Bab 2. I'm Sorry

1499 Words
Brayen mendesah, tidak tega melihat kekasihnya harus menangis dengan suara pilu. Ia gagal untuk memenuhi janji, ucapan sakral itu, tercetus begitu saja dari mulutnya. Padahal, awalnya ia tidak berniat sedikit pun untuk membenarkan ucapan sakral itu, tapi nyatanya Brayen malah lantang mengucapkannya dengan suara yang lapang. "Kamu tenang aja, aku bakal cari cara supaya kita bisa sama-sama lagi." Brayen berusaha meyakinkan Ines, ia tidak mau kehilangan kekasihnya. "Aku bakal ceraiin dia, secepatnya." Ines menggeleng, rasanya itu sangat mustahil. Ia akan menerima dosa yang besar, memaksa sepasang suami istri agar berpisah. "Terlambat, Riyan. Harusnya, kalau kamu benar-benar tidak menginginkan pernikahan itu, kamu nggak bakal pernah mampu ngucapin ijab kobul itu, tapi nyatanya?" tidak tahu harus berbicara apalagi, Ines telah memutuskan, semalaman penuh mengambil keputusan, ia memilih untuk mengakhiri hubungan itu. Sebab, sampai kapan pun, ia tidak akan pernah memiliki Brayen. "Belum, Nes. Ini belum terlambat. Aku tidak mencintai dia, gimana mungkin aku hidup bersama perempuan angkuh kayak dia." "Riyan, aku udah bikin keputusan, lebih baik, kita selesaiin hubungan kita. Aku mohon, jangan bikin aku jadi perempuan jahat, yang merebut suami orang lain. Aku bukan wanita sehina itu." "Kamu bukan merebut aku, Nes. Justru dia yang udah bikin kita terjebak dalam situasi kayak gini, gara-gara pernikahan sial itu, kamu milih buat ninggakin aku? Aku nggak akan biarin itu." kata Brayen tak terbantahkan, ia sangat keras kepala, Ines sudah paham betul watak Brayen. Tapi, itu tidak akan membuat tekatnya goyah untuk berpisah. Keputusanya sudah bulat, meski harus rela menanggung nestapa. "Apa cuma segini cinta kamu buat aku?" tanya Brayen dengan wajah tak habis pikir. Ada rasa aneh yang sekoyong-koyong menggerohoti ruang hati. "Kamu pernah denger kan kata orang, setiap pasangan yang pernah dipertemukan tidak harus untuk bersatu, dan kita hanya dipertemukan dan bukan ditakdirkan untuk bersatu." "Aku nggak peduli, itu cuman kata orang, Nes. Sejak kapan kamu peduli ucapan mereka?!" Brayen menatap Ines tajam, ada emosi yang meluap di dalam d**a, Brayen merasa kecewa dengan keputusan gadis itu, mengahiri hubungan dengan cara sepihak membuat Brayen terlampau dalam sakit hati, melepaskan perempuan yang dicintai demi memenuhi permintaan orangtuanya. Semuanya memang tidak ada yang bisa mengerti, zaman sitinurbaya yang Brayen alami ternyata benar-benar menyelekit hatinya. "Mending, sekarang kamu pulang. Istri kamu, pasti nyariin kamu." Bayen yang meneggakkan tubuhnya, melangkah pergi tanpa sepatah kata yang diucapkan, hatinya terlampau sakit menanggung kecewa, dan ini semua terjadi karena pernikahan itu, gara-gara pernikahan itu, Brayen terluka, menerima kenyataan kalau kekasihnya telah mengakhiri hubungan yang begitu indah. Dua orang yang saling mencintai harus berpisah, terjebak dalam situasi yang sulit. Ines mendesah, berat melepaskan Brayen, hati dan mulutnya sangat kontradiktif, sebenarnya ia ingin Brayen menceraikan perempuan itu, tapi mulutnya tidak lantang untuk meminta permintaan gila itu. Kedua tangan yang sajak tadi terkepal, kini mulai terbuka, jari-jari itu bergetar dengan gerakan cepat, emosinya kini meluap, menangis dalam kesendirian tanpa ada tempat untuk bersandar, orang lain telah merebutnya. Kesedihan seolah tak dapat lagi dibendung. "Maafkan aku, Riyan. Kita sama-sama terluka. Tapi, ini untuk kebaikan kita berdua, sorry..." *** Aluna menangis meraung, masuk ke dalam kamar Rio, kakaknya. Hanya pria itu yang mau mengerti perasaannya, orangtuanya tidak akan pernah mau mendengarkannya, percuma mengadukan nasib yang menimpanya tadi malam. Mereka pasti akan senang dengan kejadian nekat yang Brayen lakukan tadi malam, menuntutnya agar segera memberikan cucu akan segera terkabulkan. Aluna benar-benar sangat kesal. "Kak, aku benci, dia benar-benar cowok b******k. Dia udah kurang ajar." Rio menganut-nganut mengerti, sebenarnya tidak tega melihat Aluna menangis seperti anak kecil, meski dia gadis sombong dan selalu keras kepala. Tapi, saat ini Rio tahu, adik perempuannya itu butuh pembelaan. "Kamu tenang aja, kakak bakal kasih pelajaran buat dia. Kalau dia emang nggak cinta sama kamu, kenapa dia harus nuntut kamu buat penuhi kewajiban kamu." Jujur, Rio senang dengan kejadian itu. Sebab, Brayen tidak bisa menceraikan Aluna seenaknya, dan ia bisa mengambil kesempatan untuk memiliki Ines, kekasih Brayen yang diam-diam ia cintai. Adik kelas yang sejak dulu ia kagumi di kampus. Mungkin, ia egois mengorbankan adiknya demi ambisinya. Tante Diana yang diam-diam mendengarkan pengakuan Aluna, menahan tawa di balik pintu, putrinya memang benar-benar lucu. "Aluna sayang, kamu itu kok nggak cerita sih sama mama. Justru bagus dong, tandanya Brayen mau serius sama kamu." tante Diana masuk ke dalam kamar dengan wajah sumringah, sangat senang. Mata Aluna mendelik, "mama bilang ini bagus? Bagi aku ini itu petaka, Ma. Aku nggak mau harus hamil. Kalau sampai aku hamil, aku bakal gugurin anak itu." "Eh, eh jangan dong. Kamu mau ngebunuh anak kamu sendiri, jangan bicara yang enggak-enggak, Al." "Bodo amat, Aku nggak peduli, aku nggak siap." "Udah-udah, pokoknya mama nggak sabar, denger kamu cepat-cepat hamil, dan mama bakal punya cucu." Tante Diana yang yang sudah dikelilingi euforia malah melangkah keluar dari dalam kamar Brayen, ia benar-benar senang, tidak sabar menunggu kabar bahagia dari putrinya. "Makanya, kamu cepat nyusul ya, Rio. Biar mama bisa punya cucu yang banyak." kata Tante Diana yang terhenti di lawang pintu. Aluna memorotkan bibirnya kedepan, semuanya benar-benar menyebalkan, justru mamanya sendiri menganggap kesialannya itu adalah anugrah yang ditunggu-tunggu hasil. Setelah puas mengadu, Aluna memilih pulang, berlama-lama di rumah orangtuanya sendiri, semakin membuatnya kesal, apalagi mengingat paksaan pernikahan kemarin, semakin membuatnya muak. Brayen baru saja pulang, matanya terbelalak kaget dengan situasi rumah yang hampir seperti kapal pelacah. Mulutnya terbuka lebar, benar-benar schok dengan pemandangan di depan matanya. Di atas meja, sendok dan gelas berisikan s**u di letakkan dengan asal, bekas s**u tumpah masih terbentang di atas meja, piring kotor dan lauk di biarkan begitu saja, sisa nasi seolah sengaja di taburkan di atas lantai, Brayen mengarahkan pandangannya ke depan TV yang dibiarkan menyala, bantal-bantal di sofa sudah berserakan bebas di atas karpet, seolah memiliki sepuluh anak yang tidak membiarkan rumah rapi. Brayen menjenggut rambutnya frustrasi. "Perempuan malas!" Brayen menaiki anak tangga, berlari menuju kamar, saat pintu terbuka, rasanya Brayen benar-benar ingin lenyap dari tempat itu. Ini lebih parah, Aluna sepertinya benar-benar ingin membuat rumah ini seperti kandang kerbau. "Astagaaa, Alunaaaaaa!" Kamar itu masih seperti semula, saat Brayen meninggalkan Aluna di dalam kamar. Ranjang masih lusuh karena bekas tidur tadi malam, baju kotor bertaburan di atas lantai, rasanya penyakit stroke akan segera menyapa Brayan. "Eh, Bra. Ngapain lo?" "Dari mana aja lo?!" Aluna mendegus kesal. Baru menginjakkan kaki di dalam rumah, sudah di suguhi pertanyaan tidak berbobot yang keluar dari mulu Brayen. "Emang lo perlu tau?" rancau Aluna kesal. "Lo apain ini rumah sampai berantakan kayak gini. Inisiatif sedikit kek, buat beresin ini kamar!" "Lo kira gua babu lo? Ini balasan atas apa yang udah lo lakuin tadi malam!" "Lo bego atau gimana sih. Pikir pake otak! lagian, itu hak gue, kan?" jawab Brayen enteng. Tidak mau kalah dengan Brayen, perempuan itu melangkah ke depan, berdiri tepat di depan badan kekar Brayen, mendogakkan kepala, menatap pria itu penuh tantangan. "Terus sekarang lo maunya apa?" Aluna menyilangkan tangan, megetatkan geraham. Wajah putihnya kini memancarkan corak bewarna merah. Marah pada pria itu. "Lo mau tau, apa kemauan gue?" Brayen tertwa, perempuan itu sudah berani bermain-main dengannya. "Lo bersihin rumah ini, gue nggak mau tau. Kalau lo nggak bisa bikin rumah ini bersih kayak semula, siap-siap sama permainan gue yang lebih dari semalam." "Ma..maksud lo apa?" "Lo pikir pake otak. Sekarang gue lapar, gue mau lo masakin gue." Aluna mendecakkan lidah, mendengan rancauan laki-laki bermulut perempuan, kedua tanganya pengepal, menahan emosi yang segera ingin meledak. Tapi, Ia tidak bisa berbuat banyak, lelaki itu jauh lebih kuat darinya, terpaksa harus melakukannya. Sebenarnya Aluna malas untuk melayani laki-laki seperti Brayen, tapi tidak ada cara lain, memenuhi permintaan pria itu setidaknya bisa membuatnya berada di titik aman. "Ingat, gue nggak mau masakan sampah, dan lo harus bikinin gue makanan yang enak. Kalau lo nggak berhasil, lo harus bikinin lagi, sampe gue ngerasa masakan lo itu enak dan layak gue makan." "Lo sengaja mau ngerjain, gue?" "Nggak usah ge'er lo jadi orang, kurang kerjaan banget gue ngejain cewek jelek kayak lo." "Apa lo bilang, gue jelek?" Brayen hanya mengangguk, membenarkan ucapannya. "Bayak cowok yang mau sama gue, dan lo harus tau itu, artinya gue emang menarik." Brayen tertawa remeh, dan membuat Aluna merasa tersinggung. "Oh ya? Mana coba lo tunjukin mantan-mantan lo sama gue? Setau gue lo itu nggak pernah punya cowok." Aluna kebingungan, kaku membalas rancauan Brayen, sejak dari dulu, ia memang tida pernah memiliki kekasih sungguhan. Itu semua terjadi karena dirinya sendiri, membuat para lelaki takut bergandengan denganya, ia ternasuk gadis liar yang bisa membabi buta jika marah. "Udhah deh," kata Brayen meremehkan Aluna, "lo itu cuma cewek sombong yang ngaku-ngaku dirinya paling cantik, jadi rebutan para lelaki, nyatanya itu cuma omong kosong." Tanpa memberikan Aluna membela diri, Brayen terus mencecar Aluna seenaknya, tidak akan membiarkan Aluna memberikan kritikan. "Sekarang, lo nggak bisa buktiin, kan? Mending sekarang lo masak, beresin rumah dan lo cuci semua pakaian kotor gue, inget. Kalau lo ngebantah, gue nggak segan-segan bikin lo nangis darah." Byaren tertawa penuh kemenangan, ternyata gadis itu sangat lemah, mendapat ancaman membuatnya ciut seperti jeruk, dan sudah dipastikan, Brayen akan selalu memenangkan pertengkaran itu, setidaknya, mengerjai Aluna bisa melupakan kesedihan saat harus melepaskan kekasihnyanya. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD