai lupa akan statusnya yang sudah berubah, bukan lagi lajang. Malam harinya, Alleta terlihat sedang menata hasil masakannya di atas meja makan. Ada ayam kecap, pare rebus, dan juga sambal terasi sebagai pelengkapnya. Saat menata makanan-makanan itu, dia melihat Abi datang dan langsung duduk di kursi tanpa menatap apalagi menyapa. Alleta yang melihatnya pun segera mengambil piring, dia menatap lekat Abi. "Kakak mau―" Ucapan Alleta terhenti saat Abi mengambil makanan sendiri dan mengabaikannya. Dengan kikuk, Alleta duduk di samping laki-laki itu. Melihat Abi seperti itu, entah kenapa nafsu makannya tiba-tiba hilang sepenuhnya. Bukan hanya rasa bersalah, napas Aletta pun terasa sesak saat melihat raut wajah datar Abi yang berbeda dari hari sebelumnya. Abi terlihat makan dengan tenang, laki-laki itu mengabaikan sang istri yang hanya memandang makanannya tanpa minat. Setelah selesai makan, Abi pun segera bangkit dan meninggalkan meja makan tanpa mengatakan apa-apa. Alleta yang melihat itu pun mendongak, air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya luruh juga. Abi sama sekali tak bicara dengannya sejak tadi, Alleta bahkan harus membawa barang belanjaannya ke kamar tamu dan mungkin dia akan tidur di sana malam ini sampai Abi mau memaafkannya. "Maafkan aku," lirih Aletta dengan air mata yang kini sudah terlihat membasahi wajah sendunya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD