Tok tok tok
Semua mata menoleh saat gadis cantik berambut sepinggang masuk keruangan Vania. Gadis itu tersenyum kaku melihat wanita paruhbaya yang masih terlihat cantik duduk disamping Vania, pria tua yang berumur sekita 60an keatas duduk disofa bersama pria yang mungkin seumuran dengan wanita yang berada disamping Vania. Mungkin mereka suami istri.
Belum juga gadis itu berjalan, Vania lebih dulu merentangkan tangannya berharapa gadis itu memeluknya.
Gadis itu tersenyum dan berjalan cepat memeluk Vania erat.
"Bagaimana? Dapat nomor berapa?" Tanya Vania menariknya duduk, sedangkan wanita itu berdiri menjauh untuk memberi waktu kepada putrinya untuk berbicara pada temannya.
Gadis itu berguman seakan berpikir. Vania greget dan meremas tangan gadis itu dengan kuat. Dia reflek berteriak dan langsung membekap mulut sendiri saat sadar bukan cuma dia dan Vania yang ada diruangan itu.
"Rasain!" Ujar Vania melihatnya berubah kikuk
"Jadi?"
Gadis itu menaikkan tiga jarinya, membuat Vania menganga.
"Kamu juara tiga?" Gadis itu mengangguk
"Kok bisa? Kenapa ngak juara satu?! Kenapa bisa seperti itu?! Kamu kan sering juara satu"
"Ya mungkin bukan rejeki Van." Ucapnya "Gimana keadaanmu?" Tanyanya dengan suara lembut
Vania sudah tau jika gadis itu bersuara seperti itu berarti dia sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa, Ly? Kamu ada masalah?" Tanya Vania khawatir. Ily menggeleng kemudian tersenyum. Ily meraih tangan Vania yang dipasangi infus, Ily mengelusnya dengan lembut.
"Pasti sakit ya? Setiap saat selalu ditusuk jarum," ujarnya tanpa menatap Vania, Ily hanya berfokus menatap tangan Vania yang entah keberapa jarum infus tertempel disana.
"Nggak sama sekali, aku kan udah biasa." Bantah Vania meski sebenarnya benar.
"Van, kamu sayang sama aku, kan?" Ily berusaha menatap mata Vania,
"Tentu, kenapa kamu nanya gitu?"
"Kalau gitu--pergilah!" Vania terdiam menatap Ily. Begitupun orang yang ada dalam ruangan Vania memperhatikan keduanya.
"Apa maksud kamu?" Vania melepaskan tangannya dari genggaman Ily
"Kamu bukan orang bodoh yang nggak tau maksud aku, Van." Vania tertawa sinis. Dia tidak menyangka Ily memintanya untuk pergi.
"Ily" panggil Vania
"Jangan bertahan karena aku! Kamu harus ikut bersama mereka supaya kamu bisa sembuh. Mereka keluargamu dan mereka ingin yang terbaik untukmu. Bukankah selama ini kamu berharap buat sembuh?" Vania mengangguk, Ily tersenyum. "Ini jalannya. Ini satu-satunya jalan." Sambung Ily
"Tapi kamu akan sen---"
"Aku nggak sendiri, Van. Ada bu Rani dan anak2 lain di panti. Jangan mengkhawatirkan aku! Pikirkan dirimu sendiri,"
"Ly" lirih Vania
"Sebagai sahabat aku nggak bisa melakukan apa-apa untukmu selama ini. Maafkan aku!" Ily menundukkan kepalanya. Vania meraih tangan Ily dan langsung memeluknya
"Nggak! Jangan minta maaf. Aku bersyukur karena memiliki kamu"
"Dan aku lebih bersyukur mengenai itu." Balas Ily mempererat pelukannya
"Sembuhlah, Van. Untuk keluargamu, bu Rani, dan untukku." Ucap Ily. Jauh dari lubuk hatinya dia tidak ingin Vania pergi. Tapi Ily bukan orang egois yang mementingkan kehendaknya. Hidup Vania bergantung dengan keputusan Vania sendiri. Dan setelah ini Ily berharap Vania akan menyetujui permintaan keluarganya.
Vania melepaskan pelukannya
"Kalau aku melakukannya berarti aku ninggalin kamu. Aku nggak ingin ingkar janji"
"Lebih baik ninggalin aku sementara dari pada selamanya, Vania. Kamu tau, aku udah kehilangan bundaku selamanya dan aku nggak ingin kehilangan lagi yang kedua kalinya. Kamu tau, kan maksudku, Van? Jadi kumohon." Ily berusaha meyakinkan Vania.
"Baiklah!" Ucap Vania membuat Ily tersenyum dan kembali memeluk Vania erat
"Bernarkah?"
"Mmmmm" Ily merasakan Vania mengangguk pada bahunya. Setelah berpelukan Vania mengatakan pada keluarganya untuk menerima pengobatannya di Jerman. Alhasil semuanya senang termasuk bu Rani dan Ily.
* * *
Ily tersenyum menatap bintang yang bertebarang diatas langit. Ya, dia telah melakukan yang terbaik. Besok pagi mereka akan membawa Vania ke Jerman. Meski sedih sahabat satu-satunya akan pergi meninggalkannya tidak membuatnya menyesali keputusannya. Baginya, hidup Vania lebih penting dari egonya.
"Sepertinya akan turun hujan"
Seseorang duduk disamping Ily yang juga menatap langit malam
"Nggak mungkin, bintangnya masih banyak gitu!" Ily menunjuk langit tidak setuju dengan penuturan pria disebelahnya
"Iya banyak, tapi bukan berarti hujannya nggak akan turun." Balasnya lagi
"Sotoy" cibir Ily tanpa melihat orang disamping.
Pria itu terkekeh memperhatikan wajah Ily dari samping. Gadis itu adalah sahabat adiknya yang selama ini menghilang. Dan gadis itu juga adalah gadis yang mengobrol dengan bu Rani dirooftop.
"Enak dong, apalagi kalau kuahnya banyak plus ketupat. Benar-benar nikmat" ucapnya membuat Ily menoleh kearah dengan mata memicing
"Apa?" Pria itu bertanya seakan ucapannya tidak salah
"Tampan kok bodoh" ucap Ily memutar bola matanya. Pria itu tersenyum samar kembali memperhatikan langit yang memancarkan sinar terangnya. Keduanya terdiam.
"Terima kasih" Ily menoleh kearah pria disampingnya. Karena merasa bukan dia yang pria itu ajak bicara, Ily kembali menatap langit. Ily bersandar dan menghembuskan napas panjangnya.
"Masalah Vania."
Ily langsung menoleh mendengar nama sahabatnya disebut "Terima kasih karena bersamanya selama ini." Lanjutnya yang juga menatap Ily
"Kenapa kamu berterima kasih?Emangnya kamu ini siapa?" Tanya Ily penasaran
"Lo nggak liat aku di ruangan Vania?" Ily menyatukan kedua alisnya berusaha mengingat-ingat siapa saja yang ada diruangan Vania tadi.
"Sayang banget" ucap pria itu seakan kecewa
"Aku nggak liat kamu tadi. Emang kamu ini siapa?"
"Gue kakaknya" Ily beroh dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Seketika matanya melotot dan mulutnya terbuka tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Tutup mulut lo itu! Jangan sampai lalat masuk kesana" ucapnya dengan senyum tertahan dibibirnya
Ily menutup mulutnya dan langsung menoleh kearah pria yang mengaku sebagai kakak kandung Vania. Ily memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah. Tampan dan terlihat masih muda.
"Apa benar kamu kakaknya?" Pria itu mengangguk "tapi kenapa nggak mirip?"
"Nggak selamanya orang bersaudara itu mirip, seperti gue dan Vania." Jelasnya
"Oh" Pria itu menaikkan alisnya tidak suka jawaban Ily
"Cuma Oh?" Tanyanya
"Terus aku harus bilang apa? Nggak mungkinkan aku bilang so sweet?! Nggak nyambung" balas Ily
"Gue nggak suka sama jawaban lo itu, nggak sopan. Biar gimanapun gue ini lebih tua dari lo"
"Aku nggak perduli"
"Lo harus perduli!"
"Kenapa harus?"
"Karena gue kakak sahabat lo"
"Oh"
"Oh lagi?" Pria itu menggeram kesal tapi buru-buru kekesalannya itu hilang saat Ily tersenyum manis kearahnya.
"Kakak" Pria itu menaikkan alisnya tidak mengerti dengan mood gadis didepannya, "Aku udah sopan, kan?" Tanya Ily bersikap kalem. Pria itu mendengus sambil tersenyum. Sangat manis. Dasar gadis nakal.
* * *
Pagi-pagi sekali Vania dan keluarganya berangkat ke Jerman. Ily dan bu Rania mengantarnya ke Bandara. Saat di bandara Ily berusaha untuk tidak menangis didepan Vania karena sudah pasti gadis itu akan ikut menangis. Sebenarnya Ily tidak ingin ikut kesana tapi bu Rani memaksanya untuk ikut karena Vania dan keluarganya yang meminta.
Karena kebetulan ini hari minggu, Ily langsung menuju cafe tempatnya bekerja setelah kembali dari Bandara. Dengan beraktivitas Ily yakin akan melupakan tentang kepergian Vania sejenak.
"Anterin ini ke meja 9 ya!" Pinta Aldo pada Karina namun Ily yang langsung mengambil pesanan dan membawanya kemeja 9. Aldo dan Karina saling menatap tidak mengerti, Ily memang rajin tapi hari ini dia lebih rajin dari biasanya.
Ily berjalan menghampiri meja 9. Setelah menayapa, Ily meletakkan minuman ke meja.
"Miranda Kerr?"
Bersambung. . .