Keputusan Vania

1124 Words
Setelah 3 hari di Jakarta Ily dan yang lainnya kembali ke Malang dengan perasaan bahagia. Meski mereka tidak mendapatkan juara pertama mereka tetap bersyukur berada diperingkat ketiga. Setidaknya mereka telah membawa nama baik SMAN Jaya Malang. Ily berjalan memasuki area panti Bunda Kasih dengan tidak sabar. Dia sangat merindukan sahabatnya serta adik-adik panti yang lain. Setelah melepas rindu pada mereka Ily mencari Vania dan bu Rani karena mereka tidak kelihatan. Ily berlari menuju rumah sakit yang Dea maksud, dia sangat khawatir setelah mengetahui 2 hari yang lalu Vania dirawat di rumah sakit karena dia pingsan lagi, Kamar 232 Saat Ily meraih handle pintu untuk membukanya tangannya tiba-tiba berhenti saat mendengar suara dari dalam kamar Vania.                                * * * Vania tetap bersikeukuh menolak untuk ikut bersama orang-orang yang mengaku sebagai keluarga kandungnya. 3 hari lalu sebelum Vania dirawat di rumah sakit, mereka datang untuk menjemput Vania. Mereka mengatakan Vania adalah putri mereka yang hilang karena diculik saat usianya 3 tahun. Vania diculik oleh lawan bisnis ayahnya karena balas dendam. Awalnya Vania tidak percaya tapi mereka berhasil meyakinkan Vania dengan memberikan bukti tes DNA dan tanda lahir dipunggung Vania. "Aku nggak mau ikut! Aku nggak mungkin ninggalin sahabat ku disini sendiri." Mereka menghela napas dengan kekeras kepalaan Vania. Mereka terus membujuk Vania untuk ikut dan berobat keluar negeri. "Kamu harus ikut sayang! Kita udah dapatin donor, tapi kita harus lakukan operasi di Jerman. Dan juga pengobatan disana sangat maju. Yah? Mama mohon sama kamu." Celine - ibu kandung Vania meraih tangan putrinya kemudian menggenggamnya erat, ia tidak tau dengan cara apa putrinya itu bisa berubah pikiran. "Udah berapa kali aku bilang? Aku nggak mau, kalaupun aku mati disini juga nggak apa-apa. Yang jelas aku nggak mau ninggalin dia. Aku nggak mau ingkar janji sama dia." "Kenapa kamu keras kepala sekali? Ini juga demi kebaikan kamu. Mama papa juga yakin jika sahabatmu itu pasti setuju dengan keputusan kami." Ucap Celine lagi dengan air matanya yang sudah tumpah. Dia tidak menyangka bertemu dengan putri dengan keadaannya seperti ini. Dia tidak ingin kehilangan putrinya lagi apalagi selamanya "Dengan seperti ini terus kamu akan ninggalin dia Vania. Perlahan penyakitmu tambah parah. Kamu nggak ingin kan ninggalin dia sendiri?" Vania mengangguk "Kalau begitu kamu harus ikut kami. Hanya sebentar, setelah sembuh kamu bisa kembali kesini." Rama ayah Vania juga ikut membujuknya "Akan aku pikirkan." Ucap Vania lemah.                                * * * "Ily?" Seseorang memanggil Ily dari belakang, Ily menoleh dan mendapati bu Rani berdiri membawa kantongan putih ditangan kanannya. Ily menghampirinya dengan perasaan bingung. "Kayaknya Ily ketinggalan sesuatu yang penting, bu." Rani mengajak Ily ke rooftop rumah sakit untuk membicarakan semuanya. Biar bagaimanapun Ily harus tau mengenai Vania. Setelah sampai bu Rani meminta Ily duduk dan memberinya sebotol air meneral sebelum memulai berbicara. "Sebenarnya. . . Rani menceritakan tentang keluarga Vania yang datang ke panti asuhan untuk membawa Vania pergi tapi Vania menolak karena dia tidak ingin meninggalkan Ily. Meski semua orang telah membujuknya dia tidak mau mendengar, baginya dia tetap harus bertahan disini untuk menemani adiknya sekaligus sahabatnya, Ily. Dia tidak ingin Ily sedih lagi karena kehilangan. Vania tau betul bagaimana hancurnya Ily saat dia datang ke panti asuhan 6 tahun yang lalu. Ily yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Ceria, ramah dan selalu bersemangat sangat bertolak belaka dengan yang dulunya hanya pendiam. Untung saja ada Vania yang selalu bersamanya saat anak-anak yang lain menjauhi Ily karena merasa Ily aneh, kerjaannya hanya diam menyendiri dan kadang menangis tanpa sebab. Meski Vania selalu ada disampingnya, Ily tidak perduli dan selalu menganggapnya tidak ada. Sangat berat untuk membuat Ily seperti sekarang, setelah berhari-hari bersama Ily tidak membuatnya putus asa. Vania selalu berusaha agar terlihat dimata Ily dan ternyata usahanya tidak sia-sia. Ily akhirya terbuka padanya, dia menceritakan semua yang perlu diceritakan termasuk kematian bundanya. Vania akhirnya tau kalau dia seperti itu karena dia ditinggalkan oleh bundanya sendiri. Ily tidak punya siapa-siapa lagi sama sepertinya sekarang. Sejak saat itu mereka selalu bersama. Bermain, makan, tidur, belajar dan bahkan ke sekolah selalu bersama. Mereka tidak terpisahkan. Perlahan-lahan sikap Ily sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Dia sudah mulai membuka diri hingga dia memiliki teman yang banyak di panti asuhan. Semuanya senang bermain bersama Ily. Ily dan Vania sering membuat janji untuk terus bersama sampai kapanpun itu dan tidak perduli apa yang akan terjadi. Mereka sama-sama saling memiliki dan tak ingin melepaskan. "Jadi benar mereka emang keluarga Vania?" Tanya Ily dengan raut wajahnya yang tidak bisa ia tutupi. Dia sedih, sekaligus senang. Tapi yang lebih mendominasinya adalah kesedihan. Itu berarti mereka akan berpisah. Bu Rani membenarkan dan meraih tangan Ily. Dia tau perasaan Ily sekarang. "Harusnya aku senang kan, bu?" Ily menatap bu Rani dengan senyum kaku yang terkesan dipaksakan "Tapi kenapa aku nggak kayak gitu?" Lanjutnya dengan wajah datar "Ily" "Apa yang harus aku lakuin, bu?" "Biarkan dia pergi nak! Biar gimanapun mereka keluarganya, mereka berhak bersama. Dan juga mereka ingin bawa Vania berobat ke Jerman, mereka udah dapat pendonor ginjal disana" Sama seperti dengan apa yang didengar Ily tadi. Mereka menemukan pendonor disana, namun Vania menolak karenanya. "Seandainya aja Vania mau, kemarin mereka akan berangkat tapi karena Vania nolak dengan alasan dia ngg--" "Nggak mau ninggalin aku." Ucap Ily lirih. Bu Rani membenarkan. Memang alasan Vania tidak ingin meninggalkan Ily. "Itu berarti aku yang jadi penghalang buat kesembuhannya." Bu Rani menangkup wajah Ily yang terlihat gusar, matanya sudah berair dan bibirnya terlihat bergetar. Dia menyalahkan dirinya atas keputusan Vania, "Bu!" Ily menatap Rani dengan perasaan sedih "Bukan karenamu sayang. Selama ini kamu udah berusaha untuknya. Vania pasti sangat bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena memberinya sahabat terbaik seperti kamu. Kamu telah bekerja keras untuknya." "Tapi aku rasa itu belum cu--" "Kamu udah lakuin yang terbaik untuknya. Kerja tiap hari buat biaya pengobatannya nggak peduli kamu capek atau sakit, yang terpenting buat kamu adalah dapatin uang buat biaya cuci darah Vania tiap bulannya. Bahkan Vania marah-marah dan nyumpahin kamu karena kamu nggak ada waktu buat dia. Dia beranggapan kamu egois mentingin diri sendiri. Ibu atau kamu juga nggak harus berbohong jika kamu kerja untuk biaya kuliahmu nanti. Jangan merasa bersalah, nak. Harusnya ibu yang merasakan itu, sebagai ibunya di panti, harusnya aku yang lakuin untuk anak-anakku. Bukan malah kamu, Ly." Bu Rani juga ikut menangis akan perjuangan Ily untuk sahabatnya itu. Ily terpaksa harus bekerja setelah pulang sekolah untuk pengobatan Vania. Dia tidak bisa bergantung terus pada bu Rani ketua panti. Ily tau jika panti asuhan juga butuh dana banyak untuk biaya makan dan kebutuhan anak yang lain. Bu Rani juga kesusahan buat biaya pengobatan Vania jadi Ily berinisiatif untuk bekerja. "Vania nolak pergi karena dia sayang kamu, Ly." "Ily harus gimana bu?" "Bicaralah padanya, ini semua buat kebaikannya. Ibu yakin kamu bisa meyakinkan dia." Rani menggenggam tangan Ily erat. Bersambung. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD