Ke Jakarta

955 Words
Ily kaget saat melihat Vania berdiri di teras depan panti dengan wajah khawatir. Ily berjalan cepat kearahnya, seharusnya gadis itu dirawat di rumah sakit saat ini, kenapa malah di panti? Ily mendengus, sudah pasti ini karena kekeras kepalaan Vania. Ily yakin gadis itu pasti ngotot untuk kembali. "Vania kenapa kamu ada disini?" "Nunggu kamulah, kamu pikir aku nunggu pangeran berkuda dateng buat jemput aku?!" Ily menghembuskan napas kasar. "Harusnya kamu ada di rumah sakit bukan disini," Vania berjalan meninggalkan Ily untuk masuk ke kamarnya, diikuti Ily dibelakangnya. "Kamu mau aku terus disana? Jadi penghuni rumah sakit, gitu?" Vania membalikkan tubuhnya menghadap Ily "Bukan gitu" sela Ily "Aku cuma ingin kamu cepat sembuh, Van" lanjutnya berharap Vania mengerti. "Udahlah, Ly! Nggak usah kayak gitu, aku juga nggak akan sembuh kok, lebih baik aku tetap disini dan uangnya juga bisa digunain buat keperluan kita daripada buat biaya pengobatan aku yang jelas-jelas nggak ada perubahan." Ily menatap Vania tidak percaya. Ucapannya seakan menggambarkan jelas bahwa Vania telah putus asa dengan penyakitnya. "Kamu ngomong apa sih? Kamu akan sembuh, percaya sama aku!" Tegas Ily "Aku selalu percaya sama kamu, tapi soal penyakit aku----aku rasa aku nggak ada harapan lagi, Ly" lirih Vania "Selama kita hidup, selama itu juga kita punya harapan, Van. Asal kita nggak nyerah." Ily memeluk Vania dan mengelus-elus punggungnya. Vania menangis begitupun Ily. Keduanya menangis sambil berpelukan. Ily tau apa yang dirasakan Vania meski dia tidak mengalaminya. Menderita penyakit gagal ginjal membuat Vania terpuruk dan tidak bisa melakukan apa-apa hingga membuatnya merasa tidak berguna bahkan Vania kadang berpikir dirinya sebagai beban Rani, Ily dan penghuni panti lainnya. Setahun terakhir Vania bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah atau dirinya dirawat disana. Setiap saat penyakitnya semakin parah dan itu membuatnya makin sedih. "Sampai kapan aku berharap? Ini udah lama, Ly. Rasanya makin sakit," "Kita akan cari pendonor, Van. Aku yakin kita akan dapat, bentar lagi. Tunggulah sebentar!" Ily menghapus air mata Vania berharap sahabatnya itu tidak patah semangat "Tapi Ly--" "Demi aku, Van!" Potong Ily cepat "Bukankah kita udah janji bakal selalu bersama? Yah, sebentar lagi kita dewasa, kita akan pergi dari sini. Bukankah itu maumu?" Mereka memang pernah berjanji saat usia mereka 10 tahun. Lebih tepatnya, Vania yang meminta Ily untuk membuat janji jika setelah besar nanti mereka akan pergi meninggalkan panti asuhan Bunda Kasih untuk mengejar cita-cita masing-masing. Kemudian mereka akan mengelilingi dunia setelah sukses. "Apa aku bisa?" Vania menatap Ily seakan ragu, Ily tersenyum hangat setetes air matanya jatuh "Ya" Ily kembali memeluk Vania. Sejujurnya dia juga takut, takut jika apa yang dikatakannya tidak tercapai. Mendapatkan donor ginjal? Ily sangat berharap untuk mendapatkan itu. Bagaimanapun caranya Vania harus sembuh. Ily tidak ingin kehilangan kembali orang yang disayanginya. "Aku udah pernah kehilangan. Dan aku nggak ingin lagi" batin Ily Sempat Ily ingin mendonorkan ginjalnya untuk Vania tapi sayangnya ginjalnya tidak cocok dan saat itu Ily merasa tidak berguna untuk sahabatnya.                                 * * * "Pulang jam berapa lagi?" Vania duduk disamping Ily yang tengah mengikat tali sepatunya "Sampai kerjaannya selesai" Vania mendecih, semenjak Ily bekerja waktu kebersamaan mereka berkurang. Mereka hanya bertemu saat pagi sebelum Ily berangkat sekolah dan malamnya Vania kadang menunggu Ily sampai tertidur. Vania merasa kehilangan namun dia tidak ingin egois meski waktu kebersamaan mereka sangat minim. "Kamu kan dapet beasiswa dari sekolah jadi buat apa bekerja terlalu keras?" Ily berdiri dan tersenyum manis pada Vania. "Itu nggak cukup, Van. Kebetuhan aku sangat banyak. Kamu kan tau bentar lagi kita kuliah jadi---" "Ya ya ya udahlah! Lakukan sesukamu!  Egois banget" vania menyilangkan kedua tangannya didepan d**a dan memberenggut. "Aku lakuin ini juga karena kamu" batin Ily menatap Vania "Aku pergi" Ily meninggalkan Vania yang masih kesal. "Bahkan dia udah nggak acuh" batin Vania melihat Ily menjauh "Hati-hati, Ily!" Ucap Rani saat Ily mendekati dan memberi salam "Ya, bu. Tolong jaga Vania!" "Pasti, Ly." "Kakak pergi dulu adik-adik!" Ily melambaikan tangan pada beberapa anak-anak kecil yang bermain didekat Rani. Mereka membalas dengan sumringah. Ily tersenyum bahagia. Setidaknya nasibnya lebih baik dibanding mereka yang memang tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya dibandingkan dirinya yang sempat merasakannya meski hanya ibunya.                                 * * * "Woi Ily" seseorang menepuk bahu Ily setelah sampai dalam kelasnya, Ily menoleh kebelakang melihat siapa yang melakukannya. Arin, teman sebangkunya. "Kemarin pak Bondan nyariin lo tapi lo nggak ada di kelas, katanya lo harus temuin dia di ruangannya!" "Kenapa cari gue?" "Nggak tau" "Kok nggak tau?" "Soalnya gue nggak nanya" "Issshhh kamu ini" Ily beranjak dari kursinya setelah meletakkan tasnya di meja lalu keluar menemui pak Bondan. * * * "Pokoknya kamu hanya mempersiapkan diri saja! Seminggu lagi kamu dan 2 orang lainnya akan berangkat ke SMA Tribakti" ujar Pak Bondan pada Ily. Karena Ily siswi terpandai di sekolah dan sebagai ketua mading makanya ia dipilih sebagai perwakilan untuk mewakili sekolahnya ke Jakarta. "Baik pak," ujar Ily "Kamu boleh kembali!" Ily keluar dari ruangan pak Bondan dengan senyum merekah dibibirnya.  * * * Hari keberangkatan Ily ke Jakarta telah tiba. Setelah berpamitan pergi beberapa hari pada Rani dan anak-anak yang lainnya, Ily akhirnya berpamitan pada Vania. Saat Ily memberitahunya Vania sangat senang dan bangga pada sahabatnya itu. Ily anak yang sangat pandai jadi wajar menurutnya tapi saat waktunya tiba gadis itu uring-uringan tidak ikhlas Ily meninggalkannya selama 3 hari. Kalaupun berpisah pada Ily paling-paling yang lama hanya 1 hari 1 malam. "Doain aku, Van. Semoga kami menang" Vania hanya menganguk malas tidak ingin menggubrisnya kalau tidak air matanya akan keluar. "Kamu nggak suka ya aku pergi?" "Suka kok!" Sergah Vania cepat "Terus?" "Apanya yang terus?" Vania balas bertanya membuat Ily tersenyum "Lebih baik kamu pergi sekarang! Jangan sampai terlambat!" Ily langsung memeluk Vania erat "Jangan lupa minum obat dan banyak istirahat. Aku akan cepat kembali" "Iya bawel, pergi sana!" Bersambung. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD