Bab 1. Tidak Tahu

1707 Words
***     Aluna masuk ke dalam kamar yang sudah dihiasi khas kamar pengantin, tidak menyangka kalau sekarang dirinya harus menikah bersama lelaki yang tidak pernah ia inginkan. Sah menjadi istri Brayen menurutnya adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya, mengingat proses ijab kobul tadi saja membuatnya merasa jijik, harusnya perjanjian sakral itu ia terima dengan hati yang sangat bahagia, tapi nyatanya ia salah, terjebak menjadi istri musuhnya sendiri membuatnya sangat muak. Brayen baru saja keluar dari dalam kamar mandi, menggosok rambutnya yang basah degan handuk berwarna putih, rasanya Aluna ingin sekali mengusir lelaki itu dari dalam kamarnya, sadar diri kalau ini kamar lelaki menyebalkan itu, terpaksa ia harus mengalah. "Ngapain lu liatin gua kayak gitu, terkesima sama ketampanan gua yang habis mandi?" tanya Brayen dengan tingkat PD yang tinggi, membuat cacing-cacing di perut Aluna ingin menyembur keluar. "PD banget lu, siapa juga yang liatin, jijik gua liat muka lo." Aluna mengeluarkan lidahnya, berasa ingin muntah. "Oh ya?" laki-laki itu tersenyun miring, menanpakkan sosok wajah yang sulit di artikan, mendadak Aluna bergedik ngeri, takut laki-laki mengajaknya untuk melakukan hal-hal aneh. Satu langkah Brayen mendekati Aluna, telak gadis itu ikut mundur kebelakang, Aluna meneguk salivanya yang mendadak menjadi benda padat. "Jangan macem-macem lo, Bra." Kening Brayen nerkerut, --Bra dia bilang?-- panggilan macam apa yang barusan ia dengar. "Apa tadi? Lo panggil gua, Bra?" tanya Brayen shock, "lo pikir gua bahan daleman lo? Panggil gua RIYAN!" "Whatss? Riyan?" Rania mwmasang wajah shock, tak lupa dengan mulut yang ikut menganga. Brayen mengangguk sombong, itu nama yang pas buat dirinya, sebab wajahnya begitu tampan dan memukau. "Ogah! Kejauhan, nama lo itu Brayen, kenapa gua harus paggil RIYAN?" tolak Aluna mentah-mentah, ia tidak akan setuju nama sebagus itu dipanggilkan pada lelaki menyebalkan yang pernah ia temui, kalau bukan karena takut dengan Ayahnya, tidak akan pernah terjadi pernikahan tadi siang, dan ia akan bebas melakukan apa pun yang ia mau. "Emangnya nama Riyan nggak cocok buat cowok setampan, gua? Kalau gua hidup di luar negri, pasti cewek-cewek bule yang cantik-cantik pada ngejer-ngejer gua." ekspresinya datar, tapi suaranya penuh dengan nada kesombongan. "Ha? Bagun woi, udah siang, nggak usah mimpi, angan lo ketinggian, awas ntar pesambar pesawat!" kata Aluna menjatuhkan, laki-laki itu benar-benar tidak sadar diri, terlampau jauh dalam berangan. "Lo mau macem-macem sama  Gua?" Brayen menatap Aluna tanpa minat, "lagian lo apa lebihnya dari gua, cantik enggak, dibilang muka pas-pasan juga enggak, harusnya lo beruntung, gua mau nikahin lo. Mana ada cowok normal yang mau nikahin, lo." Aluna yang mendapatkan penghinaan beruntun dari Brayen, merasa tidak terima, lalu maju kedepan, menatap  Brayen penuh tantangan. "Kalau nggak ada cowok normal yang mau nikahin gua, berarti lo bukan cowok normal. Lo sendiri kan yang bilang, kalau nggak ada cowok normal yang mau nikahin gua, itu artinya lo bukan cowok normal!" Brayen berdecak, sial! Ia terjebak sendiri dalam ucapan yang tercetus dari mulutnya. Tak mau kalah, Brayen mencekal kedua tangan Aluna, mendorong tubuhnya hingga terhempas di atas ranjang, Brayen mendekatkan wajahnya pada Aluna, lalu membisikan sesuatu, membuat Aluna ketakutan setengah mati. "Jadi, lo aggap gua nggak normal? Oke, gua bakal nunjukin ke lo, kalau gua laki-laki normal!" Aluna mencoba mendorong tubuh Brayen, jangan sampai hal itu terjadi, bisa-bisa ia di cap sebagai super emak muda, dan Aluna tidak mau harus menjadi ibu di masa-masa mudanya, harus memasak, mencuci baju, membersihkan ompol sang bayi, bahkan memandikannya, Aluna akan menua dengan cepat, dan Brayen akan semakin mencecarnya. Mendadak bayangan gila melintas di pikiran Aluna, memiliki lima anak yang masih kecil-kecil, sibuk berkelahi, menangis dan meminta asupan makan, sementara dirinya tengah mengandung anak ke-6. Kepalanya serasa ingin pecah, suara mereka berkecamuk di pikirannya, membuat Aluna ingin menggoreng mereka semua. Tersadar dari lamunan gilanya, Aluna mendesis. "Lo jangan macem-macem sama gua, lo bisa gua laporin ke polisi, karna udah sentuh gua!" "Lo mau laporin gua? Silakan, gua nggak takut. Yang ada polisinya ngeri liat lo dan nganggap lo gila!" Brayen tertawa puas penuh kemenangan, sampai kapan pun ia tidak akan mau mengalah, gadis sombong itu harus tau aturan, bagaimanapun ia harus mau menuruti semua kemauannya. "Yaudah, lo bisa gua aduin sama bokap gua, karna lo udah sakitin gua." "Terserah, mau lo lapor polisi, lapor bapak lo, emak lo, nenek lo, buyut lo, atau siapalah gua nggak takut. Inget, ini rumah gua dan lo harus ikut aturan gua di rumah ini." Aluna semakin dibuat greget, rasanya ingin menebas leher lelaki itu dengan pedang, atau sekedar menampar pipinya dengan batu bata bahkan bisa memukul kepalanya dengan kapak besar, tidak peduli kepala lelaki itu akan bocor atau ketampanannya rusak permanen, yang jelas Brayen berhenti mengejeknya dan sadar diri. Brayen langsung menjauh, aroma tubuhnya tiba-tiba menggoda, bagaimana pun dia seorang lelaki normal, jadi wajar kalau sampai ia sedikit tergoda. Apalagi Aluna, perempuan itu sangat cantik, kulitnya nyaris seputih ubi yang dikupas, tidak cacat dan mendekati sempurna. Kalau Brayen mengatakan dia wanita yang jelek, mungkin munafik adalah kata yang pantas untuknya. "Lo ngapain masih stay di kasur gua? Sana lo tidur di sofa!" Aluna membuka mulutnya lebar, laki-laki itu memang benar-benar tidak punya perasaan. "Heh, gua ini cewek. Harusnya lo yang ngalah sebagai cowok!" "Aluna yang jelek. Plis deh, coba lo inget-inget deh pake nalar lo. Yang punya rumah ini siapa? Yang beli siapa? Masa gua harus tidur di sofa, kalau lo nggak mau tidur di sofa, yaudah. Lo tidur seranjang sama gua!" Aluna merengek, berharap Brayen mau mengalah. Tapi nyatanya laki-laki itu memang kepala batu, tidak mau mengalah, haruskah ia menuruti untuk tidur satu ranjang? "Kalau lo nggak mau yaudah, lo bisa tidur di luar kamar atau di kamar pembantu!" "Apa?! Gua tidur di kamar pembantu?" Aluna tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia bernapas lewat mulut yang terbuka lebar. "Amit-amit, gua nggak mau. Kamarnya pasti bau, banyak tikus sama kecoak, eoohhh..." tubuh Aluna bergedik menahan jijik, sangat alergi dengan dua binatang menjijikan itu, apalagi melihat kecoak terbang, mungkin seperti melihat kotoran kucing melayang-layang di atas udara, benar-benar menjijikan. "Yaudah, nggak usah ribet. Lo tinggal tidur aja apa susahnya sih, gua nggak bakal perkosa lo kok! Mana doyan gua sama cewek gila kaya lo." Aluna menggerutu kesal, tangannya gatal ingin menjenggut rambut Brayen hingga lepas dari kepalanya, pria itu hanya bisa mencecarnya terus menerus, laki-laki itu belum tahu seperti apa menggodanya dirinya. Jika ia memiliki tenaga dalam seperti samson wati di tv-tv, pasti satu pukulan akan membuat Brayen tunduk padanya. Tapi sayang, itu hanya ilusi sebuah drama di dalam tv. Pelan-pelan Aluna berbaring di samping Brayen, dengan jantung yang terus berdetak kuat, menelan air liurnya dengan susah payah. Ia tidak boleh ketiduran. Sebab, jika itu terjadi, ia tidak akan sadar apa yang akan Brayen lakukan. Hampir satu jam diam dalam kesunyian malam, malam semakin menjemput waktunya, Aluna menguap, diliriknya kesamping, melihat Byaren yang masih memejamkan mata, seperti ya pria itu benar-benar sudah tertidur. Tiba-tiba Aluna tidak bisa menahan rasa kantuk yang ditahan, sudah berusaha mencoba namun akhirnya kalah, Aluna akhirnya tetap tertidur, melupakan ketakutan yang menguasainya sejak tadi. Setelah Aluna terlelap, Byaren membuka mata, ternyata sejak dari tadi, ia hanya berpura-pura. Tiba-tiba ia punya ide jail. Seolah melintas begitu saja, perempuan sombong seperti Aluna harus menerima akibatnya. "Rasain lo! Gua jamin lo besok nangis darah." Brayen tertawa penuh kemenangan, Aluna sudah terlelap tidur, bahkan dia tidak terusik sama sekali dengan perbuatan Byaren, membuat Brayen semakin leluasa. Dengan begini, perempuan sombong seperti Aluna, tidak akan bisa berkutik lagi. *** Ines menangis, menatap foto kekasihnya. Sekarang, pria itu sudah menikah. Memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Tak bisa membayangkan, betapa sakitnya harus melepaskan orang yang sangat dicintai, merelakannya hidup bersama perempuan lain. Banyak kenangan yang tersimpan di dalam otaknya, tak tahu bagaimana harus menghapus pria itu dari ingitannya. "Riyan, aku nggak tau. Apa aku perempuan baik atau jahat. Karna masih mengharapkan kamu yang jelas-jelas udah punya wanita lain. Apa aku harus seperti wanita lain? Bersembunyi di balik kata pelakor?" Ines tidak tahu, padahal Brayen berjanji tidak akan menerima perjodohan itu, apalagi istrinya adalah musuhnya sejak dulu, sangat mustahil mereka akan bahagia. Jangankan hidup satu rumah, saat berpapasan saja mereka selalu berambisi dengan ego masing-masing. "Apa aku harus merebut kamu? Karena kamu cuma cinta sama aku? Aku tau, Riyan. Kamu nggak akan bisa bahagia sama dia." Ines merintih menangis di balik selimut tebal. Besok ia harus menemui Byaren, meminta perjanjian yang pernah ia ucapkan. Meluruskan hubungan mereka, tetap berlanjut atau berakhir karena terhalang orang ketiga. Lantas, siapa yang harus di sebut orang ketiga, dirinya atau malah istri laki-laki itu. *** Pagi itu, Aluna tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Apa yang terjadi, ia tidak bisa mengingat apapun sama sekali, dirinya dan Brayrn tidur dalam selimut tebal yang sama. Sial, apa yang terjadi. Kenapa ia sampai ketiduran. Aluna mencoba duduk, memastikan kalau ini hanya mimpi. Jantung Aluna hampir copot saat melihat bercak darah di atas sprei tempat tidur. Itu artinya Brayen sudah mengambil sesuatu yang berharga darinya. Aluna menangis, kesal sekaligus marah. Laki-laki b******k itu sudah lancang! "Kenapa? Kaget?" Tanya Brayen yang masih memejamkan matanya, lalu Aluna menatap Brayen dengan sinis. "b******k! Apa yang lo lakuin ke gua?" Brayen tertawa. Membuat Aluna semakin murka. Rasanya Aluna ingin menangis, terjebak dalam kehidupan seperti ini. Apa yang akan terjadi nanti, laki-laki itu pasti sudah merasa menang, sudah bisa membalaskan dendamnya. "Lo apain gua, Bra! Jawab gua!" Brayen duduk, memperlihatkan wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa. "Lo udah gede, pasti lo tau apa yang udah gua lakuin, kalau lo nggak sadar, lo benar-benar bego. Dan lo tau? Gua sangat menikmati." Tangan Aluna terkepal, mencengram sprei kuat kuat-kuat. Ia butuh penjelasan langsung dari mulut laki-laki b******k itu. "Ini semua terjadi gara-gara mulut lo juga kan? Lo sendiri yang bilang gua bukan laki-laki normal. Dan sekarang, udah gua buktiin sama lo, dan lo udah nggak punya apa-apa lagi, karena gua, udah berhasil tumbangin gadis sombong kayak lo." Wajah Aluna memerah menahan marah sekaligus malu, ia sudah kalah, dan Brayen akan bersenang-senang dengan semua yang telah ia lakukan. Melihat Aluna menangis, Brayen merasa puas, ia sudah berhasil membuat perempuan seperti Aluna tidak bisa berkutik. Brayen yakin, setelah kejadian ini, perempuan seperti Aluna tidak pantas untuk menyombongkan diri. Merasa tidak ada yang penting, Brayen kembali membaringkan tubuhnya, memejamkan mata dengan hati yang berkoar-koar penuh tawa. Aluna masih belum percaya, Brayen bisa mendapatkannya semudah itu, bahkan harusnya saat disentuh, ia mampu terbangun, tapi pada kenyataan Aluna telah kecolongan, dan benar, Brayen memang memenangkannya. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD